Filsafat; Sebuah Keniscayaan Sejarah? (Sebuah Pengantar)

Filsafat; Sebuah Keniscayaan Sejarah?

(Sebuah Pengantar)


            Gerakan renaissance di Eropa lahir karena dorongan semangat yang berkobar-kobar dari kelompok kaum seniman, intelektual, dan politisi yang memelopori kebebasan berpikir dan berbuat tanpa pembatasan apapun. Gerakan mereka didorong oleh kenyataan yang mereka saksikan sehari-hari betapa ajaran dan pengaruh Gereja hanya kekangan-kekangan yang membelenggu kemerdekaan berpikir. Mereka memandang Agama di Eropa (Kristen) dengan penilaian penuh ejekan, Agama dalam pandangan mereka tak lebih hanya seperangkat rangkaian dogma-dogma yang disusun bagaikan bunga rampai yang indah dipandang, akan tetapi menghanyutkan orang banyak menjadi lalai dan beku, pasrah terhadap apa yang hendak terjadi. Bahkan kalangan mereka yang ekstrim memandang Agama dalam praktek sehari-hari di kalangan rakyat sebagai hasil meninabobokan atas nama “kerajaan di langit”, menjadi alat orang-orang kaya, tuan-tuan tanah serta kaum feodal yang memerintah secara absolut.


       Akan tetapi, para penganjur renaissance itu juga menyadari, bahwa kebebasan berpikir itu haruslah dilandasi oleh nilai “kekayaan batin” untuk tujuan idealisme. Kebebasan berpikir tanpa idealisme adalah sia-sia. Mereka mendambakan nilai “rohani”, akan tetapi bukan Agama. Sebagai contoh, mereka mencita-citakan suatu keadilan, persamaan dan perdamaian yang mereka kategorikan sebagai idealisme. Namun idealisme itu sendiri tidak mungkin bisa dijawab oleh hasil-hasil pemikiran semata sekalipun sebagaimana bebasnya kemerdekaan berpikir itu. Sebab itu mereka memerlukan motivasi yang bernilai “rohani”, akan tetapi, sekali lagi, bukanlah Agama.


            Sebab itu mereka mencari pelarian kepada filsafat! Tentang filsafat yang mana? Mereka menampilan suatu kriteria, bahwa filsafat yang hendak mereka jadikan tempat pelarian itu mereka beri nama “Modern Philosophy” atau “Filsafat Baru”. Mereka jadikan “filsafat baru”-nya itu sebagai tonggak kelahiran renaissance itu sendiri. Mereka bagi-bagi periode filsafat menjadi beberapa periode yang dimulai dengan apa yang mereka namakan “Humanistic Period” yang berlangsung antara tahun 1453 hingga tahun kematian Bruno pada tahun 1600. Dengan lain perkataan, bahwa “Filsafat Baru” adalah “Periode Kemanusiaan” sebagai landasan gerakan kebebasan berpikir.




Memahami Urgensi Filsafat




Filsafat atau falsafah, kadang disebut falsafat atau falsafah, adalah terjemahan dari philosophy atau philosophia. Bermacam orang menyebutnya dan beragam pula orang mengartikannya, namun tidak diketemukan definisinya yang seragam. Dalam uraian yang terbatas ini tentu tidak mungkin dijelaskan apa sebenarnya filsafat itu dengan berbagai definisinya yang berbeda-beda. Akan tetapi sekedar pengertian pokoknya sebagai berikut : Berpangkal dari kata “philosophia” dalam bahasa Yunani, yang berarti, cinta akan kebijaksanaan, atau arti yang lain, ilmu pengetahuan secara umum yang tiada batas. Juga berhubungan dengan tingkat pengalaman manusia yang semakin bertambah, dan notabene itu merupakan asal diketemukan ilmu pengetahuan. Maka dengan pengalaman-pengalaman yang beraneka macam itu menggiring pengelompokan ilmu pengetahuan ke dalam berbagai kelompok ilmu, sehingga tiap bidang melahirkan cabang ilmu pengetahuan tersendiri.


            Dengan timbulnya berbagai cabang ilmu pengetahuan itu, dengan sendirinya semakin menjadi sempitlah batas definisi filsafat. Lama kelamaan filsafat mengambil peran sebagai pengetahuan yang menelaah masalah-masalah khusus yang tidak dapat diselesaikan pemecahannya oleh suatu ilmu pengetahuan. Misalnya mengenai penelaahan terhadap logika (ilmu pengetahuan mengenai hukum-hukum dan metode-metode berpikir yang bisa diterjemahkan ke dalam bentuk kata-kata, atau lazim pula disebut: manthiq), terhadap metafisika (metaphysica, artinya: ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang berada di luar alam semesta yang tidak terjangkau oleh pengalaman manusia atau dalam istilah filsafat disebut transenden), terhadap etika (ilmu tentang bagaimana sepantasnya perilaku seseorang dalam pergaulan umat manusia, atau tingkah laku yang dipandang baik dan buruk), terhadap estetika (ilmu tentang kecantikan yang terdapat dalam sesuatu keindahan dalam seni dan seniman, dengan ukuran bahwa belum tentu yang kita sebut bagus itu cantik dan indah. Bahkan menurut Dostojewski (1821-1881), sesuatu yang indah namun menyedihkan itu justru letaknya “keindahan”), terhadap psikologi (ilmu tentang kejiwaan), terhadap fisika (physica, ilmu tentang alam semesta), terhadap hukum, sejarah, dan masih banyak lagi pengelompokan ilmu pengetahuan yang menjadi penelaahan dunia filsafat. Yang tidak kurang-kurang pentingnya ialah penelaahan filsafat tentang apa hidup itu dan bagaimana pula cara sebaiknya menetapkan sikap terhadap hidup itu sendiri.


            Sikap pokok dari pada alam filsafat ialah, bahwa para filosof atau filsuf dalam membentangkan pikiran bebasnya mempunyai kemerdekaan yang mutlak, baik mengenai alam semesta (makro-kosmos) maupun alam manusia (mikro-kosmos). Tetapi mengenai alam metafisika, seperti yang dikatakan oleh Immanuel Kant (1724-1804) pemikiran mengenai hal tersebut adalah spekulasi, karena manusia hanya dapat mengetahui apa yang dialaminya. Terutama hakikat dari suatu benda yang terkait dengan pengalaman manusia. Karena itu, metafisika adalah suatu pengetahuan yang boleh dibilang mustahil karena kesanggupan akal manusia hanya meliputi alam kenyataan. Berhubungan dengan itu, maka menurut Immanuel Kant, Tuhan hanyalah suatu ide atau pikiran yang bersifat inteligible (hanya dapat dipahami dengan akal), artinya, pengertian Tuhan tidak berdasarkan realitas.


            Oleh karena itu filsafat bersumber pada pemikiran bebas, maka kita akan menjumpai perbedaan definisi yang akibatnya masing-masing pihak memanjang-manjangkan uraiannya mengenai filsafat. Dengan demikian, maka semakin diketemukan hal-hal baru yang masih gelap, dan yang gelap itu mengundang pemikiran lebih lanjut dan menemukan hal-hal yang baru pula, hingga pernah dikatakan oleh seorang ahli filsafat sendiri, semakin diselami dengan akal pikiran sedalam-dalamnya semakin banyak yang belum diketahui!


            Dimulai dengan pemikiran tentang What can I do? What ought I to do? What my I hope? (Apa yang bisa saya ketahui, apa yang seharusnya saya kerjakan, apa yang boleh saya harapkan), maka filsafat memulai pembahasannya tentang perkembangan pemikiran umat manusia sejak sejarah mengenal pemikiran-pemikiran zaman purba. Tepatnya sejak zaman Babylonia (2400 tahun sebelum Nabi ‘Isa), zaman Assyria (700 tahun sebelum Nabi ‘Isa), lalu disusul zaman Thales Anaximander (600 tahun sebelum Nabi ‘Isa), Heraclitus-Parmenides-Zeno (500 tahun sebelum Nabi ‘Isa), Socrates – Plato – Aristoteles (425-350 tahun sebelum Nabi ‘Isa), dalam nama dunia filsafat menemukan bentuknya sebagai asas berpikir secara bebas, yang oleh mereka dirumuskan sebagai berpikir bebas demi kecintaan kepada menemukan kebenaran dan kebijaksanaan.


            Akan tetapi, apakah itu kebenaran dan kebijaksanaan? Di situlah dunia filsafat menghadapi batas jangkauan pemikirannya tatkala memasuki dunia metafisika yang hanya bisa dijawab oleh agama. Karena filsafat bersumber pada pemikiran, sedang hasil pemikiran adalah hasil dari pengalaman, maka pengalaman manusiang hasil pemikiran adalah hasil dari pengalaman, maka pengalaman manusia tentang kebenaran dan kebijaksanaan itu terbentur pada kaidah-kaidah yang tak dijangkau oleh kesanggupan nalar manusia. Walaupun pada akhirnya lahir ahli-ahli filsafat di abad-pertengahan hingga mutakhir seperti : Francis Bacon(1561-1626), Galileo Galilei (1564-1642), Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), Isaac Newton (1642-1727), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776), Baron de La Brede et de Montesquieu (1789-1755), Adam Smith (1723-1790), Jean Jacques Rousseau (1712-1778), Immanuel Kant (1724-1804), G.W.F Hegel (1770-1831), Sir William Hamilton (1788-1856), Auguste Comte (1798-1857), Charles R. Darwin (1809-1882), Herbert Spencer (1820-1903), Karl Marx (1818-1883), Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), Bertrand A.W. Russel (1872), dan lain-lain termasuk pula seorang yang banyak dikagumi dalam abad 20 ialah Albert Einstein (1879-1955) yang oleh Albert E. Avey dikatakan: He supported the Zionist plan for a homeland for Jews (Penyokong rencana gerakan Zionis untuk sebuah tanah air bagi Yahudi).


