Oleh
Cecep Ramli Bihar Anwar
09/07/2002
Mohammded
Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia
merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur
Aljir. Berber adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang
dipakai adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah).
A.
Potret Seorang Sejarawan-Pemikir
1. Latar Belakang sosial dan Intelektual
Mohammded
Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia
merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur
Aljir. Berber adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang
dipakai adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah).
Setelah
Aljazair ditaklukan bangsa Arab pada tahun 682, pada masa kekhalifahan Yazid
bin Muawiyah, dinasti Umayah, banyak penduduknya yang memeluk Islam. Bahkan di
antara mereka banyak yang ikut dalam berbagai pembebasan Islam, seperti
pembebasan Spanyol bersama Toriq Bin Ziyad.
Gerakan
islamisasi di daerah bekas jajahan Perancis ini juga diwarnai oleh nuansa
sufisme. Mahdi Bin Tumart dari dinasti Almohad pada abad 12 menggabungkan
ortodoksi Asy’arisme dengan sufisme. Ibn Arabi, tokoh sufisme yang terkenal
itu, sempat berguru kepada seorang sufi terkemuka di daerah ini, Abu Madyan. Di
antara aliran tarekat yang berkembang adalah Syaziliyah, Aljazuliyah,
Darqowiyah, Tijaniyyah dan lain-lain.
Melalui
berbagai kegiatan dan ritualisme sufisme populer, berbagai unsur kepercayaan
animistik Afrika Utara merasuk ke dalam Islam di Afrika. Misalnya, konsep
“manusia-suci atau pemimpin keagamaan (alfa) merupakan serapan budaya pemujaan
orang-suci sebelum Islam datang. Menurut Suadi Putro, dalam lingkungan hidup
yang sarat dengan sufisme dan nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan.[1]
Kehidupan
Arkoun yang mengenal berbagai tradisi dan kebudayaan merupakan faktor penting
bagi perkembangan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun secara intens akrab dengan
tiga bahasa: Kabilia, Perancis dan Arab. Bahasa kabilia biasa dipakai dalam
bahasa keseharian, bahasa Perancis digunakan dalam bahasa sekolah dan urusan
administratif, sementara bahasa Arab digunakan dalam kegiatan-kegiatan
komunikasi di mesjid. Sampai tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut mewakili
tiga tradisi dan orientasi budaya yang berbeda. Bahkan ketiga bahasa tersebut
juga mewakili cara berpikir dan memahami. Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal
bahasa tulisan, merupakan wadah penyampaian sehimpunan tradisi dan nilai
pengarah mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah berusia beribu-ribu
tahun. Bahasa Arab merupakan alat pengungkapan tertulis mengenai ajaran
keagamaan yang mengaitkan negeri Aljazair ini dengan Timur Tengah. Bahasa
Perancis merupakan bahasa pemerintahan dan menjadi sarana akses terhadap nilai
dan tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak mengherankan kemudian kalau masalah
bahasa mendapatkan perhatian besar dalam bangunan pemikiran Arkoun.[2]
2. Pendidikan dan Pengalaman
Setelah
tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhan
Oran, kota utama Aljazair bagian barat. Sejak 1950 sampai 1954 ia belajar
bahasa dan sastra Arab di universitas Aljir, sambil mengajar di sebuah sekolah
menengah atas di al-Harrach, di daerah pinggiran ibu kota Aljazair. Tahun 1954
sampai 1962 ia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi
dosen di Universitas Sorbonne Paris.Ia menggondol gelar doktor Sastra pada
1969. Sejak 1970 sampai 1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia
kembali sebagai guru besar dalam bidang sejarah pemikiran Islam.[3]
Ia
menjabat direktur ilmiah jurnal studi Islam terkenal, Arabica. Ia juga memangku
jabatan resmi sebagai anggota panitia nasional (Perancis) untuk Etika dan Ilmu
Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran. Ia juga anggota majelis nasional untuk
AIDS, dan anggota Legium Kehormatan Perancis. Belakangan, ia menjabat sebagai
direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne
Nouvelle (Paris III).[4]
Arkoun
sering diundang dan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar
Perancis, seperti Iniversity of California di Los Angeles, Princeton
University, Temple University di Philadelphia, Lembagai Kepausan untuk studi
Arab dan Islam di Roma, dan Universitas Katolik Louvain-La-Neuve di Belgia. Ia juga
sempat menjadi Guru Besar tamu di Universitas Amsterdam.[5]
Konteks
Pemikiran Pasca-Modernisme dan Karya-karyanya
Pemikiran
Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis.
Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat
modern hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis.[6] Referensi
utamanya adalah De Sausure (linguistic), Levi straus (antropologi), Lacan
(psikologi), Barthes (smiologi), Foucault (epistemologi), Derrida (grammatologi).,
filosof Perancis Paul Ricour, antropolog seperti Jack Goody dan Pierre
Bourdieu.[7] Arkoun banyak meminjam konsep-konsep kaum (post) strukturalisme
untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep
seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang ter,
tak dan dipikirkan, parole, aktant dan lain-lain, adalah bukti bahwa Arkoun
memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan (post) strukturalisme.
Arkoun memperlihatkan kepiawaiannya ketika secara eklektik bisa “menari-nari”
di atas panggung post strukturalisme itu, dan bila perlu sekali-kali bisa
mengenyahkan panggungnya. Ia, misalnya, bisa menerapkan analisis semiotika ke
dalam teks-teks suci dengan cara melampaui batas kemampuan semiotika itu sendiri.
Menurutnya, ini dilakukan karena selama ini semiotika belum mengembangkan
peralatan analitis khusus untuk teks-teks suci. Padahal, teks-teks keagamaan
berbeda dengan teks lainnya karena berpretensi mengacu pada petanda terakhir,
petanda transendental (signifie dernier). Arkoun juga bisa mencomot
konsep-konsep dari Derrida tanpa harus terjebak pada titik paling ekstrim dari
implikasi pemikiran Derrida: tidak ada petanda terakhir. Bahkan dalam bangunan
pemikirannya, Derrida yang berpendapat bahwa bahasa tulisan lebih awal
ketimbang lisan (dalam bidang filsafat bahasa) bisa disajikan, tanpa
berbenturan dengan Frye yang memandang bahwa bahasa lisan tentunya lebih awal
ketimbang bahasa tulisan (dalam bidang antropologi, perkembangan kebudayaan
atau peradaban).
