Oleh Ulil Abshar-Abdalla
06/12/2004
Prof. Fathi Osman.
Orang ini selalu memukau saya. Dia selalu berbicara dengan tenaga ganda:
sebagai seorang intelektual dan seorang aktivis, kombinasi yang amat jarang.
Dia selalu tampil sederhana, dengan peci Pakistan yang di sini dikenal sebagai
"peci Ali Jinnah".
Dalam suatu forum
diskusi di Islamabad, saya sempat berdampingan dengan pemikir gaek yang menjadi
"roh" jurnal kondang Arabia yang kini sudah almarhum, Prof. Fathi
Osman. Orang ini selalu memukau saya. Dia selalu berbicara dengan tenaga ganda:
sebagai seorang intelektual dan seorang aktivis, kombinasi yang amat jarang.
Dia selalu tampil sederhana, dengan peci Pakistan yang di sini dikenal sebagai
"peci Ali Jinnah".
Tubuhnya sudah
mulai merosot, tetapi energi intelektualnya terlalu kuat untuk dikalahkan
kelemahan fisiknya. Dia masih bertenaga untuk terbang beribu-ribu mil dari
kediamannya di Virginia, via Los Angeles, ke Islamabad. Ke mana-mana, dia
selalu didampingi isterinya yang raut wajahnya mengingatkan saya pada seorang
feminis moderat di Indonesia, Ratna Megawangi.
Isterinya tidak
memakai "jilbab kaffah" yang membuntal seluruh tubuh, seperti umumnya
perempuan Arab, tetapi kerudung biasa, seperti perempuan-perempuan Melayu. Ini
menunjukkan bahwa Fathi Osman melihat jilbab sebagai salah satu kemungkinan
berpakaian a la Islam, bukan satu-satunya.
Dalam sebuah
wawancara di TV Pakistan, dia pernah mengatakan bahwa stagnasi dalam tubuh umat
Islam harus dilihat sebagai gejala yang saling kait berkelindan. Stagnasi, jika
terjadi pada satu titik dalam tubuh suatu umat, akan menjalar ke mana-mana. Ia
seperti kanker yang merembet dari satu bagian ke bagian yang lain.
Begitulah, kita
melihat stagnasi dalam tubuh umat Islam, bukan saja dalam struktur politik dan
ekonomi, tetapi juga merembet ke ranah pemikiran dan pemahaman agama, cara
beribadah, arsitektur masjid dan musalla, cara umat Islam bercakap-cakap antar
mereka, artikulasi intelektual, ekspresi artistik, dan seterusnya.
Dalam bagian lain,
Osman juga mengatakan bahwa dalam stagnasi semacam ini, agama tidak bisa begitu
saja diharapkan mampu menjadi mukjizat yang akan menyelamatkan keadaan. Pesan
agama agar bisa mengubah keadaan, juga harus didukung oleh kondisi-kondisi
objektif yang dapat mendukungnya. Jika tidak, maka pesan itu akan hilang,
menguap begitu saja. Agama tidak bisa dipersalahkan sebagai kambing hitam untuk
segala hal.
Bagian yang saya
suka dari ceramah Osman adalah pendapatnya tentang salah satu kelemahan umat
Islam sekarang. Kelemahan itu menurutnya antara lain, tekanan yang begitu
berlebihan kepada hal-hal yang bersifat lahiriah dari agama sembari mengabaikan
hal-hal yang lebih substansial, esensial.
Dalam diri Osman,
saya melihat iman dan komitmen keislaman yang tinggi, pemahaman tentang Islam
yang mendalam, serta penguasaan alat-alat artikulasi kontemporer yang
memungkinkan dia untuk berbicara tentang Islam "on equal footing"
dengan masyarakat dunia sekarang.
Di Islamabad, saya
berjumpa dengan banyak intelektual dan aktivis muslim yang memiliki
keprihatinan yang sama dengan teman-teman Islam liberal di Indonesia. Bersama
mereka saya merasa bahwa, "our cause" tidaklah sesuatu yang
diperjuangkan secara soliter oleh segelintir orang. Banyak orang sedang
berjuang menegakkan corak baru Islam di mana-mana.
Hanya saja,
pertanyaan yang dengan perih menguling dalam hati saya adalah: mengapa kelas
intelektual ini hanyalah kaum minoritas yang tergantung di "awan",
tidak bersambung dengan massa yang luas di dunia Islam. Mereka umumnya hidup di
akademia, di ruangan yang sepi, jauh dari gemuruh dunia. Kita tahu, masjid dan
musalla, dua saluran paling efektif untuk mengubah kesadaran umat, masih
dikuasai oleh kaum bigot yang konservatif.
Saya masih berharap
akan kebenaran "wisdom" berikut ini: setiap ide akan menemukan
kakinya sendiri. Sayangnya, Fathi Osman tinggal di Virginia, tidak di Kebayoran
Baru, sembari berkhutbah untuk umat di Masjid al-Azhar peninggalan Buya Hamka.
[Ulil Abshar-Abdalla]