LARUNG DAN DEKONSTRUKSI WACANA PATRIARKAL

Tulisan ini berangkat dari 'cerita yang berawal dari selangkangan'.
"... in classical philosophical opposition we are not dealing with the peaceful coexistence of a vis-à-vis, but rather with a violent hierarchy. One of the two terms governs the other (axiologically, logically, etc.), or has the upper hand. To deconstruct the opposition, first of all, is to overturn the hierachy at a givent moment."1 (Jacques Derrida, "Positions", hlm. 41.).

Bagian kedua novel Ayu Utami, "Larung," yaitu 'cerita yang berawal dari selangkangan' adalah sebuah skandal dalam novel ini. Bagi Nirwan, bagian tersebut adalah sebuah 'estetisasi percabulan' yang tidak ada bedanya dengan karya Freddy S. atau Nick Carter2. Sementara itu, Ichlas Syukurie berpendapat bahwa Ayu Utami hanyalah mengabdikan diri untuk memuaskan selera pembacan (termasuk Ichlas!) yang merindukan tema "seputar selangkangan, sedang peristiwa-peristiwa sosial politik hanya menjadi alat penopang seperti bantalan kayu pada rel kereta api."3 Nah, sekarang kritikus perempuan, Melani Budianta. Komentarnya lebih positif, tidak mengatakan novel ini cabul. Menurut Melani, Larung, seperti "Saman", dengan penggambaran seksualitasnya yang berani tetap menempatkan perempuan sebagai 'penggembira' dan bukan tokoh utama.4
Sementara itu Ayu sendiri mengatakan, "Jika saya bercerita tentang seks, saya malah sangat rasional dan tidak terlibat."5
Bagian kedua Larung (hlm. 71-162) tentu saja dapat dibaca sebagai cerita semi-porno. Tetapi apakah tidak ada kemungkinan untuk membaca secara lain. Tidak adakah sesuatu hal lain yang dipertaruhkan Ayu Utami sehingga ia menulis cerita yang menjadi skandal ini?
Bagi saya, bagian kedua Larung merupakan sebuah permenungan yang dalam dan kaya, juga cerdik, dari Ayu Utami,seorang perempuan, yang berupaya mendekonstruksi wacana patriarkal.
***
Saya akan memulai tulisan saya dari dekonstruksi.
Salah satu sumbangan terpenting dari strukturalisme bagi filsafat adalah penemuannya bahwa makna sebuah kata (penanda) tidak diperoleh dari hubungan penanda itu dengan apa yang ia tandakan melainkan dari perbedaannya dengan kata (penanda) yang lain. Kata hitam mempunyai makna karena ia berbeda dengan putih, berbeda dengan merah, berbeda dengan kuning. Kata meja punya makna karena ia berbeda dengan kursi, berbeda dengan almari.
Selanjutnya strukturalisme menemukan bahwa kategori pemikiran manusia sebagian besar didasarkan pada oposisi biner (pasangan konsep yang saling berlawanan). Besar dipahami dalam perlawanannya dengan kecil, 'tinggi >< rendah', 'budaya >< alam', 'rasional >< emosional', 'laki-laki >< perempuan', 'kita >< mereka', 'manusia >< tuhan', dst.
Sebagai seorang filsuf yang berangkat dari strukturalisme, Derrida juga menerima 'ajaran' strukturalisme mengenai oposisi biner tadi. Namun ia menambahkan sesuatu yang sungguh baru. Ia menunjukkan bahwa "hubungan dalam pasangan berlawanan (oposisi biner) tersebut bukanlah hubungan damai antara dua hal yang saling berhadapan, tetapi sebuah hirarki yang kejam. Term yang satu menguasai, mendominasi, membawahi term yang lain" (Positions, hlm. 41). Contoh, untuk zaman kita, rupanya budaya masih menempati posisi lebih tinggi dari pada alam; term rasional lebih dihargai dari pada term emosional; term laki-laki mendominasi perempuan. Meski saat ini, ada gerakkan membalikkan hirarki itu: alam, emosi, dan perempuan tak kalah penting dibanding budaya, rasio, dan laki-laki.
Penemuan oposisi biner oleh strukturalisme dan penemuan Derrida tentang hirarki yang ada dalam oposisi biner tersebut tentu dapat menjadi pijakan kokoh bagi gerakan feminisme melawan wacana patriarkal. Di sini saya memakai konsep wacana dari Foucault. Bagi Foucault, wacana bukanlah sekedar pernyataan-pernyataan yang kita buat tetapi juga termasuk 'peraturan-peraturan' yang membuat kita dapat membuat pernyataan-pernyataan tersebut. Kedua hal itu berada dalam tataran diskursif. Namun wacana juga melibatkan institusi non-diskursif (seperti: sekolah, penjara, keluarga, pemerintah) yang melakukan displin-displin tertentu sehingga memungkinkan terjadinya pernyataan-pernyataan dan berlakunya 'peraturan-peraturan' dalam tataran diskursif.
