Indonesia baru dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid memenuhi ajakan gelombang dunia ini. Gereja Katolik sebagai bagian dari masyarakat tidak ketinggalan mengalirkan arus pengutamaan jender ini melalui sosialisasi keadilan gender kepada umat. Jaringan Mitra Perempuan Konferensi Wali Gereja Indonesia (JMP-KWI) merupakan institusi formal yang bertugas mengarus- utamakan jender dalam gereja. Para petugas sosialisasi wawasan jender selalu mendapat kesulitan ketika umat mempertanyakan landasan teologi tentang keadilan/kesetaraan jender. Rupanya, ketidakadilan jender tidak dapat dijelaskan duduk persoalannya bagi umat beriman tanpa pemahaman tentang teologi feminis.
Kehadiran buku ini di Indonesia tepat dan sangat membantu. Sebagai seorang teolog feminis Katolik yang pertama di Indonesia (1982), saya menghargai dan merasa sangat dibantu oleh usaha Penerbit Ledalero menerbitkan buku terjemahan Introducing Feminist Theology. Dengan kepiawaiannya, penerjemah merangkai kata-kata dengan sangat bagus untuk dijadikan kalimat sehingga mudah dicerna, dimengerti, dan dipahami meski masih terdapat penggunaan beberapa kata yang belum lazim didengar.
Setelah membaca seluruh isi buku, terasa bahwa Anne M Clifford berusaha memberikan gambaran secara menyeluruh kepada pembaca yang ingin memahami perspektif perempuan dari sisi seluruh kehidupan lahir dan batin. Apalagi ia menyatakan bahwa gerakan feminisme tidak akan membawa manusia untuk menuju sisi berlawanan yang ekstrem (melawan laki-laki), tetapi mengajak semua manusia untuk berperilaku dan bersikap lebih manusiawi terhadap kaum perempuan.
Anne M Clifford, penulis buku ini, memulai tulisannya dengan menjelaskan secara runtut perkembangan pemikiran aliran feminisme. Untuk mendapatkan kaitan feminisme dengan Teologi Feminis Kristen, ia menguraikan apa itu feminisme, sejarah feminisme, serta aliran-aliran besar feminisme liberal, feminisme kultural, feminisme radikal, dan feminisme sosialis. Pemahaman tentang feminisme ini bagi bangsa Indonesia pada umumnya dan umat Katolik/Kristen khususnya sangat penting karena selama Orba feminisme diberi stigma ”gerakan perempuan komunis/terlarang”. Feminisme yang merupakan pencarian identitas politik bagi perempuan selalu diartikan sebagai gerakan ”perempuan liar” bagi siapa saja yang tidak menginginkan ”kebebasan perempuan”.
Bahwa Feminisme bukan merupakan gerakan perempuan liar makin jelas ketika Anne menjelaskan setiap pandangan aliran feminisme. Feminisme liberal menekankan hak-hak sipil, memandang hak kaum perempuan bebas mengambil keputusan atas seksualitasnya dan hak reproduksi mereka. Feminisme kultural disebut pula feminisme reformatif dan feminisme romantis. Feminisme kultural mengaitkan nilai kehidupan dengan nilai tradisional perempuan, seperti bela rasa, pengasuhan, pengelolaan lingkungan hidup, dan nilai kemanusiaan yang menekankan moral. Feminisme radikal menekankan penghapusan merajalelanya dominasi laki-laki terhadap kehidupan. Dimulai dari dominasi laki-laki terhadap perempuan, kemudian muncul berbagai dominasi berbasis kekuasaan. Feminisme sosialis menekankan dominasi laki-laki kapitalis berkulit putih dalam perjuangan keadilan ekonomi global. Penjelasan Anne aliran feminisme dari gelombang pertama sampai gelombang ketiga makin jelas ketika dikaitkan dengan gerakan moral dari feminisme gelombang ke tiga, spiritual feminisme dan ekofeminisme.