            Dari mereka itu, lahirlah aliran-aliran yang beraneka ragam dalam filsafat. Menjadi kenyataan bahwa filsafat secara entitas dan definisi satu akan tetapi didapati bermacam-macam alirannya maupun pengaruhnya. Sebagaimana filsafat purba mempunyai perbedaan menganalisa sesuatu dan dengan sendirinya menghasilkan kongklusi yang berbeda pula mengenai asal kejadian alam. Sebagian ahli filsafat mengatakan bahwa udaralah asal kejadian alam, sebagian lagi mengatakan api dan yang lain berpendapat air. Demikian pulalah tentang proses kejadian itu sendiri maka dalam dunia filsafat berlaku suatu hukum kaidah bahwa tak ada yang diam dan tenang karena segalanya diproses oleh gerak dan hukum harakat. Segala yang bernama permulaan adalah awal dari suatu akhir, karena tiap kelahiran telah mengandung proses kematian. Hukum demikian berlaku bagi makro-kosmos maupun mikro-kosmos.


             Akan tetapi ada filsafat lain yang mengatakan sebaliknya. Bahwa segalanya adalah berhenti. Sampai apa saja yang dikatakan bergerak sekalipun, pada hakikatnya juga berhenti. Sebagai contoh diambil sebuah misal, bahwa sebuah anak panah yang dilepaskan dari busurnya, sebenarnya tidaklah bergerak, akan tetapi berhenti atau diam. Sebab menurut analisa filsafat, pada setiap saat biarpun seper-seribu detik sekalipun, anak panah yang dilepaskan dari busurnya itu berada pada satu tempat. Berada pada satu tempat itu hakekatnya adalah berhenti atau diam. Itulah aliran dialektika dalam filsafat, suatu aliran ilmu tentang logika untuk berpikir sedalam-dalamnya dengan menemukan setiap pengertian mengandung perlawanan, dan tiap kesimpulan mengandung kebalikannya pula.


            Dari filsafat di atas diketemukan suatu hukum-kaidah, bahwa segala yang ada itu senantiasa mengalami proses bersatu dan bercampur untuk berpisah. Bercampur sesama jenisnya dan berpisah untuk membentuk jenis-jenis lain yang pada akhirnya juga menjadi lenyap lalu timbul untuk pada akhirnya lenyap kembali. Mengapa demikian? Karena ditentukan oleh “kodrat”-nya sendiri. Dari mana “hukum kodrat” itu? “Kodrat” itu menurut filsafat tersebut telah ada atau hinggap di dalam bentuk itu sendiri yang menghendaki bersatu dan berpisah. Atau dengan perkataan lain, bendalah yang menciptakan dirinya sendiri, lalu bercampur dan berpisah karena “kodrat”nya sendiri. Sebab itu alam ini hanya terdiri dari benda-benda atau materi-materi, yang semuanya berasal dari benda yang amat terkecil hingga tak bisa dibagi. Benda itu bernama “atom”, berasal dari perkataan “a” yang artinya “tidak” dan “tom”; artinya “terbagi”.


             Demikianlah maka timbul aliran filsafat Heraclitus (533-475 sebelum Nabi ‘Isa) yang mengajarkan bahwa hakikat segala-galanya adalah perubahan. Segala-galanya berubah, perubahan itu disebabkan karena berdasarkan hukum perlawanan yang senantiasa ada dalam setiap benda atau sesuatu kejadian. Seorang bayi yang baru lahir di dalamnya telah mengandung kematian. Perkembangan filsafat tersebut diperjelas oleh Hegel (1770-1831) yang melahirkan hukum ‘thesis-anti thesis-synthentis’ sebagai suatu metode berpikir dan berbuat, yang berasas pada “kesatuan perlawanan” dan bersumber pada akal semata-mata. Bagi filsafat mazhab tersebut, akal adalah merupakan segala-galanya, baik mengenai perkembangan pengertian maupun perkembangan sesuatu kejadian.


            Tiap sesuatu telah membentuk perlawanannya. Dari filsafat tersebut melahirkan filsafat “dialektika-materialisme” yang dalam perkembangan selanjutnya menetapkan suatu hukum, bahwa: Dunia adalah medan pertarungan. Pertarungan terus menerus antara dua aliran yang bertentangan, bertarung untuk membentuk yang baru, tetapi yang barupun menimbulkan perlawanannya yang bertarung hingga bertarung itu tak akan ada habisnya. Pertarungan adalah raja dari segala-galanya. Dari pertarungan, terpenuhilah prinsip bertemu untuk berpisah, bersatu dan bertarung, karena yang satu harus dibikin tamat riwayatnya. Mengapa demikian? Jawab filsafat: karena “kodrat” itu dibentuk oleh apa dan siapa? Dan akhirnya apa dan siapa itu darimana? Jika dikejar terus oleh “filsafat” lain tentulah akan melahirkan pertanyaan berikutnya : Darimana itu apa, mengapa dan siapa?


            Pertanyaan demi pertanyaan memperoleh penjelajahan alam pemikiran untuk mencari jawaban berdasar penemuan pemikiran pula, dan jawaban demi jawabanpun menimbulkan pertanyaan pula yang memerlukan penjelajahan lebih lanjut, demikianlah berlangsung tanpa ada kesudahannya. Hal itu tidaklah mengherankan, disebabkan karena dunia filsafat hanyalah meliputi sekeliling pemikiran nalar manusia, dengan sendirinya penelaahannya dan penjelajahannya terbatas pada alam nyata yang hanya bisa dicapai oleh kesanggupan pemikiran manusia. Tiap masalah serta kemusykilan yang menjadi problem harus memperoleh jawabannya menurut daya kemampuan pikiran manusia. Dari kalangan mereka sendiri terdapat satu kelompok yang berpendirian bahwa filsafat tidak boleh menjangkau pemikiran tentang hal-hal ghaib yang menjadi lingkungan alam metafisika misalnya tentang Agama, tentang Akherat, tentang Tuhan, dan sebagainya dari alam di luar manusia, karena kemusykilan manusia hanya dipecahkan oleh manusia sendiri tanpa “ikut campur Tuhan”, kata mereka.


            Memang benarlah orang yang mengatakan bahwa filsafat lahir karena subjek dan objek ketakjuban manusia. Artinya, ketakjuban atau kekaguman manusia akan rahasia-rahasia alam semesta yang begitu kaya-raya, pelik dan penuh teka-teki yang belum terjawab. Manusialah satu-satunya makhluk yang bisa merasakan ketakjuban tersebut. Manusia sebagai makhluk yang takjub, dia menjadi subjek. Rahasia alam sebagai kejadian yang ditakjubi, maka alam itu menjadi objek.


             Dalam filsafat diajarkan bahwa ketakjuban melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang terucap dalam kata-kata maupun yang masih tersimpan dalam hati sanubari. Dengan dorongan pertanyaan-pertanyaan maka manusia merasa harus melakukan penyelidikan, penelaahan serta penjelajahan, membongkar segala rahasia ketakjuban mereka untuk memperoleh jawabannya. Untuk menemukan jawaban tersebut


            Seorang filsuf adalah seorang monolog (monologue), orang yang berbicara atau bertanya kepada dirinya sendiri. Dia yang berbicara atau bertanya dan dia sendiri pula yang menjawab. Pertanyaan tentang What can I know? (apa yang bisa saya ketahui) What ought I to do? (apa yang seharusnya saya kerjakan) What may I hope? (apa yang boleh saya harapkan). Pertanyaan-pertanyaan mengenai apa saja yang sanggup dicetuskan oleh daya kemampuan-pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi pokok persoalan yang dalam dunia filsafat disebut problem. Manusia melahirkan problem-problem karena itulah haknya. Haknya sebagai makhluk yang mempunyai nalar yang membedakannya dari binatang. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengalir dengan bebas tak boleh dihambat-hambat dan harus menemukan jawaban-jawabannya menurut kesanggupan daya-pikirnya dengan bebas pula. Bertanya dan  menjawab problem 1000 macam harus terus berlangsung tidak boleh menemukan titik akhir apalagi titik kejelasan. Sebab jawaban yang merupakan titik akhir atau yang merupakan kejelasan terakhir berarti tamatnya dunia filsafat, dan hal itu tidak boleh terjadi. Filsafat tidak boleh selesai, dan sang filsuf tidak boleh mengalami kematian problem. Tamatnya suatu jawaban sama dengan berakhirnya dunia filsafat. Habisnya pertanyaan-pertanyaan, sama artinya dengan mandeknya alam berpikir, hal itu bertentangan dengan fungsi manusia sebagai “makhluk berpikir”, demikian menurut bahasa filsafat.


            Dalam dunia filsafat tidak boleh ada persoalan yang abstrak dan samar, segalanya harus nyata dan pasti menurut penemuan pemikiran. Karena itu filsafat menjelajahi serta menelaah segala kejadian alam semesta untuk melahirkan ilmu yang bernama ilmu alam dengan segala hukum-hukumnya yang bisa dirumuskan. Menurut dunia filsafat, alam semester merupakan susunan hukum yang selamanya obyektif serta masuk akal, yang oleh kalangan filsafat dipandang sebagai “kodrat alam”. Dengan demikian, maka menurut mereka, segala peristiwa yang akan datang akan bisa diketahui serta diramalkan sebelumnya, bahkan bisa direncanakan. Segala peristiwa mengenai sejarah, mengenai ekonomi, mengenai tingkatan kemajuan, bahkan mengenai damai dan perang, segalanya bisa direncanakan, bisa “diatur”. Bagi dunia filsafat, berpikir tentang manusia, termasuk hidup dan matinya sekalipun, baik secara perorangan maupun secara berkelompok, tidak ada bedanya dengan berpikir tentang benda dengan susunan yang rasional dari alam semesta karena manusia adalah bagian mutlak dari alam, padahal filsafat mengatakan bahwa alam adalah suatu kenyataan yang besar yang meliputi segala-galanya, sumber kehidupan dan kematian dan karena itu alam menjadi sumber pemikiran.