Dengan demikian, wacana patriarkal adalah wacana yang mendasarkan diri pada oposisi biner 'laki-laki >< perempuan' di mana term laki-laki berada posisi mendominasi term perempuan. 'Kekejaman' atau 'kekerasan' oposisi biner 'laki-laki >< perempuan' ini semakin nyata karena pada oposisi tersebut terkait oposisi-oposisi yang lain seperti 'rasional >< emosional', 'kuat >< lemah', 'aktif >< pasif', 'di luar rumah >< di dalam rumah', 'memimpin >< dipimpin', dst.
Dilihat dari perspektif dekonstruksi, gerakan feminisme adalah gerakan yang berusaha pertama-tama melawan, menentang, dan membalik hirarki dalam oposisi biner 'laki-laki >< perempuan'. Pembalikan ini amat penting mengingat bahwa oposisi biner tersebut tidak hanya berada dalam tataran konseptual (tataran diskursif) saja, tetapi terlebih mengakar dalam praktik hidup sehari-hari dengan segala institusi-institusi non-diskursif yang ada. Dan karenanya, kekerasan dan kekejaman hirarki wacana patriarkal tersebut tidak hanya terjadi pada tataran konseptual abstrak tetapi lebih-lebih terjadi dalam pengalaman hidup sehari-hari para perempuan yang konkret (blood and flesh). Mempertimbangkan hal tersebut, agar dapat sungguh mengguncang wacana lama (paradigma patriarkal), gerakan feminisme mesti radikal: membalik hirarki dalam oposisi biner 'laki-laki >< perempuan'.
Namun tentang dekonstruksi, Derrida menambahkan bahwa "Sementara kita melakukan pembalikkan, meninggikan apa yang dulu rendah, kita juga mesti mengembangkan 'konsep' baru, konsep yang tidak lagi menjadi bagian, dan tak pernah akan menjadi bagian dari paradigma lama." (Position, hlm. 42). Karena itu, jika setuju dengan Derrida, gerakan feminisme yang mendekostruksi wacana patriarkal mesti juga berusaha menemukan konsep 'baru' yang melampaui dan mengatasi oposisi biner 'laki-laki >< perempuan' itu.
Dalam perspektif oposisi biner 'laki-laki >< perempuan' dan usaha feminisme untuk membalikkan hirarki dalam oposisi tersebut, serta upaya penemuan konsep 'baru' yang mengatasi oposisi biner 'laki-laki >< perempuan', saya akan mencermati novel Larung karya Ayu Utami. Pembacaan ini tentu akan menarik mengingat Ayu Utami sendiri pernah mengatakan bahwa ia adalah seorang post-feminis. Maka, pertanyaan saya, oposisi-oposisi biner apa saja yang digoncangkan, dibalik oleh Ayu lewat pembicaraan para tokohnya? Konsep 'baru' apa yang ditawarkan Ayu untuk mengatasi konsep lama? Apakah kosep baru ini sungguh mengatasi konsep lama? 
Tulisan saya ini hanya akan membahas 'cerita yang berawal dari selangkangan' (hlm. 71-162). Gagasan-gagasan feminisme tentu juga dapat ditemukan di bagian-bagian lain. Namun, saya akan memfokuskan penelitian saya pada 'cerita yang berawal dari selangkangan' karena bagian ini adalah bagian yang menjadi milik para perempuan (Yasmin, Cok, Shakuntala, dan Laila).

Cok

Mari kita berangkat dari Cok [Cokorda Gita Magaresa] yang awalnya dipanggil si Tetek tetapi kemudian menjadi si Perek (Perempuan Eksperimen). Sebutan si Tetek, pangilan membanggakan Cok, diberikan oleh Shakuntala karena Cok mempunyai payudara yang besar. Namun, sebutan si Perek berasal dari Yasmin. "Aku tak tahu, apakah karena melihat pacarku yang banyak atau karena tahu apa yang kulakukan dengan mereka, Yasmin kemudian menyebut aku si Perek (83)." "Julukan itu memang diucapkan dengan akrab... tapi Perek tetap Perek. Semua perempuan punya tetek, tapi Perek? Perek tentu saja punya tetek. Tetapi tidak semua perempuan menjadi perek. Cuma yang bejat dan terhina saja.6" (83).
