Filsafat; Sebuah
Keniscayaan Sejarah?
(Sebuah Pengantar)
Gerakan
renaissance di Eropa lahir karena dorongan semangat yang berkobar-kobar dari
kelompok kaum seniman, intelektual, dan politisi yang memelopori kebebasan berpikir
dan berbuat tanpa pembatasan apapun. Gerakan mereka didorong oleh kenyataan
yang mereka saksikan sehari-hari betapa ajaran dan pengaruh Gereja hanya
kekangan-kekangan yang membelenggu kemerdekaan berpikir. Mereka memandang Agama
di Eropa (Kristen) dengan penilaian penuh ejekan, Agama dalam pandangan mereka
tak lebih hanya seperangkat rangkaian dogma-dogma yang disusun bagaikan bunga
rampai yang indah dipandang, akan tetapi menghanyutkan orang banyak menjadi
lalai dan beku, pasrah terhadap apa yang hendak terjadi. Bahkan kalangan mereka
yang ekstrim memandang Agama dalam praktek sehari-hari di kalangan rakyat
sebagai hasil meninabobokan atas nama “kerajaan di langit”, menjadi alat
orang-orang kaya, tuan-tuan tanah serta kaum feodal yang memerintah secara
absolut.
Akan
tetapi, para penganjur renaissance itu juga menyadari, bahwa kebebasan berpikir
itu haruslah dilandasi oleh nilai “kekayaan batin” untuk tujuan idealisme.
Kebebasan berpikir tanpa idealisme adalah sia-sia. Mereka mendambakan nilai
“rohani”, akan tetapi bukan Agama. Sebagai contoh, mereka mencita-citakan suatu
keadilan, persamaan dan perdamaian yang mereka kategorikan sebagai idealisme.
Namun idealisme itu sendiri tidak mungkin bisa dijawab oleh hasil-hasil
pemikiran semata sekalipun sebagaimana bebasnya kemerdekaan berpikir itu. Sebab
itu mereka memerlukan motivasi yang bernilai “rohani”, akan tetapi, sekali
lagi, bukanlah Agama.
Sebab itu mereka mencari pelarian kepada
filsafat! Tentang filsafat yang mana? Mereka menampilan suatu kriteria,
bahwa filsafat yang hendak mereka jadikan tempat pelarian itu mereka beri nama
“Modern Philosophy” atau “Filsafat Baru”. Mereka jadikan “filsafat baru”-nya
itu sebagai tonggak kelahiran renaissance itu sendiri. Mereka bagi-bagi periode
filsafat menjadi beberapa periode yang dimulai dengan apa yang mereka namakan
“Humanistic Period” yang berlangsung antara tahun 1453 hingga tahun kematian
Bruno pada tahun 1600. Dengan lain perkataan, bahwa “Filsafat Baru” adalah
“Periode Kemanusiaan” sebagai landasan gerakan kebebasan berpikir.
Memahami Urgensi Filsafat
Filsafat atau falsafah,
kadang disebut falsafat atau falsafah, adalah terjemahan dari philosophy atau
philosophia. Bermacam orang menyebutnya dan beragam pula orang mengartikannya,
namun tidak diketemukan definisinya yang seragam. Dalam uraian yang terbatas
ini tentu tidak mungkin dijelaskan apa sebenarnya filsafat itu dengan berbagai
definisinya yang berbeda-beda. Akan tetapi sekedar pengertian pokoknya sebagai
berikut : Berpangkal dari kata “philosophia” dalam bahasa Yunani, yang berarti,
cinta akan kebijaksanaan, atau arti yang lain, ilmu pengetahuan secara umum
yang tiada batas. Juga berhubungan dengan tingkat pengalaman manusia yang semakin
bertambah, dan notabene itu merupakan asal diketemukan ilmu pengetahuan. Maka
dengan pengalaman-pengalaman yang beraneka macam itu menggiring pengelompokan
ilmu pengetahuan ke dalam berbagai kelompok ilmu, sehingga tiap bidang
melahirkan cabang ilmu pengetahuan tersendiri.
Dengan timbulnya berbagai cabang ilmu
pengetahuan itu, dengan sendirinya semakin menjadi sempitlah batas definisi
filsafat. Lama kelamaan filsafat mengambil peran sebagai pengetahuan yang
menelaah masalah-masalah khusus yang tidak dapat diselesaikan pemecahannya oleh
suatu ilmu pengetahuan. Misalnya mengenai penelaahan terhadap logika (ilmu
pengetahuan mengenai hukum-hukum dan metode-metode berpikir yang bisa
diterjemahkan ke dalam bentuk kata-kata, atau lazim pula disebut: manthiq),
terhadap metafisika (metaphysica, artinya: ilmu pengetahuan tentang sesuatu
yang berada di luar alam semesta yang tidak terjangkau oleh pengalaman manusia
atau dalam istilah filsafat disebut transenden), terhadap etika (ilmu tentang
bagaimana sepantasnya perilaku seseorang dalam pergaulan umat manusia, atau
tingkah laku yang dipandang baik dan buruk), terhadap estetika (ilmu tentang
kecantikan yang terdapat dalam sesuatu keindahan dalam seni dan seniman, dengan
ukuran bahwa belum tentu yang kita sebut bagus itu cantik dan indah. Bahkan
menurut Dostojewski (1821-1881), sesuatu yang indah namun menyedihkan itu
justru letaknya “keindahan”), terhadap psikologi (ilmu tentang kejiwaan),
terhadap fisika (physica, ilmu tentang alam semesta), terhadap hukum, sejarah,
dan masih banyak lagi pengelompokan ilmu pengetahuan yang menjadi penelaahan
dunia filsafat. Yang tidak kurang-kurang pentingnya ialah penelaahan filsafat
tentang apa hidup itu dan bagaimana pula cara sebaiknya menetapkan sikap
terhadap hidup itu sendiri.
Sikap pokok dari pada alam filsafat ialah,
bahwa para filosof atau filsuf dalam membentangkan pikiran bebasnya mempunyai
kemerdekaan yang mutlak, baik mengenai alam semesta (makro-kosmos) maupun alam
manusia (mikro-kosmos). Tetapi mengenai alam metafisika, seperti yang dikatakan
oleh Immanuel Kant (1724-1804) pemikiran mengenai hal tersebut adalah
spekulasi, karena manusia hanya dapat mengetahui apa yang dialaminya. Terutama
hakikat dari suatu benda yang terkait dengan pengalaman manusia. Karena itu,
metafisika adalah suatu pengetahuan yang boleh dibilang mustahil karena
kesanggupan akal manusia hanya meliputi alam kenyataan. Berhubungan dengan itu,
maka menurut Immanuel Kant, Tuhan hanyalah suatu ide atau pikiran yang bersifat
inteligible (hanya dapat dipahami dengan akal), artinya, pengertian
Tuhan tidak berdasarkan realitas.
Oleh karena itu filsafat bersumber pada
pemikiran bebas, maka kita akan menjumpai perbedaan definisi yang akibatnya
masing-masing pihak memanjang-manjangkan uraiannya mengenai filsafat. Dengan
demikian, maka semakin diketemukan hal-hal baru yang masih gelap, dan yang
gelap itu mengundang pemikiran lebih lanjut dan menemukan hal-hal yang baru
pula, hingga pernah dikatakan oleh seorang ahli filsafat sendiri, semakin
diselami dengan akal pikiran sedalam-dalamnya semakin banyak yang belum
diketahui!
Dimulai dengan pemikiran tentang What can
I do? What ought I to do? What my I hope? (Apa yang bisa saya ketahui, apa yang
seharusnya saya kerjakan, apa yang boleh saya harapkan), maka filsafat memulai
pembahasannya tentang perkembangan pemikiran umat manusia sejak sejarah mengenal
pemikiran-pemikiran zaman purba. Tepatnya sejak zaman Babylonia (2400 tahun
sebelum Nabi ‘Isa), zaman Assyria (700 tahun sebelum Nabi ‘Isa), lalu disusul
zaman Thales Anaximander (600 tahun sebelum Nabi ‘Isa),
Heraclitus-Parmenides-Zeno (500 tahun sebelum Nabi ‘Isa), Socrates – Plato –
Aristoteles (425-350 tahun sebelum Nabi ‘Isa), dalam nama dunia filsafat
menemukan bentuknya sebagai asas berpikir secara bebas, yang oleh mereka
dirumuskan sebagai berpikir bebas demi kecintaan kepada menemukan kebenaran dan
kebijaksanaan.
Akan tetapi, apakah itu kebenaran dan
kebijaksanaan? Di situlah dunia filsafat menghadapi batas jangkauan
pemikirannya tatkala memasuki dunia metafisika yang hanya bisa dijawab oleh agama.
Karena filsafat bersumber pada pemikiran, sedang hasil pemikiran adalah hasil
dari pengalaman, maka pengalaman manusiang hasil pemikiran adalah hasil
dari pengalaman, maka pengalaman manusia tentang kebenaran dan kebijaksanaan
itu terbentur pada kaidah-kaidah yang tak dijangkau oleh kesanggupan nalar
manusia. Walaupun pada akhirnya lahir ahli-ahli filsafat di abad-pertengahan
hingga mutakhir seperti : Francis Bacon(1561-1626), Galileo Galilei
(1564-1642), Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), Isaac
Newton (1642-1727), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), David
Hume (1711-1776), Baron de La Brede et de Montesquieu (1789-1755), Adam Smith
(1723-1790), Jean Jacques Rousseau (1712-1778), Immanuel Kant (1724-1804),
G.W.F Hegel (1770-1831), Sir William Hamilton (1788-1856), Auguste Comte
(1798-1857), Charles R. Darwin (1809-1882), Herbert Spencer (1820-1903), Karl
Marx (1818-1883), Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), Bertrand A.W. Russel
(1872), dan lain-lain termasuk pula seorang yang banyak dikagumi dalam abad 20
ialah Albert Einstein (1879-1955) yang oleh Albert E. Avey dikatakan: He
supported the Zionist plan for a homeland for Jews (Penyokong rencana gerakan
Zionis untuk sebuah tanah air bagi Yahudi).
