Meramaikan Sukidi dan Robert W Hefner
Di
tahun 2005 ini, selain memperingati satu abad The Special Theory of Relativity
Albert Einsten, dunia juga seyogianya perlu merayakan satu abad karya agung
lainnya yang terus menjadi inspirasi dan wacana dunia hingga hari ini: The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism Max Weber.
Syukur
buat kita di Indonesia, Sukidi, kader muda Muhammadiyah yang sedang belajar di
Harvard itu, setidaknya menurut tafsiran saya sudah memulainya pada lembaran
Bentara Kompas Maret lalu: Pengembaraan Gagasan Protestanisme Islam. Esai
Sukidi itu kemudian ditanggapi Robert W Hefner, guru besar antropologi agama
Universitas Boston, pada April melalui Protestanisme Islam dan Reformasi
Protestan yang kemudian dikristalkan oleh Sukidi pada Mei dalam Etika Protestan
Muslim Puritan†dengan subjudul Muhammadiyah sebagai Reformasi Islam Model
Protestan.
Selain
meramaikan perayaan di atas, tulisan ini ingin memberikan tambahan pita pada
bungkusan kado pemikiran Sukidi yang ia persembahkan untuk Muktamar
Muhammadiyah ke-45 di Malang awal Juli ini.
Dalam
esai yang pertama, menggunakan traveling theory Edward Said, Sukidi
menganalisis pengembaraan gagasan Protestanisme Islam di Iran dalam dan melalui
tiga tokoh reformisnya: Sayyid Jamal al-Darn al-Afghanar (1838-1897), Ali Shar'ati
(1933-1977), dan Hashem Aghajari (1955-sekarang). Kesimpulan inti yang ingin
saya garis bawahi ialah pentingnya mendengar seruan bagi inovasi pemikiran,
reformasi gagasan, dan penafsiran ulang ajaran dalam sebuah pergulatan sejarah
melawan tirani dan hegemoni penguasa agama yang mengungkung demi kemajuan
sosial yang membebaskan sebagaimana dicita-citakan oleh spirit keagamaan itu
sendiri.
Hefner,
sesudah memuji esai Sukidi dan mengamini relevansi reformasi Protestan bagi
dunia Islam, kemudian menambahkan sejumlah catatan kritis. Yang terpenting
dikatakannya: seruan reformasi ala Protestan itu harus diambil secara
berhati-hati di Indonesia karena dua hal. Pertama, reformasi Protestan tidak
cuma sebuah pencapaian intelektual yang mendorong umat lebih bertanggung jawab
terhadap iman masing-masing, tapi berpilin berkelindan dengan sejumlah
peristiwa politik yang sangat kompleks. Kedua, terdapat sejumlah unintended
consequences yang buruk dari reformasi Protestan itu sendiri, terutama dalam
bentuk eksekusi yang zalim atas puluhan ribu (konon bahkan ratusan ribu) orang
yang dianggap sebagai penganut bidah, tukang sihir dan golongan sesat, atas
nama pemurnian iman. Saran Hefner, agar tidak terjebak, maka arah yang
sebaiknya ditempuh kaum Muslimin di Indonesia ialah pendalaman iman tentang
pluralisme dan pemikiran yang menjadi ciri utama kaum Islam Sunni sejak dulu
kala.
Pada
esai yang kedua, sesudah meringkas jernih teori Weber tentang asal muasal dan
logika terbentuknya kapitalisme Barat yang dari rumpun reformasi Protestan yang
terutama dipelopori oleh Martin Luther dan Johannes Calvin itu, Sukidi
mengatakan, gerakan Muhammadiyah di Indonesia mirip dengan reformasi Protestan
itu. Kata Sukidi, kaum Protestan dan Muhammadiyah sama-sama bersemboyan
â€Kembali pada Kitab Suciâ€, sama-sama menjunjung nalar serta menolak semua
elemen magis (takhayul, bidah, dan khurafat) dalam pencarian keselamatan,
sama-sama merasionalkan doktrin agama melalui purifikasi iman dan ijtihâd
untuk meraih kemajuan, sama-sama bekerja sistematik melalui penggunaan
birokrasi modern, dan sama-sama mengadopsi innerworldy asceticism untuk
mengubah dunia. Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah, sang reformis
Islam Indonesia, oleh Sukidi digambarkan sebagai seorang Muslim puritan yang
asketis sekaligus seorang saudagar. Islam reformed yang dianutnya kemudian
mewujud dalam perilaku bisnisnya (etos kerjanya) yang â€cerdas, rajin, pekerja
keras, jujur, tekun, suka membantu, sangat sosialâ€. Ia hidup sederhana,
saleh-asketis, dan mandiri. Ia mengabdikan dirinya secara total pada aktivitas
bisnis dan sosial-keagamaan sekaligus. Pengikut Dahlan semakin terbentuk. Kata
Sukidi, para kapitalis Yogyakarta pada zaman itu memang didominasi oleh kaum
Muhammadiyah. Apa yang dilakukan Dahlan sejatinya adalah sebuah reinterpretasi
doktrin keislaman agar sejalan dengan aspirasi dunia modern yang bersendikan
rasionalitas dan bernapaskan kemajuan. Islam dan kemajuan, dengan demikian,
direkonsiliasikan.