Kaitan gerakan feminisme dengan tafsir Kitab Suci diuraikan panjang lebar dan jelas. Usaha Elizabeth Cady Stanton memahami Kitab Suci dari sudut pandang perempuan dijelaskan secara jelas oleh Anne sehingga pembaca mampu menghilangkan dugaan selama ini bahwa Elizabeth Cady Stanton akan ”mengubah” Kitab Suci. Masih dalam persoalan Kitab Suci, Anne menjelaskan bagaimana perempuan Katolik di abad 20, seperti Elizabeth Schussler Fiorenza, berusaha mengajak perempuan menafsir Kitab Suci secara kritis. Sebagai pakar Kitab Suci yang berpendidikan akademis, Fiorenza menawarkan metode perempuan membaca Kitab Suci. Siapa Elizabeth S Fiorenza dan bagaimana usahanya membebaskan perempuan melalui tafsir Kitab Suci diuraikan secara rinci.
Bahasa tentang Allah merupakan persoalan dalam perjuangan keadilan jender. Beragam pandangan kaum feminis tentang Allah diuraikan dalam buku ini. Uraian tentang pandangan perempuan sejak awal Allah Kristen, Allah Trinitas, pandangan kaum womanis, kaum hispanik, perempuan Afrika, perempuan Korea, sampai dengan ajakan terbuka untuk perempuan memandang Allah sangat asyik diikuti dan berdaya reflektif.
Gereja sebagai institusi masih melakukan ketidakadilan jender. Masalah ini dapat dipahami ketika membaca bagian buku ini yang menguraikan ”beragam sisi tilik kaum feminis tentang perempuan dan gereja”. Uraian tentang pandangan kaum feminis tentang perempuan dan gereja membuka wawasan baru. Pluralitas merupakan salah satu nilai feminisme. Maka, menerima dan mengakui berbagai pandangan yang berbeda merupakan kekayaan dan sekaligus bersikap tanpa kekerasan sebab tidak memaksakan satu pandangan saja. Anne mencatat berbagai pandangan perempuan hampir lengkap. Ia menguraikan berbagai pandangan tentang model-model gereja. Bagaimana memandang gereja-gereja Kristen dewasa ini, gereja Kristen dan sakramen, gereja Kristen dan tahbisan, termasuk kaum perempuan dan tahbisan imamat. Diuraikan pula pandangan kaum perempuan Ero-Amerika dengan gereja Katolik, kaum Ero-Amerika dengan gereja-gereja Protestan dan uraian tentang bagaimana kaum perempuan membentuk gereja perempuan mereka sendiri. Menerima, apalagi mengakui pandangan kaum feminis membutuhkan kerendahan hati karena budaya patriarki telah lama ”memasung” pandangan perempuan dan dinyatakan inferior oleh para patriah. Akibatnya, manusia, baik laki-laki maupun perempuan sendiri, menganggap pandangan dan pendapatnya tidak semutu pandangan dan pendapat laki-laki.
Anne M Clifford masih melengkapi bukunya dengan uraian tentang spiritualitas feminis, Allah, Maria, serta para Beata dan Santa. Bab ini merupakan peneguhan pandangan kaum feminis radikal ”the personal is political”. Spiritual itu berciri eksperiensial (berbasis pengalaman), ia bukanlah teori abstrak melainkan realitas yang dihidupi secara personal. Pertumbuhan spiritualitas feminis tidak terjadi secara gaib, tetapi berproses secara sadar dan oleh karena itu melalui pergumulan bersasar bagi setiap pribadi.
Buku ini diakhiri dengan bab yang menguraikan ”beragam pandangan kaum feminis tentang ekologi”. Mengapa kaum feminis berteriak, bahkan menangis menjerit ketika pembangunan merusak lingkungan hidup, khususnya lingkungan alam, pembaca akan mengikuti logika teori ekofeminis yang dipaparkan dalam buku ini. Teori ekofeminisme ternyata terkait erat dengan teologi ciptaan Allah, Kitab Kejadian, hari-hari penciptaan. Tafsiran tentang ihwal ”berkuasalah” dan ”taklukkanlah” dari Kejadian 1 berarti ”penyembuhan” (buku Ruether Gaia and God). Penyembuhan lingkungan alam sangat dibutuhkan ketika manusia merusak alam lingkungan hidup demi keuntungan semata. Selamat membaca!
Kompas, Sabtu, 17 September 2005
A Nunuk
Prasetyo Murniati, Pengajar Fakultas Teologi Wedabhakti,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta