Al-Quran Antara Fakta dan Fiksi

Sejak pewahyuannya hingga kini, al-Quran telah mengarungi sejarah panjang selama empat belas abad lebih. Rincian perjalanan historis kitab suci ini, terutama pada tahapan awalnya, telah ditempa serta dijalin dengan sejumlah fiksi dan mitos yang belakangan diterima secara luas sebagai fakta sejarah. Beberapa di antaranya, yang dipandang penting serta dikenal luas, akan diungkap di sini, disertai latar belakang fabrikasi dan implikasinya.
 
Sejak pewahyuannya hingga kini, al-Quran telah mengarungi sejarah panjang selama empat belas abad lebih. Rincian perjalanan historis kitab suci ini, terutama pada tahapan awalnya, telah ditempa serta dijalin dengan sejumlah fiksi dan mitos yang belakangan diterima secara luas sebagai fakta sejarah. Beberapa di antaranya, yang dipandang penting serta dikenal luas, akan diungkap di sini, disertai latar belakang fabrikasi dan implikasinya.

Pengumpulan al-Quran. Gagasan paling populer tentang "pengumpulan" resmi al-Quran menegaskan bahwa aktivitas semacam itu pertama kali dilakukan pada masa kekhalifahan Abu Bakr berdasarkan otoritasnya. Sekalipun dipandang kebanyakan Muslim sebagai kebenaran sejarah, penelitian atas gagasan tersebut akan mengungkapkannya sebagai rekayasa belakangan.

Penelusuran terhadap berbagai riwayat pengumpulan al-Quran memperlihatkan tidak ada kesepakatan dalam tradisi Islam tentang figur pertama yang mengkodifikasikannya. Di dalam riwayat-riwayat terisolasi, muncul nama-nama lain -- seperti Ali ibn Abi Thalib, Umar ibn Khaththab, atau Salim ibn Ma'qil -- sebagai pengumpul pertama al-Quran dalam bentuk tertulis. Versi-versi alternatif ini tentunya bertabrakan dengan gagasan pengumpulan resmi Abu Bakr, dan karena itu, biasanya dipandang sebagai pengumpulan dalam bentuk hafalan, selain sebagiannya dinyatakan ahistoris.

Sehubungan dengan kodifikasi Abu Bakr, ada dua motif yang selalu ditekankan dalam latar belakang diambilnya langkah tersebut. Yang pertama adalah Nabi Muhammad belum mengumpulkan al-Quran ke dalam suatu mushaf tunggal hingga wafatnya. Motif kedua, yang berhubungan erat dengan motif pertama, adalah wafatnya sejumlah besar penghafal al-Quran (qurra') dalam pertempuran Yamamah telah menimbulkan kecemasan Umar ibn Khaththab bahwa banyak bmemang tidak meninggalkan kodeks al-Quran dalam bentuk lengkap. Kalau tidak demikian, tentunya tidagian al-Quran yang akan hilang.

Tentang motif pertama, dapat dipastikan bahwa Nabi ak akan timbul upaya pengumpulan setelah wafatnya. Namun, seperti diketahui dari berbagai sumber, terdapat upaya yang serius dan sadar di kalangan sahabat untuk memelihara wahyu-wahyu dalam bentuk tertulis, seraya berpatokan pada petunjuk Nabi tentang komposisi kandungannya. Jadi, wafatnya sejumlah penghafal al-Quran bukanlah alasan utama untuk mencemaskan hilangnya bagian-bagian al-Quran.

Rincian motif kedua juga telah dikritik sejumlah pengamat. Dalam berbagai laporan disebutkan sejumlah 70 penghafal al-Quran telah gugur pada pertempuran Yamamah -- riwayat lain bahkan mencatat 500 orang. Tetapi, ketika nama-nama penghafal al-Quran ditelusuri dalam daftar orang yang tewas -- seluruhnya sekitar 1200 orang, ternyata hanya ditemukan sejumlah kecil nama yang mungkin menghafal banyak bagian al-Quran. Dengan demikian, pengaitan motif pengumpulan al-Quran di masa Abu Bakr dengan gugurnya sejumlah besar qurra' dalam pertempuran Yamamah jelas merupakan fiksi.