Dikotomi
Tuhan dan dunia
Dalam
setiap agama selalu terdapat sekte atau aliran yang mempertentangkan Tuhan dan
dunia, mendualismekan kesalehan dan kemakmuran, atau mendikotomikan ibadah yang
sakral dan kerja yang profan. Dan ayat-ayat kitab suci untuk membangun teologi
demikian memang tersedia banyak. Dari agama Kristen bisa dikutip ayat, â€Tak
seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan
membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang
seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada
Allah dan kepada Mamon.†Di sini, Mamon umumnya ditafsirkan sebagai harta. Intinya,
untuk berkenan pada Tuhan, orang harus menolak dunia dengan segenap harta,
kekuasaan, dan kemuliaannya. Jadi, umat harus memilih salah satu, berkenan pada
Tuhan atau berkenan pada dunia. Akibatnya, umat yang ingin hidup benar dan
saleh kemudian tertinggal dari derap kemajuan dunia. Lebih parah lagi, kaum
saleh ini kemudian (bisa) terjebak dalam jenis keberagamaan yang campur aduk
dengan elemen magis yang penuh takhayul, bidah, dan khurafat. Makin jauhlah
umat demikian tertinggal.
Di
pihak lain terdapat elite agama, misalnya di Eropa pada zaman Martin Luther,
atau di Iran seperti yang digambarkan Sukidi, bersekutu erat dengan kaum
penguasa, bahkan menjadi penguasa itu sendiri, bergelimang dengan keduniawian
sambil atas nama konservatisme mengekang gerak dan aspirasi umat yang ingin
bebas mengecap kemajuan, membuat keluruhan umat tertinggal dari modernitas yang
umumnya dimotori oleh sains, teknologi, bisnis, investasi, dan manajemen
terkini. Sesungguhnya dua hal itulah yang ditentang kemudian diperbarui oleh
para reformis di Eropa, Iran, dan Indonesia. Pokok persoalannya, bagaimana
mengharmoniskan iman dan rasionalitas, kesetiaan pada kitab suci dan aspirasi
kemajuan, kesalehan dan kemodernan. Sederhananya, bagaimana berkenan pada Tuhan
dan berkenan pada dunia.
Max
Weber adalah orang pertama yang berhasil menunjukkan bahwa kaum
beragama—dalam hal ini kaum Protestan— bisa melakukannya. Sejak Weber
pelbagai studi tentang etos kerja berbasis agama sudah banyak dilakukan dengan
hasil yang secara umum mengonfirmasikan adanya korelasi positif antara sebuah
sistem kepercayaan tertentu dan kemajuan ekonomi, kemakmuran, dan modernitas.
Contoh populer ialah disertasi Robert N Bellah, terbit dengan judul Tokugawa
Religion: The Cultural Roots of Modern Japan (1957) menganalisis kemajuan
Jepang, menjelaskan peranan nilai agama pramodern itu dalam proses modernisasi.