Secara
cemerlang, Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan sebagai
sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk menggali
asal-usul dan perkembangan pemikiran (sejarawan murni), sementara
sejarawan-pemikir dimaksudkan sebagai sejarawan yang setelah mendapatkan
data-data obyektif, ia bisa juga mengolah data tersebut dengan memakai analisis
filosofis. Dengan kata lain, seorang sejarawan-pemikir bukan hanya bertutur
tentang sejarah pemikiran belaka secara pasif, melainkan juga secara aktif bisa
bertutur dalam sejarah.[8]
Sementara
itu, karya-karya Arkoun meliputi berbagai bidang. Di sini hanya disebutkan
karya-karya yang berkaitan dengan kajian Islam pada umumnya dan metodologi
“cara membaca Qur’an”nya pada khususnya: traduction francaise avec introduction
et notes du Tahdib Al-Akhlaq (tulisan tentang etika/terjemahan Perancis dari
kitab Tahdib al-Akhlaq Ibnu Miskawaih), La pensee arabe (Pemikiran Arab),
Essais sur La pensee islamique (esei-esei tentang pemikiran Islam, Lecture du
Coran (pembacaan-pembacaan Al-Qur’an, pour une critique de la raison islamique
(demi kritik nalar islami), Discours coranique et pensee scintifique (Wacana
Al-Qur’an dan pemikiran ilmiah). Kebanyakan karya Arkoun ditulis dalam bahasa
Perancis.[9]
B.
Kerangka Proyek Kritik Akal Islam Arkoun
Mohammed
Arkoun memiliki “proyek kritik atas akal Islam” dimana metode historis modern
menempati peran sentralnya. Proyek ini terkandung dalam bukunya yang paling
fundamental, Pour de la raison islamique, (Menuju Kritik Akal Islam). Buku ini,
yang semula akan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul “naqdu
al-‘aqli al-Islmiy”, kemudian diterjemahkan dengan judul “tarikhiyyatu al-Fikri
al-Arabiy al-Islamiy” (Historitas Pemikiran Arab Islam). Menurut Luthfi
Assyaukany, karya tersebut bisa mewakili pemikiran Arkoun secara keseluruhan,
meskipun ia masih mempunyai banyak karya lain. [10]
Metode
yang ditempuh Arkoun dalam buku ini adalah metode historisisme. Historisisme
berperan sebagai metode rekonstruksi makna melalui cara penghapusan relevensi
antara teks dengan konteks. Melalui metode historisisme, yang mewujud dalam
bentuk “kritik nalar islami”, teks-teks klasik didekonstruksi menuju
rekonstruksi (konteks). Bila metode ini diterapkan pada teks-teks agama, apa
yang diburu Arkoun adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam
dalam teks-teks tersebut.[11]
Luthfi
Asysaukanie menggolongkan Arkoun ke dalam tipologi pemikir Arab kontemporer
yang “reformistik-dekonstruktif”. Tipologi wacana pemikiran ini masih percaya
pada tradisi sejauh disesuaikan dengan tuntutan modernitas. Arkoun, misalnya,
membedakan dua tradisi: 1) Tradisi dengan T besar yang berarti tradisi
transendental, abadi dan tak berubah; 2) tradisi dengan t kecil yang adalah
produk sejarah dan budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun menurun
maupun hasil penafsiran atas wahyu tuhan lewat teks-teks suci.[12] Bagi Arkoun,
hanya tradisi kedualah yang dapat diuji lewat kritisisme, dan karenanya ia
mengabaikan tradisi yang pertama. Kelak, sebagaimana akan dibahas, pembedaan
Arkoun atas tradisi ini, juga terlihat dalam bangunan metodologi “cara membaca
Qur’an”nya.
Arkoun
menganggap proyek kritik akal Islamnya sebagai tak lain dari perluasan terhadap
makna ijtihad klasik. Perpindahan dari ijtihad klasik ke kritik akal Islam
adalah usaha mematangkan dan memantapkan posisi ijtihad itu sendiri.[13] Karena
begitu sentralnya “proyek kritik akal Islam” ini dalam bangunan pemikiran
Arkoun, berikut ini disajikan penjelasan Arkoun mengenai maksud dari kata
“kritik” dan “akal”, dengan eksplorasi penerapannya.
Menurut
pengakuannya, istilah “kritik akal” dalam bukunya itu tidaklah mengacu pada
pengertian filsafat, melainkan pada kritik sejarah. Ketika mendengar kata
kritik akal, orang memang tidak gampang melupakan karya filosof besar Immanuel
Kant, Critique of pure Reason dan Critique of Practical Reason, dan karya
Sartre, Critique of Dialectical Reason. Tetapi, kata Arkoun, belakangan
Francois Furet menggunakan istilah tersebut untuk tujuan penelitian sejarah.
Berbeda dengan Kant dan Sartre, Furet adalah seorang sejarawan. Ia berusaha
memikirkan (ulang secara kritis tentunya) seluruh tumpukan literatur sejarah
mengenai revolusi perancis. Revolusi Perancis adalah peristiwa sejarah yang
amat kompleks serta mempunyai pengaruh yang begitu besar, sebegitu rupa
sehingga darinya lahir banjir bandang literatur komentar, interpretasi yang
beragam dan bahkan bertentangan. Menurut Arkoun keadaan ini bisa dibandingkan
dengan peristiwa turunnya wayhu Al-Qur’an yang telah melahirkan sekian banyak
literatur, yang selain beragam juga kadang saling bertentangan satu sama lain.
Ia menegaskan:
Peristiwa
itu (Revolusi Perancis) telah merangsang lahirnya komentar serta teori yang
begitu luas serta teori yang begitu luas sejak dua ratus tahun lampau hingga
sekarang (1789-1989). Keadaan ini dapat kita bandingkan dengan apa yang terjadi
pada kita dengan teks Al-Qur’an.[14]
Adapun
kata akal merujuk pada akal sebagai fakultas dalam diri manusia untuk berpikir.
Manusia berpikir dengan menggunakan alat-alat, yakni berupa kata-kata dari
suatu bahasa, kategori-kategori dari logika, postulat atau hipotesa tentang
realitas. Akal bisa berubah, seiring dengan perkembangan alat-alat berpikir
yang ditemukan akal itu sendiri, seperti dari penemuan-penemuan ilmiah yang
revolusioner. Karena itu, Arkoun menegaskan bahwa akal bukanlah konsep abstrak
yang melayang-layang di udara, ia adalah konsep konkret yang bisa
berubah-rubah. Ia mempunyai sejarahnya dan memang terus meyejarah.