           


Selintas Perjalanan Filsafat




Filsafat melahirkan ilmu pengetahuan. Segala persoalan manusia selamanya dilayani, dijelaskan dan diselesaikan oleh ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, ilmu adalah “maha kuasa”. Dari kalangan filsafat yang radikal mengatakan bahwa ilmu eksakta telah sanggup menyusun pekerjaan-pekerjaan dengan instrumen atau alat-alat yang rasional hingga tidak memerlukan bantuan apapun. Kalau Agama, - demikian kata mereka – hanya berbicara tentang rembulan dan bintang-bintang, maka ilmu eksakta telah mengantarkan manusia datang sendiri ke rembulan dan bintang. Dengan demikian, maka Agama tidak perlu ada, karena kedudukannya telah digantikan oleh ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan, maka watak manusia dan kebudayaannya bisa dibentuk melalui alat-alat dan sarana-sarana yang diciptakan oleh ilmu pengetahuan. Masyarakat akan bisa disusun dan ditemukan nasibnya dalam hidup berdasarkan hasil-hasil yang diciptakan oleh ilmu pengetahuan.


            Filsafat yang radikal-ekstrim seperti di atas dapat dipelajari melalui filsafat Feuerbach yang diajarkan oleh ahli filsafat berkebangsaan Jerman bernama Ludwiq Feuerbach (1804-1872). Filsafat Feuerbach sangat berpengaruh bagi Karl Marx (1818-1883) dan Fredrich Engels (1820-1895), dua orang pertama yang membangun paham Marxisme yang melahirkan komunisme.


            Secara ringkas filsafat Feuerbach itu mengajarkan: Agama itu ciptaan manusia sendiri. Apa yang disembah-sembah orang sebagai Tuhan sebenarnya ialah perwujudan dari cita-cita manusia sendiri. Setiap manusia menyadari akan kekurangan-kekurangan sendiri: ia tidak adil, ia tidak baik, cintanya terhadap sesama manusia tidak sebagaimana mestinya, dan sebagainya. Berulang-ulang ia mengecewakan hatinya sendiri karena kekurangan-kekurangan tersebut. Dengan demikian timbullah dalam sanubarinya keinginan-keinginan akan sesuatu yang sempurna dalam segala-galanya. Demikianlah lahirlah Tuhan dalam hatinya. Begitu pula timbulnya pengertian sorga (dunia baqa'), Dunia tempat manusia hidup sehari-hari tidak pernah memuaskan hatinya secara absolut. Demikian ajaran Feuerbach, bahwa manusia hendaknya segera menggantikan kepercayaannya akan Tuhan dan Dunia-baqa itu dengan kemauan, yakni kemauan yang ditujukan semata-mata kepada manusia dan dunianya yang sekarang ini, jelasnya, kemauan untuk menaikkan martabat manusia dan kemauan untuk memperbaiki keadaan dalam hidupnya. Secara “bahasa filsafat” yang ilmiah, maka filsafat Feuerbach itu antara lain mengajarkan: Religion therefore is nothing else than the consciousness of the infinity of the consciousness – Karena itu Agama tak lain daripada kesadaran dari keadaan ingat yang tak terhingga. Mengenai Tuhan, filsafat tersebut mengatakan: Thus, God is so to speak the outward projection of man’s inward nature – Begitulah, Tuhan itu sekadar proyeksi atau rencana yang keluar dari pembawaan batin manusia. Secara jenaka, ada yang mengatakan bahwa makna dan pengertian tentang filsafat adalah beraneka ragam, akan tetapi mereka sepakat untuk menetapkan kesamaan pendapat, bahwa di antara mereka tidak ada kesepakatan tentang definisi dan tujuan filsafat. Ketidak sepakatan mereka itu disebabkan karena perbedaan tempat berpijak sehingga masing-masing mengarah kepada tujuannya sendiri-sendiri. Oleh sebab itu, dalam dunia filsafat memiliki banyak sekali aliran serta corak yang masing-masing membentuk identitas sendiri-sendiri.


            Dr. Mohammad Hatta mengatakan sebuah contoh tentang aliran Sofisme. Sofisme asalnya dari kata “sophos” yang artinya cerdik pandai. Semula gelar Sofis ditujukan kepada segala orang pandai; ahli bahasa, ahli filsafat, ahli politik dan lain-lainnya. Orang tersebut karena pengetahuannya dan kebijaksanaannya dinamai Sofis. Tetapi lama kelamaan kata itu berubah artinya. Sofis menjadi gelar bagi tiap-tiap orang yang pandai bermain dan bersilat dengan kata-kata.


            Pada umumnya filsafat mengarahkan pembahasan serta penyelidikan ilmiahnya kepada alam jagat raya atau kosmos. Dengan lahirnya aliran sofisme maka filsafat dibelokkan pengarahannya kepada alam manusiawi, kepada kemauan, kepada cita-cita, kepada perasaan, dan kepada pengetahuan yang semestinya dimiliki tiap-tiap manusia. Dengan demikian maka dalam dunia filsafat lahir aliran tentang ethic kesusilaan.


            Dr. Mohammad Hatta menilai secara kritis aliran sofisme, sungguhpun kaum sofis selalu mempersoalkan sikap hidup namun mereka tak sanggup menetapkan dasar apa yang harus menjadi pedoman hidup. Mereka tidak dapat menemukan dasar umum yang harus berlaku bagi setiap orang, disebabkan karena tiap-tiap guru sofisme mengajarkan ukuran atau normanya sendiri-sendiri. Masing-masing mengemukakan pahamnya sendiri dengan tiada mau menimbang paham orang lain. Kecuali kalau tidak hendak membantah. Pahamnya sendiri tidak pula tetap, berubah-ubah dari waktu ke waktu. Tak ada yang tetap, kata mereka, semuanya senantiasa dalam perubahan. Sebab itu sikap manusia perlu pula berubah-ubah. Dengan pendirian semacam itu tiap-tiap perubahan pikiran tentang sesuatunya dapat dipertahankan dengan mengatakan bahwa keadaan telah berubah. Semua berubah, dan kita hanya sekedar mengikuti.


             Kaum sofis tidak ada yang sama pendiriannya tentang dalam suatu masalah. Mereka hanya sependirian dalam hal meniadakan, dalam pendirian yang negatif. Pokok ajarannya ialah, bahwa  “kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai”. Tiap-tiap guru sofis mengemukakan ini sebagai pokok pendirian. Oleh karena kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai, maka tiap-tiap pendirian boleh benar dan boleh salah menurut pandangan manusia. Tiap guru sofis mengajar orang menaruh keraguan akan buah pikiran orang lain. Sebaliknya pula ia mengajar orang mempertahankan tiap-tiap pendirian. Apa yang dipertahankan kemarin, sekarang boleh dibatalkan. Kebenaran hanya sementara. Oleh sebab “kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai”, maka tiap-tiap pendirian boleh dibenarkan. Buat sementara ia benar. Sebab itu pula tidak ada ukuran yang tetap tentang benar dan tidak benar, tentang baik dan buruk. Sebagai kelanjutan pendapat ini, hilanglah perbedaan antara benar dan salah, antara baik dan jahat.


            Dengan ajaran sofisme dalam filsafat yang dilukiskan begitu jelas oleh Dr. Mohammad Hatta, maka timbullah paham filsafat yang disebut: teori tentang relativisme. Segalanya bersifat sementara, segalanya bersifat relatif. Sifat kesementaraan itu dengan sendirinya melahirkan apa yang dinamakan teori tentang skeptisme, teori tentang menaruh syak-wasangka akan segala pendirian orang lain, atau mungkin akan pendiriannya sendiri. Memandang tiap paham atau pendirian orang lain dengan sikap skeptis, sikap purbasangka.


             Di negeri asal kelahirannya sendiri yaitu Yunani, tidak dikenal sebutan “filsafat”, akan tetapi “philosophia” atau “philosophy”. Adapun maknanya ada yang mengatakan: “cinta akan kebijaksanaan”, adapula yang mengartikan: “Cinta akan pengertian”. Adapun sebutan “filsafat”, diketemukan melalui ucapan bahasa Arab yang menyebutnya dengan “falasifah” atau “falsafah” atau “filsafah”, lalu di Indonesiakan menjadi  “filsafat.” Mengapa melalui ucapan bangsa Arab? Dalam sejarahnya, bangsa Yunani purba yang melahirkan “philosophia” itu pernah mengalami perpecahan di antara mereka berhubung mereka tidak tersusun dalam suatu negara. Mayarakat mereka terpecah-pecah berkeping-keping mengikuti kondisi tanahnya yang terdiri dari ratusan pulau-pulau serta kota-kota kecil yang terpisah satu dengan lainnya oleh lautan, gunung-gunung dan jurang. Tiap kota merupakan “negara-negara” sendiri dan saling bermusuhan hampir tak ada hentinya. Dan yang lebih parah lagi disebabkan karena serangan-serangan bangsa Persiaa yang berulang-ulang.


            Diceritakan, bahwa dalam jangka waktu yang lama sekali, filsafat hilang dari Yunani terlepas dari bangsa yang melahirkannya selama beratus-ratus tahun. Selama jangka waktu yang lama sekali itu, filsafat dipelihara oleh orang-orang Islam bangsa Arab.  Suatu ketika, para penguasa Yunani memusuhi ahli-ahli filsafat. Itu dapat dibuktikan oleh perlakuan mereka terhadap filsuf-filsuf terbesar Yunani seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan sebagainya yang diperlakukan sebagai musuh para penguasa. Keadaan demikian berlangsung berabad-abad.