Lebih jauh, laporan pengumpulan pertama Zayd ibn Tsabit di masa Abu Bakr memperlihatkan bahwa ia hampir secara eksklusif bergantung pada sumber-sumber tertulis -- perkamen, batu tulis, pelepah kurma, tulang-belulang, dan lainnya. Eksistensi sumber-sumber tertulis ini memang tidak meragukan. Karena itu, kesimpulan bahwa tewasnya penghafal al-Quran tidak mungkin menimbulkan kecemasan atau menjadi penyebab utama hilangnya bagian-bagian al-Quran jelas cukup beralasan.

Berbagai kesimpangsiuran, seperti ditunjukkan di atas, memperlihatkan bahwa teori dominan tentang pengumpulan pertama al-Quran di masa Abu Bakr adalah fiksi semata. Kesimpulan semacam ini juga dinyatakan marja-e-taqlid Syi'ah abad ke-20, Abu al-Qasim al-Musawi al-Khu'i, berdasarkan pijakan yang relatif sama -- yakni kontradiksi dalam berbagai versi pengumpulan al-Quran.

Karakter resmi kodifikasi Abu Bakr memang berseberangan dengan kenyataan sejarah. Mushaf ini, pada faktanya, tidak pernah memperoleh pengaruh luas di kalangan kaum Muslimin sampai muculnya kodifikasi utsmani. Sebaliknya, kumpulan al-Quran yang diupayakan secara individual oleh empat sahabat Nabi -- Ubay ibn Ka'b, Abdullah ibn Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ari dan Miqdad ibn Aswad -- justru menjadi panutan generasi Muslim yang awal dan mengatasi popularitas mushaf resmi Abu Bakr, jika mushaf ini betul-betul eksis.

Mushaf empat sahabat Nabi yang berpengaruh itu masing-masing memiliki kararkteristik yang membedakan antara satu dengan lainnya -- mulai dari sekuensi dan jumlah surat sampai perbedaan teks dan bacaan. Belakangan, keragaman ini mulai menggangu kohesi sosio-politis ummat Islam, sehingga Khalifah Utsman mengambil kebijakan resmi unifikasi teks dan bacaan al-Quran.

Unifikasi Utsman dikabarkan mendapat tantangan sejumlah sahabat Nabi, misalnya Ibn Mas'ud dan Abu Musa al-Asy'ari. Tetapi, mekanisme ijma' dan kuatnya dukungan politik, akhirnya berhasil memeras keluar pandangan-pandangan berseberangan dan melegitimasi mushaf utsmani sebagai textus receptus.

Butir penting dalam laporan kodifikasi Utsman menyebutkan bahwa ia memerintahkan komisi yang dipimpin Zayd untuk menyalin al-Quran dalam dialek suku Quraisy, karena kitab itu diwahyukan dalam bahasa mereka. Penegasan penyalinan al-Quran dalam dialek Quraisy ini sebenarnya hanya suatu fiksi. Al-Quran sendiri (16:103; 26:195 cf. 12:2; 43:3; 20:113; 42:7; 41:2-3,44; 39:27-28; 13:37; 26:192-195; 46:12; 19:97; 14:4) menyatakan bahwa ia diwahyukan dalam "lisan Arab yang jelas." Penelitian terakhir tentang bahasa al-Quran menunjukkan bahwa ia kurang lebih identik dengan bahasa yang digunakan dalam syair-syair pra-Islam. Bahasa ini merupakan Hochsprache -- atau lingua franca, lazim disebut 'arabiyyah -- yang dipahami seluruh suku di jazirah Arab, serta merupakan satu kesatuan bahasa karena kesesuaiannya yang besar dalam leksikal dan gramatik. Lebih jauh, lingua franca itu bukan dialek suku atau suku-suku tertentu.