Arkoun
membedakan bahan dan postulat antara akal religius (religius reason) dan akal
filosofis (philosophical reason). Dalam diskursus religius misalnya, ada
metafor-metafor, simbol dan kisah-kisah mitis. Akal religius digunakan oleh
kaum semitis: yahudi, kristen dan islam, sementara akal filosofis digunakan
oleh filosof Yunani. Menurutnya, penemuan revolusioner Galileo dibidang
astronomi (bahwa bumi mengitari matahari) pada abad 16, revolusi Lutherian pada
abad 18 yang menegakkan pendirian (otonomi) akal--dan menempatkannya dalam
posisi rasional—terhadap kitab suci, dan revolusi politik di Inggris dan
Perancis pada abad 18, telah merubah akal secara radikal dengan menghasilkan
akal “modern”. Tetapi, apa yang terjadi di Italia, Inggris, Perancis, spanyol
itu tidak terjadi dalam masyarakat-masyarakat Islam. [15] Akibatnya, akal (atau
alam pikiran) umat Islam belum bisa lepas dari mental abad pertengahan yang
kental dengan ortodoksisme dan dogmatisme.
Untuk
menelusuri sejarah pemikiran Islam, layaknya seorang arkeolog, Arkoun menggali
seluruh lapisan geologis pemikiran (akal) Arab-Islam dengan memakai “pisau”
epistema Michael Foucault. Arkoun membagi tiga tingkatan sejarah terbentuknya
akal Arab-Islam: klasik, skolastik dan modern. Yang dimaksud dengan tingkatan
klasik adalah sistem pemikiran yang diwakili oleh para pemula dan pembentuk
peradaban Islam. Skolastik adalah jenjang kedua yang merupakan medan taklid
sistem berpikir umat. Sedangkan tingkatan modern adalah apa yang dikenal dengan
kebangkitan dan revolusi. Dengan membagi sejarah ke dalam tiga penggalan
(ruputure) epistema ini, tampaknya Arkoun bermaksud untuk menjelaskan term
“yang terpikirkan” (le pensable/ thinkable), “yang tak terpikirkan”
(l’impinse/unthikable) dan “yang belum terpikirkan” (l’impensable/not yet thought),[16]
untuk kemudian diterapkan dalam rangka membedah sejarah sistem pemikiran
Arab-Islam.
Yang
dimaksud dengan “yang terpikirkan adalah hal-hal yang mungkin umat Islam
memikirkannya, karena jelas dan boleh dipikirkan. Sementara “yang tak terpikirkan
adalah hal-hal seputar tidak ada kaitannya antara ajaran agama dengan praktek
kehidupan.[17]
Demi
menembus lapisan terdalam dari geologi pemikiran Islam, Arkoun pun menjamah
jantung eksistensialnya: Al-Qur’an, sunnah dan Ushul. Bagi Arkoun, Al-Qur’an tunduk
pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity).[18] Baginya, lantaran
Assyafi’i berhasil membuat sistematika konsep sunnah dan pembakuan ushul kepada
standar tertentu serta pembakuan Qur’an kepada sebuah mushaf resmi (kopus resmi
tertutup/mushaf Utsman), banyak ranah pemikiran yang tadinya “yang
terpikirkan”, berubah menjadi hal-hal yang tak terpikirkan. Sampai sekarang, di
tengah tantangan barat modern, menurutnya, daerah tak terpikirkan masih terus
melebar.
Demikianlah,
Arkoun melihat ortodoksisme (paham yang selalu menekankan pada penafsiran
nash-nash yang pasti benar, sehingga penafsiran orang lain salah, bid’ah) dan
dogmatisme abad skolastik (dogmatisme ditandai dengan pencampuradukkan antara
wahyu dengan non wahyu, atau masuknya non-wahyu ke dalam wilayah wahyu), masih
tetap bercokol dalam akal Arab-Islam dewasa ini.
Dengan
kritik historisnya, Arkoun menemukan karakteristik umum akal-akal islam.
Pertama, ketundukan akal-akal kepada wahyu yang “terberi” (diturunkan dari
langit). Wahyu mempunyai kedudukan dan posisi yang lebih tinggi, sebab
dihadapan akal-akal itu ia memiliki watak transendentalitas (al-ta’ali, La
trancendance) yang mengatasi manusia, sejarah dan masyarakat. Kedua,
penghormatan dan ketaatan kepada otoritas agung. Imam mujtihid dalam setiap
madzhab tidak boleh dibantah atau didebat, walaupun di antara para mujtahid
sendiri terdapat banyak perbedaan bahkan perselisihan. Para imam mujtahid ini
telah mematok kaidah-kaidah menafsirkan Al-Quran secara benar, termasuk
istimbath hukum. Otoritas ini menjelma dalam sosok para imam madzhab. Ketiga,
akal beroperasi dengan cara pandang tertentu terhadap alam semesta, yang khas
abad pertengahan, sebelum lahirnya ilmu astronomi modern.[19]
Maka,
bagi Arkoun, syarat utama untuk mencapai keterbukaan (pencerahan) pemikiran
Islam di tengah kancah dunia modern adalah dekontruksi terhadap epistema
ortodoksi dan dogmatisme abad pertengahan.