            Sejak tahun 528 Masehi nasib para filsuf lebih menyedihkan lagi. Seorang Kaisar Yunani, Justinian, melakukan pengejaran serta menangkap filsuf-filsuf untuk dibunuh, adapun yang dapat lolos dari penangkapan, mereka melarikan diri keluar negeri misalnya ke Persiaa dan kemudian ke Baghdad yang ketika itu ibukota Daulah Bani ‘Abbas. Bangsa Arab sendiri telah mempunyai perbendaharaan-kata yang maknanya sama dengan filsafat, yaitu “al-Hikmah” yang artinya “al-Kalam al-muwafiq al-haqq”atau “Shawab al-amri wa Shadaduhu” yang artinya “Perkataan yang menyepakati kebenaran” atau “Kebenaran sesuatu yag sebenar-benarnya”. “Al-Hikmah” sama benar maknanya dengan “Falsafah”. Kita dapat mencocokkan arti kata “Al-Hikmah” dengan “Wisdom” atau “Philosophy” dalam “Al Qamus al-‘Ashry” (Modern Dictionary Arabic-English by Elias A. Elias & Ed. E. Elias, Ninth Edition, Cairo 1962).   Jelas sekali, seperti halnya dengan bangsa Yunani memiliki “philosophia”, maka bangsa Arab memiliki “Al-Hikmah”, yang makna serta pembidangnya adalah sama. “Philosophia” menjadi “falsafah” menurut lidah Arab.


            Zaman Daulah ‘Abbasiyah yang berpusat di Baghdad amat terkenal sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan, zaman lahirnya pujangga-pujangga, ‘Ulama-‘Ulama, para penyair dan ahli ilmu pengetahuan yang besar-besar. Terutama di zaman Khalifah-Khalifah Abu Ja’far Al Mansur (714-775 M), Harun Al Rasyid (766-809 M), dan Al Ma’mun atau ‘Abdullah Al Ma’mun (786-833 M), perbendaharaan ilmu pengetahuan Islam itu diperkaya dengan begitu banyaknya usaha menyalin buku-buku maupun manuskrip yang berasal dari Yunani, Persiaa, India, Tiongkok dan lain-lain. Beratus-ratus buku-buku tentang  filsafat dalam bahasa Yunani disalin ke dalam bahasa Arab. Memang, zaman Daulah Bani ‘Abbas – seperti kita uraikan di muka – terkenal dalam sejarah sebagai “’Ashrul ‘ulum wa al-Taqaddum”, abad ilmu pengetahuan serta kemajuan, abad yang melahirkan Ulama-Ulama, pengarang-pengarang, penyair-penyair, serta para penyalin dari buku-buku bahasa asing ke dalam bahasa Arab. Dan, buku-buku filsafat dari Yunani memperoleh prioritas utama untuk disalin. Usaha penyalinan itu dipelopori sendiri oleh Khalifah-khalifah yang terkenal pengagum ilmu itu sehingga istana Khalifah penuh dengan para pengarang, penyair serta penyalin yang memperoleh honorarium sangat tinggi.


            Baghdad menjadi ibukota pusat perkembangan ilmu pengetahuan, filsafat serta kebudayaan. Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah serta Ulama-Ulama besar lainnya pernah menetap di Baghdad, demikian pula pujangga Ibnu Al-Muqaffa’ dengan karya terjemahannya  “Hikayah Kalilah wa Dimnah” yang terkenal, juga menetap di Baghdad. Khalifah Al Ma’mun mendirikan “Lembaga Ilmu Pengetahuan” di Baghdad dengan sebuah institut filsafat yang diberi nama “Baitul Hikmah”, di mana para pujangga dan ahli-ahli filsafat berkumpul, berdiskusi dan membuat karya-karyanya yang besar. Institut tersebut dipimpin oleh Hunain Ibnu Ishaq.


            Khalifah Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Mutawakkil adalah sahabat karib dari Ya’qub bin Ishaq bin As Shabah atau yang terkenal dengan nama Al Kindi, seorang ahli-pikir dan pengarang terbesar di zaman Bani ‘Abbas. Bersama pujangga-pujangga lain yang mempelajari serta menterjemah karya-karya Aflatun (Plato) dan Aristhu (Aristoteles atau Aristotle) ke dalam bahasa Arab, maka Al Kindi sendiri telah merampungkan karya-karyanya sejumlah 231 buku karangan dan salinan. Itu baru karya Al Kindi yang hidup pada permulaan abad ke-9 Masehi atau 185 Hijriah. Belum karya-karya Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Ghazali, Ibnu Bajah (orang Barat menyebutnya Avempace), Ibnu Thufail, dan lain-lain yang kecuali mereka itu menulis karya-karyanya tentang filsafat, juga tentang ilmu-ilmu Islam seperti Fiqih, Tafsir, Hadits, dan sebagainya.


            George Zaidan, pengarang bangsa Arab beragama Kristen itu mengemukakan selusin nama-nama pengarang Islam yang sekaligus juga penterjemah karya-karya bangsa asing terutama filsafat Yunani, dan mereka itu menulis karya-karyanya diberbagai bidang ilmu pengetahuan terutama mengenai filsafat: Misalnya nama-nama: Ibnu Ishaq, Yahya bin ‘Adi, Hunain bin Ibnu Ishaq, Ibnu Na’imah, Abu Basyar, Ibrahim bin Abdillah, Abu Ruh As Shabi, Ibnu Yunus, Al Hajjaj bin Mathar, Muhammad bin Musa, Ahmad bin Musa, Isthafani Ibnu Shalih, Jibillah bin Salim, Abdullah Ibnul Muqaffa’, Ibnu Dahn, dan masih banyak lagi. Adapun Hunain bin Ishaq karyanya tidak kurang dari 32 buah buku dalam filsafat Yunani.


            Mereka itu kecuali menulis atau mengarang, juga menyalin buku-buku karangan Plato tentang politik, etika, logika, alam, dan karya-karya Aristoteles serta filsuf Yunani lain. Baik  tentang sajak, musik, psikologi, tentang watak manusia, tentang air dan udara, kedokteran, tatanegara, hubungan antara manusia, tentang keindahan wanita, tentang kejantanan orang-orang lelaki, tentang diskusi, tentang obat-obatan, tentang ilmu bangunan (arsitektur), tentang matematika, tentang nyanyian, dan lain sebagainya.


            Abu Ja’far Al Mansur boleh dibilang penegak Dinasti Bani ‘Abbas sekalipun abangnya, Abdul ‘Abbas As Safah-lah yang memproklamirkan dinasti yang terbesar dalam sejarah Islam. Dialah pembangun dinasti pengganti Bani Umayyah yang hampir 90 tahun berkuasa. Akan tetapi karen Abul’ Abbas As Safah hanya pendek masa-jabatannya sebagai Khalifah pertama dinasti Bani Abbas, maka adiknyalah, Abu Ja’fa Al Mansur mengisi dinasti yang masih baru itu dengan meletakkan dasar-dasar pembangunan negara yang besar. Mengawali masa jabatannya antara tahun 136 – 158 Hijriah, Abu Ja’far Al Mansur membangun ibukota baru, Baghdad, sekalipun ia sangat sibuk dengan penaklukan-penaklukan serta memadamkan gerakan-gerakan pemberontak dari berbagai kelompok di dalam negeri. Sungguhpun ia mengagumi serta mendalami ilmu Fiqih, namun ia amat menyintai ilmu pengetahuan. Suatu hal yang amat logis, karena di dalam Fiqih mengandung dorongan orang mempelajari di samping Al Qur’an, As Sunnah, ‘Aqaid dan Tasawuf, juga ilmu estetika (keindahan), geography (ilmu bumi), astronomi (ilmu falak), ilmu ekonomi, sosial, etika (tata krama) seni baca, dan lain-lain sebagainya termasuk ilmu kesehatan dan ilmu hitung.


             Adalah satu fakta bahwa umat Islam sepanjang tahun mengerjakan sembahyang, puasa, zakat, haji yang tata caranya dikaji dalam fiqh. Fiqih pula yang menganjurkan mempelajari ilmu bumi, falak, ilmu hitung, ilmu kesehatan, etika, seni baca, dan ilmu pergaulan dengan bangsa-bangsa (Haji). Orang Islam wajib beriman, karena itu mestilah memahami Aqaid, dan di dalamnya mengandung metafisika, logika, fisika, psikologi, retorika, etika dan sebagainya. Dari uraian pendek ini saja dapat dimengerti, mengapa Khalifah-khalifah Bani ‘Abbas memelopori gerakan pengembangan ilmu pengetahuan baik yang bersifat eksakta maupun sosial, metafisika dan politik, karena konsekwensi yang logis, terutama berhubung semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam dan berhubung dengan semakin berkembangnya jumlah pemeluk-pemeluk Islam di hampir seperempat penduduk dunia. Para Khalifah dan ulama-ulama sangat mendambakan pemeluk-pemeluk Islam itu sebagai pribadi yang berkwalitas, dan itu hanya bisa dicapai jikalau mereka menjadi orang-orang yang sadar serta konsekwen menjalankan Syari’at Islam. Adapun kunci utamanya ialah ilmu.


            George Zaidan menceriterakan, bahwa Khalifah Al-Mansur (Abu Ja’far al Mansur) di tahun 148 Hijriah mendatangkan Jurjis bin Bakhtisyu As-Suryani, seorang dokter terbesar di zamannya yang menjadi pemimpin dokter-dokter di Jandisapur, Persiaa. Selain seorang dokter paling terkemuka, Jurjis bin Bakhtisyu As Suryani adalah seorang pujangga yang menguasai bahasa-bahasa Suryani, Yunani, Persia dan Arab. Di Baghdad di bawah perlindungan serta fasilitas Khalifah Al Mansur, ia mengarang serta menyalin buku-buku tentang ilmu kedokteran yang berasal dari bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab. Orang-orang yang diperlakukan seperti Jurjis itu berpuluh-puluh banyaknya, yang membuat semarak Baghdad dengan karya-karya ilmiah dalam bidang astronomi, logika, fisika, fisiologi, matematika, sejarah dan filsafat.