Dari mereka itu, lahirlah aliran-aliran
yang beraneka ragam dalam filsafat. Menjadi kenyataan bahwa filsafat secara
entitas dan definisi satu akan tetapi didapati bermacam-macam alirannya maupun
pengaruhnya. Sebagaimana filsafat purba mempunyai perbedaan menganalisa
sesuatu dan dengan sendirinya menghasilkan kongklusi yang berbeda pula mengenai
asal kejadian alam. Sebagian ahli filsafat mengatakan bahwa udaralah asal
kejadian alam, sebagian lagi mengatakan api dan yang lain berpendapat air.
Demikian pulalah tentang proses kejadian itu sendiri maka dalam dunia filsafat
berlaku suatu hukum kaidah bahwa tak ada yang diam dan tenang karena segalanya
diproses oleh gerak dan hukum harakat. Segala yang bernama permulaan
adalah awal dari suatu akhir, karena tiap kelahiran telah mengandung proses
kematian. Hukum demikian berlaku bagi makro-kosmos maupun mikro-kosmos.
Akan tetapi ada filsafat lain yang
mengatakan sebaliknya. Bahwa segalanya adalah berhenti. Sampai apa saja yang
dikatakan bergerak sekalipun, pada hakikatnya juga berhenti. Sebagai contoh
diambil sebuah misal, bahwa sebuah anak panah yang dilepaskan dari busurnya,
sebenarnya tidaklah bergerak, akan tetapi berhenti atau diam. Sebab menurut
analisa filsafat, pada setiap saat biarpun seper-seribu detik sekalipun, anak
panah yang dilepaskan dari busurnya itu berada pada satu tempat. Berada pada
satu tempat itu hakekatnya adalah berhenti atau diam. Itulah aliran dialektika
dalam filsafat, suatu aliran ilmu tentang logika untuk berpikir sedalam-dalamnya
dengan menemukan setiap pengertian mengandung perlawanan, dan tiap kesimpulan
mengandung kebalikannya pula.
Dari filsafat di atas diketemukan suatu
hukum-kaidah, bahwa segala yang ada itu senantiasa mengalami proses bersatu dan
bercampur untuk berpisah. Bercampur sesama jenisnya dan berpisah untuk
membentuk jenis-jenis lain yang pada akhirnya juga menjadi lenyap lalu timbul
untuk pada akhirnya lenyap kembali. Mengapa demikian? Karena ditentukan oleh
“kodrat”-nya sendiri. Dari mana “hukum kodrat” itu? “Kodrat” itu menurut
filsafat tersebut telah ada atau hinggap di dalam bentuk itu sendiri yang
menghendaki bersatu dan berpisah. Atau dengan perkataan lain, bendalah yang
menciptakan dirinya sendiri, lalu bercampur dan berpisah karena “kodrat”nya sendiri.
Sebab itu alam ini hanya terdiri dari benda-benda atau materi-materi, yang
semuanya berasal dari benda yang amat terkecil hingga tak bisa dibagi. Benda
itu bernama “atom”, berasal dari perkataan “a” yang artinya “tidak” dan “tom”;
artinya “terbagi”.
Demikianlah maka timbul aliran
filsafat Heraclitus (533-475 sebelum Nabi ‘Isa) yang mengajarkan bahwa hakikat segala-galanya
adalah perubahan. Segala-galanya berubah, perubahan itu disebabkan karena
berdasarkan hukum perlawanan yang senantiasa ada dalam setiap benda atau
sesuatu kejadian. Seorang bayi yang baru lahir di dalamnya telah mengandung
kematian. Perkembangan filsafat tersebut diperjelas oleh Hegel (1770-1831) yang
melahirkan hukum ‘thesis-anti thesis-synthentis’ sebagai suatu metode berpikir
dan berbuat, yang berasas pada “kesatuan perlawanan” dan bersumber pada akal
semata-mata. Bagi filsafat mazhab tersebut, akal adalah merupakan
segala-galanya, baik mengenai perkembangan pengertian maupun perkembangan
sesuatu kejadian.
Tiap sesuatu telah membentuk
perlawanannya. Dari filsafat tersebut melahirkan filsafat
“dialektika-materialisme” yang dalam perkembangan selanjutnya menetapkan suatu
hukum, bahwa: Dunia adalah medan pertarungan. Pertarungan terus menerus antara
dua aliran yang bertentangan, bertarung untuk membentuk yang baru, tetapi yang
barupun menimbulkan perlawanannya yang bertarung hingga bertarung itu tak akan
ada habisnya. Pertarungan adalah raja dari segala-galanya. Dari pertarungan,
terpenuhilah prinsip bertemu untuk berpisah, bersatu dan bertarung, karena yang
satu harus dibikin tamat riwayatnya. Mengapa demikian? Jawab filsafat: karena
“kodrat” itu dibentuk oleh apa dan siapa? Dan akhirnya apa dan siapa itu darimana?
Jika dikejar terus oleh “filsafat” lain tentulah akan melahirkan pertanyaan
berikutnya : Darimana itu apa, mengapa dan siapa?
Pertanyaan demi pertanyaan memperoleh
penjelajahan alam pemikiran untuk mencari jawaban berdasar penemuan pemikiran
pula, dan jawaban demi jawabanpun menimbulkan pertanyaan pula yang memerlukan
penjelajahan lebih lanjut, demikianlah berlangsung tanpa ada kesudahannya. Hal
itu tidaklah mengherankan, disebabkan karena dunia filsafat hanyalah meliputi
sekeliling pemikiran nalar manusia, dengan sendirinya penelaahannya dan
penjelajahannya terbatas pada alam nyata yang hanya bisa dicapai oleh
kesanggupan pemikiran manusia. Tiap masalah serta kemusykilan yang menjadi
problem harus memperoleh jawabannya menurut daya kemampuan pikiran manusia.
Dari kalangan mereka sendiri terdapat satu kelompok yang berpendirian bahwa
filsafat tidak boleh menjangkau pemikiran tentang hal-hal ghaib yang menjadi
lingkungan alam metafisika misalnya tentang Agama, tentang Akherat, tentang
Tuhan, dan sebagainya dari alam di luar manusia, karena kemusykilan manusia
hanya dipecahkan oleh manusia sendiri tanpa “ikut campur Tuhan”, kata mereka.
Memang benarlah orang yang mengatakan
bahwa filsafat lahir karena subjek dan objek ketakjuban manusia. Artinya,
ketakjuban atau kekaguman manusia akan rahasia-rahasia alam semesta yang begitu
kaya-raya, pelik dan penuh teka-teki yang belum terjawab. Manusialah
satu-satunya makhluk yang bisa merasakan ketakjuban tersebut. Manusia sebagai
makhluk yang takjub, dia menjadi subjek. Rahasia alam sebagai kejadian yang
ditakjubi, maka alam itu menjadi objek.
Dalam filsafat diajarkan bahwa
ketakjuban melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang terucap dalam kata-kata maupun
yang masih tersimpan dalam hati sanubari. Dengan dorongan pertanyaan-pertanyaan
maka manusia merasa harus melakukan penyelidikan, penelaahan serta
penjelajahan, membongkar segala rahasia ketakjuban mereka untuk memperoleh jawabannya.
Untuk menemukan jawaban tersebut
Seorang filsuf adalah seorang monolog
(monologue), orang yang berbicara atau bertanya kepada dirinya sendiri. Dia
yang berbicara atau bertanya dan dia sendiri pula yang menjawab. Pertanyaan
tentang What can I know? (apa yang bisa saya ketahui) What ought I to do? (apa
yang seharusnya saya kerjakan) What may I hope? (apa yang boleh saya harapkan).
Pertanyaan-pertanyaan mengenai apa saja yang sanggup dicetuskan oleh daya kemampuan-pikirannya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi pokok persoalan yang dalam dunia
filsafat disebut problem. Manusia melahirkan problem-problem karena itulah
haknya. Haknya sebagai makhluk yang mempunyai nalar yang membedakannya dari
binatang. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengalir dengan bebas tak boleh
dihambat-hambat dan harus menemukan jawaban-jawabannya menurut kesanggupan
daya-pikirnya dengan bebas pula. Bertanya dan menjawab problem 1000 macam
harus terus berlangsung tidak boleh menemukan titik akhir apalagi titik
kejelasan. Sebab jawaban yang merupakan titik akhir atau yang merupakan
kejelasan terakhir berarti tamatnya dunia filsafat, dan hal itu tidak boleh
terjadi. Filsafat tidak boleh selesai, dan sang filsuf tidak boleh mengalami kematian
problem. Tamatnya suatu jawaban sama dengan berakhirnya dunia filsafat. Habisnya
pertanyaan-pertanyaan, sama artinya dengan mandeknya alam berpikir, hal itu
bertentangan dengan fungsi manusia sebagai “makhluk berpikir”, demikian menurut
bahasa filsafat.
Dalam dunia filsafat tidak boleh ada
persoalan yang abstrak dan samar, segalanya harus nyata dan pasti menurut
penemuan pemikiran. Karena itu filsafat menjelajahi serta menelaah segala
kejadian alam semesta untuk melahirkan ilmu yang bernama ilmu alam dengan
segala hukum-hukumnya yang bisa dirumuskan. Menurut dunia filsafat, alam
semester merupakan susunan hukum yang selamanya obyektif serta masuk akal, yang
oleh kalangan filsafat dipandang sebagai “kodrat alam”. Dengan demikian, maka
menurut mereka, segala peristiwa yang akan datang akan bisa diketahui serta
diramalkan sebelumnya, bahkan bisa direncanakan. Segala peristiwa mengenai
sejarah, mengenai ekonomi, mengenai tingkatan kemajuan, bahkan mengenai damai
dan perang, segalanya bisa direncanakan, bisa “diatur”. Bagi dunia filsafat,
berpikir tentang manusia, termasuk hidup dan matinya sekalipun, baik secara
perorangan maupun secara berkelompok, tidak ada bedanya dengan berpikir tentang
benda dengan susunan yang rasional dari alam semesta karena manusia adalah
bagian mutlak dari alam, padahal filsafat mengatakan bahwa alam adalah suatu
kenyataan yang besar yang meliputi segala-galanya, sumber kehidupan dan
kematian dan karena itu alam menjadi sumber pemikiran.