Dari
kritik historisnya, Arkoun juga mendapati bahwa tumpukan literature tafsir
Al-Qur’an tak ubahnya seperti endapan lapisan-lapisan geologis bumi. Dalam
konteks ini, secara radikal Arkoun menganggap sejarah tafsir sebagai sajarah
penggunaan Al-Qur’an sebagai dalih:
Jika
kita lihat khazanah tafsir dengan seluruh macam madzhabnya, kita akan tahu
bahwa sesungguhnya Al-Qur’an hanyalah “alat” saja untuk membangun teks-teks
lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa
turunnya Al-Qur’an itu sendiri. Seluruh tafsir itu ada dengan sendirinya dan
untuk dirinya sendiri. Dia merupakan karya intelektual serta produk budaya yang
lebih terikat dengan konteks kultural yang melatarinya, dengan lingkungan
sosial atau teologi yang menjadi “payungnya” nya daripada dengan konteks
Al-Qur’an itu sendiri.[20]
Menurutnya,
pola hubungan yang terus-menerus antara teks pertama dan ekploitasi teologis
dan ideologis yang begitu beragam terhadapnya yang dilakukan oleh berbagai
latar kultural dan sosial yang berbeda itu, membuat teks kedua memiliki
sejarahnya sendiri. Sejarah tafsir adalah sejarah pernyataan yang
diulang-ulang, secara lebih kurang atau lebih bersemangat, mengenai sifat
kebenaran, keabadian dan kesempurnaan dari risalah yang diterima dan
disampaikan Nabi Muhammad. Dengan begitu, tafsir lebih bersifat “apologi
defensif” daripada pencarian suatu cara memahami. Padahal, kata Arkoun,
Al-Qur’an tidak membutuhkan suatu apologi guna menunjukkan kekayaan yang
terkandung didalamnya.[21] Karena itu, berbagai literatur tafsir, di satu sisi,
memang membantu mengantarkan kita untuk memahami Al-Qur’an; namun, di sisi
lain, kadang malahan merintangi pemandangan kita dari Al-Qur’an. Lantaran
sejarah tafsir yang “menggeologis” itulah, barangkali, Arkoun memandang
Al-Qur’an sekarang lebih banyak menyebabkan kemandegan ketimbang pencerahan dan
kemajuan:
Jadinya
sekarang, Kalam Allah ditentang dan digagalkan oleh praktek masyarakat kita di
masa kini; dihormati, namun pada kenyataannya dihalangi oleh kaum muslim, dan
direduksi oleh pengetahunan ilmiah kaum orientalis menjadi kejadian budaya
semata.[22]
Dalam
konteks di atas, perlu segera dicatat bahwa yang dianggap tidak relevan atau
memandegkan bukanlah Al-Qur’an, melainkan pemikiran yang dipakai oleh para
teolog dan fuqaha dalam menafsirkan Al-Qur’an:
Saya
tidak mengatakan bahwa al-Qur’an tidak relevan. Saya tidak berkata demikian.
Harap berhati-hati. Yang saya katakan adalah bahwa pemikiran yang dipakai oleh
para teolog dan fuqoha untuk menafsirkan Al-Qur’an tidak relevan. Sebab,
sekarang kita ilmu baru seperti antropologi, yang tidak mereka kuasai. Kita
juga memiliki linguistik baru, metode sejarah, biologi—semuanya tidak mereka
kuasai.[23]
Demikian
komplek dan peliknya sejarah tafsir, sehingga upaya restrukturisasi (I’adat
tarkib) dengan cara penulisan sejarahnya secara jernih dan kritis adalah sangat
mendesak. Berangkat dari persoalan ini, Arkoun merumuskan permasalahan:
Bagaimanakah
kita dapat melakukan klarifikasi (al-idhahah at-tarikhiyyah) seperti terlihat
di atas? Bagaimana kita dapat membaca Al-Qur’an secara “baru”? Bagaimanakah
kita dapat memikirkan ulang pengalaman kesejarahan Islam sepanjang empat belas
abad?
Untuk
menelusuri alur pikiran metodologi Arkoun dalam memahami Al-Qur’an (bagaimana),
terlebih dahulu di sini akan diajukan dua pertanyaan: (1) apa itu teks
Al-Qur’an; dan (2) apa tujuan membaca Al-Qur’an. Sebab, secara metodologis,
cara membaca Al-Qur’an sedikit banyak ditentukan oleh antara lain pandangan
mengenai Al-Qur’an itu sendiri (postulat ontologis) dan tujuan pembacaannya
(postulat Aksiologis).[24]
C.
Apa Itu Al-Qur’an dan Apa Tujuan Membaca (Qira’ah) nya?
Di
antara teks-teks keagamaan, tentunya teks kitab suci menduduki posisi paling
sentral karena di dalamnya terkandung pewahyuan ilahi kepada manusia. Lagi
pula, proses pewahyuan ini besifat unik, dalam pengertian sekali untuk selamanya
dan tak tergantikan. Nama-nama lain Al-Qur’an sendiri seperti al-Furqon,
(al-Furqon:1), al-Kitab (al-Dukhon:1-2), Kalam (al-Taubah:6), Nur
(al-Nisa:174), Mau’idzah (Yunus:57), al-Shirat al-Mustaqim (al-An’am:153)[25]
dan lain-lain, mencerminkan pandangan kaum muslim mengenai status kitab sucinya
yang sangat dimuliakan dan disucikan.
Mengikuti
analisis semiotik, Arkoun menekankan bahwa teks yang ada di tengah-tengah kita
adalah hasil tindakan pengujaran (enonciation). Dengan kata lain, teks ini
berasal dari bahasa lisan yang kemudian ditranskripsi ke dalam bentuk teks.
Tidak terkecuali teks-teks kitab suci, termasuk Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah
kalam Allah yang diterima dan disampaikan nabi Muhammad kepada umat manusia
selama tidak kurang dari dua dasawarsa. Terhadap keyakinannya ini, dalam
berbagai kesempatan Arkoun selalu menegaskannya: baik yang bersifat spontan
dari keimanannya sebagai muslim maupun dari pernyataan-pernyataannya yang ingin
“membuktikan” keniscayaan petanda terakhir (signifie dernier).
Akan
tetapi, wahyu dalam bentuk bahasa lisan ini baru kemudian dibukukan setelah
memasuki masa Utsman, sekitar satu setengah periode setelah nabi Muhammad saw.
wafat. Jauh sebelum Arkoun, buku-buku pegangan (teksbook) sebenarnya telah
banyak memberikan informas mengenai penulisan dan pembakuan wahyu menjadi
mushaf Utmsni ini. Hanya saja, Arkoun melihat bahwa informasi-informasi
tersebut belum dipertimbangkan secara serius bagi penjelajahan makna Al-Qur’an.
Untuk mempertimbangkan data historis ini semaksimal mungkin, Arkoun kembali
pada rujukan linguistik mengenai: (1) peralihan dari bahasa lisan ke bahasa
tulisan; dan (2) perubahan dari kalam kenabian yang bersifat terbuka pada
konteks yang beraneka ragam, yang membicarakan situasi akhir batas eksistensial
manusia: cinta, hidup, dan mati; menjadi wacana pengajaran yang memerikan
menurut anggitan kaku dan karenanya cenderung tertutup.[26] Tampaknya, bagi
Arkoun, proses yang kedua (perubahan kalam kenabian) dengan yang pertama
(peralihan bahasa lisan ke tulisan) berlangsung seiring dan berjalan secara
simultan.
Menerapkan
proses linguistis di atas kepada proses gerakan tanzil (turunnya) wahyu, Arkoun
memilah-milah tahap-tahap kalam Allah (KL), Wacana Qur’ani (WQ), Korpus Resmi
Tertutup (KRT) dan Korpus Tertafsir (KT). Anggitan Kalam Allah atau merujuk
pada Logos atau sabda Allah yang tak terbatas dalam pengertian yang dipakai
al-Qur’an (31:27):
”Seandainya semua pohon yang ada di atas bumi diubah
menjadi pena dan lautan yang diperluas dengan tujuh lautan lain dengan tinta,
kata-kata Allah tidak akan habis (oleh usaha mentranskripsinya)”. Demikian juga
dalam pengertian orang-orang kristen yang mengatakan, “ Isa adalah Sabda
Allah”.
Maka,
wahyu-wahyu yang disampaikan kepada manusia dengan perantaraan para rasul
hanyalah penggalan dari Kalam Allah yang tak terbatas, suatu Kalam yang tak
tertulis yang didefinisikan dalam teologi klasik sebagai bersamaan dengan Allah
dalam keabadian-Nya.
Penggal-penggal
dari kalam Allah secara linguistis telah diartikulasikan dalam bahasa Ibrani
(Al-kitab), bahasa Aramea (Isa, meski demikian ajarannya dilaporkan dalam
bahasa Yunani), dan bahasa Arab (Qur’an). Tahap pengujaran lisan sejajar dengan
atau sesuai dengan tahap wacana (yakni wacana dalam pengertian linguistik yang
diartikan sebagai pengujaran yang mengandaikan adanya seorang pembicara dan
pendengar dengan niat dari yang pertama untuk menyampaikan kepada yang kedua
suatu pesan dan kemungkinan bagi yang kedua untuk bereaksi secara langsung)
Alkitab, Injil dan Qur’an. Hubungan komunikasi antara Tuhan dan Nabi selalu
terkait dengan situasi wacana atau lingkuangan semiologis ketika pelepasan dan
penangkapan pesan berlangsung, yang terjadi sekali untuk selamanya dan tidak
bisa diulang. Inilah tahap semio-linguis yang pertama.
Tahap
semio-linguis kedua adalah proses pencatatannya secara tertulis dalam mushaf
Utsmani (Korpus Resmi Tertutup).[27] Dengan ungkapan Corpus officiel clos,
Korpus resmi tertutup, Arkoun ingin menekankan aspek historisis dari mushaf,
yang, suka atau tidak, tidak bisa diabaikan. Arkoun mengatakan:
This
is extremely important: it refer to many historical fact depending on social
and political agent, not on God. Let us elaborate it more clearly.[28]
Tahap
semio-linguis ketiga adalah penafsiran dari Korpus Resmi Tertutup itu. Secara
linguistis adalah mutlak sehubungan dengan penjelajahan makna-makna al-Qur’an
itu, pemahaman bahwa selalu teks tertulislah yang ditafsirkan dan bukan lagi
wacana pertama. Arkoun mengajukan argumentasi:
Sesungguhnya
kita tahu bahwa suatu teks tidak ditulis selama saya belum membacanya: artinya
setiap pembaca menulis teks itu lagi sesuai dengan kisi-kisi persepsinya dan
prinsip-prinsip penafsirannya. Kisi-kisi dan prinsip-prinsip sendiri tidak
hanya berkaitan dengan tradisi kebudayaan yangdipakiai setiap pembaca sebagai
sandaran, namun juga dengan paksaan ideologis dari keolompok dan masanya.[29]
Dengan
demikian, dapat dilihat secara mencolok bahwa Arkoun mengaitkan (menarik
korelasi positif) proses pembekuan tafsir al-Quran tersebut yang tercermin dari
berbagai tumpukan literatur, dengan proses penetapan al-Qur’an secara tertulis
dan dengan perubahan dari wacana kenabian menjadi wacana pengajaran,
sebagaimana disinggung di atas. Pendirian Arkoun ini bukannya melenggang tanpa
kritik. Van Koningsveld, dalam kritiknya terhadap Arkoun, mengatakan bahwa
Arkoun melebih-lebihkan pentingnya pencatatan teks Qur’an secara tertulis
sebagai faktor pembakuan penafsirannya. [30]
Merujuk
pada Hjemselv, bahwa pendekatan semiotis yang memandang suatu teks sebagai
keseluruhan dan sebagai sesuatu sistem dari hubungan-hubungan interen, dan
mendekati suatu teks tanpa interpretasi tertentu sebelumnya atau praanggapan
lain, tampaknya Arkoun melihat Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan teks yang
terkait secara koheren dan utuh satu sama lain. Karena itu juga, Arkoun ingin
memandang Al-Qur’an sebagaimana Al-Qur’an itu sendiri berbicara dan memandang
dirinya sendiri.[31]
Dari
semua proses historis di atas, Arkoun tampaknya ingin menegaskan bahwa telah
terjadi pemiskinan kemungkinan untuk memahami wahyu dari segala dimensinya.
Firman kenabian (prophetique) di reduksi menjadi firman yang berorientasi pada
pengajaran (professoral), yakni berorientasi pada abstraksi tanpa
memperhitungkan secara serius pihak yang mula-mula dituju oleh firman itu.
Dalam ungkapan bahasa semiotika, teks Qur’an sebagai parole di desak oleh teks
langue.[32] Mengenai langue bahasa arab sebagai lokus turunnya Al-Qur’an ini,
Arkoun mengatakan:
Pada
kenyataannya, wacana Qur’an adalah suatu orkestrasi musikal sekaligus simantis
dari anggitan-anggitan kunci yang ditimba dari kosa kata arab biasa yang telah
mengalami transformasi radikal selama berabad-abad.
Di
atas segalanya, Arkoun berpendapat bahwa meskipun Qur’an sekarang lebih
berfungsi sebagai teks tertulis, Qur’an kini tetap merupakan parole bagi para
mukmin.
Adapun
tujuan membaca al-Qur’an (qira’at) bagi Arkoun adalah untuk mengerti
(comprendre) komunikasi kenabian yang disampaikan lewat teks tertulis. Dengan
kata lain, qira’at dimaksudkan untuk melakukan semacam “napak tilas” proses
pengujaran (enonciation) Al-Qur’an dari berbagai segi dan dimensinya,
sebagaimana waktu pertama kali di ungkapkan dalam suasana semiologis yang masih
kaya dan segar. Artinya, tujuan qira’at bukan semata-mata untuk mengerti teks,
melainkan untuk mendapatkan teks. Secara metodologis, “napak tilas” ini
sebenarnya tidak mungkin karena proses pengujaran hanya terjadi satu kali,
unik, dan karenanya tak akan pernah terulang lagi. Yang paling mungkin
dilakukan hanyalah menjulurkan tangan secara asimtotis[33] kepada suatu
pendekatan yang makin lama makin akrab dengan wacana itu, dengan cara
mengembalikan (dengan segala keterbatasannya) teks Qur’an sebagai langue
menjadi parole bagi orang-orang yang hidup pada zaman sekarang ini.