Bagi
penganut Katolik yang sempat ditengarai Weber sebagai umat dengan etos kerja
rendah bila dibandingkan dengan etos kerja Protestan Michael Novak dalam The Catholic
Ethic and the Spirit of Capitalism (1993) berhasil mengidentifikasikan dan
menganalisis gagasan Katolik yang relevan, bahkan menjadi fondasi sistem
sosial, demokrasi, dan kapitalisme dalam masyarakat bebas. Untuk agama timur,
Francis Fukayama dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity
(1995) menjelaskan karakter unik dari nilai Konfusianisme, apabila dicangkokkan
ke dalam lingkungan pasar bebas, ternyata sangat bersesuaian dengan semangat
kapitalisme modern. Untuk Indonesia, Clifford Geertz yang datang meneliti ke
Jawa pada tahun 1950-an membuat kesimpulan ala Weber: pertumbuhan ekonomi dan
pembaharuan Islam berjalan secara beriringan. Mohamad Sobary dalam Kesalehan
dan Tingkah Laku Ekonomi (1999) juga menyimpulkan hal sama untuk masyarakat
Betawi di Desa Suralaya. Studi terbaru di bidang ini (2003) dilakukan oleh
Ahmad Janan Asifudin, dengan telaah psikologi, lagi-lagi membuktikan bahwa
agama Islam lebih dari cukup untuk menjadi basis etos kerja Islami untuk
menghasilkan kemajuan.
Kesimpulan
yang bisa ditarik ialah bahwa sesungguhnya setiap agama, setiap sistem
kepercayaan dan budaya, sangat memadai untuk dijadikan sebagai basis bagi
pengembangan etos baru yang mampu menjawab tantangan kehidupan modern.
Pilihan
doktrin yang relevan dengan dunia
Dari
sejarah kita tahu bahwa ketika Luther dan Calvin melancarkan reformasi
keagamaan di Eropa, tak sedikit pun terbetik dalam pikiran mereka membangun
sistem kapitalisme dunia seperti yang dipahami Weber empat abad kemudian atau
yang kita pahami lima abad sesudahnya. Waktu itu, mereka cuma ingin berkenan
pada Tuhannya secara murni, melepaskan diri dari sistem keagamaan yang mereka
rasakan sangat sesak, menindas, mengekang, dan korup. Namun, ternyata gerakan
reformasi itu punya unintended consequences, kali ini yang positif: berkenan
pada dunia.
Dari
kacamata sosiologi, Weber telah menunjukkan doktrin predestinasi dalam
Protestanisme itu, khususnya cabang Calvinisme, mampu melahirkan etos berpikir
rasional, berdisiplin tinggi, bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses
(material), tidak-mengumbar-kesenangan-namun-hemat-dan-bersahaja (asketik),
serta menabung dan berinvestasi, yang menjadi titik berangkat bagi kapitalisme
di dunia modern.
Jika
sebagai unintended consequences saja sebuah doktrin keagamaan bisa menghasilkan
sehimpunan perilaku baru, sebuah etos yang lebih berkualitas, maka seyogianya
sebuah doktrin pasti bisa secara intended, secara termaksud dan proaktif,
ditujukan buat mengembangkan sebuah sistem perilaku yang mampu menjawab aspirasi
dunia dan kemajuan masa kini. Bahkan, tidak hanya demi perilaku positif itu
saja, lebih luas lagi, demi sebuah etos baru, sebuah budaya baru yang secara
kategorial lebih unggul. Bukan cuma agar orang saleh bisa makmur, atau
Muhammadiyah lebih berjaya, tetapi lebih raya lagi: agar seluruh rakyat dan
bangsa Indonesia bisa terangkat dari kemiskinan, keterpurukan, dan kehinaan
dalam pandangan internasional.
Sudah
umum diketahui, bahkan sering dibicarakan dan diperbicangkan, bahwa aspirasi
dunia masa kini, yaitu tuntutan abad ke-21, setidaknya mensyaratkan sepuluh
pasang nilai utama berikut ini: [1] Kualitas dan Produktivitas, [2] Efisiensi
dan Keefektifan, [3] Kecepatan dan Ketepatan, [4] Disiplin dan Kerja sama, [5]
Integritas dan Ketepercayaan, [6] Kreativitas dan Inovasi, [7] Pelayanan Publik
dan Kepuasan Pelanggan, [8] Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan, [9] Respek
pada Hukum dan Rule of Law, serta [10] Demokrasi dan HAM. Inilah semangat dunia
modern terkini yang sedang kencang-kencangnya mengalami proses globalisasi.