Selintas Perjalanan
Filsafat
Filsafat melahirkan ilmu
pengetahuan. Segala persoalan manusia selamanya dilayani, dijelaskan dan
diselesaikan oleh ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, ilmu adalah “maha kuasa”.
Dari kalangan filsafat yang radikal mengatakan bahwa ilmu eksakta telah sanggup
menyusun pekerjaan-pekerjaan dengan instrumen atau alat-alat yang rasional
hingga tidak memerlukan bantuan apapun. Kalau Agama, - demikian kata mereka – hanya
berbicara tentang rembulan dan bintang-bintang, maka ilmu eksakta telah
mengantarkan manusia datang sendiri ke rembulan dan bintang. Dengan demikian,
maka Agama tidak perlu ada, karena kedudukannya telah digantikan oleh ilmu
pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan, maka watak manusia dan kebudayaannya bisa
dibentuk melalui alat-alat dan sarana-sarana yang diciptakan oleh ilmu
pengetahuan. Masyarakat akan bisa disusun dan ditemukan nasibnya dalam hidup
berdasarkan hasil-hasil yang diciptakan oleh ilmu pengetahuan.
Filsafat yang radikal-ekstrim seperti di
atas dapat dipelajari melalui filsafat Feuerbach yang diajarkan oleh ahli
filsafat berkebangsaan Jerman bernama Ludwiq Feuerbach (1804-1872). Filsafat
Feuerbach sangat berpengaruh bagi Karl Marx (1818-1883) dan Fredrich Engels
(1820-1895), dua orang pertama yang membangun paham Marxisme yang melahirkan
komunisme.
Secara ringkas filsafat Feuerbach itu
mengajarkan: Agama itu ciptaan manusia sendiri. Apa yang disembah-sembah orang
sebagai Tuhan sebenarnya ialah perwujudan dari cita-cita manusia sendiri.
Setiap manusia menyadari akan kekurangan-kekurangan sendiri: ia tidak adil, ia
tidak baik, cintanya terhadap sesama manusia tidak sebagaimana mestinya, dan
sebagainya. Berulang-ulang ia mengecewakan hatinya sendiri karena
kekurangan-kekurangan tersebut. Dengan demikian timbullah dalam sanubarinya
keinginan-keinginan akan sesuatu yang sempurna dalam segala-galanya.
Demikianlah lahirlah Tuhan dalam hatinya. Begitu pula timbulnya pengertian
sorga (dunia baqa'), Dunia tempat manusia hidup sehari-hari tidak pernah
memuaskan hatinya secara absolut. Demikian ajaran Feuerbach, bahwa manusia
hendaknya segera menggantikan kepercayaannya akan Tuhan dan Dunia-baqa itu
dengan kemauan, yakni kemauan yang ditujukan semata-mata kepada manusia dan
dunianya yang sekarang ini, jelasnya, kemauan untuk menaikkan martabat manusia
dan kemauan untuk memperbaiki keadaan dalam hidupnya. Secara “bahasa filsafat”
yang ilmiah, maka filsafat Feuerbach itu antara lain mengajarkan: Religion
therefore is nothing else than the consciousness of the infinity of the
consciousness – Karena itu Agama tak lain daripada kesadaran dari keadaan
ingat yang tak terhingga. Mengenai Tuhan, filsafat tersebut mengatakan: Thus,
God is so to speak the outward projection of man’s inward nature –
Begitulah, Tuhan itu sekadar proyeksi atau rencana yang keluar dari pembawaan
batin manusia. Secara jenaka, ada yang mengatakan bahwa makna dan pengertian
tentang filsafat adalah beraneka ragam, akan tetapi mereka sepakat untuk
menetapkan kesamaan pendapat, bahwa di antara mereka tidak ada kesepakatan
tentang definisi dan tujuan filsafat. Ketidak sepakatan mereka itu disebabkan
karena perbedaan tempat berpijak sehingga masing-masing mengarah kepada
tujuannya sendiri-sendiri. Oleh sebab itu, dalam dunia filsafat memiliki banyak
sekali aliran serta corak yang masing-masing membentuk identitas
sendiri-sendiri.
Dr. Mohammad Hatta mengatakan sebuah
contoh tentang aliran Sofisme. Sofisme asalnya dari kata “sophos” yang artinya
cerdik pandai. Semula gelar Sofis ditujukan kepada segala orang pandai; ahli
bahasa, ahli filsafat, ahli politik dan lain-lainnya. Orang tersebut karena
pengetahuannya dan kebijaksanaannya dinamai Sofis. Tetapi lama kelamaan kata
itu berubah artinya. Sofis menjadi gelar bagi tiap-tiap orang yang pandai
bermain dan bersilat dengan kata-kata.
Pada umumnya filsafat mengarahkan
pembahasan serta penyelidikan ilmiahnya kepada alam jagat raya atau kosmos. Dengan
lahirnya aliran sofisme maka filsafat dibelokkan pengarahannya kepada alam
manusiawi, kepada kemauan, kepada cita-cita, kepada perasaan, dan kepada
pengetahuan yang semestinya dimiliki tiap-tiap manusia. Dengan demikian maka
dalam dunia filsafat lahir aliran tentang ethic kesusilaan.
Dr. Mohammad Hatta menilai secara kritis
aliran sofisme, sungguhpun kaum sofis selalu mempersoalkan sikap hidup namun
mereka tak sanggup menetapkan dasar apa yang harus menjadi pedoman hidup.
Mereka tidak dapat menemukan dasar umum yang harus berlaku bagi setiap orang,
disebabkan karena tiap-tiap guru sofisme mengajarkan ukuran atau normanya
sendiri-sendiri. Masing-masing mengemukakan pahamnya sendiri dengan tiada mau
menimbang paham orang lain. Kecuali kalau tidak hendak membantah. Pahamnya
sendiri tidak pula tetap, berubah-ubah dari waktu ke waktu. Tak ada yang tetap,
kata mereka, semuanya senantiasa dalam perubahan. Sebab itu sikap manusia perlu
pula berubah-ubah. Dengan pendirian semacam itu tiap-tiap perubahan pikiran
tentang sesuatunya dapat dipertahankan dengan mengatakan bahwa keadaan telah
berubah. Semua berubah, dan kita hanya sekedar mengikuti.
Kaum sofis tidak ada yang sama
pendiriannya tentang dalam suatu masalah. Mereka hanya sependirian dalam hal
meniadakan, dalam pendirian yang negatif. Pokok ajarannya ialah, bahwa
“kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai”. Tiap-tiap guru sofis mengemukakan
ini sebagai pokok pendirian. Oleh karena kebenaran yang sebenar-benarnya tidak
tercapai, maka tiap-tiap pendirian boleh benar dan boleh salah menurut
pandangan manusia. Tiap guru sofis mengajar orang menaruh keraguan akan buah
pikiran orang lain. Sebaliknya pula ia mengajar orang mempertahankan tiap-tiap
pendirian. Apa yang dipertahankan kemarin, sekarang boleh dibatalkan. Kebenaran
hanya sementara. Oleh sebab “kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai”,
maka tiap-tiap pendirian boleh dibenarkan. Buat sementara ia benar. Sebab itu
pula tidak ada ukuran yang tetap tentang benar dan tidak benar, tentang baik
dan buruk. Sebagai kelanjutan pendapat ini, hilanglah perbedaan antara benar dan
salah, antara baik dan jahat.
Dengan ajaran sofisme dalam filsafat yang
dilukiskan begitu jelas oleh Dr. Mohammad Hatta, maka timbullah paham filsafat
yang disebut: teori tentang relativisme. Segalanya bersifat sementara,
segalanya bersifat relatif. Sifat kesementaraan itu dengan sendirinya
melahirkan apa yang dinamakan teori tentang skeptisme, teori tentang menaruh
syak-wasangka akan segala pendirian orang lain, atau mungkin akan pendiriannya
sendiri. Memandang tiap paham atau pendirian orang lain dengan sikap skeptis,
sikap purbasangka.
Di negeri asal kelahirannya sendiri
yaitu Yunani, tidak dikenal sebutan “filsafat”, akan tetapi “philosophia” atau
“philosophy”. Adapun maknanya ada yang mengatakan: “cinta akan kebijaksanaan”,
adapula yang mengartikan: “Cinta akan pengertian”. Adapun sebutan “filsafat”,
diketemukan melalui ucapan bahasa Arab yang menyebutnya dengan “falasifah” atau
“falsafah” atau “filsafah”, lalu di Indonesiakan menjadi “filsafat.” Mengapa melalui ucapan bangsa
Arab? Dalam sejarahnya, bangsa Yunani purba yang melahirkan “philosophia” itu
pernah mengalami perpecahan di antara mereka berhubung mereka tidak tersusun
dalam suatu negara. Mayarakat mereka terpecah-pecah berkeping-keping mengikuti
kondisi tanahnya yang terdiri dari ratusan pulau-pulau serta kota-kota kecil
yang terpisah satu dengan lainnya oleh lautan, gunung-gunung dan jurang. Tiap
kota merupakan “negara-negara” sendiri dan saling bermusuhan hampir tak ada
hentinya. Dan yang lebih parah lagi disebabkan karena serangan-serangan bangsa Persiaa
yang berulang-ulang.
Diceritakan, bahwa dalam jangka waktu yang
lama sekali, filsafat hilang dari Yunani terlepas dari bangsa yang
melahirkannya selama beratus-ratus tahun. Selama jangka waktu yang lama sekali
itu, filsafat dipelihara oleh orang-orang Islam bangsa Arab. Suatu ketika,
para penguasa Yunani memusuhi ahli-ahli filsafat. Itu dapat dibuktikan oleh
perlakuan mereka terhadap filsuf-filsuf terbesar Yunani seperti Socrates,
Plato, Aristoteles dan sebagainya yang diperlakukan sebagai musuh para
penguasa. Keadaan demikian berlangsung berabad-abad.