Cok mengeluhkan bahwa umumnya 'perek' dimaknai negatif, terkait dengan kebejatan, kehinaan.
Kadang aku jengkel, apapun yang kita lakukan, yang juga dilakukan oleh lelaki, kok kita yang mendapat cap jelek. Laki-laki tidur bergantian dengan banyak cewek akan dicap jagoan. Arjuna. Tapi perempuan yang tidur bergantian dengan banyak lelaki akan dibilang piala bergilir. Pelacur. Apapun yang kita lakukan, kita selalu dianggap obyek. Bahkan oleh sesama perempuan. (83-84)
Cok menunjukkan bahwa sebutan perek mengandung ketidakadilan terhadap perempuan dan sebaliknya memberikan keuntungan bagi laki-laki. Di sini 'perek' merupakan konstruksi wacana patriarkal untuk 'menyelamatkan' laki-laki dari 'kebejatannya' dengan melemparkan kebejatan itu pada perempuan. Ketidakadilan ini semakin mengakar mana kala perempuan pun ikut memakai kata tersebut untuk menggolongkan dirinya maupun perempuan sesamanya. Jika terjadi demikian [di sini Yasmin], perempuan pun ikut terlibat dalam dan turut memperkuat wacana patriarkal.
Namun, disini Cok melawan dan membuat tafsiran lain atas kata 'perek', meski tafsiran itu hanya untuk dirinya sendiri. Bagi Cok, "Perek adalah perempuan yang suka bereksperimen" (84) meskipun "Tak ada yang percaya bahwa perempun eksperimen berarti perempuan yang bereksperimen." (83).
Lebih lanjut Cok membalik segala konotasi yang terkait dengan kata 'perek' ini. Pengartian 'perek' sebagai subjek (bukan objek) dengan konotasi aktif (bukan pasif), ditampilkan Cok dalam hubungan Cok dengan Kucing Bersepatu Lars. Sang tentara gagah dan tampak garang dan jalang itu ternyata 'anak manis' yang dapat dipermainkan oleh Cok. Ia dipakai Cok untuk membeking usaha hotelnya. Bahkan, ia juga dipakai Cok untuk meloloskan Saman saat Saman menjadi buronan. (88-89). Cok yang berkarakter sebagai perempuan yang liar, bengal, blak-blakan,'jujur' ternyata juga mengalami 'kekerasan' budaya patriarkal. Namun, ia melakukan perlawanan terhadapnya dengan cara membuat tafsiran alternatif terhadap kode-kode patriarkal ataupun 'mempermainkan" kode-kode yang sudah ada.

Laila

Marilah kita sekarang menemui Laila [Laila Gagarina], seorang fotografer, yang sedang gundah karena gagal bertemu dengan 'kekasih gelapnya', Sihar. Berbeda dengan Cok yang dapat 'mempermainkan' kode-kode patriarkal, Laila tampil sebagai sosok yang amat terkungkung oleh cintanya pada Sihar, seorang laki-laki yang sudah beristri. Ia berencana melakukan pertemuan gelap di New York, namun pertemuan gagal karena Sihar datang besama sang istri. Karena cintanya kepada Sihar, dalam hati ia tetap mengatakan: "Sihar, saya ingin katakan: kamu saya maafkan. Pernahkan kamu tak kumaafkan?" (97).
Peselingkuhan Laila dan juga Sihar membuat mereka menderita. Karena, perselingkuhan itu selalu 'membahayakan' dan 'menjadi acaman' bagi keluarga. Hal ini tampak dalam perkataan, "Sihar, jangan cemas. Saya tak akan mengganggu perkawinanmu." Jawaban Sihar, "Sebab aku bukan orang yang bisa tidak melibatkan perasaan dalam hubungan lelaki-perempuan. Aku akan tergantung padamu, kamu akan tergantung padaku. Itu berbahaya. Aku punya keluarga." (98).
Apa yang mau ditampilkan di sini? Seorang perempuan begitu tergantung dengan laki-laki sehingga seolah 'mengemis cinta' dari laki-laki itu? Ataukah seorang perempuan yang begitu tegar dan berani melawan nilai-nilai masyarakat (perkawinan, keluarga) di hadapkan pada seorang laki-laki yang penuh kebimbangan dan tidak dapat memilih antra istri dan selingkuhan; laki-laki yang ingin mendapat untung ganda dari sang istri maupun selingkuhannya? Apakah di sini Ayu mengajak kita merenungkan lagi tentang komitmen dan kesetiaan? Atau ia sekali lagi mengajak kita melihat realitas lain (dari perspektif perempuan) tentang perselingkuhan yang membuat mereka ada dalam dilema? Saya tidak memperoleh jawaban yang pasti.