Sebagian sarjana Muslim cenderung berasumsi bahwa karena Nabi dan pengikut awalnya berasal dari suku Quraisy, mereka tentunya telah membaca al-Quran dalam dialek suku itu. Sarjana-sarjana ini selanjutnya beranggapan bahwa dialek suku Quraisy identik dengan bahasa syair. Tetapi, sejumlah informasi tentang dialek suku-suku Arab pada masa Nabi yang berhasil diselamatkan terlihat menyangkali keyakinan tersebut.

Gagasan yang berkembang luas dalam tradisi Islam mengaitkan unifikasi Utsman dengan kodifikasi Abu Bakr dan secara eksplisit mengungkapkan bahwa basis teks utsmani adalah teks Abu Bakr, yang ketika itu berada di tangan Hafshah, puteri Umar dan janda Nabi. Tetapi, upaya pengaitan ini lebih bersifat ilusif dan ahistoris, serta cenderung mengecilkan peran Utsman -- penguasa yang dipandang nepotis dan tidak cakap -- yang amat menentukan dalam hal ini.

Dari laporan lainnya disebutkan bahwa mushaf Hafshah berulang kali diminta oleh Marwan -- ketika menjabat Gubernur Madinah -- untuk dimusnahkan, yang baru berhasil dilakukan setelah wafatnya Hafshah. Alasan utama pemusnahan ini adalah kekuatiran tentang bacaan-bacaan "aneh" di dalamnya yang potensial menyebabkan perselisihan di kalangan kaum Muslimin.

Laporan ini memastikan bahwa naskah Hafshah tidak memadai sebagai basis utama kodifikasi Utsman. Namun, benang merah yang hendak ditarik di sini adalah keterkaitan mushaf Hafshah dengan pengumpulan di masa Abu Bakr. Dengan demikian, nama-nama khalifah sebelum Utsman -- Abu Bakr sebagai otoritas yang memerintahkan pengumpulan dan Umar sebagai penggagas intelektualnya -- memiliki saham dalam proses pengumpulan mushaf utsmani.

Stabilisasi Teks. Unifikasi teks dan bacaan al-Quran yang dilakukan Utsman terlihat belum mencapai hasil yang dihajatkan. Aksara primitif Arab (scriptio defectiva) yang digunakan ketika itu untuk menyalin al-Quran masih membuka peluang bagi pembacaan teks secara beragam. Selain ketiadaan tanda vokal, sejumlah konsonan berbeda dalam aksara ini dilambangkan dengan simbol-simbol yang sama.

Kekeliruan pembacaan (tashhif) al-Quran yang disalin dalam aksara semacam itu bisa dikurangi atau dihindari jika seseorang mempunyai tradisi hafalan yang kuat, atau paling tidak memiliki tingkat keakraban yang tinggi terhadap teks. Kalau tidak, sangat mungkin baginya terjebak dalam tashhif. Bahkan, terdapat kesan yang kuat bahwa scriptio defectiva turut berperan dalam memunculkan ragam bacaan (variae lectiones).

Asumsi terakhir ini, tentu saja, tidak dibenarkan dalam weltanschauung tradisional. Bagi ortodoksi Islam, variae lectiones -- khususnya kiraat mutawatir (kiraat tujuh) dan masyhur (kiraat sepuluh dan empat belas) -- merupakan bacaan-bacaan otentik al-Quran yang bersumber dari Nabi. Basis teori ini adalah sejumlah hadits yang menyatakan bahwa al-Quran diwahyukan dalam "tujuh huruf," yang merefleksikan varian-varian tersebut.

Menurut penjelasan tradisional, kekeliruan pembacaan al-Quranlah yang mendorong dilakukannya penyempurnaan terhadap rasm (ortografi) al-Quran atas prakarsa otoritas politik, seperti Ziyad ibn Samiyah dan al-Hajjaj ibn Yusuf. Langkah aktual penyempurnaannya -- penciptaan tanda-tanda vokal, titik-titik pembeda konsonan bersimbol sama, serta tanda-tanda ortografis lainnya -- dikabarkan dilakukan sejumlah pakar bahasa, seperti Abu al-Aswad al-Du'ali, Nashr ibn Ashim, Yahya ibn Ya'mur, dan al-Khalil ibn Ahmad.

