Oleh Pradana Boy ZTF
25/08/2002
POSISI
wahyu dalam Islam sangatlah sentral. Berdasarkan kondisi historis maupun
normatif, posisi wahyu itu demikian penting dalam mengarahkan, membimbing, dan
meletakkan dasar relasi antara manusia dengan realitas transenden yang
diyakininya. Wahyu pulalah yang mampu menjadi mediasi strategis bagi proses
komunikasi ilahiyah antara manusia dengan Tuhannya.
Dalam
tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber pengetahuan
(Bakar, 1997). Pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki status
yang spesifik, karena seorang penerima pengetahuan melalui wahyu adalah orang
yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering diistilahkan dengan Nabi.
Sementara manusia biasa menerima keberadaan wahyu sebagai rukun iman yang harus
dipercayai secara taken for granted, para filosof berusaha untuk mendudukkan
wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara teoretis. Atas dasar
asumsi inilah, tulisan ini bermaksud mengkaji dimensi-dimensi filsafat dalam
wahyu.
Dalam
filsafat ilmu terdapat dua aliran yang sering dianggap sebagai cara yang
dikotomik dalam memperoleh pengetahuan: rasionalisme di satu sisi, dan
empirisisme di sisi yang lain. Aliran pertama lebih menekankan pada dominasi
akal dalam memperoleh pengetahuan, sementara yang kedua lebih mengakui
pengalaman sebagai sumber otentik pengetahuan (Bahm, 1990). Kedua aliran ini,
dengan sendirinya, secara ekstrim tidak mengakui realitas lain di luar akal dan
pengalaman atau fakta. Wahyu sebagai sebuah realitas di luar realitas itu,
dengan demikian, tidak diakui sebagai sumber pengetahuan.
Islam
sebagai sebuah agama yang menekankan keseimbangan, tidak memihak atau menolak
salah satu aliran itu secara ekstrim. Bahkan, Islam menawarkan satu konsep
epistemologi moderat yang sering disebut oleh Kuntowijoyo (1997) sebagai
epistemologi relasional. Konsep ini, jelas Kunto, bermaksud menggabungkan akal,
pengalaman dan wahyu dalam satu hubungan dialektik yang tidak pernah putus.
Wahyu sebagai respon ilahiyah terhadap persoalan kemanusiaan, lahir dalam satu
kondisi historitas tertentu (Zaid, 2001). Tesis ini juga dengan sangat optimis
dipegang oleh Thaha Hussein yang membagi wahyu kepada dua dimensi: the first
massage di satu sisi, dan the second massage, di sisi lain.
Semua
penjelasan ini mengemukakan bahwa wahyu tidak berdiri sendiri dalam mengatasi
persoalan kemanusiaan. Intervensi akal menjadi hal yang tidak bisa dihindari
dalam menerjemahkan "kemauan" wahyu yang seringkali -atau bahkan selalu-
turun dengan rumusan-rumusan bahasa langit. Intervensi akal kemanusiaan inilah
yang menghubungkan wahyu dengan fakta dan realitas historis yang dihadapi.
Peristiwa Tahkim yang mengakhiri peperangan kelompok Ali dan Mu'awiyah, yang
kemudian diselewengkan oleh Muawiyah sebagai bentuk penyerahan kekuasaan oleh
Ali kepadanya, menjadi satu bukti historis bahwa wahyu sangat terbuka terhadap
interpretasi kemanusiaan, bahkan ketika interpretasi itu menyesatkan. Itulah
al-Qur'an, kata Ali, yang hanya bisa bicara ketika manusia menafsirkannya.