Bagi
Arkoun, Qira’at juga dimaksudkan untuk memproduksi makna-makna yang berada di
balik teks harfiah, dengan cara mengungkap struktur bahasa mitis Al-Qur’an dan
melepaskannya dari jebakan bahasa logis dan logosentris.
Tampaknya,
bagi Arkoun, qira’at juga berarti menangkap pesan universal dan asas paling
primordial yang berada di balik semua Al-Kitab (selauruh kitab suci yang
diturunkan Allah kepada umat manusia lewat perantaraan para rasul-Nya), dengan
melakukan semacam ziarah spiritual vertikal melalui gerak-balik menaiki tangga
gerakan linear tanzil Al-Qur’an yang dikemukakannya, sampai pada Sabda atau
Kalam Allah yang tak terhingga, guna mendamaikan perang teologis yang terjadi
di antara masyarakat kitab. Karena itu, Arkoun menginginkan tafsirnya mampu
mengatasi masalah ketegangan klaim teologis ini:
Keinginan
kami adalah membuat mungkin suatu penanganan yang solider terhadap kitab-kitab
suci oleh orang-orang “ahlu kitab” Untuk itu kami mengajak pembaca untuk
membaca Al-Qur’an menurut aturan-aturan suatu metode yang dapat diterapkan
kepada semua teks doktrinal besar.[34]
D.
Cara Membaca Al-Qur’an Mohammed Arkoun
Aturan-aturan
metode Arkoun yang hendak diterapkannya kepada Al-Quran (termasuk kitab suci
yang lainnya) terdiri dari dua kerangka raksasa: 1. mengangkat makna dari apa
yang dapat disebut dengan sacra doctrina dalam Islam dengan menundukkan teks
al-Qur’an dan semua teks yang sepanjang sejarah pemikiran Islam telah berusaha
menjelaskannya (tafsir dan semua litaeratur yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an
baik langsung maupun tidak), kepada suatu ujian kritis yang tepat untuk
menghilangkan kerancuan-kerancuan, untuk memperlihatkan dengan jelas
kesalahan-kesalahan, penyimpangan-penyimpangan dan ketakcukupan-ketakcukupan,
dan untuk mengarah kepada pelajaran-pelajaran yang selalu berlaku;
2. Menetapkan suatu kriteriologi [35]yang didalamnya
akan dianalisis motif-motif yang dapat dikemukakan oleh kecerdasan masa kini,
baik untuk menolak maupun untuk mempertahankan konsepsi-konsepsi yang dipelajari.
Dalam
mengangkat makna dari Al-Qur’an, hal yang paling pertama dijauhi oleh Arkoun
adalah pretensi untuk menetapkan “makna sebenarnya dari Al-Qur’an. Sebab,
Arkoun tidak ingin membakukan makna Al-Qur’an dengan cara tertentu, kecuali
menghadirkan—sebisa mungkin—aneka ragam maknanya. Untuk itu, pembacaan mencakup
tiga saat (moment):
1. suatu saat linguistis yang memungkinkan kita untuk
menemukan keteraturan dasar di bawah keteraturan yang tampak.
2. Suatu saat antropologi, mengenali dalam Al-Qur’an
bahasanya yang bersusunan mitis.
3. Suatu saat historis yang di dalamnya akan akan
ditetapkan jangkauan dan batas-batas tafsir logiko-leksikografis dan
tafsir-tafsir imajinatif yang sampai hari ini dicoba oleh kaum muslim.[36]
1. Moment Linguistis Kritis
Pembacaan
linguistik dimulai dengan pengumpulan data-data linguistis dari Al-Qur’an
sebagaimana tertulis. Dalam tahap ini, misalnya, Arkoun memeriksa tanda-tanda
bahasa (modalisateur du dicours). Karena “kanon resmi tertutup” ditulis dalam
bahasa arab, maka tanda-tanda bahasa yang harus diperhatikan adalah tanda-tanda
(bahasa) bahasa arab. Menurut Arkoun, semakin kita menegaskan modalisateur du
discours, kita semakin memahami maksud (intention) dari locuteur (qo’il atau
penutur).
Untuk
memasuki proses pengujaran, di antara unsur-unsur linguistik yang diperiksa
biasanya adalah determinan (ism ma’rifah), kata ganti orang (pronomina,
dlomir), kata kerja (fi’il), sistem kata benda (ism dan musamma), struktur
sintaksis dan lain-lain. Pemeriksaan terhadap unsur-unsur linguistis ini
dimaksudkan untuk menganalisis aktan-aktan (actants), yaitu pelaku yang
melakukan tindakan yang berada dalam teks atau narasi. Dengan kategori aktan,
ujaran (Perancis enonce/Inggris utterance) dipandang sebagai suatu hubungan antara
berbagai aktan yang membentuknya. Atau,dalam kaca mata linguistik, ujaran mau
tidak mau harus dilihat dari dari kategori hubungan antar aktan. Dilihat dari
kategori ini, ada tiga poros hubungan antar-aktan. Poros Pertama dan yang
terpenting adalah poros subyek-obyek di mana orang dapat memeriksa “siapa”
melakukan “apa”. Poros kedua adalah poros pengirim-penerima yang menjawab
persoalan siapa melakukan dan untuk siapa dilakukan. Sedengkan poros ketiga
dimaksudkan untuk mecari aktan yang mendukung dan menentang subyek, yang berada
dalam poros “pendukung-penerima”. Ketiga pasangan aktan ini dapat membantu
pembaca untuk mengidentifikasi aktan dan kedudukannya. Aktan tidak selalu harus
berupa orang atau pribadi, tapi juga bisa berupa nilai. [37]
Dengan
kategori poros aktan pengirim-penerima, misalnya, Arkoun mengatakan bahwa Allah
adalah aktan pengirim-penerima; manusia sebagai pengujar adalah aktan
penerima-pengirim. Dalam kebanyakan surat Al-Qur’an, Allah adalah aktan
pengirim (destinateur) pesan, sementara manusia adalah aktan penerima
(destinaire) pesan. Akan tetapi hal sebaliknya juga bisa berlaku: manusia juga
menjadi “pengirim” dan Allah menjadi “penerima”. Analisis aktansial ini tidak
saja diterapkan pada tingkat sintaksis tapi juga terhadap seluruh teks sebagai
suatu kesatuan atau seluruh narasi.