            Sekali lagi harus ditekankan di sini, walaupun Baghdad menjadi pusat kaum sarjana serta pengarang dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat, namun di zaman yang bersamaan, Baghdad juga menjadi pusat kegiatan Ulama-ulama ahli hadits dan Fiqih seperti Abu Hanifah An Nu’man (yang terkenal dengan nama lain, Imam Hanafi) pembangun Madzab Hanafi. Oleh khalifah Al Mansur, beliau sengaja didatangkan dari Kufah untuk menetap di Baghdad. Berkerumunlah Ulama-ulama lain mengelilingi Imam Hanafi, misalnya Muhammad bin Al Hasan, Abu Yusuf Al Qadli, Zafar bin Hudzail, Al Hasan bin Ziyad, Ibnu Sama’ah, Abu Muthi’ Al Bulkhi, ‘Afiyah Al Qadli, dan lain-lain, yang menyemarakkan Baghdad dengan kegiatan ilmiah mereka yang melahirkan kitab-kitab karangan yang besar-besar. Ikut juga menetap di Baghdad dua orang Ulama terbesar di zamannya, masing-masing Imam Syafi’i dan Imam Hanbali. Kkhalifah Amin, saudara Khalifah Ma’mun (keduanya putra Harun Al Rasyid) belajar ilmu bahasa Arab kepada dua Ulama ahli bahasa Arab dan Nahwu yang terbesar di zamannya, ialah masing-masing Al Kasai dan Imam Sibawaih. Sebagai seorang Khalifah bangsa Arab, Khalifah Amin ingin menggunakan bahasa Arab dengan baik, satu sikap yang diikuti oleh Rakyat.


            Dengan uraian di atas ini, kita dapat mengukur betapa hausnya zaman Daulah Bani ‘Abbas akan ilmu pengetahuan, dan betapa dimuliakan kedudukan ilmu pengetahuan. Dengan demikian pula tidaklah kita heran, mengapa filsafat memperoleh ruang gerak yang amat longgar sekalipun Bani ‘Abbas sebagai negara dan masyarakat Islam (Arab) telah memiliki “Al Hikmah” sebagai perbendaharaan ilmu pengetahuan serta kebijaksanaan.




Interaksi Agama dengan Filsafat




             Mengapa filsafat memperoleh ruang gerak serta fasilitas dan prioritas dalam masyarakat Islam? Walaupun Umat Islam bangsa Arab telah memiliki sejak sebelumnya, yaitu “Al Hikmah?” Tidak dapat disangkal, bahwa Islam satu-satunya Agama yang paling cepat berkembang, belum pernah terjadi dalam sejarah, suatu Agama yang daerahnya demikian meluas seperti halnya dengan Islam. Dimulai setelah Hijrah Rasulullah, disambung zaman Khulafaur Rasyidin selama 30 tahun, zaman Bani ‘Abbas selama kurang lebih 500 tahun dengan Khalifah-khalifahnya yang lebih dari 50 orang banyaknya dimulai dari Abul ‘Abbas As Safah hingga Al Mu’tashim. Jikalau tidak terjadi “musibah Hulagu Khan” yang menghancurkan Baghdad dengan seluruh kebudayaannya serta membunuh Khalifah dengan segenap keluarganya barangkali dinasti Bani ‘Abbas masih akan berkuasa lebih lama lagi.


            Pemeluk Islam yang kian bertambah-tambah itu memerlukan bimbingan serta pembinaan karakter. Mereka harus menjadi orang Islam yang taat menjalankan Syariat Islam, beribadah menurut Syariat Islam, berkepercayaan menurut aqidah Islam, dan bermasyarakat menurut norma-norma yang ditetapkan oleh hukum-hukum Agamanya. Dan, sebagai warga dari suatu negara yang sedang terus tumbuh dan mekar, serta sedang dalam kancah perjuangan dengan bangsa-bangsa lain, orang-orang Islam itu harus menemukan pola-pola politik, ekonomi, sosial dan kultur, yang kecuali dapat ditrapkan dalam tata kehidupan zamannya, juga tidak bertentangan dengan Syara’ Islam. Di sanalah suatu perjuangan besar senantiasa harus diselesaikan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan memegang kedudukan serta peranan sangat penting. Tanpa ilmu tidak akan diketemukan pola dan konsepsi, dan tanpa konsepsi maka perjuangan besar tidak mungkin akan bisa diselesaikan dengan sukses.


            Orang Islam memandang bahwa memahami Islam yang bersumber pada Wahyu Ilahi dan Sunnah Nabi itu memerlukan alat keilmuan yang tercermin dalam Qiyas dan Ijma’ sebagai syarat mutlak yang mesti ditempuh, dengan sendirinya memerlukan sarana membanding serta meneliti dan mengambil kongklusi, yang semuanya mestilah mengundang peranan ilmu dan pengetahuan. Tidaklah mengherankan mengapa Ilmu Kalam di dalam Ilmu Tauhid serta ‘Aqaid pada umumnya mempunyai pengaruh sangat besar dalam Fiqih dan dalam Tasawuf sebagai pokok-pokok inti dalam mempraktekkan Islam baik dalam kehidupan pribadi-pribadi maupun dalam kehidupan bersama sebagai bangsa dan warga dunia.


            Akan tetapi orang memerlukan ilmu-ilmu yang lain, yakni: Ilmu-ilmu hasil pengetahuan dan kecerdasan nalar atau intelek, misalnya: ilmu alam, kedokteran, hitung, pergaulan, hukum, sejarah, ilmu bumi, ilmu falak, retorika, ilmu keindahan, seni budaya, dan lain-lain. Dan, ilmu-ilmu tersebut banyak dijumpai di dalam bidang “Al Hikmah” dan tidak sedikit pula diketemukan di dalam Filsafat. Itu sebabnya mengapa Dunia Islam terutama di zaman Bani ‘Abbas, orang-orang Islam menerima bidang filsafat dengan tangan terbuka. Menerima bukan untuk ditelan apa adanya, akan tetapi diterima sebagai bahan perbandingan serta penelitian, untuk disaring yang mana dapat diterima untuk dimanfaatkan dalam memahami kebenaran Islam, dan yang mana harus dibuang karena membahayakan kebenaran Islam serta ketertiban masyarakat Muslimin.


             Orang-orang Islam terutama para ‘Ulamanya juga menyadari, bahwa orang-orang yang mendalami filsafat hampir seluruhnya bukan orang Islam, mereka beragama Nasrani, Yahudi, Zaratustra, Hindu, dan bahkan tidak beragama seperti halnya orang-orang yang datang dari Yunani. Justru dengan demikian memperlihatkan betapa toleransi yang dipraktekkan oleh orang-orang Islam serta ‘Ulamanya. Selama keilmuannya itu bersifat hasil pemikiran serta pengalaman dan tidak membahayakan aqidah Islam terutama dalam masalah-masalah Iman, maka Ilmu mereka dapat diterima dan dimanfaatkan.


            Banyak sekali, orang-orang bukan Islam yang didatangkan ke Baghdad pusat kegiatan serta perkembangan ilmu, mereka itu menjadi guru-guru dalam filsafat, dalam berbagai cabang ilmu kedokteran, ilmu falak, ilmu alam, ilmu politik, ilmu sejarah, ilmu logika, seni, musik, dan sebagainya. Mereka juga menterjemah buku-buku filsafat dari bahasa Yunani atau Persia ke dalam bahasa Arab. Dengan bantuan ahli-ahli bahasa Arab orang Islam, maka usaha penterjemah itu berjalan dengan baik. Di antara bukan orang Islam yang besar sumbangannya terhadap memperkenalkan filsafat kepada orang Islam di zaman Bani ‘Abbas, ialah: Ibnu Al Patric, Qastha bin Lucas, Tiodores, Hubaisy, Jurjis bin Bakhtisyu, Isa bin Syahala, dan lain-lain. Pergaulan antara kaum pengarang Islam dan bukan Islam terjalin sangat erat, dan dari pergaulan itu mereka saling mempelajari kebudayaan serta bahasa masing-masing. Dengan demikian maka banyak orang-orang asing yang akhirnya menguasai bahasa Arab sebagaimana pengarang-pengarang bangsa Arab menguasai bahasa-bahasa Yunani, Persia, Ibrani, Suryani, dan sebagainya.


            Bersamaan dengan dibangunnya kota Baghdad sebagai ibukota Bani ‘Abbas, maka tumbuh pula suatu kebudayaan baru, kebudayaan “modern” yang bernafas Islam, kebudayaan Arab-Yunani, Arab-Persia dan berkembangnya ilmu pengetahuan seperti belum pernah terjadi dalam sejarah sebelumnya. Dengan perkenalan orang-orang terhadap filsafat dan pikiran-pikiran Yunani dan Persia, maka Baghdad dan Dunia Islam merupakan sebuah kota paling maju, paling makmur dan paling cantik di seluruh dunia. Baghdad memperoleh gelar “ Ashr al- ‘Ulum wa al-Taqaddum ” Zaman kemajuannya ilmu pengetahuan, bahkan di kalangan ahli-ahli sejarah diberi gelar “ Arusul Madain wa Sayyidatul buqa “ Pengantin Benua Timur dan Ratu Buana.


            Untuk menunjang dunia ilmu pengetahuan itu, maka berdirilah di Baghdad dan di kota-kota lain universitas-universitas, lembaga-lembaga studi, dan perpustakaan-perpustakaan yang ketika itu dikenal dengan nama “Darul Hikmah”. Di sana para sarjana dan mahasiswa memperdalam studi ilmiahnya, mereka datang dari hampir seluruh penjuru dunia. Masjid-masjid dengan arsitektur yang indah bermunculan di sana-sini, demikian pula rumah sakit-rumah sakit serta laboratorium sebagai pelengkap lembaga studi, universitas dan perpustakaan.


            Tentu saja ekses-ekses selamanya selalu ada. Lumrahnya, ekses dilahirkan oleh sikap mental yang berlebihan, mabuk kepayang lantaran over-acting, dan kelengahan. Filsafat sebagai barang “baru” dan bersifat “luar negeri” menjadikan silau sebagian orang, padahal dalam Islam dikenal adanya “Al Hikmah” yang merupakan semacam “filter” dan “refinery” sebagai alat penyaring dan alat pembersih segala yang datang dari luar. Terutama bidang filsafat yang menyangkut masalah metafisika, logika serta kebebasan berpikir. Tentu saja hal itu mencemaskan para Ulama yang karena penguasaannya terhadap Ilmu Syariat, mereka menjadi sadar untuk mencegah “keterlanjuran” atas nama “kemerdekaan berpikir” dalam Islam.