Sejak tahun 528 Masehi nasib para filsuf
lebih menyedihkan lagi. Seorang Kaisar Yunani, Justinian, melakukan pengejaran
serta menangkap filsuf-filsuf untuk dibunuh, adapun yang dapat lolos dari
penangkapan, mereka melarikan diri keluar negeri misalnya ke Persiaa dan
kemudian ke Baghdad yang ketika itu ibukota Daulah Bani ‘Abbas. Bangsa Arab
sendiri telah mempunyai perbendaharaan-kata yang maknanya sama dengan filsafat,
yaitu “al-Hikmah” yang artinya “al-Kalam al-muwafiq al-haqq”atau “Shawab al-amri
wa Shadaduhu” yang artinya “Perkataan yang menyepakati kebenaran” atau
“Kebenaran sesuatu yag sebenar-benarnya”. “Al-Hikmah” sama benar maknanya
dengan “Falsafah”. Kita dapat mencocokkan arti kata “Al-Hikmah” dengan “Wisdom”
atau “Philosophy” dalam “Al Qamus al-‘Ashry” (Modern Dictionary Arabic-English
by Elias A. Elias & Ed. E. Elias, Ninth Edition, Cairo 1962). Jelas
sekali, seperti halnya dengan bangsa Yunani memiliki “philosophia”, maka bangsa
Arab memiliki “Al-Hikmah”, yang makna serta pembidangnya adalah sama.
“Philosophia” menjadi “falsafah” menurut lidah Arab.
Zaman Daulah ‘Abbasiyah yang berpusat di
Baghdad amat terkenal sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan, zaman lahirnya
pujangga-pujangga, ‘Ulama-‘Ulama, para penyair dan ahli ilmu pengetahuan yang
besar-besar. Terutama di zaman Khalifah-Khalifah Abu Ja’far Al Mansur (714-775
M), Harun Al Rasyid (766-809 M), dan Al Ma’mun atau ‘Abdullah Al Ma’mun
(786-833 M), perbendaharaan ilmu pengetahuan Islam itu diperkaya dengan begitu
banyaknya usaha menyalin buku-buku maupun manuskrip yang berasal dari Yunani, Persiaa,
India, Tiongkok dan lain-lain. Beratus-ratus buku-buku tentang filsafat
dalam bahasa Yunani disalin ke dalam bahasa Arab. Memang, zaman Daulah Bani
‘Abbas – seperti kita uraikan di muka – terkenal dalam sejarah sebagai “’Ashrul
‘ulum wa al-Taqaddum”, abad ilmu pengetahuan serta kemajuan, abad yang
melahirkan Ulama-Ulama, pengarang-pengarang, penyair-penyair, serta para
penyalin dari buku-buku bahasa asing ke dalam bahasa Arab. Dan, buku-buku
filsafat dari Yunani memperoleh prioritas utama untuk disalin. Usaha penyalinan
itu dipelopori sendiri oleh Khalifah-khalifah yang terkenal pengagum ilmu itu
sehingga istana Khalifah penuh dengan para pengarang, penyair serta penyalin
yang memperoleh honorarium sangat tinggi.
Baghdad menjadi ibukota pusat perkembangan
ilmu pengetahuan, filsafat serta kebudayaan. Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah
serta Ulama-Ulama besar lainnya pernah menetap di Baghdad, demikian pula pujangga
Ibnu Al-Muqaffa’ dengan karya terjemahannya “Hikayah Kalilah wa Dimnah” yang terkenal,
juga menetap di Baghdad. Khalifah Al Ma’mun mendirikan “Lembaga Ilmu
Pengetahuan” di Baghdad dengan sebuah institut filsafat yang diberi nama
“Baitul Hikmah”, di mana para pujangga dan ahli-ahli filsafat berkumpul,
berdiskusi dan membuat karya-karyanya yang besar. Institut tersebut dipimpin
oleh Hunain Ibnu Ishaq.
Khalifah Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al
Mutawakkil adalah sahabat karib dari Ya’qub bin Ishaq bin As Shabah atau yang
terkenal dengan nama Al Kindi, seorang ahli-pikir dan pengarang terbesar di
zaman Bani ‘Abbas. Bersama pujangga-pujangga lain yang mempelajari serta
menterjemah karya-karya Aflatun (Plato) dan Aristhu (Aristoteles atau
Aristotle) ke dalam bahasa Arab, maka Al Kindi sendiri telah merampungkan
karya-karyanya sejumlah 231 buku karangan dan salinan. Itu baru karya Al Kindi
yang hidup pada permulaan abad ke-9 Masehi atau 185 Hijriah. Belum karya-karya
Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Ghazali, Ibnu Bajah (orang Barat
menyebutnya Avempace), Ibnu Thufail, dan lain-lain yang kecuali mereka itu
menulis karya-karyanya tentang filsafat, juga tentang ilmu-ilmu Islam seperti
Fiqih, Tafsir, Hadits, dan sebagainya.
George Zaidan, pengarang bangsa Arab beragama
Kristen itu mengemukakan selusin nama-nama pengarang Islam yang sekaligus juga
penterjemah karya-karya bangsa asing terutama filsafat Yunani, dan mereka itu
menulis karya-karyanya diberbagai bidang ilmu pengetahuan terutama mengenai filsafat:
Misalnya nama-nama: Ibnu Ishaq, Yahya bin ‘Adi, Hunain bin Ibnu Ishaq, Ibnu
Na’imah, Abu Basyar, Ibrahim bin Abdillah, Abu Ruh As Shabi, Ibnu Yunus, Al
Hajjaj bin Mathar, Muhammad bin Musa, Ahmad bin Musa, Isthafani Ibnu Shalih,
Jibillah bin Salim, Abdullah Ibnul Muqaffa’, Ibnu Dahn, dan masih banyak lagi. Adapun
Hunain bin Ishaq karyanya tidak kurang dari 32 buah buku dalam filsafat Yunani.
Mereka itu kecuali menulis atau mengarang,
juga menyalin buku-buku karangan Plato tentang politik, etika, logika, alam,
dan karya-karya Aristoteles serta filsuf Yunani lain. Baik tentang sajak, musik, psikologi, tentang watak
manusia, tentang air dan udara, kedokteran, tatanegara, hubungan antara
manusia, tentang keindahan wanita, tentang kejantanan orang-orang lelaki,
tentang diskusi, tentang obat-obatan, tentang ilmu bangunan (arsitektur),
tentang matematika, tentang nyanyian, dan lain sebagainya.
Abu Ja’far Al Mansur boleh dibilang
penegak Dinasti Bani ‘Abbas sekalipun abangnya, Abdul ‘Abbas As Safah-lah yang
memproklamirkan dinasti yang terbesar dalam sejarah Islam. Dialah pembangun
dinasti pengganti Bani Umayyah yang hampir 90 tahun berkuasa. Akan tetapi karen
Abul’ Abbas As Safah hanya pendek masa-jabatannya sebagai Khalifah pertama
dinasti Bani Abbas, maka adiknyalah, Abu Ja’fa Al Mansur mengisi dinasti yang
masih baru itu dengan meletakkan dasar-dasar pembangunan negara yang besar. Mengawali
masa jabatannya antara tahun 136 – 158 Hijriah, Abu Ja’far Al Mansur membangun
ibukota baru, Baghdad, sekalipun ia sangat sibuk dengan penaklukan-penaklukan
serta memadamkan gerakan-gerakan pemberontak dari berbagai kelompok di dalam
negeri. Sungguhpun ia mengagumi serta mendalami ilmu Fiqih, namun ia amat
menyintai ilmu pengetahuan. Suatu hal yang amat logis, karena di dalam Fiqih
mengandung dorongan orang mempelajari di samping Al Qur’an, As Sunnah, ‘Aqaid
dan Tasawuf, juga ilmu estetika (keindahan), geography (ilmu bumi), astronomi
(ilmu falak), ilmu ekonomi, sosial, etika (tata krama) seni baca, dan lain-lain
sebagainya termasuk ilmu kesehatan dan ilmu hitung.
Adalah satu fakta bahwa umat Islam
sepanjang tahun mengerjakan sembahyang, puasa, zakat, haji yang tata caranya
dikaji dalam fiqh. Fiqih pula yang menganjurkan mempelajari ilmu bumi, falak, ilmu
hitung, ilmu kesehatan, etika, seni baca, dan ilmu pergaulan dengan
bangsa-bangsa (Haji). Orang Islam wajib beriman, karena itu mestilah memahami
Aqaid, dan di dalamnya mengandung metafisika, logika, fisika, psikologi,
retorika, etika dan sebagainya. Dari uraian pendek ini saja dapat dimengerti,
mengapa Khalifah-khalifah Bani ‘Abbas memelopori gerakan pengembangan ilmu
pengetahuan baik yang bersifat eksakta maupun sosial, metafisika dan politik,
karena konsekwensi yang logis, terutama berhubung semakin luasnya wilayah
kekuasaan Islam dan berhubung dengan semakin berkembangnya jumlah
pemeluk-pemeluk Islam di hampir seperempat penduduk dunia. Para Khalifah dan
ulama-ulama sangat mendambakan pemeluk-pemeluk Islam itu sebagai pribadi yang
berkwalitas, dan itu hanya bisa dicapai jikalau mereka menjadi orang-orang yang
sadar serta konsekwen menjalankan Syari’at Islam. Adapun kunci utamanya ialah
ilmu.
George Zaidan menceriterakan, bahwa
Khalifah Al-Mansur (Abu Ja’far al Mansur) di tahun 148 Hijriah mendatangkan
Jurjis bin Bakhtisyu As-Suryani, seorang dokter terbesar di zamannya yang
menjadi pemimpin dokter-dokter di Jandisapur, Persiaa. Selain seorang dokter
paling terkemuka, Jurjis bin Bakhtisyu As Suryani adalah seorang pujangga yang
menguasai bahasa-bahasa Suryani, Yunani, Persia dan Arab. Di Baghdad di bawah
perlindungan serta fasilitas Khalifah Al Mansur, ia mengarang serta menyalin
buku-buku tentang ilmu kedokteran yang berasal dari bahasa Yunani dan Persia ke
dalam bahasa Arab. Orang-orang yang diperlakukan seperti Jurjis itu
berpuluh-puluh banyaknya, yang membuat semarak Baghdad dengan karya-karya
ilmiah dalam bidang astronomi, logika, fisika, fisiologi, matematika, sejarah dan
filsafat.