Maka,
salah satu tantangan buat umat Islam di Indonesia, khususnya Muhammadiyah yang
sejatinya reformis, puritan dan modernis itu—meminjam bahasa Sukidi—sebagai
arah baru studi dan pendalaman ke depan, ialah memilih beberapa doktrin yang
relevan dengan sepuluh pasang nilai utama di atas dari khazanah doktrin
keislaman yang begitu luas. Misalnya saja, bagaimana mengelaborasi sampai
tandas dan lalu mendayagunakan secara tuntas [1] Doktrin Rahmatan Lil Alamin,
[2] Doktrin Amar Ma’ruf Nahi Munkar, [3] Doktrin Akhlakul Kharimah, dan [4]
Doktrin Kerja Sebagai Amanah dan Ibadah —dengan tetap setia pada akidah dasar
keislamannya—untuk menjawab kebutuhan di atas, serta pada saat yang sama, di
sisi lain, mampu menghentikan kemunafikan, lemahnya tanggung jawab, rapuhnya
watak, masih bercokolnya jiwa feodalisme, kegemaran pada takhyul, serta budaya
korupsi dan kolusi seperti ditengarai Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia
(1977). Doktrin yang dipilih itu harus bagai pisau bermata dua: mampu membabat
yang busuk dan buruk serta mengukir yang baik dan indah, sekaligus dan
serentak.
Standar
dan kadar: name of the game
Seorang
menteri yang beragama Islam, baru-baru ini berkata kepada saya bahwa mobil
dinasnya hanya dipakai untuk keperluan dinas saja. Tatkala belum lama ini
menikahkan anaknya, dia memilih perayaan sederhana bersama keluarga terdekat
saja. Sahabatnya, seperti saya, hanya dikirimi undangan pascapernikahan,
memohon doa restu bagi kedua mempelai. Dia tak menggunakan opportunity sebagai
menteri untuk bermegah-ria atau mengumpulkan ungkapan kasih yang mahal-mahal.
Pak Menteri ini pernah sharing bahwa ia membasiskan perilaku luhurnya itu dari
doktrin rahmatan lil alamin.
Paus
Yohanes Paulus II pernah ditanyai wartawan bagaimana ia bisa menjelaskan
fenomena Bunda Teresa, suster yang sederhana, guru biasa saja, tetapi kemudian
bertiwikrama menjadi raksasa karitas dunia. Paus menjawab transformasi personal
demikian adalah buah perenungan akan Tuhan. Ungkapan iman seorang Bunda Teresa
diwujudkan dalam karya karitasnya dengan doktrin pelayanan yang khas: give
until it hurts yang sering diterjemahkan menjadi mengasihi sampai terluka.
Kedua
contoh itu, masing- masing berangkat dari doktrin keagamaan yang khas namun tak
baru sama sekali, mampu menghasilkan perilaku sosial dan etos kerja terpuji.
Yang signifikan di sini ialah standarnya atau kadarnya. Ibarat logam mulia,
keduanya sama-sama emas berkadar tinggi.
Karena
itu, umat beragama sesungguhnya tidak memerlukan doktrin baru dari kitab suci
masing-masing.
Yang
lebih diperlukan: pendalaman doktrin secara vertikal, menukik dalam sampai ke
hakikatnya, bahkan sampai ke ruhnya yang paling murni, lalu dengan kekuatan ruh
tersebut (napas, motivasi, api, semangat) mengaplikasikannya secara horizontal
dengan standar setinggi mungkin ke dalam pelbagai bidang: sosial, hukum,
bisnis, ekonomi, politik, birokrasi, atau pendidikan.
Bagi
kaum Muslimin Indonesia umumnya dan Muhammadiyah khususnya, maka etos kerja
Islami yang diperlukan —selain harus relevan dengan sepuluh nilai utama
tadi—haruslah juga berstandar dan berkadar tinggi sehingga tak boleh kalah
dengan standar etos kerja yang bersumber dari tradisi keimanan mana pun juga.
Mengingat
Muhammadiyah merupakan gerakan Islam pembaruan yang sangat penting di
Indonesia, karena itu reformasi negeri ini sampai derajat yang signifikan
ditentukan olehnya, maka ia memerlukan penegasan kredo kadar keimanan yang
lebih murni, penguatan keyakinan yang lebih kukuh, pendalaman komitmen yang
lebih dahsyat, standar etos yang lebih tinggi, serta kebersamaan yang dipandu
oleh visi yang terang dan menjulang dari segenap pemimpin dan warga
Muhammadiyah.
Kompas, Sabtu, 02 Juli 2005
Jansen
H Sinamo Direktur Institut Mahardika
Jakarta, sebuah institusi yang secara khusus mendalami dan mengajarkan etos
kerja; penulis buku Ethos21: Delapan Etos Kerja Profesional.