Al-Farabi
ketika menjelaskan tentang wahyu menuliskan bahwa ketika seorang Nabi menerima
wahyu, setidaknya ada tiga jenis intelek yang dilibatkan: Pertama, intelek
aktif, yakni satu entitas kosmik yang bertindak sebagai perantara transenden
antara Tuhan dan manusia. Kedua, adalah intelek perolehan (al-'aql al-mustafad)
yang diperoleh Nabi hanya jika jiwanya bersatu dengan intelek aktif. Dalam
persenyawaan ini, tulis Osman Bakar, intelek perolehan menerima pengetahuan transenden
dari intelek aktif. Ketiga, adalah intelek pasif (al-aql al-munfail) yang
merupakan kondisi intelek penerimaan wahyu secara umum.
Wahyu
yang diterima oleh para Nabi, menurut Abdul Kalam Azad, bukanlah sesuatu yang
baru, melainkan pesan-pesan yang pernah diberikan kepada para Nabi
pendahulunya. Muhammad, tulis Azad, tidak datang dengan pesan-pesan baru,
melainkan dengan pesan-pesan yang sama seperti yang pernah diterima oleh Nabi
Adam, Nuh, Ya'kub, Ismail, Yusuf, Sulaiman, Daud, Musa, Isa dan Nabi-nabi lain
yang diutus di seantero dunia ini. Meskipun ada di antara Nabi-nabi itu yang
disebutkan dalam al-Qur'an dan tidak, tetapi pesan yang mereka bawa adalah
sama, yakni kepercayaan kepada Tuhan dan melakukan kebaikan (ma'ruf) serta
menghindari kemungkaran (munkar) dan agama adalah jalan yang tepat untuk menuju
semuanya.
Tesis
Azad ini, mengingatkan kepada konsep kekekalan ide dalam filsafat. Bahwa
konsep-konsep filosofis yang pernah digagas oleh Aristoteles misalnya,
memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam tradisi pemikiran umat Islam. Para
filosof Muslim yang menganggap Aristoteles sebagai "guru pertama"
(al-mu'allim al-awwal) menunjukkan pengaruhnya yang besar kepada jalan pikiran
para filosof Muslim (Nurcholish, 2000: 226). Kuatnya pengaruh Aristoteles dalam
tradisi pemikiran filosof muslim itu makin tegas ketika, Al-Farabi dikukuhkan
sebagai "guru kedua" (al-mu'allim al-tsani) setelah Aristoteles.
Dengan
demikian, wahyu sebagai guidance bagi umat beragama dalam kehidupannya harus
selalu terbuka terhadap intervensi kemanusiaan dan penjelasan akal. Tradisi
hermeneutika sebenarnya lahir untuk menjembatani manusia membongkar
dimensi-dimensi filosofis yang terkandung dalam wahyu. Wahyu tidak tertutup
bagi penjelasan-penjelasan filosofis yang memihak manusia, justru akan menjadi
persoalan ketika penjelasan filosofis wahyu memenangkan kehendak Tuhan dengan
mengabaikan kepentingan kemanusiaan.
Walaupun
wahyu sering disepadankan dengan agama, dan akal disepandankan dengan filsafat,
bukan berarti tidak ada kemungkinan untuk mempertemukannya. Dalam hal ini,
al-Farabi bahkan meyakini bahwa agama adalah tiruan dari filsafat. Ketika
seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya,
jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya,
dan pembenaran atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi
tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut
dengan filsafat. Tetapi jika gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya
lewat kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran
atas apa yang dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif,
maka pengetahuan yang dihasilkannya disebut dengan agama.
Tantangan
menyelaraskan penafsiran wahyu dengan dinamika zaman yang makin mekanistis ini,
jelas menuntut satu penelusuran serius terhadap dimensi-dimensi filosofis dalam
wahyu. Penelusuran inilah yang akan mengantarkan umat Islam memandang adil
terhadap wahyu: menjadikan wahyu sebagai pedoman kehidupan beragama, sekaligus
sebagai sumber inspirasi pembangunan keilmuan dan peradaban Islam yang saat ini
tengah dirindukan kembali kejayaannya. Wallahu a'lam bi al-Shawwab.