Sekali lagi harus ditekankan di sini,
walaupun Baghdad menjadi pusat kaum sarjana serta pengarang dalam bidang ilmu
pengetahuan dan filsafat, namun di zaman yang bersamaan, Baghdad juga menjadi
pusat kegiatan Ulama-ulama ahli hadits dan Fiqih seperti Abu Hanifah An Nu’man
(yang terkenal dengan nama lain, Imam Hanafi) pembangun Madzab Hanafi. Oleh
khalifah Al Mansur, beliau sengaja didatangkan dari Kufah untuk menetap di
Baghdad. Berkerumunlah Ulama-ulama lain mengelilingi Imam Hanafi, misalnya
Muhammad bin Al Hasan, Abu Yusuf Al Qadli, Zafar bin Hudzail, Al Hasan bin
Ziyad, Ibnu Sama’ah, Abu Muthi’ Al Bulkhi, ‘Afiyah Al Qadli, dan lain-lain,
yang menyemarakkan Baghdad dengan kegiatan ilmiah mereka yang melahirkan
kitab-kitab karangan yang besar-besar. Ikut juga menetap di Baghdad dua orang
Ulama terbesar di zamannya, masing-masing Imam Syafi’i dan Imam Hanbali.
Kkhalifah Amin, saudara Khalifah Ma’mun (keduanya putra Harun Al Rasyid)
belajar ilmu bahasa Arab kepada dua Ulama ahli bahasa Arab dan Nahwu yang
terbesar di zamannya, ialah masing-masing Al Kasai dan Imam Sibawaih. Sebagai
seorang Khalifah bangsa Arab, Khalifah Amin ingin menggunakan bahasa Arab
dengan baik, satu sikap yang diikuti oleh Rakyat.
Dengan uraian di atas ini, kita dapat
mengukur betapa hausnya zaman Daulah Bani ‘Abbas akan ilmu pengetahuan, dan
betapa dimuliakan kedudukan ilmu pengetahuan. Dengan demikian pula tidaklah
kita heran, mengapa filsafat memperoleh ruang gerak yang amat longgar sekalipun
Bani ‘Abbas sebagai negara dan masyarakat Islam (Arab) telah memiliki “Al
Hikmah” sebagai perbendaharaan ilmu pengetahuan serta kebijaksanaan.
Interaksi Agama dengan
Filsafat
Mengapa filsafat memperoleh ruang
gerak serta fasilitas dan prioritas dalam masyarakat Islam? Walaupun Umat Islam
bangsa Arab telah memiliki sejak sebelumnya, yaitu “Al Hikmah?” Tidak dapat
disangkal, bahwa Islam satu-satunya Agama yang paling cepat berkembang, belum
pernah terjadi dalam sejarah, suatu Agama yang daerahnya demikian meluas
seperti halnya dengan Islam. Dimulai setelah Hijrah Rasulullah, disambung zaman
Khulafaur Rasyidin selama 30 tahun, zaman Bani ‘Abbas selama kurang lebih 500
tahun dengan Khalifah-khalifahnya yang lebih dari 50 orang banyaknya dimulai
dari Abul ‘Abbas As Safah hingga Al Mu’tashim. Jikalau tidak terjadi “musibah
Hulagu Khan” yang menghancurkan Baghdad dengan seluruh kebudayaannya serta
membunuh Khalifah dengan segenap keluarganya barangkali dinasti Bani ‘Abbas
masih akan berkuasa lebih lama lagi.
Pemeluk Islam yang kian bertambah-tambah
itu memerlukan bimbingan serta pembinaan karakter. Mereka harus menjadi orang
Islam yang taat menjalankan Syariat Islam, beribadah menurut Syariat Islam,
berkepercayaan menurut aqidah Islam, dan bermasyarakat menurut norma-norma yang
ditetapkan oleh hukum-hukum Agamanya. Dan, sebagai warga dari suatu negara yang
sedang terus tumbuh dan mekar, serta sedang dalam kancah perjuangan dengan
bangsa-bangsa lain, orang-orang Islam itu harus menemukan pola-pola politik,
ekonomi, sosial dan kultur, yang kecuali dapat ditrapkan dalam tata kehidupan
zamannya, juga tidak bertentangan dengan Syara’ Islam. Di sanalah suatu
perjuangan besar senantiasa harus diselesaikan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu,
ilmu pengetahuan memegang kedudukan serta peranan sangat penting. Tanpa ilmu
tidak akan diketemukan pola dan konsepsi, dan tanpa konsepsi maka perjuangan
besar tidak mungkin akan bisa diselesaikan dengan sukses.
Orang Islam memandang bahwa memahami Islam
yang bersumber pada Wahyu Ilahi dan Sunnah Nabi itu memerlukan alat keilmuan yang
tercermin dalam Qiyas dan Ijma’ sebagai syarat mutlak yang mesti ditempuh,
dengan sendirinya memerlukan sarana membanding serta meneliti dan mengambil
kongklusi, yang semuanya mestilah mengundang peranan ilmu dan pengetahuan.
Tidaklah mengherankan mengapa Ilmu Kalam di dalam Ilmu Tauhid serta ‘Aqaid pada
umumnya mempunyai pengaruh sangat besar dalam Fiqih dan dalam Tasawuf sebagai
pokok-pokok inti dalam mempraktekkan Islam baik dalam kehidupan pribadi-pribadi
maupun dalam kehidupan bersama sebagai bangsa dan warga dunia.
Akan tetapi orang memerlukan ilmu-ilmu
yang lain, yakni: Ilmu-ilmu hasil pengetahuan dan kecerdasan nalar atau
intelek, misalnya: ilmu alam, kedokteran, hitung, pergaulan, hukum, sejarah,
ilmu bumi, ilmu falak, retorika, ilmu keindahan, seni budaya, dan lain-lain.
Dan, ilmu-ilmu tersebut banyak dijumpai di dalam bidang “Al Hikmah” dan tidak
sedikit pula diketemukan di dalam Filsafat. Itu sebabnya mengapa Dunia Islam
terutama di zaman Bani ‘Abbas, orang-orang Islam menerima bidang filsafat
dengan tangan terbuka. Menerima bukan untuk ditelan apa adanya, akan tetapi
diterima sebagai bahan perbandingan serta penelitian, untuk disaring yang mana
dapat diterima untuk dimanfaatkan dalam memahami kebenaran Islam, dan yang mana
harus dibuang karena membahayakan kebenaran Islam serta ketertiban masyarakat
Muslimin.
Orang-orang Islam terutama para
‘Ulamanya juga menyadari, bahwa orang-orang yang mendalami filsafat hampir
seluruhnya bukan orang Islam, mereka beragama Nasrani, Yahudi, Zaratustra,
Hindu, dan bahkan tidak beragama seperti halnya orang-orang yang datang dari
Yunani. Justru dengan demikian memperlihatkan betapa toleransi yang
dipraktekkan oleh orang-orang Islam serta ‘Ulamanya. Selama keilmuannya itu
bersifat hasil pemikiran serta pengalaman dan tidak membahayakan aqidah Islam
terutama dalam masalah-masalah Iman, maka Ilmu mereka dapat diterima dan dimanfaatkan.
Banyak sekali, orang-orang bukan Islam
yang didatangkan ke Baghdad pusat kegiatan serta perkembangan ilmu, mereka itu
menjadi guru-guru dalam filsafat, dalam berbagai cabang ilmu kedokteran, ilmu
falak, ilmu alam, ilmu politik, ilmu sejarah, ilmu logika, seni, musik, dan
sebagainya. Mereka juga menterjemah buku-buku filsafat dari bahasa Yunani atau Persia
ke dalam bahasa Arab. Dengan bantuan ahli-ahli bahasa Arab orang Islam, maka
usaha penterjemah itu berjalan dengan baik. Di antara bukan orang Islam yang
besar sumbangannya terhadap memperkenalkan filsafat kepada orang Islam di zaman
Bani ‘Abbas, ialah: Ibnu Al Patric, Qastha bin Lucas, Tiodores, Hubaisy, Jurjis
bin Bakhtisyu, Isa bin Syahala, dan lain-lain. Pergaulan antara kaum pengarang
Islam dan bukan Islam terjalin sangat erat, dan dari pergaulan itu mereka
saling mempelajari kebudayaan serta bahasa masing-masing. Dengan demikian maka
banyak orang-orang asing yang akhirnya menguasai bahasa Arab sebagaimana
pengarang-pengarang bangsa Arab menguasai bahasa-bahasa Yunani, Persia, Ibrani,
Suryani, dan sebagainya.
Bersamaan dengan dibangunnya kota Baghdad
sebagai ibukota Bani ‘Abbas, maka tumbuh pula suatu kebudayaan baru, kebudayaan
“modern” yang bernafas Islam, kebudayaan Arab-Yunani, Arab-Persia dan
berkembangnya ilmu pengetahuan seperti belum pernah terjadi dalam sejarah sebelumnya.
Dengan perkenalan orang-orang terhadap filsafat dan pikiran-pikiran Yunani dan Persia,
maka Baghdad dan Dunia Islam merupakan sebuah kota paling maju, paling makmur
dan paling cantik di seluruh dunia. Baghdad memperoleh gelar “ Ashr al- ‘Ulum
wa al-Taqaddum ” Zaman kemajuannya ilmu pengetahuan, bahkan di kalangan
ahli-ahli sejarah diberi gelar “ Arusul Madain wa Sayyidatul buqa “ Pengantin
Benua Timur dan Ratu Buana.
Untuk menunjang dunia ilmu pengetahuan
itu, maka berdirilah di Baghdad dan di kota-kota lain universitas-universitas,
lembaga-lembaga studi, dan perpustakaan-perpustakaan yang ketika itu dikenal
dengan nama “Darul Hikmah”. Di sana para sarjana dan mahasiswa memperdalam
studi ilmiahnya, mereka datang dari hampir seluruh penjuru dunia. Masjid-masjid
dengan arsitektur yang indah bermunculan di sana-sini, demikian pula rumah
sakit-rumah sakit serta laboratorium sebagai pelengkap lembaga studi,
universitas dan perpustakaan.
Tentu saja ekses-ekses selamanya selalu
ada. Lumrahnya, ekses dilahirkan oleh sikap mental yang berlebihan, mabuk kepayang
lantaran over-acting, dan kelengahan. Filsafat sebagai barang “baru” dan
bersifat “luar negeri” menjadikan silau sebagian orang, padahal dalam Islam dikenal
adanya “Al Hikmah” yang merupakan semacam “filter” dan “refinery” sebagai alat
penyaring dan alat pembersih segala yang datang dari luar. Terutama bidang
filsafat yang menyangkut masalah metafisika, logika serta kebebasan berpikir.