            Dalam Islam memang ada kemerdekaan berpikir, dalam arti, selama masalahnya tidak hendak menabrak apalagi menghancurkan Wahyu dan Syariat. Dalam Islam ada faktor Iman sebagai sikap keikhlasan untuk menyerahkan diri berdasarkan kepercayaan batin. Itu sebabnya mengapa Islam juga berarti sikap penyerahan diri kepada Allah. Sikap demikian adalah sikap mengabdikan diri (ibadah) dan bukan semata-mata hasil pekerjaan nalar. Islam mestilah dilandasi oleh Iman sebagai pekerjaan batin dan rohani yang memimpin pekerjaan akal pikiran manusia yang mengatur gerak perbuatan sehari-hari dalam mengabdi kepada Allah dan di dalam mengabdikan diri kepada umat manusia. Maka, filsafat yang kering dari Iman, itu akan membentuk ruang terlampau lebar bagi kemerdekaan berpikir tanpa batas bahkan mengalahkan peranan hati sebagai sumber Iman.


            Janganlah dilupakan, bahwa salah satu sifat daripada filsafat ialah memberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya kepada peranan nalar dalam berpikir. Pekerjaan berpikir itu semata-mata karena hendak mengetahui kepastian sesuatu persoalan. Apakah setelah itu ia diharuskan percaya atau tidak, hal itu perkara lain. Misalnya dalam menjelajahi alam metafisika menurut filsafat. Apakah alam ghaib itu ada atau tidak, itulah tugas nalar untuk berpikir sedalam-dalamnya dan sepanjang mungkin. Setelah diketemukan kongklusinya, maka apakah seorang filsuf harus mempercayainya atau tidak, itu adalah urusan lain. Dengan demikian, maka filsafat selamanya mendudukkan dirinya sebagai “penonton” yang berada di luar garis. Ambillah contoh suatu aliran dalam filsafat mengenai Tuhan. Nalar manusia digerakkan untuk berpikir dan berpikir, untuk melakukan penyelidikan serta penjelajahan sampai pada satu kesimpulan diketemukan apa itu Tuhan. Kesimpulan dari tugas nalar dan pikiran tentang Tuhan, filsafat tidak mau berhenti hingga di situ. Keadaannya menjadi sangat berbahaya, jikalau akhirnya Sang Pencipta harus tunduk serta menyerah kepada nalar manusia.


            Ambillah contoh lain tentang pragmatisme dalam filsafat.  Pragmatisme pada dasarnya hanyalah sekedar satu metode berpikir. Sejak lahirnya filsafat pragmatisme yang masih klasik maupun yang mutakhir menurut teori William James (1842-1910) maupun teori John Dewey (1859-1952) – keduanya ahli filsafat Amerika – bahwa menurut filsafat pragmatisme, benar dan tidaknya suatu teori dan dalil semata-mata tergantung kepada berfaedah atau tidaknya bagi kehidupan manusia. Suatu hal apakah dinilai benar atau tidaknya tergantung apakah hal tersebut berguna bagi manusia.


            Dari kedudukannya sekadar metode berpikir, pragmatisme lambat laun memasuki – di samping – alam pemikiran, juga memasuki alam kepercayaan dan keyakinan. Dari sekedar metode berpikir, pragmatisme hendak mengatur alam keyakinan hidup, alam metafisika, agama dan alam ghaib. Dengan pragmatisme orang hendak bersikap “praktis” dalam beragama, sampai pada satu kesimpulan yang sederhana, bahwa beragama ataupun tidak ditentukan oleh penilaian keuntungan materil yang kongkrit. Tegasnya, kalau beragama itu merugikan kemajuan, maka Agama harus disingkirkan. Kalau menjalankan ibadah itu mengurangi jam kerja dan mempengaruhi produksi, maka ibadah harus ditiadakan. Segalanya harus untuk sekarang – misalnya kemakmuran dan modernisasi –  tidak  boleh  dikalahkan untuk kebutuhan nanti yang “belum pasti” (yaitu alam sorga) .... !


             Islam melerai pertentangan antara nalar dan hati, antara intelek dan keyakinan. Sebagai Agama, Islam memberi kesempatan seluas-luasnya kepada pemikiran nalar dengan catatan, bahwa nalar haruslah “tahu diri” bahwa kekuasaannya terbatas sekali. Sepandai-pandai seorang intelektual ia pasti tidak bakal tahu kapan datangnya saat lengah atau rasa kantuk kepada dirinya. Dan lengah atau kantuk yang hanya beberapa detik itu akan mematikan seluruh kemampuan berpikir. Belum lagi masalah mati dan kapan datangnya kematian. Seperti juga sepandai-pandai orang tak mungkin tahu apa yang bakal terjadi satu dua menit kedepan, iapun tidak tahu persi kapan datangnya kematian, caranya dan di mana. Sebab itu Islam memberi landasan bagi kecenderungan nalar yang berupa sebuah ruang keyakinan atau Iman di dalam dadanya. Itu sebabnya maka Agama Islam datang dengan perantaraan Wahyu sebagai kasih sayang Tuhan untuk menolong manusia memberikan landasan kokoh bagi kegiatan nalar dalam berpikir.


            Pragmatisme sebagai ciptaan manusia tidak akan mungkin dapat menandingi, apalagi mengalahkan Agama sebagai Wahyu Ilahi. Kebijaksanaan manusia jelas terbatas, dan kemampuan berpikirnyapun terbatas pula. Sedangkan menurut filsafat sendiri bahwa segalanya berubah, termasuk juga pekerjaan nalar senantiasa mengalami perubahan-perubahan, betapa pula dapat disejajarkan (apalagi menandingi) Ke-Maha Bijaksanaan Allah yang selamanya tangguh tidak tergoyahkan oleh kekuatan manapun. Filsafat, baru lahir sejak masa seorang manusia Yunani bernama Thales dan Anaximandros lahir ke dunia 600 tahun sebelum Nabi ‘Isa. Padahal Agama berdasarkan Wahyu Ilahi telah diturunkan bagi umat manusia sejak manusia-pertama mendiami bumi, ialah Nabi Adam dan Hawa, berpuluh ribu tahun sebelum kelahiran Thales dan Anaximandros.


            Dalam sejarah Eropa, abad pertengahan memberi petunjuk kepada kita, bahwa kekacau-balauan dalam dunia Kristen pada hakikatnya yang meng”hamiltua”kan lahirnya kebebasan berpikir. Demikian bebasnya kemerdekaan berpikir hingga orang seperti Copernicus dan Giordano Bruno – seperti yang telah teruraikan di muka – berani menentang hukuman dibakar hidup-hidup yang dijatuhkan oleh keputusan Gereja. Akan tetapi seorang intelektual lain, Galileo Galilei (1564-1642) yang mempunyai penemuan ilmiah berdasarkan kebebasan berpikirnya, terpaksa mencabut atau menarik penemuan ilmiahnya karena tidak berani menghadapi ancaman hukuman Gereja. Galileo menjadi gentar dan takut. Sudah tentu gentar dan takut bukanlah produk nalar, akan tetapi hasil pekerjaan hati dan perasaan. Galileo menambah pelajaran bagi kita, bahwa kemerdekaan berpikir mempunyai batas terakhir manakala berhadapan dengan kekuasaan hati, lepas dari penilaian kita terhadap sikap dan pendirian sarjana ahli fisika dan astronomi bangsa Itali itu, ialah bahwa supremasi nalar yang dibanggakan itu memanglah terbatas. Ada sesuatu yang dapat mengalahkannya. Sesuatu itu, tak lain dan  tak bukan adalah hati dan jiwa.


             Ekses lain yang ditimbulkan oleh ajaran filsafat ialah pengaruh ajarannya yang bisa merusak Aqidah Umat Islam, jika filsafat itu menggantikan kedudukan Iman. Filsafat yang berasal dari Yunani itu telah banyak disalin ke dalam bahasa Arab. Dalam keadaan umat Islam sedang amat menggandrungi ilmu pengetahuan, jika mereka tidak waspada atau karena tipis iman, maka ajaran filsafat yang ditelan apa adanya akan sangat membahayakan.


            Terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan secara aniaya membangkitkan emosi yang memuncak ke pihak Muawiyah untuk menuntuk bela. Ibukota Madinah yang dilanda pemberontakan itu sehingga menewaskan jiwa Khalifah memerlukan pemerintahan yang kuat. Huru-hara dan chaos itu tidak boleh berlarut-larut. Sehubungan dengan itu maka pemimpin-pemimpin yang bertanggung jawab dan yang mendapat dukungan mayoritas warga negara melangsungkan pemilihan kepala negara. Terpilihlah Sayyidinia Ali sebagai Khalifah ke-4.


            Hal tersebut menimbulkan salah-paham di pihak Muawiyah yang didukung kelompok yang keras menuntut bela kematian Utsman. Mereka menuduh Sayyidina Ali tidak mengambil initiatif untuk menindak kaum pemberontak, bahkan timbul kesan yang provokatif seolah-olah Sayyidina Ali berdiri di belakang kaum pemberontak karena ambisinya menjadi Khalifah. Walaupun pihak Sayyidina Ali membersihkan diri untuk menolak tuduhan tersebut disertai alasan kuat yang logis, bagaimana dapat menindak huru-hara jikalau ibukota mengalami kekosongan kekuasaan? Maka jalan yang paling masuk akal untuk ditempuh ialah mendirikan kekuasaan (pemerintahan) yang bertugas mengembalikan ketertiban serta menindak kaum anarkis. Akan tetapi sentimen dan emosi yang menguasai segala-galanya, pertimbangan dan pikiran-sehat tidak memperoleh tanggapan secara wajar. Terjadilah perang-saudara antara Muawiyah dan Sayyidina Ali dalam kancah pertempuran yang dikenal sejarah sebagai “Perang Shiffin”. Manakala pihak Muawiyah terdesak dan berada dalam posisi yang payah, mereka mengajak damai. Sayyidina Ali menerima ajakan damai tersebut karena tujuannya sejak semua memang hendak mengembalikan ketertiban dan persatuan umat.


