Oleh
Luthfi Assyaukanie
17/01/2005
Kaum muslim yang
memimpikan keberhasilan wisata di daerah mereka (baik di Ternate, Tidore,
Lombok, ataupun kawasan lainnya) sudah semestinya belajar dari orang-orang Bali
yang sangat toleran dan secara sadar mau menerima berbagai konsekwensi dari
indutri ini. Tanpa toleransi, keinginan akan sebuah industri turisme yang
berhasil tak akan terwujud.
Dalam suatu
kesempatan, saya pernah berkeliling ke beberapa tempat di Indonesia yang
memiliki kawasan alam yang indah dan menjadi tujuan para turis. Di antara tiga
tempat yang saya kunjungi adalah Ternate-Tidore, Bali, dan Lombok. Ketiga
tempat ini, selain memiliki kawasan wisata yang indah juga dikenal sebagai
tempat bersejarah.
Ternate-Tidore adalah
dua kerajaan Islam besar pada masa silam dan dua tempat yang menjadi perebutan
kekuasaan pelaut-pelaut Eropa. Bali dan Lombok juga merupakan tempat bersejarah
yang merupakan salah satu pusat peradaban Hindu di masa silam.
Menarik untuk
dicatat bahwa di antara tiga kawasan wisata itu, Bali merupakan kawasan wisata
yang paling berhasil dan paling banyak mengeruk devisa bagi pemerintah lokal
dan pusat. Sementara kedua kawasan wisata lainnya, yakni Ternate-Tidore dan
Lombok kurang berhasil. Bahkan keberhasilan Lombok sepenuhnya bukan karena
dirinya sendiri, tapi karena imbas dari wisatawan yang berkunjung ke Bali.
Mengatakan Bali
berhasil karena faktor Hindu dan Ternate-Tidore serta Lombok gagal karena
faktor Islam mungkin sebuah penyederhanaan persoalan. Tapi, saya kira, faktor
agama ini cukup penting dalam mempengaruhi nasib dan masa depan sebuah kawasan
turisme.
Ambillah
Ternate-Tidore sebagai contoh. Beberapa penduduk di sana yang saya temui
mengharapkan kalau dua pulau ini bisa menjadi kawasan wisata yang berhasil.
Tapi ketika saya tanyakan adakah sebuah bar atau kafe untuk para turis asing,
salah seorang mengatakan: “dulu ada, tapi semuanya sudah dihancurkan. Baru-baru
ini ada satu kafe didirikan, tapi masih takut beroperasi.” Menurutnya, yang
menghancurkan kafe-kafe itu adalah kelompok Islam model FPI (Front Pembela
Islam) yang alergi terhadap tempat-tempat maksiat.
Kafe atau bar itu
mungkin satu persoalan kecil. Tapi, ia menjadi bagian penting dari industri
turisme. Apalagi kalau target turisme adalah wisatawan asing, keberadaan kafe
dan berbagai asesorinya merupakan hal yang tak terelakkan. Sebetulnya kalau mau
jujur, pengguna kafe juga bukan hanya turis asing. Wisatawan lokal dan penduduk
setempat juga banyak yang menyukai kafe dan bar.
Penolakan terhadap
kafe atau bar jelas berangkat dari ketakutan dan kebencian berlebihan terhadap
apa saja yang dicurigai sebagai “maksiat.” Takut atau benci bukanlah sesuatu
yang dilarang. Tapi, mengumbar ketakuan dan kebencian dengan cara-cara
kekerasan, apalagi merusak, jelas akan menghancurkan semua tatanan kehidupan.
Kaum muslim yang
memimpikan keberhasilan wisata di daerah mereka (baik di Ternate, Tidore,
Lombok, ataupun kawasan lainnya) sudah semestinya belajar dari orang-orang Bali
yang sangat toleran dan secara sadar mau menerima berbagai konsekwensi dari
indutri ini. Tanpa toleransi, keinginan akan sebuah industri turisme yang
berhasil tak akan terwujud.
Menurut saya,
kemaksiatan bukanlah sesuatu yang harus dilarang atau apalagi ditumpas habis.
Kemaksiatan adalah unsur intrinsik dalam diri manusia. Ia sama tuanya dengan
usia manusia. Kita semua belajar maksiat dari Adam dan Hawa, ibu-bapak semua
umat manusia. Dan para Nabi juga tak maksum dari kemaksiatan (nabi-nabi agung
seperti Nuh, Luth, dan Ibrahim, semuanya pernah bermaksiat kepada Allah).
Yang perlu
dilakukan adalah membuat aturan dan meregulasi “maksiat.” Minuman keras tak
boleh dilarang, tapi diberikan tempat-tempat khusus bagi orang-orang yang ingin
meminumnya. Prostitusi tak boleh dimusuhi. Tapi diberikan tempat atau
lokalisasi yang wajar. Yang diperlukan di sini bukanlah sikap benci dan
permusuhan, tapi toleransi dan kerendahan hati.
Di setiap
peradaban, minuman keras (khamriyat) dan prostitusi (harem) menjadi bagian dan
pernik yang tak terhindarkan, termasuk dalam peradaban Islam di masa silam.
Kehidupan manusia bukan melulu tentang kitab suci, shalat, dan mengaji.
Meminjam ungkapan seorang teman, sebagaimana energi kesalehan harus disalurkan,
energi kemaksiatan juga harus diberi saluran, agar tidak meledak dan tercecer
di sembarang tempat. (Luthfi Assyaukanie)