Tentu saja hal itu mencemaskan para Ulama yang karena penguasaannya terhadap
Ilmu Syariat, mereka menjadi sadar untuk mencegah “keterlanjuran” atas nama
“kemerdekaan berpikir” dalam Islam.
Dalam Islam memang ada kemerdekaan berpikir,
dalam arti, selama masalahnya tidak hendak menabrak apalagi menghancurkan Wahyu
dan Syariat. Dalam Islam ada faktor Iman sebagai sikap keikhlasan untuk
menyerahkan diri berdasarkan kepercayaan batin. Itu sebabnya mengapa Islam juga
berarti sikap penyerahan diri kepada Allah. Sikap demikian adalah sikap
mengabdikan diri (ibadah) dan bukan semata-mata hasil pekerjaan nalar. Islam
mestilah dilandasi oleh Iman sebagai pekerjaan batin dan rohani yang memimpin
pekerjaan akal pikiran manusia yang mengatur gerak perbuatan sehari-hari dalam
mengabdi kepada Allah dan di dalam mengabdikan diri kepada umat manusia. Maka,
filsafat yang kering dari Iman, itu akan membentuk ruang terlampau lebar bagi
kemerdekaan berpikir tanpa batas bahkan mengalahkan peranan hati sebagai sumber
Iman.
Janganlah dilupakan, bahwa salah satu
sifat daripada filsafat ialah memberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya kepada
peranan nalar dalam berpikir. Pekerjaan berpikir itu semata-mata karena hendak
mengetahui kepastian sesuatu persoalan. Apakah setelah itu ia diharuskan
percaya atau tidak, hal itu perkara lain. Misalnya dalam menjelajahi alam
metafisika menurut filsafat. Apakah alam ghaib itu ada atau tidak, itulah tugas
nalar untuk berpikir sedalam-dalamnya dan sepanjang mungkin. Setelah
diketemukan kongklusinya, maka apakah seorang filsuf harus mempercayainya atau
tidak, itu adalah urusan lain. Dengan demikian, maka filsafat selamanya
mendudukkan dirinya sebagai “penonton” yang berada di luar garis. Ambillah
contoh suatu aliran dalam filsafat mengenai Tuhan. Nalar manusia digerakkan
untuk berpikir dan berpikir, untuk melakukan penyelidikan serta penjelajahan
sampai pada satu kesimpulan diketemukan apa itu Tuhan. Kesimpulan dari tugas nalar
dan pikiran tentang Tuhan, filsafat tidak mau berhenti hingga di situ.
Keadaannya menjadi sangat berbahaya, jikalau akhirnya Sang Pencipta harus
tunduk serta menyerah kepada nalar manusia.
Ambillah contoh lain tentang pragmatisme
dalam filsafat. Pragmatisme pada dasarnya hanyalah sekedar satu metode
berpikir. Sejak lahirnya filsafat pragmatisme yang masih klasik maupun yang
mutakhir menurut teori William James (1842-1910) maupun teori John Dewey
(1859-1952) – keduanya ahli filsafat Amerika – bahwa menurut filsafat
pragmatisme, benar dan tidaknya suatu teori dan dalil semata-mata tergantung
kepada berfaedah atau tidaknya bagi kehidupan manusia. Suatu hal apakah dinilai
benar atau tidaknya tergantung apakah hal tersebut berguna bagi manusia.
Dari kedudukannya sekadar metode berpikir,
pragmatisme lambat laun memasuki – di samping – alam pemikiran, juga memasuki
alam kepercayaan dan keyakinan. Dari sekedar metode berpikir, pragmatisme
hendak mengatur alam keyakinan hidup, alam metafisika, agama dan alam ghaib.
Dengan pragmatisme orang hendak bersikap “praktis” dalam beragama, sampai pada
satu kesimpulan yang sederhana, bahwa beragama ataupun tidak ditentukan oleh
penilaian keuntungan materil yang kongkrit. Tegasnya, kalau beragama itu
merugikan kemajuan, maka Agama harus disingkirkan. Kalau menjalankan ibadah itu
mengurangi jam kerja dan mempengaruhi produksi, maka ibadah harus ditiadakan.
Segalanya harus untuk sekarang – misalnya kemakmuran dan modernisasi –
tidak boleh dikalahkan untuk kebutuhan nanti yang “belum pasti”
(yaitu alam sorga) .... !
Islam melerai pertentangan antara nalar
dan hati, antara intelek dan keyakinan. Sebagai Agama, Islam memberi kesempatan
seluas-luasnya kepada pemikiran nalar dengan catatan, bahwa nalar haruslah
“tahu diri” bahwa kekuasaannya terbatas sekali. Sepandai-pandai seorang
intelektual ia pasti tidak bakal tahu kapan datangnya saat lengah atau rasa
kantuk kepada dirinya. Dan lengah atau kantuk yang hanya beberapa detik itu
akan mematikan seluruh kemampuan berpikir. Belum lagi masalah mati dan kapan
datangnya kematian. Seperti juga sepandai-pandai orang tak mungkin tahu apa
yang bakal terjadi satu dua menit kedepan, iapun tidak tahu persi kapan
datangnya kematian, caranya dan di mana. Sebab itu Islam memberi landasan bagi
kecenderungan nalar yang berupa sebuah ruang keyakinan atau Iman di dalam
dadanya. Itu sebabnya maka Agama Islam datang dengan perantaraan Wahyu sebagai
kasih sayang Tuhan untuk menolong manusia memberikan landasan kokoh bagi
kegiatan nalar dalam berpikir.
Pragmatisme sebagai ciptaan manusia tidak
akan mungkin dapat menandingi, apalagi mengalahkan Agama sebagai Wahyu Ilahi.
Kebijaksanaan manusia jelas terbatas, dan kemampuan berpikirnyapun terbatas
pula. Sedangkan menurut filsafat sendiri bahwa segalanya berubah, termasuk juga
pekerjaan nalar senantiasa mengalami perubahan-perubahan, betapa pula dapat
disejajarkan (apalagi menandingi) Ke-Maha Bijaksanaan Allah yang selamanya
tangguh tidak tergoyahkan oleh kekuatan manapun. Filsafat, baru lahir sejak
masa seorang manusia Yunani bernama Thales dan Anaximandros lahir ke dunia 600
tahun sebelum Nabi ‘Isa. Padahal Agama berdasarkan Wahyu Ilahi telah diturunkan
bagi umat manusia sejak manusia-pertama mendiami bumi, ialah Nabi Adam dan Hawa,
berpuluh ribu tahun sebelum kelahiran Thales dan Anaximandros.
Dalam sejarah Eropa, abad pertengahan
memberi petunjuk kepada kita, bahwa kekacau-balauan dalam dunia Kristen pada
hakikatnya yang meng”hamiltua”kan lahirnya kebebasan berpikir. Demikian
bebasnya kemerdekaan berpikir hingga orang seperti Copernicus dan Giordano
Bruno – seperti yang telah teruraikan di muka – berani menentang hukuman
dibakar hidup-hidup yang dijatuhkan oleh keputusan Gereja. Akan tetapi seorang
intelektual lain, Galileo Galilei (1564-1642) yang mempunyai penemuan ilmiah
berdasarkan kebebasan berpikirnya, terpaksa mencabut atau menarik penemuan
ilmiahnya karena tidak berani menghadapi ancaman hukuman Gereja. Galileo
menjadi gentar dan takut. Sudah tentu gentar dan takut bukanlah produk nalar,
akan tetapi hasil pekerjaan hati dan perasaan. Galileo menambah pelajaran bagi
kita, bahwa kemerdekaan berpikir mempunyai batas terakhir manakala berhadapan
dengan kekuasaan hati, lepas dari penilaian kita terhadap sikap dan pendirian
sarjana ahli fisika dan astronomi bangsa Itali itu, ialah bahwa supremasi nalar
yang dibanggakan itu memanglah terbatas. Ada sesuatu yang dapat mengalahkannya.
Sesuatu itu, tak lain dan tak bukan
adalah hati dan jiwa.
Ekses lain yang ditimbulkan oleh
ajaran filsafat ialah pengaruh ajarannya yang bisa merusak Aqidah Umat Islam,
jika filsafat itu menggantikan kedudukan Iman. Filsafat yang berasal dari
Yunani itu telah banyak disalin ke dalam bahasa Arab. Dalam keadaan umat Islam
sedang amat menggandrungi ilmu pengetahuan, jika mereka tidak waspada atau
karena tipis iman, maka ajaran filsafat yang ditelan apa adanya akan sangat
membahayakan.
Terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan
secara aniaya membangkitkan emosi yang memuncak ke pihak Muawiyah untuk
menuntuk bela. Ibukota Madinah yang dilanda pemberontakan itu sehingga
menewaskan jiwa Khalifah memerlukan pemerintahan yang kuat. Huru-hara dan chaos
itu tidak boleh berlarut-larut. Sehubungan dengan itu maka pemimpin-pemimpin
yang bertanggung jawab dan yang mendapat dukungan mayoritas warga negara
melangsungkan pemilihan kepala negara. Terpilihlah Sayyidinia Ali sebagai
Khalifah ke-4.
Hal tersebut menimbulkan salah-paham di pihak
Muawiyah yang didukung kelompok yang keras menuntut bela kematian Utsman. Mereka
menuduh Sayyidina Ali tidak mengambil initiatif untuk menindak kaum
pemberontak, bahkan timbul kesan yang provokatif seolah-olah Sayyidina Ali
berdiri di belakang kaum pemberontak karena ambisinya menjadi Khalifah.
Walaupun pihak Sayyidina Ali membersihkan diri untuk menolak tuduhan tersebut
disertai alasan kuat yang logis, bagaimana dapat menindak huru-hara jikalau
ibukota mengalami kekosongan kekuasaan? Maka jalan yang paling masuk akal untuk
ditempuh ialah mendirikan kekuasaan (pemerintahan) yang bertugas mengembalikan
ketertiban serta menindak kaum anarkis. Akan tetapi sentimen dan emosi yang
menguasai segala-galanya, pertimbangan dan pikiran-sehat tidak memperoleh tanggapan
secara wajar. Terjadilah perang-saudara antara Muawiyah dan Sayyidina Ali dalam
kancah pertempuran yang dikenal sejarah sebagai “Perang Shiffin”. Manakala
pihak Muawiyah terdesak dan berada dalam posisi yang payah, mereka mengajak
damai. Sayyidina Ali menerima ajakan damai tersebut karena tujuannya sejak
semua memang hendak mengembalikan ketertiban dan persatuan umat.