             Segolongan dari pendukung Sayydina Ali menentang kebijaksanaan perdamaian itu, bahkan menuduh bahwa Sayyidina Ali telah bertindak salah, dan politik kompromi tersebut merugikan Islam. Golongan paling ekstrim dari mereka mengecap Sayyidina Ali sebagai telah “kafir”, dan mereka memisahkan diri serta keluar dari barisan Sayyidina Ali. Mereka menamakan dirinya “Golongan Yang Keluar Memisahkan Diri” atau dalam istilah mereka, “Golongan Khawarij”. Tiap tindakan ekstrim tentu akan menimbulkan sikap radikal di pihak lain, oleh sebab itu di kalangan pendukung Sayyidina Ali yang fanatik menamakan dirinya “Golongan Syi’ah”.


             Dimulai dari persoalan pertentangan politik, menjalar memasuki persoalan Aqidah, siapakah yang lebih berhak memangku jabatan Khalifah menurut hukum Islam. Bahkan lebih jauh lagi jangkauannya, pertentangan itu menjadi kian melebar menyangkut masalah dosa dan tidak dosa, dan masalah kafir dan tidak kafir. Demikianlah berlangsung pertentangan yang berlarut-larut bertahun-tahun hingga datang masanya zaman Bani Umayyah berkuasa dan memindahkan ibukota dari Madinah ke Damaskus. 
 Muncullah pada suatu ketika golongan “netralis” yang menamakan dirinya “Mu’tazilah”, yang menempatkan dirinya menduduki posisi di antara dua kelompok yang bersengketa, atau dalam bahasa Arab disebut “Al Manzilah bainal Manzilatain”. Meskipun lahir pula kelompok-kelompok kecil seperti “Rafidlah”, “Murji’ah”, dan lain-lain, namun “Syi’ah” – “Khawarij” – “Mu’tazilah” merupakan golongan yang paling menonjol berkampanye merebut simpati umat Islam dari tahun ke tahun. Mereka melakukan kampanye baik secara sembunyi-sembunyi maupu nsecara terbuka di mana ada kesempatan.


             Jikalau “Khawarij” lebih menitikberatkan gerakannya di bidang politik, tetapi lambat-laun menjadi semakin kendor berhubung dengan sikapnya yang ekstrim hingga menghadapi banyak musuh, maka “Syi’ah” dan “Mu’tazilah” lebih menitik beratkan kegiatannya di bidang Aqidah terutama teologi, walaupun “Syi’ah” pada saat dipandang tepat melakukan kampanye juga di bidang politik.


            “Mu’tazilah” lebih banyak kegiatannya di bidang konstruksi berpikir dalam Aqidah dan dalam teologi beraliran kebebasan berpikir. Karena kedudukannya sebagai “kaum intelektual salon” maka orang-orang “Mu’tazilah” senantiasa berusaha mendekati golongan yang sedang berkuasa untuk mempengaruhi kebijaksanaan dalam pemerintahan serta untuk mengembankan doktrin-doktrin mereka melalui segala fasilitas istana. Usaha mereka sekalipun tidak selamanya berhasil, namun tidak pernah mengalami jalan buntu. Mereka giat, ulet dan penuh kesabaran. Demikianlah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya, sampai pada suatu ketika di zaman Bani ‘Abbas mereka sering memperoleh angin. Konon, Khalifah Ma’mun yang terkenal itu menjadi salah satu pengikut “Mu’tazilah” hingga dengan dekrit Khalifah menetapkan bahwa “Mu’tazilah” merupakan madzhab negara.


            “Mu’tazilah” adalah sebuah gerakan berpikiran bebas, condong menganut pikiran liberal terutama dalam bidang Aqidah dan Teologi Islam. Salah satu buah ajarannya melahirkan suatu aliran yang bernama “Qadariyah” yang di kalangan Barat kemudian terkenal sebagai sebagai “free-will, free-act”, artinya Manusia bebas mempunyai kehendak atau keinginan, karena itu bebas pula bertindak dan berbuat. Salah satu paham yang dikampanyekan dan yang paling menggemparkan Dunia Islam, ialah bahwa Al Qur’an itu bukanlah Qadim, akan tetapi Hadits. Artinya, bahwa Al Qur’an itu bukanlah sebagai Kalamullah atau Firman Allah yang tak bermula atau kekal, akan tetapi sesuatu yang baru, dus Al Qur’an sebagai Firman Allah tetaplah makhluk.


            Gerakan Mu’tazilah yang dilindungi oleh Khalifah Ma’mun semakin memperoleh ruang bernafas dengan banyaknya buku-buku filsafat dari Yunani yang disaling ke dalam bahasa Arab. “Mu’tazilah” dan filsafat sama-sama berasaskan kebebasan berpikir dan oleh sebab itu dengan fasilitas pihak yang berkuasa maka pikiran-pikiran liberal mengalami zaman emas.  Dengan dalih membangun modernisasi dalam konstruksi berpikir secara rasional, sesuai dengan karakter Islam yang memberikan kemerdekaan berpikir, maka para Ulama ahli-ahli fiqih, aqoid, hadits, dan lain-lainnya menjadi sasaran serangan mereka sebagai golongan jumud (beku), konservatif, dan kaum terbelakang. Tentulah hal tersebut menimbulan kegemparan di kalangan Dunia Islam.


            Seorang Ulama besar Ahmad bin Hanbal atau lebih terkenal dengan nama Imam Hanbali (pendiri Madzhab Hanbali dan murid kebanggan Imam Syafi’i) tampil ke depan mempelopori gerakan menentang “Mu’tazilah”. Para Ulama berdiri di belakang Imam Hanbali. Oleh karena “Mu’tazilah” dilindungi serta didukung oleh pihak Istana Khalifah,  dengan sendirinya hubungan antara Imam Hanbali dan para Ulama di satu pihak dengan pihak penguasa di pihak lain, amat tegang. Imam Hanbali dipenjarakan dan Ulama lain ditangkapi.


             Keadaan menjadi aneh sekali. Khalifah bersama-sama kaum “Mu’tazilah” dan kaum sarjana filsafat bangsa asing berdiri dalam satu barisan menghadapi para Ulama dan Umat Islam di pihak yang lain. Seluruh Dunia Islam berada dalam ketegangan-ketegangan yang menggoyahkan potensi umat Islam pada umumnya.  Akan tetapi, keadaan demikian yang berlangsung selama kurang lebih 20 tahun itu segera berakhir. Tatkala Khalifah Al Mutawakkil memegang kekuasaan, Khalifah yang bijak itu mengakhiri masa ketegangan. Dekrit Khalifah Ma’mun yang menetapkan “Mu’tazilah” sebagai madzhab negara, dicabut. Gerakan “Mu’tazilah” dilarang. Pemimpin-pemimpin “Mu’tazilah” seperti Wasil bin ‘Atha’, An Nazzham, ‘Amr bin Ubaid, dan Abu Hudhail menghadapi banyak sekali tantangan dan dengan susah payah memelihara keselamatan jiwanya.


            Sebelumnya, seorang Ulama besar bernama Imam Abul Hasan Al Asy’ari memproklamirkan diri keluar dari “Mu’tazilah”. Beliau menyadari akan kesalahan-kesalahan pahaman “Mu’tazilah” dalam menerapkan kemerdekaan berpikir dalam Islam sehingga menimbulkan paham Aqidah yang merusak itu. Ajarannya di bidang ‘Aqaid atau At Tauhid terkenal dengan nama “Al Asy’ariyah”.


            Sepuluh tahun kemudian yakni pada tahun sekitar 944 Masehi di Samarkand tampil seorang Ulama besar bernama Imam Abu Mansur Al Ma’turidi memperkuat paham yang diajarkan Mu’tazilah. Ajarannya terkenal dengan nama “Al Ma’tudiriyah”. Kedua ajaran “Al Asy’ariyah” dan “Al Ma’tudirinyah” itulah yang dalam bidang ‘Aqaid atau Ushuluddin dikenal oleh Dunia Islam sebagai ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dipeluk oleh mayoritas terbesar Umat Islam seluruh dunia. Filsafat menghadapi tantangan yang berat. Dunia Islam sangat kritis terhadap paham-paham yang terkandung di dalamnya, bahkan ajarannya tentang metafisika dan ilmu alam yang tidak mengakui ke Maha Kekuasaan Allah dalam mencipta serta mengatur perjalanan semesta alam, dinyatakan sesat dan menyesatkan, sedang siapa yang mengikutinya dinyatakan zindiq (kafir-zindiq) artinya keluar dari Islam.


             Imam Ghazali (1058-1111 Masehi) di kalangan Dunia Islam sebagai seorang Ulama yang sangat luas ilmu di berbagai bidang. Ilmunya bukan semata-mata hasil dari penyelidikan akal yang diperlengkap dengan argumentasi retorika sebagaimana halnya dengan orang-orang ahli filsafat, akan tetapi ilmu-ilmu Imam Ghazali memancar dari hati sanubarinya bagaikan mata-air yang bening jernih. Beliau seorang mahaguru Tasawuf yang mengeritik orang-orang Tasawuf   yang mengabaikan upacara-upacara ibadah menurut ilmu fiqih. Dalam pada itu Imam Ghazali pun mengkritik orang-orang yang menjalankan upacara-upacara ibadah akan tetapi tidak meresapi arti maknanya yang lezat lantaran jiwanya tidak bersih, karena meninggalkan Tasawuf. Dengan lain perkataan, maka Imam Ghazali merupakan tokoh yang mempersatukan gerakan-gerakan zhahiriyah (fiqih) yang diperlengkapi dengan pengetahuan yang mantap (ilmu) serta dihayati oleh kelezatan berbakti (Tasawuf).