Hasil
dari kritik linguistik di atas sebenarnya sudah banyak dipikirkan oleh para
mufassir klasik. Mereka mementingkan—dan sudah terbiasa dengan analisis
sintaksis. Tetapi bagi Arkoun lebih dari itu: pentingnya analisis linguistis
kritis ini terletak pada kemungkinan “mengungkapkan tatanan yang mendalam” yang
berada di balik penampakan teks yang seolah-olah tidak teratur.
2. Moment Antropologis: Analisis Mitis
Professor
linguistik dari Swis, J. Starobinski, mengartikan hubungan kritis sebagai “a
transcoding, a free transcription of various data presented in the ‘interior’
of the ‘text’”. Keberhasilan suatu kritik teks bukan terletak pada kemampuannya
untuk mengupas. Keberhasilannya harus diarahkan kepada hubungan-hubungan yang
ada pada teks yang tidak lain adalah “the driving force behind the text”
Asumsi
Starobinski ini terutama berlaku bagi penafsiran teks-teks keagamaan. Karena
analisis linguistis memberikan kesan yang determisnistis dan tidak mempunyai
piranti khusus bagi teks keagamaan. Arkoun telah berusaha melampaui
keterbatasan linguistik tersebut. Dalam hal ini, Starobinski telah memberikan
andil besar dalam usaha Arkoun untuk memberikan pertanggungjawaban metodologis.
Arkoun meninggalkan aras kritis dan analitis menuju aras relasional. Pada aras
ini, qira’at diarahbidikkan kepada signifie dernier, petanda terakhir. Dalam
rangka mencari petanda terakhir inilah Arkoun beranjak pada tahap (moment)
antropologis di mana ia memakai analisis mitis. Bila pada tahap
linguistis-kritis data linguistis pertama-tama dianggap sebagai “kata sebagai
tanda” (mot-signe), maka pada tahap antropologis data linguistik kemudian
dianggap sebagai “kata sebagai simbol” (mot-symbole). [38]
Menurut
Arkoun, semua ciri yang telah dikenal sebagai gaya bahasa mitis dalam Alkitab
dan Perjanjian Baru terdapat juga dalam Al-Qur’an. Gaya bahasa Al-Qur’an itu
adalah:
1. benar, karena gaya bahasa itu efektif mengenai
kesadaran manusia yang belum digalakkan oleh gaya bahasa mitis lain yang
membuka berbagai perspektif yang sebanding;
2. efektif, karena gaya bahasa itu menghubungkan
dengan waktu purba penciptaan dan karena gaya itu sendiri memulai suatu waktu
yang istimewa: waktu pewahyuan, kenabian Muhammad dan para sahabat yang solih (as-salaf
as-solih);
3. sepontan, karena gaya bahasa itu merupakan pancaran
terus menerus dari kepastian-kepastian yang tidak bersandarkan pada pembuktian,
melainkan pada keseuaian yang mendasar dengan semangat-semangat yang permanen
dalam kepekaan manusia;
4. simbolis, bisa dilihat dari simbol surga sebagai
“surga tuhan yang penuh dengan bidadari-bidadari yang merangsang birahi dan di
situ mengalir sungai-sungai anggur dan madu.
Dengan
suatu bangunan simbolis luas di atas, Al-Qur’an membanjiri hati nurani manusia.
Hingga hari ini bangunan simbolis luas itu tak henti-hentinya memberikan ilham
kepada orang-orang beriman untuk berpikir dan bertindak. Dalam Al-Qur’an
unsur-unsur bangunan simbolis itu adalah: a) “simbolisme kesadaran akan
kesalahan” yang oleh refleksi teologi, yuridis dan moral akan disederhanakan
dalam peraturan formal dan kaku; b) “simbolisme cakrawala eskatologis” yang
menugasi sejarah dengan satu makna, yakni pengarahan dan pemaknaan. Orang-orang
masuk Islam, dengan demikian, mendapatkan dirinya termasuk dalam Sejarah Sakral
dari umat Tuhan; sebagai agen-agen ungkapan terakhir Kehendak Sakral—Muhammad
telah menutup dengan pasti rangkaian para Rasul—mereka menjadi umat terpilih
yang mesti menunjukkan cakrawala keselamatan kepada orang-orang lain;
c)”simbolisme umat” yang menerjemahkan apa yang telah lalu dan menerima
proyeksi sejarah konkret di Madinah pada tahun 1H/622 M.;d)”simbolisme hidup
dan mati”.
Simbolisme-simbolisme
yang berbeda-beda di atas ini saling mengisi,saling memperkuat untuk membangun
suatu visi dari dunia yang benar, yakni suatu visi fungsional yang disesuaikan
secara sempurna dengan pencarian keselamatan kita. Untuk sekadar mengambil
contoh, simbolisme menyangkut kesadaran akan kejahatan tampak misalnya pada
surat Al-Fatihah dalam ungkapan iyyaka na’budu..., sirat mustaqim, magdlubi
alaihim, dlaallin dan lain-lain. Maka, dalam Islam khususnya, visi imajinatif
transhistoris akan mengalahkan visi metavisis yang merasionalkan.[39]
Analisis
simbolis ini memungkinkan bahasa keagamaan dapat menjadi bahasa performatif
atau bahasa yang mempunyai kekuatan kreatif (force effectuante). Ciri
performatif ini, yang memang merupakan ciri yang paling mencolok dalam bahasa
keagamaan, juga berlaku pada Al-Qur’an. Baginya, “wacana” performatif” adalah
“parole yang ‘mengatakan’ apa yang saya buat dan pada waktu yang bersamaan
merupakan parole yang membuat saya menyempurnakan atau menyelesaikan tindakan
saya”. Dengan demikian, wacana performatif bukanlah wacana tentang “tindakan”,
melainkan wacana yang diucapkan bersamaan dengan dilakukannya “tindakan”. Segi
performatif inilah yang memungkin Al-Qur’an menjadi parole bagi siapa saja yang
mengujarkannya sebagaimana ia dulu menjadi parole nabi Muhammad SAW. Ketika
kita membaca “ar rahman ar rahim, misalnya, kita tidak hanya mengatakan-- atau
membuat konstatasi tentang--suatu tindakan, melainkan juga sedang menciptakan
tindakan, entah itu pengharapan (mohon pengampunan dari ar rahman ar rahim),
pengakuan, penyerahan diri, permintaan kepada-Nya dan seterusnya.[40]
[1]Drs. Suadi Putro,MA, Mohammad Arkoun tentang Islam
dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 11-13.
[2]Haji Johan H. Meuleman, Nalar Islami dan Nalar
Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammed Arkoun, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor
4 vol. 1v 1993, h.94.