Tetapi, versi tradisional tentang penyempurnaan aksara Arab itu, selain berkontradiksi antara satu dan lainnya, bertentangan dengan temuan paleografi atau manuskrip-manuskrip al-Quran yang awal. Dari berbagai temuan peleografi, diketahui bahwa titik-titik pembeda konsonan sebagiannya telah dikenal dan mungkin telah diintroduksi pada masa pra-Islam mengikuti model tulisan Suryani. Bahkan, dapat dipastikan bahwa titik-titik diakritis tersebut telah digunakan pada abad pertama Islam, sekalipun tidak tersebar luas.

Sementara tanda vokal berupa titik-titik diakritis -- kemungkinan diadopsi dari aksara Suryani -- juga tampaknya sangat tua, tetapi masa pengintroduksiannya ke dalam aksara Arab tidak dapat ditetapkan. Yang jelas, pada abad ke-2H, penggunaannya dalam penulisan mushaf belum mendapat justifikasi. Malik ibn Anas, misalnya, menuntut bahwa mushaf al-Quran harus bersih dari titik-titik vokal. Tanda-tanda vokal ini, lantaran kemiripannya dengan titik-titik pembeda konsonan, kemudian diganti dengan huruf alif, waw dan ya' -- untuk vokal a, u dan i -- serta akhirnya berkembang mencapai bentuk yang dikenal sekarang.

Jadi, dapat dipastikan bahwa scriptio plena tidak muncul dalam seketika, tetapi secara gradual melalui serangkaian perubahan yang bersifat eksperimental. Manuskrip-manuskrip al-Quran yang awal secara jelas menunjukkan penerapan berbagai macam metode untuk menghilangkan ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan naskah.

Tulisan al-Quran, setelah diintroduksinya scriptio plena, bisa dikatakan sebagai aksara "gado-gado," lantaran tarik-menarik dan kompromi antara kekuatan-kekuatan yang menghendaki penyempurnaan ortografi utsmani dan yang mempertahankan bentuk orisinalnya. Namun, pandangan dunia tradisional menegaskan bahwa penyimpangan terhadapnya -- diyakini bersifat dogmatis (tawqifi) dan disepakati (ijma') dua generasi pertama Islam -- merupakan dosa yang tidak terampuni.

Bagi rata-rata sarjana Muslim, "keistimewaan" rasm utsmani merupakan misteri ilahi dan karakter kemukjizatan al-Quran. Tetapi, pandangan ini lebih merupakan mitos ketimbang prasangka dogmatis. Manuskrip-manuskrip mushaf utsmani yang awal cenderung menyangkali karakter ilahiyah semacam itu. Dalam manuskrip-manuskrip ini, tidak terlihat adanya kesepakatan dan keseragaman dalam penyalinan teks al-Quran.

Sekalipun tidak ada keseragaman ortografis dalam salinan-salinan textus receptus yang awal, penyimpangan terhadap rasm utsmani selalu diupayakan dengan berbagai cara untuk diperas keluar. Dengan demikian, telah terjadi sakralisasi terhadap suatu bentuk tulisan yang lazimnya dipandang sebagai produk budaya manusia. Sakralisasi teks utsmani, setelah pencangkokan setengah hati scriptio plena, mengakibatkan muncul berbagai inkonsistensi penulisan di dalamnya. Demikian pula, lantaran kegigihan mempertahankan bentuk tradisionalnya, teks utsmani -- dalam sejumlah kasus -- terkadang mesti dibaca lain dari yang tertulis.

Inkonsistensi dan keruwetan dalam teks utsmani itu telah digugat sejak lama. Abu Bakr al-Baqillani, cendekiawan Muslim abad ke-5H, dan Izz al-Din Abd al-Salam, pakar hukum Damaskus abad ke-7H, misalnya, merupakan otoritas masa lalu yang secara tegas menolak karakter ilahiyah rasm utsmani. Sementara sejumlah sarjana Muslim modern menekankan kembali argumen-argumen al-Baqillani dan Abd al-Salam dalam rangka menjadikan sistem penulisan al-Quran akrab dengan masyarakat Muslim, terutama non-Arab.