Segolongan dari pendukung Sayydina
Ali menentang kebijaksanaan perdamaian itu, bahkan menuduh bahwa Sayyidina Ali
telah bertindak salah, dan politik kompromi tersebut merugikan Islam. Golongan
paling ekstrim dari mereka mengecap Sayyidina Ali sebagai telah “kafir”, dan
mereka memisahkan diri serta keluar dari barisan Sayyidina Ali. Mereka
menamakan dirinya “Golongan Yang Keluar Memisahkan Diri” atau dalam istilah
mereka, “Golongan Khawarij”. Tiap tindakan ekstrim tentu akan menimbulkan sikap
radikal di pihak lain, oleh sebab itu di kalangan pendukung Sayyidina Ali yang
fanatik menamakan dirinya “Golongan Syi’ah”.
Dimulai dari persoalan pertentangan
politik, menjalar memasuki persoalan Aqidah, siapakah yang lebih berhak
memangku jabatan Khalifah menurut hukum Islam. Bahkan lebih jauh lagi
jangkauannya, pertentangan itu menjadi kian melebar menyangkut masalah dosa dan
tidak dosa, dan masalah kafir dan tidak kafir. Demikianlah berlangsung
pertentangan yang berlarut-larut bertahun-tahun hingga datang masanya zaman
Bani Umayyah berkuasa dan memindahkan ibukota dari Madinah ke Damaskus.
Muncullah pada suatu ketika
golongan “netralis” yang menamakan dirinya “Mu’tazilah”, yang menempatkan
dirinya menduduki posisi di antara dua kelompok yang bersengketa, atau dalam
bahasa Arab disebut “Al Manzilah bainal Manzilatain”. Meskipun lahir pula
kelompok-kelompok kecil seperti “Rafidlah”, “Murji’ah”, dan lain-lain, namun
“Syi’ah” – “Khawarij” – “Mu’tazilah” merupakan golongan yang paling menonjol
berkampanye merebut simpati umat Islam dari tahun ke tahun. Mereka melakukan
kampanye baik secara sembunyi-sembunyi maupu nsecara terbuka di mana ada
kesempatan.
Jikalau “Khawarij” lebih
menitikberatkan gerakannya di bidang politik, tetapi lambat-laun menjadi semakin
kendor berhubung dengan sikapnya yang ekstrim hingga menghadapi banyak musuh,
maka “Syi’ah” dan “Mu’tazilah” lebih menitik beratkan kegiatannya di bidang
Aqidah terutama teologi, walaupun “Syi’ah” pada saat dipandang tepat melakukan
kampanye juga di bidang politik.
“Mu’tazilah” lebih banyak kegiatannya di
bidang konstruksi berpikir dalam Aqidah dan dalam teologi beraliran kebebasan
berpikir. Karena kedudukannya sebagai “kaum intelektual salon” maka orang-orang
“Mu’tazilah” senantiasa berusaha mendekati golongan yang sedang berkuasa untuk
mempengaruhi kebijaksanaan dalam pemerintahan serta untuk mengembankan
doktrin-doktrin mereka melalui segala fasilitas istana. Usaha mereka sekalipun
tidak selamanya berhasil, namun tidak pernah mengalami jalan buntu. Mereka
giat, ulet dan penuh kesabaran. Demikianlah berlangsung berpuluh-puluh tahun
lamanya, sampai pada suatu ketika di zaman Bani ‘Abbas mereka sering memperoleh
angin. Konon, Khalifah Ma’mun yang terkenal itu menjadi salah satu pengikut
“Mu’tazilah” hingga dengan dekrit Khalifah menetapkan bahwa “Mu’tazilah”
merupakan madzhab negara.
“Mu’tazilah” adalah sebuah gerakan
berpikiran bebas, condong menganut pikiran liberal terutama dalam bidang Aqidah
dan Teologi Islam. Salah satu buah ajarannya melahirkan suatu aliran yang
bernama “Qadariyah” yang di kalangan Barat kemudian terkenal sebagai sebagai
“free-will, free-act”, artinya Manusia bebas mempunyai kehendak atau keinginan,
karena itu bebas pula bertindak dan berbuat. Salah satu paham yang
dikampanyekan dan yang paling menggemparkan Dunia Islam, ialah bahwa Al Qur’an
itu bukanlah Qadim, akan tetapi Hadits. Artinya, bahwa Al Qur’an itu bukanlah
sebagai Kalamullah atau Firman Allah yang tak bermula atau kekal, akan tetapi
sesuatu yang baru, dus Al Qur’an sebagai Firman Allah tetaplah makhluk.
Gerakan Mu’tazilah yang dilindungi oleh
Khalifah Ma’mun semakin memperoleh ruang bernafas dengan banyaknya buku-buku
filsafat dari Yunani yang disaling ke dalam bahasa Arab. “Mu’tazilah” dan
filsafat sama-sama berasaskan kebebasan berpikir dan oleh sebab itu dengan
fasilitas pihak yang berkuasa maka pikiran-pikiran liberal mengalami zaman
emas. Dengan dalih membangun modernisasi dalam konstruksi berpikir secara
rasional, sesuai dengan karakter Islam yang memberikan kemerdekaan berpikir,
maka para Ulama ahli-ahli fiqih, aqoid, hadits, dan lain-lainnya menjadi
sasaran serangan mereka sebagai golongan jumud (beku), konservatif, dan kaum
terbelakang. Tentulah hal tersebut menimbulan kegemparan di kalangan Dunia
Islam.
Seorang Ulama besar Ahmad bin Hanbal atau
lebih terkenal dengan nama Imam Hanbali (pendiri Madzhab Hanbali dan murid
kebanggan Imam Syafi’i) tampil ke depan mempelopori gerakan menentang
“Mu’tazilah”. Para Ulama berdiri di belakang Imam Hanbali. Oleh karena
“Mu’tazilah” dilindungi serta didukung oleh pihak Istana Khalifah, dengan
sendirinya hubungan antara Imam Hanbali dan para Ulama di satu pihak dengan
pihak penguasa di pihak lain, amat tegang. Imam Hanbali dipenjarakan dan Ulama
lain ditangkapi.
Keadaan menjadi aneh sekali.
Khalifah bersama-sama kaum “Mu’tazilah” dan kaum sarjana filsafat bangsa asing
berdiri dalam satu barisan menghadapi para Ulama dan Umat Islam di pihak yang
lain. Seluruh Dunia Islam berada dalam ketegangan-ketegangan yang menggoyahkan
potensi umat Islam pada umumnya. Akan tetapi, keadaan demikian yang
berlangsung selama kurang lebih 20 tahun itu segera berakhir. Tatkala Khalifah
Al Mutawakkil memegang kekuasaan, Khalifah yang bijak itu mengakhiri masa
ketegangan. Dekrit Khalifah Ma’mun yang menetapkan “Mu’tazilah” sebagai madzhab
negara, dicabut. Gerakan “Mu’tazilah” dilarang. Pemimpin-pemimpin “Mu’tazilah”
seperti Wasil bin ‘Atha’, An Nazzham, ‘Amr bin Ubaid, dan Abu Hudhail
menghadapi banyak sekali tantangan dan dengan susah payah memelihara
keselamatan jiwanya.
Sebelumnya, seorang Ulama besar bernama
Imam Abul Hasan Al Asy’ari memproklamirkan diri keluar dari “Mu’tazilah”.
Beliau menyadari akan kesalahan-kesalahan pahaman “Mu’tazilah” dalam menerapkan
kemerdekaan berpikir dalam Islam sehingga menimbulkan paham Aqidah yang merusak
itu. Ajarannya di bidang ‘Aqaid atau At Tauhid terkenal dengan nama “Al
Asy’ariyah”.
Sepuluh tahun kemudian yakni pada tahun
sekitar 944 Masehi di Samarkand tampil seorang Ulama besar bernama Imam Abu
Mansur Al Ma’turidi memperkuat paham yang diajarkan Mu’tazilah. Ajarannya
terkenal dengan nama “Al Ma’tudiriyah”. Kedua ajaran “Al Asy’ariyah” dan “Al
Ma’tudirinyah” itulah yang dalam bidang ‘Aqaid atau Ushuluddin dikenal oleh
Dunia Islam sebagai ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dipeluk oleh mayoritas
terbesar Umat Islam seluruh dunia. Filsafat menghadapi tantangan yang berat.
Dunia Islam sangat kritis terhadap paham-paham yang terkandung di dalamnya,
bahkan ajarannya tentang metafisika dan ilmu alam yang tidak mengakui ke Maha
Kekuasaan Allah dalam mencipta serta mengatur perjalanan semesta alam,
dinyatakan sesat dan menyesatkan, sedang siapa yang mengikutinya dinyatakan
zindiq (kafir-zindiq) artinya keluar dari Islam.
Imam Ghazali (1058-1111 Masehi) di
kalangan Dunia Islam sebagai seorang Ulama yang sangat luas ilmu di berbagai
bidang. Ilmunya bukan semata-mata hasil dari penyelidikan akal yang
diperlengkap dengan argumentasi retorika sebagaimana halnya dengan orang-orang
ahli filsafat, akan tetapi ilmu-ilmu Imam Ghazali memancar dari hati
sanubarinya bagaikan mata-air yang bening jernih. Beliau seorang mahaguru
Tasawuf yang mengeritik orang-orang Tasawuf
yang mengabaikan upacara-upacara ibadah menurut ilmu fiqih. Dalam pada
itu Imam Ghazali pun mengkritik orang-orang yang menjalankan upacara-upacara
ibadah akan tetapi tidak meresapi arti maknanya yang lezat lantaran jiwanya
tidak bersih, karena meninggalkan Tasawuf. Dengan lain perkataan, maka Imam
Ghazali merupakan tokoh yang mempersatukan gerakan-gerakan zhahiriyah (fiqih)
yang diperlengkapi dengan pengetahuan yang mantap (ilmu) serta dihayati oleh
kelezatan berbakti (Tasawuf).