[3]Ibid.
[4]DRS. Suadi Putro, MA, Op. Cit., h. 18.
[5]Ibid., h. 17.
[6]Luthfi Asysyaukani, Tipologi Pemikiran dan Wacana
Arab Kontemporer, dalam jurnal Pemikiran Islam vol. I nomor 1, Juli-Desember
1998., h. 62-63.
[7]Johan Hendrik Meuleman, op. cit. H. 12-13.
[8]Ibid., lihat juga Wawancara dengan Mohammed Arkoun,
Op. Cit h. 158-159
[9]Drs. Suadi Putro, MA, Op. Cit., h. 18-19. Lihat
juga Johan Hendrik Meuleman, Op. Cit., h. 94.
[10]Luthfi Assyaukany, ”Islam dalam Konteks Pemikiran
Pasca-Moderne: Pendekatan Menuju Kritik Akal Islam”, dalam jurnal Ulumul
Qur’an, nomor 1, vol. V 1994, h. 25.
[11]Ibid.
[12]Ibid.
[13]Ibid., h. 26.
[14]Mohammed Arkoun, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam
Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994, h. 157.
[15]Mohammed Arkoun, ”Menuju Pendekatan baru Islam”,
dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 7 vol II 1990, h. 82-83.
[16]Ibid.,
[17]Penjelasan konsep ini bisa dilihat dalam Johan
Hendrik Meuleman, “Takarir”, dalam Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar
Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, (Jakarta: Inis, 1995), h. 316.
[18]Dikutip dari Farid Esack, Qur’an, Liberation and
Pluralism: An Islamic Perspective of Interriligious Solidarity against
Oppression, (Oxford: Oneworld, 1997), h. 69.
[19]Mohammed Arkoun, “Metode Kritik…”, Op. Cit., h.
158-159.
[20]Ibid.,
[21]St. Sunardi, Membaca Qur’an bersama…, dalam Johan
Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan
Pemikiran Mohammed Arkoun, (Yogyakarta: LkiS, 1996), h. 60.
[22]Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an,
(Jakarta: INIS, 1997), h. 48.
[23]Muhammed Arkoun, “Menuju Pendekatan Baru Islam”,
dalam jurnal Ulumul Qur’an, Op. Cit., h.85.
[24]Tentang kerangka berpikir demikian misalnya, lihat
St. Sunardi Op. Cit., h. 57-96.
[25]Tentang arti dan tafsir nama-nama di atas, lihat
Badruddin Muhammad ibn Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fii Ulumil Qur’an,
(Beirut: Darul Fikr, 1988), J. I, h. 343-353.
[26]Johan Hendrik Meuleman, “Riwayat Hidup dan Latar
Belakang Mohammed Arkoun”, dalam Mohammed Arkoun, Nalar Islami …, op.cit. , h.
26.
[27]Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan…, Op. Cit., h.
4-6.
[28]Dikutip dari St. Sunardi, Membaca Qur’an…, Op.
Cit., h. 64.
[29]Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan…, Loc. Cit.
[30]Johan Hendrik Meuleman, “Riwayat Hidup dan…”,dalam
Mohammed Arkoun Nalar Islam dan…, Op. Cit., h. 26.
[31]Ibid.
[32]Itilah parole dan langue dipinjam dari Bapak
perintis semiotika dari Swis (1857-1713). Dalam seluruh gejala kebahasaan—ia
menyebutnya langage—perlu dibedakan dua segi: sistem kebahasaan yang disebutnya
sebagai langue dan pemakaian bahasa dalam ungkapan-ungkapan nyata yang
disebutnya sebagai parole. Dengan kata lain, parole adalah penggunaan bahasa
secara individual. Penutur seolah-olah memilih unsur-unsur dari “kamus” umum
(langue) tersebut. Menurut St. sunardi, secara implisit dapat ditangkap bahwa
langue dan parole beroposisi, tetapi sekaligus juga salingttergantung. Itu
berarti bahwa tidak ada yang lebih utama. Di satu pihak sistem yang berlaku
dalam langue adalah hasil produksi dari kegiatan parole, dan di lain pihak
pemahaman parole serta pengungkapannya hanya mungkin lewat dan dalam langue
sebagai sistem. Lihat St. Sunardi, Op. Cit., h. 65., dan Johan Hendrik
Meuleman, “Riwayat Hidup…”, Op. Cit, h. 14.
[33]Asimptotis (asymtotique) adalah semakin mendekati,
tetapi tidak pernah mencapai seluruhnya. Istilah in di ambil dari kosa kata
matematika. Lihat Muhammad Arkoun, berbagai pembacaan…op. cit., h. 244.
[34]Ibid., h. 50.
[35]Kriteriologi (kriteriologi) adalah himpunan dari
berbagai kriteria atau ukuran (critere); Arkoun mengatakan misalnya, semua teks
arab dari abad pertengahan mematuhi kriteriologi yang ketat, yaitu himpunan
keyakinan yang membentuk berbagai praanggapandari setiap tindak pemahaman pada
periode tersebut. Lihat Ibid., h. 248.
[36]Ibid., h. 51.
[37]St. Sunardi, Op. Cit., h. 72-73.
[38]Untuk menghindari terjadinya kebingungan dan
kerancuan mengenai alur pemikiran Arkoun, di sini perlu diuraikan secara
singkat pengertian mengenai tanda (sign), simbol (symbol) dan mitos (myth).
Tanda adalah segala sesuatu yang menunjuk di luar dirinya. Lima huruf r,u, m,
a, dan h adalah tanda yang bisa menunjuk (designare) sesuatu di luar dirinya,
yaitu rumah dalam realitasnya. Simbol juga semacam tanda. Setiap simbol adalah
tanda,tetapi tidak setiap tanda simbol. Sebab, simbol mempunyai ciri khas:
rujukan ganda. Merah misalnya, tidak saja berarti merah buat darah, tapi juga
untuk simbol keberanian. Maka. Merah menjadi simbol karena memiliki rujukan
ganda. Mitos adalah mirip simbol. Mitos adalah sejenis simbol yang diungkapkan
dalam kisah atau cerita, yang terjadi dalam waktu dan tempat. Mitos adalah
wahana orang untuk bisa cerita tentang kehidupan eksistensial dirinya sendiri,
masyarakat, alam yang mendalam dan rumit. Karenanya, struktur cerita mitis
sangat kental dan sublim. Lihat St. sunardi, Op. Cit., 81-82.
[39]Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan…, Op.Cit., h.
57-60.
[40]St. Sunardi, op.cit., h. 87-88.