Hasbi Ash-Shiddieqy, misalnya, menilai orang yang memandang rasm utsmani memiliki sanksi ilahi sebagai "orang yang bertahkim kepada perasaan." Abd al-Aziz Fahmi, mantan anggota Majma' al-Lugah al-'Arabiyyah, bahkan mengajukan proposal penggantian aksara Arab dengan aksara Latin menjelang pertengahan abad ke-20. Sekalipun menuai protes keras, usulan ini disambut dengan terbitnya naskah al-Quran dalam aksara Latin pada 1967 di Turki. Di Indonesia juga telah muncul penulisan surat-surat tertentu al-Quran -- yang menonjol adalah surat ya sin -- dalam bentuk transliterasi Latin, namun tetap disandingkan dengan teks Arab dan terjemahannya.

Unifikasi Bacaan. Penyempurnaan ortografi al-Quran mencapai bentuk finalnya menjelang penghujung abad ke-9, dan penggunaannya dalam penyalinan textus receptus telah membawa bentuk keseragaman teks dan bacaan yang lebih luas, dibandingkan yang bisa dicapai teks utsmani dalam aksara orisinalnya. Sekalipun telah muncul gerakan yang mengupayakan keseragaman bacaan al-Quran -- khususnya setelah promulgasi mushaf utsmani -- sebagai antipoda gerakan yang menghendaki keragamannya, tetapi dengan teks yang belum memadai, hasil yang dicapai gerakan itu sangat terbatas.

Eksistensi teks yang lebih memadai, pasca introduksi scriptio plena, telah mendorong munculnya gerakan yang lebih kuat ke arah unifikasi bacaan pada awal abad ke-10. Berbagai variae lectiones disaring dengan textus receptus sebagai batu uji, di samping kriteria-kriteria lain, seperti keselarasan dengan kaidah bahasa Arab dan tawatur -- prinsip transmisi suatu bacaan melalui mata rantai perawi yang independen dan otoritatif dalam skala sangat luas, sehingga menafikan kemungkinan terjadinya kekeliruan.

Hasilnya, dengan dukungan penuh otoritas politik Abasiyah -- dimotori para wazirnya, Ibn Muqla dan Ibn Isa -- ortodoksi Islam menyepakati eksistensi kiraat tujuh (al-qira'at al-sab'), yang dihimpun Ibn Mujahid, sebagai bacaan-bacaan otentik atau lectio vulgata bagi textus receptus.

Seperti preseden yang sudah-sudah, gagasan-gagasan berseberangan dengan kesepakatan tentang lectio vulgata mulai diperas keluar. Pada 934, Ibn Miqsam -- qari' dan pakar linguistik terkemuka -- dalam suatu persidangan resmi di hadapan otoritas politik dan agama, diancam serta dipaksa menarik pandangannya bahwa seorang Muslim berhak memilih bacaan dalam kerangka konsonantal apapun yang selaras dengan kaidah kebahasaan dan memiliki makna yang masuk akal, meski tidak seorang pun pernah membaca seperti itu. Pada tahun berikutnya, Ibn Syanabudz, guru Ibn Miqsam, dipersalahkan serta dipaksa menarik kembali pandangannya yang membolehkan kaum Muslimin menggunakan bacaan Ibn Mas'ud dan Ubay ibn Ka'b.

Dua kasus di atas memperlihatkan bahwa mulai saat itu variae lectiones di luar tradisi teks utsmani tidak lagi diakui keabsahannya. Demikian pula, upaya-upaya penyelarasan kiraat dengan bahasa berdasarkan nalar (irtijal) telah ditabukan. Padahal, di masa sebelumnya, Dlirar ibn Amr -- pendiri sekte heretik Dlarariyah pada permulaan abad ke-9 -- justru dipersalahkan karena menolak secara dogmatis mushaf Ibn Mas'ud dan Ubay ibn Ka'b. Sementara Isa ibn Umar al-Tsaqafi, pakar bahasa terkemuka pada abad ke-2H, pernah mempertegas keragaman bacaan dengan memperkenalkan ragam bacaan yang lebih selaras dengan cita rasa kebahasaan.