Mengenai filsafat, Imam Ghazali tidak
apriori menentang tetapi juga tidak menelan begitu saja. Dalam keadaan tertentu
orang boleh berfilsafat, akan tetapi di mana tidak memerlukan filsafat, maka
filsafat ditinggalkan. Oleh sebab itu menurut Imam Ghazali, ada bagian-bagian
dalam filsafat yang bisa diterima oleh Islam, akan tetapi juga ada
bagian-bagian lain yang sangat ditentang oleh Islam. Ilmu pasti atau matematika
tidak dilarang oleh Islam, akan tetapi jika mengenai Ke-Tuhanan orang juga
hendak memahami Tuhan secara matematik – yang tidak mungkin akan dapat dijumpai
– maka demikian itu tentulah terlarang. Dengan mempelajari ilmu alam maka orang
menjadi semakin ber-Iman terhadap Ke-Maha Kekuasaan Allah.
Orang yang mempelajari karya-karya
Imam Ghazali tentulah akan menjumpai betapa cermatnya ia memperinci fungsi
serta peranan pengetahuan. Misalnya tentang teori logika dalam filsafat. Sebenarnya
Logika tidak lain hanya kupasan tentang bagaimana membuat dalil-dalil atau
alasan, mengemukakan pembuktian dan syarat-syarat pembuktian atau burhan,
menyusun ta’rif atau definisi disertai qias dan silogisme serta sinonim,
semuanya itu untuk menyusun argumentasi atau hujjah yang bertujuan untuk
membuktikan suatu kebenaran yang pure. Akan tetapi mengenai
metafisika dalam filsafat yang membahas perkara ghaib terutama Ke-Tuhanan, Imam
Ghazali menentang keras, disebabkan filsafat yang demikian itu amat sesat dan
menyesatkan. Pendirian Imam Ghazali adalah merupakan mainstream Ahli Sunnah wal
Jama’ah.
Dua buku karangan Imam Ghazali,
masing-masing: “Tahafutul Falasifah” (Kerancuan Filsafat) dan “Al Muqidz
minadl-dlalal” (Penyelamat dari kesesatan), merupakan kritik terbuka terhadap
sarjana-sarjana Muslimin yang hanyut dalam dunia filsafat karena sangat
mendewakan rasio dan hendak meliberalkan Iman. Dua buku tersebut amat
menggemparkan mereka yang merasa terkena oleh kritik Imam Ghazali. Salah
seorang sarjana Islam, Ibnu Rusyd, di kalangan Barat terkenal dengan nama Averroes,
mereka kritik Imam Ghazali ditujukan kepadanya. Ia mengangkat pena dan
menerbitkan bukunya berjudul “Tahafutut Tahafut” (Kerancuannya Kerancuan). Tentulah
buku tersebut ditujukan kepada Imam Ghazali, berisi pembelaan terhadap pahamnya
tentang filsafat. Bagaimanapun, Dunia Islam menjadi sangat hati-hati terhadap
filsafat. Filsafat hanya bisa diambil seperlunya sebagai pelengkap argumentasi
tentang kebenaran Islam, adapun untuk hal yang telah sangat jelas dalam
ajaran-ajaran Islam, maka orang tidak memerlukan filsafat. Bahkan bagian-bagian
filsafat yang hendak membongkar atau melenyapkan kebenaran Islam, misalnya
tentang “kodrat” makhluk dan paham metafisika yang menyalahi Ahlus Sunnah wal
Jama’ah haruslah ditentang.
Kritik Imam Ghazali terhadap
filsafat merupakan lonceng yang memperingatkan Umat Islam agar tidak gegabah
dalam menerima ajaran filsafat atas nama kebebasan berpikir. Dari filsafat
memang bisa diambil manfaatnya, misalnya mengenai penemuan-penemuan ilmu
eksakta, atau tentang metode berpikir, menganalisa, dan menguraikan
argumentasi. Akan tetapi bahayanyapun sangat besar bilamana filsafat
menggantikan kedudukan kepercayaan dan keyakinan mengenai ketidak terbatasan
dari alam sebagai benda yang “maha kuasa”. Mendewakan materi selaras dengan logika
dan semata-mata atas nama kebebasan berpikir, maka mudah sekali menjerumuskan
seseorang menjadi atheis yang tidak percaya akan Tuhan atau percaya bahwa Tuhan
tidak ada. Kepandaian retorika ala filsafatpun bisa membuat kesimpulan bahwa
Tuhan itu ada. Akan tetapi “Tuhan” yang berselubung di balik uraian yang
tersusun begitu bagus untuk menyembunyikan kongklusi yang sebenarnya bahwa
“Tuhan” hanyalah benda juga atau sekadar angan-angan yang menurut rumus
filsafat adalah “the outward projection of man’s inward nature” (proyeksi yang
keluar dari batin pembawaan manusia). “Tuhan” bagi mereka bisa matahari, bisa
atom, bisa kekuasaan atau uang, dan sebagainya.
Di dalam kitabnya yang terkenal
“Ihya’ ‘Ulumuddin” misalnya, Imam Ghazali mengupas panjang lebar tentang
pentingnya fungsi dan peranan ilmu, anjuran kepada Umat Islam untuk menuntut
ilmu seraya memotivasi dengan pahala
akhirat dan manfaat duniawi dengan mengemukakan begitu banyak Hadits Nabi.
Dijelaskan tentang tingkatan-tingkatan ilmu yang harus dituntut atau
dipelajari. Dimulai dengan ilmu-ilmu yang wajib dipelajari bagi tiap-tiap
Muslim (fardlu ‘ain) misalnya tentang ilmu Ushuluddin dan ilmu Syari’at.
Setelah itu anjuran untuk mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi syarat tegaknya
suatu masyarakat misalnya ilmu politik, ekonomi dan sosial. Dan akhirnya Imam
Ghazali menganjurkan agar orang Islam mempelajari ilmu-ilmu matematika, alam,
kedokteran, falak, perindustrian, pertanian, tekstil, perikanan, perniagaan,
dan lain-lain sebagainya. Dengan demikian, maka Imam Ghazali memperinci
filsafat menjadi cabang ilmu pengetahuan yang positif dan negatif. Dan bagaimanapun
juga orang mestilah mendalami arti ber-agama Islam terlebih dahulu sebelum
mempelajari filsafat dengan sikap kritis dan penuh kewaspadaan.
Begitu banyaknya buku-buku filsafat Yunani
yang disalin ke dalam bahasa Arab di zaman Bani ‘Abbas seperti yang telah kita
uraikan di muka, menyebabkan begitu banyaknya orang-orang asing terutama dari
Barat yang menyinggahi Baghdad dan negeri-negeri Islam. Mereka datang untuk
mempelajari filsafat yang telah hilang dalam jangka waktu berabad-abad dari
negeri asalnya yaitu Yunani. Buku-buku tersebut mereka salin ke dalam bahasa
Latin yaitu bahasa kaum terpelajar di Eropa pada waktu itu. Dari bahasa Latin
akhirnya mereka salin ke dalam bahasa mereka masing-masing (Inggris, Perancis,
Spanyol, Jerman, Italia), dan sebagainya. Maka benarlah peribahasa yang
mengatakan: “Kalau tidak karena Baghdad, dunia tidak akan mengenai Yunani”, dan
peribahasa lain: “Kalau tidak lantaran Baghdad, Eropa tetap dalam kegelapan”.
Baghdad tentu bukan satu-satunya kota
peradaban dan ilmu pengetahuan. Di samping Baghdad juga Cordova dan Granada di
Spanyol, Kairo di Mesir, Bukhara dan Samarkand di Asia Tengah, dan Istanbul di
Turki. Orang-orang Eropa mengunjungi negeri-negeri Islam itu bukan semata-mata
mempelajari filsafat, tetapi juga metafisika, ilmu alam, falak, dan mempelajari
ilmu-ilmu Islam. Bukan untuk menjadi orang Islam, akan tetapi mempelajari Islam
sebagai pengetahuan, Islam sebagai “Islamology”. Karena orang-orang Islam
ketika itu merupakan faktor kemenangan dan peradaban, maka orang-orang Barat
tertarik untuk mempelajari Islam untuk pengetahuan semata. Itulah asal mula
lahirnya suatu kelompok orang Barat yang dikenal sebagai “Orientalist”, ahli
ketimuran.
Dengan munculnya kelompok “Orientalist”
maka sekalipun mereka hanya sekadar ingin tahu tentang seluk-beluk Islam
sebagai “pengetahuan” (dikemudian hari amat penting manfaatnya bagi politik
kolonialisme mereka), namun, bagaimanapun Islam dan perbendaharaan ilmiahnya
menjadi tersebar ke seluruh dunia. Jangan lupa, kelompok “Orientalist” itu
terdiri dari berbagai bangsa di Eropa, dan mereka menulis buku-buku tentang
Islam dalam bahasa-bahasa penting di Eropa.
Sebaliknya, dengan sikap kritis dan
kewaspadaan para ‘Ulama terhadap filsafat, maka orang-orang Islam mempelajari
filsafat disertai pembatasan-pembatasan. Artinya mengambil filsafat sekadar
yang perlu dan meninggalkan yang bertentangan dengan sendi-sendi kepercayaan
Islam. Apa yang dikatakan oleh guru filsafat terkemuka Aristoteles yang banyak
dikutip orang-orang Islam dipegang teguh. Aristoteles pernah mengatakan:
“Marilah kita berfilsafat manakala keadaan menghendaki kita berfilsafat. Kalau
keadaan tidak memerlukan berfilsafat, maka kita harus berfilsafat pula untuk
membuktikan bahwa berfilsafat itu tidak perlu”.
Dengan memegang teguh ajaran guru filsafat
sendiri, maka sarjana-sarjana Islam dalam “berfilsafat” menggunakan teori
konstruksi berpikir melalui metode yang sistematis menurut filsafat, untuk
menguatkan argumentasi mereka tentang kebenaran-kebenaran Islam. Merekalah yang
terkenal dalam sejarah dan kebudayaan Islam sebagai “Failasuf Islam”.