            Mengenai filsafat, Imam Ghazali tidak apriori menentang tetapi juga tidak menelan begitu saja. Dalam keadaan tertentu orang boleh berfilsafat, akan tetapi di mana tidak memerlukan filsafat, maka filsafat ditinggalkan. Oleh sebab itu menurut Imam Ghazali, ada bagian-bagian dalam filsafat yang bisa diterima oleh Islam, akan tetapi juga ada bagian-bagian lain yang sangat ditentang oleh Islam. Ilmu pasti atau matematika tidak dilarang oleh Islam, akan tetapi jika mengenai Ke-Tuhanan orang juga hendak memahami Tuhan secara matematik – yang tidak mungkin akan dapat dijumpai – maka demikian itu tentulah terlarang. Dengan mempelajari ilmu alam maka orang menjadi semakin ber-Iman terhadap Ke-Maha Kekuasaan Allah.


             Orang yang mempelajari karya-karya Imam Ghazali tentulah akan menjumpai betapa cermatnya ia memperinci fungsi serta peranan pengetahuan. Misalnya tentang teori logika dalam filsafat. Sebenarnya Logika tidak lain hanya kupasan tentang bagaimana membuat dalil-dalil atau alasan, mengemukakan pembuktian dan syarat-syarat pembuktian atau burhan, menyusun ta’rif atau definisi disertai qias dan silogisme serta sinonim, semuanya itu untuk menyusun argumentasi atau hujjah yang bertujuan untuk membuktikan suatu kebenaran yang pure.  Akan tetapi mengenai metafisika dalam filsafat yang membahas perkara ghaib terutama Ke-Tuhanan, Imam Ghazali menentang keras, disebabkan filsafat yang demikian itu amat sesat dan menyesatkan. Pendirian Imam Ghazali adalah merupakan mainstream Ahli Sunnah wal Jama’ah.


            Dua buku karangan Imam Ghazali, masing-masing: “Tahafutul Falasifah” (Kerancuan Filsafat) dan “Al Muqidz minadl-dlalal” (Penyelamat dari kesesatan), merupakan kritik terbuka terhadap sarjana-sarjana Muslimin yang hanyut dalam dunia filsafat karena sangat mendewakan rasio dan hendak meliberalkan Iman. Dua buku tersebut amat menggemparkan mereka yang merasa terkena oleh kritik Imam Ghazali. Salah seorang sarjana Islam, Ibnu Rusyd, di kalangan Barat terkenal dengan nama Averroes, mereka kritik Imam Ghazali ditujukan kepadanya. Ia mengangkat pena dan menerbitkan bukunya berjudul “Tahafutut Tahafut” (Kerancuannya Kerancuan). Tentulah buku tersebut ditujukan kepada Imam Ghazali, berisi pembelaan terhadap pahamnya tentang filsafat. Bagaimanapun, Dunia Islam menjadi sangat hati-hati terhadap filsafat. Filsafat hanya bisa diambil seperlunya sebagai pelengkap argumentasi tentang kebenaran Islam, adapun untuk hal yang telah sangat jelas dalam ajaran-ajaran Islam, maka orang tidak memerlukan filsafat. Bahkan bagian-bagian filsafat yang hendak membongkar atau melenyapkan kebenaran Islam, misalnya tentang “kodrat” makhluk dan paham metafisika yang menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah haruslah ditentang.


             Kritik Imam Ghazali terhadap filsafat merupakan lonceng yang memperingatkan Umat Islam agar tidak gegabah dalam menerima ajaran filsafat atas nama kebebasan berpikir. Dari filsafat memang bisa diambil manfaatnya, misalnya mengenai penemuan-penemuan ilmu eksakta, atau tentang metode berpikir, menganalisa, dan menguraikan argumentasi. Akan tetapi bahayanyapun sangat besar bilamana filsafat menggantikan kedudukan kepercayaan dan keyakinan mengenai ketidak terbatasan dari alam sebagai benda yang “maha kuasa”. Mendewakan materi selaras dengan logika dan semata-mata atas nama kebebasan berpikir, maka mudah sekali menjerumuskan seseorang menjadi atheis yang tidak percaya akan Tuhan atau percaya bahwa Tuhan tidak ada. Kepandaian retorika ala filsafatpun bisa membuat kesimpulan bahwa Tuhan itu ada. Akan tetapi “Tuhan” yang berselubung di balik uraian yang tersusun begitu bagus untuk menyembunyikan kongklusi yang sebenarnya bahwa “Tuhan” hanyalah benda juga atau sekadar angan-angan yang menurut rumus filsafat adalah “the outward projection of man’s inward nature” (proyeksi yang keluar dari batin pembawaan manusia). “Tuhan” bagi mereka bisa matahari, bisa atom, bisa kekuasaan atau uang, dan sebagainya.


             Di dalam kitabnya yang terkenal “Ihya’ ‘Ulumuddin” misalnya, Imam Ghazali mengupas panjang lebar tentang pentingnya fungsi dan peranan ilmu, anjuran kepada Umat Islam untuk menuntut ilmu seraya  memotivasi dengan pahala akhirat dan manfaat duniawi dengan mengemukakan begitu banyak Hadits Nabi. Dijelaskan tentang tingkatan-tingkatan ilmu yang harus dituntut atau dipelajari. Dimulai dengan ilmu-ilmu yang wajib dipelajari bagi tiap-tiap Muslim (fardlu ‘ain) misalnya tentang ilmu Ushuluddin dan ilmu Syari’at. Setelah itu anjuran untuk mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi syarat tegaknya suatu masyarakat misalnya ilmu politik, ekonomi dan sosial. Dan akhirnya Imam Ghazali menganjurkan agar orang Islam mempelajari ilmu-ilmu matematika, alam, kedokteran, falak, perindustrian, pertanian, tekstil, perikanan, perniagaan, dan lain-lain sebagainya. Dengan demikian, maka Imam Ghazali memperinci filsafat menjadi cabang ilmu pengetahuan yang positif dan negatif. Dan bagaimanapun juga orang mestilah mendalami arti ber-agama Islam terlebih dahulu sebelum mempelajari filsafat dengan sikap kritis dan penuh kewaspadaan.


            Begitu banyaknya buku-buku filsafat Yunani yang disalin ke dalam bahasa Arab di zaman Bani ‘Abbas seperti yang telah kita uraikan di muka, menyebabkan begitu banyaknya orang-orang asing terutama dari Barat yang menyinggahi Baghdad dan negeri-negeri Islam. Mereka datang untuk mempelajari filsafat yang telah hilang dalam jangka waktu berabad-abad dari negeri asalnya yaitu Yunani. Buku-buku tersebut mereka salin ke dalam bahasa Latin yaitu bahasa kaum terpelajar di Eropa pada waktu itu. Dari bahasa Latin akhirnya mereka salin ke dalam bahasa mereka masing-masing (Inggris, Perancis, Spanyol, Jerman, Italia), dan sebagainya. Maka benarlah peribahasa yang mengatakan: “Kalau tidak karena Baghdad, dunia tidak akan mengenai Yunani”, dan peribahasa lain: “Kalau tidak lantaran Baghdad, Eropa tetap dalam kegelapan”.


            Baghdad tentu bukan satu-satunya kota peradaban dan ilmu pengetahuan. Di samping Baghdad juga Cordova dan Granada di Spanyol, Kairo di Mesir, Bukhara dan Samarkand di Asia Tengah, dan Istanbul di Turki. Orang-orang Eropa mengunjungi negeri-negeri Islam itu bukan semata-mata mempelajari filsafat, tetapi juga metafisika, ilmu alam, falak, dan mempelajari ilmu-ilmu Islam. Bukan untuk menjadi orang Islam, akan tetapi mempelajari Islam sebagai pengetahuan, Islam sebagai “Islamology”. Karena orang-orang Islam ketika itu merupakan faktor kemenangan dan peradaban, maka orang-orang Barat tertarik untuk mempelajari Islam untuk pengetahuan semata. Itulah asal mula lahirnya suatu kelompok orang Barat yang dikenal sebagai “Orientalist”, ahli ketimuran.


            Dengan munculnya kelompok “Orientalist” maka sekalipun mereka hanya sekadar ingin tahu tentang seluk-beluk Islam sebagai “pengetahuan” (dikemudian hari amat penting manfaatnya bagi politik kolonialisme mereka), namun, bagaimanapun Islam dan perbendaharaan ilmiahnya menjadi tersebar ke seluruh dunia. Jangan lupa, kelompok “Orientalist” itu terdiri dari berbagai bangsa di Eropa, dan mereka menulis buku-buku tentang Islam dalam bahasa-bahasa penting di Eropa.


            Sebaliknya, dengan sikap kritis dan kewaspadaan para ‘Ulama terhadap filsafat, maka orang-orang Islam mempelajari filsafat disertai pembatasan-pembatasan. Artinya mengambil filsafat sekadar yang perlu dan meninggalkan yang bertentangan dengan sendi-sendi kepercayaan Islam. Apa yang dikatakan oleh guru filsafat terkemuka Aristoteles yang banyak dikutip orang-orang Islam dipegang teguh. Aristoteles pernah mengatakan: “Marilah kita berfilsafat manakala keadaan menghendaki kita berfilsafat. Kalau keadaan tidak memerlukan berfilsafat, maka kita harus berfilsafat pula untuk membuktikan bahwa berfilsafat itu tidak perlu”.


            Dengan memegang teguh ajaran guru filsafat sendiri, maka sarjana-sarjana Islam dalam “berfilsafat” menggunakan teori konstruksi berpikir melalui metode yang sistematis menurut filsafat, untuk menguatkan argumentasi mereka tentang kebenaran-kebenaran Islam. Merekalah yang terkenal dalam sejarah dan kebudayaan Islam sebagai “Failasuf Islam”. 



Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design