Kecenderungan kuat ke arah unifikasi semakin mengkristal pada masa selanjutnya, dengan ditutupnya gerbang ijtihad di sekitar abad ke-10. Seluruh masalah keagamaan yang esensial dinyatakan telah dibahas tuntas, dan sistem kiraat tujuh, dengan demikian, telah final.

Sekalipun sistem kiraat tujuh disepakati dalam teorinya sebagai bacaan-bacaan otentik al-Quran, dalam kenyataannya hanya dua dari empat belas versinya yang digunakan dewasa ini di dunia Islam. Versi pertama, "Warsy dari Nafi'," digunakan sejumlah kecil kaum Muslimin di barat dan barat laut Afrika, serta di Yaman, khususnya di kalangan sekte Zaidiyah. Sementara versi kedua, "Hafsh dari Ashim," digunakan mayoritas umat Islam, termasuk Indonesia.

Pencetakan al-Quran edisi standar Mesir pada 1923/1342H, yang disalin dengan bacaan Hafsh dari Ashim, semakin mempertegas langkah penyeragaman. Cetakan yang merupakan panutan dunia Islam ini telah menjadikan bacaan Hafsh dari Ashim semacam supremasi kanonik, dan dapat dibayangkan bahwa bacaan ini akan mengeliminasi eksistensi tertulis bacaan lainnya yang tersisa di masa-masa mendatang.

Namun, penunggalan teks dan bacaan al-Quran, selain berhasil membenamkan sebagian tradisi teks dan bacaan non-utsmani ke dalam limbo sejarah, juga telah mempersempit ruang gerak berbagai upaya untuk memikirkan kembali makna dan pesan al-Quran. Sebab, upaya-upaya tersebut hanya bisa bertumpu pada teks dan bacaan tunggal yang disepakati -- atau "Korpus Resmi Tertutup," dalam istilah Muhammed Arkoun.

Unifikasi bacaan al-Quran yang diupayakan Ibn Mujahid dan dipaksakan otoritas politik Abasiyah juga telah mengorbankan proses penyatuan bacaan yang tengah berjalan secara demokratis dan alami ketika itu. Proses ini berlangsung dalam dua etape: (i) unifikasi bacaan dalam suatu wilayah; dan (ii) unifikasi bacaan antara wilayah-wilayah. Kedua proses itu ditempuh melalui seleksi (ikhtiyar) yang berorientasi kepada prinsip mayoritas (ijma'). Tetapi, proses tersebut -- yang tengah berada di etape kedua -- terputus ketika gagasan tradisionalisme Ibn Mujahid yang kaku mendominasi dunia Islam.

Seandainya proses yang alami dan demokratis itu tidak terganggu, besar kemungkinannya suatu bacaan resmi untuk textus receptus bisa dicapai berdasarkan prinsip mayoritas, ketimbang menjadikan salah satu di antara bacaan-bacaan kanonik -- yang tidak satu pun bebas dari kritik -- sebagai bacaan standar atau semacam supremasi kanonik.

Perlunya Rekonstruksi. Uraian yang diterakan sejauh ini memperlihatkan eksisnya suatu jaringan fiksional yang telah ditenun di sepanjang perjalan historis al-Quran. Fiksi dan mitos semacam itu, selain merugikan perkembangan pemikiran Islam selama berabad-abad, juga telah menjadi tumpuan para orientalis dalam mendekonstruksi sejarah dan bahkan kandungan al-Quran.

Karena itu, kebutuhan ummat Islam saat ini adalah membongkar kembali jalinan fiksi dan mitos tersebut, seraya merekonstruksi perjalanan historis al-Quran yang bisa bertahan terhadap berbagai kritik sekaligus bisa berhadapan dengan berbagai prasangka Barat. Upaya semacam ini tentunya akan menyumbangkan perspektif-perspektif yang baru dan segar dalam studi-studi al-Quran.


Oleh Taufik Adnan Amal
25/11/2001

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design