Kata Laila peselingkuhan membuat ia "ada dalam sebuah dilema, untuk membuat dua luka, bahkan tiga. Dia [Sihar] penah menulis kepada saya: Jangan kamu kira, Laila, bahwa hanya kamu yang sedih dalam hubungan ini. Atau cuma kamu dan istriku. Saya pun bersedih karena kita tidak boleh saling bertemu." (101). Tulis Laila lagi, beselingkuh adalah 'mana kala untuk mencinta sesorang ia harus menyakiti orang lain.' (102). Apa usaha untuk menyelesaikan dilema, atau bahkan trilema dari perselingkuhan ini?
Sihar mengusulkan: putus hubungan. Laila keberatan. "Tidak, Sihar. Saya tidak menuntut kamu berkorban. Tidak bisakah kita biarkan perasaan-perasaan ini mengalir?" (102). Cok mengusulkan, "persetan dengan laki-laki. Apa lagi yang sudah kawin." (117).
Sebelum menunjukkan apa yang dipilih Laila, Ayu Utami mengisahkan bagaimana wacana patriarkal mendisiplinkan perempuan (Laila). Yang menjadi pelaku tindakan pendisiplinan ini adalah Ibu.
Ibu [yang] erat membebat dadaku dengan stagen agar kuncup payudaraku yang sedang tumbuh tak terlihat orang. Dan jika aku di rumah kerap sore ibu menggiling dadaku dengan botol seperti adonan pada telenan agar payudaraku tidak tumbuh terlalu dini. Aku mengeluh, sakit sekali. Ibu, sesak dan ngilu. Katanya, tahanlah. Sebab dengan begini kamu tidak membuat teman dan gurumu, bahkan orang di jalan tergoda. Sebab bagi mereka tubuh wanita begitu menawan. Itu berbahaya. Biarkan kamu menjadi anak-anak sampai tiba saatnya menjadi dewasa (104-105).
Yang dilakukan ibu ini sejajar dengan apa yang dilakukan Yasmin terhadap Cok dengan kata 'perek'-nya. Ini merupakan bagian dari disiplin wacana patriarkal yang memaksa perempuan untuk melakukan 'kekerasan' terhadap perempuan. Bahkan kekerasan itu, dinaungi oleh sebuah lembaga keluarga, hubungan ibu dengan anak perempuan. Tindakan ibu ini dilatarbelakangi wacana patriarkal yang berpandangan bahwa perempuan itu adalah penggoda. Ini mungkin sebuah pandangan yang usianya sama dengan usia manusia diciptakan oleh Tuhan. [lihat Kitab Kejadian 3]. Atau lebih tepat ia berusia setua dengan penciptaan dunia oleh laki-laki.
Rupanya pendidikan dan disiplin dari sang Ibu membuat Laila justru menjadi seorang gadis menyangkal 'kegadisannya'. Saat sekolah ia ikut
[n]aik gunung, berkemah, turun tebing, cross country, menyusur kebun teh, berenang-jenis olah raga kelompok yang kebanyakan anggota-anggotanya anak laki-laki. Juga tidur bersisihan dengan kawan laki-laki dalam tenda dan perjalanan. Tapi dialah yang paling terlambat mengenal pria secara seksual. Pada saat itu ada rasa bangga bahwa dia memasuki dunia laki-laki, yang dinamis, tidak domestik, menjelajah alam, meninggalkan Barbie, tak segera tersentuh kosmetik. (Dan, yang barangkali tak ia akui, ia menyangkal buah dadanya sendiri. Juga menstruasinya. Ia pantang mengeluhkan keletihan atau nyeri ketika datang bulan. Ia selalu siap dengan banyak pembalut sehingga darah itu tak pernah rembes ke pakaian luar. Ia akan selalu segera mencuci bersih celana dalam yang tercemar sehingga tak satu pun akan melihat jejak yang memalukan itu.)7 Tidak semua perempuan bisa melakukan itu, menyangkal hal-hal yang lembek, dan ia merasa ada supremasi pada dirinya. Kini dia telah jauh dari aktivitas itu. Tak bisa lagi masuk ke dalam dunia pria dewasa. (118).
Laila adalah sebuah ironi: seorang perempuan yang ingin meninggalkan keperempuanannya agar ia dapat masuk dalam dunia laki-laki, yang dengannya ia memperoleh kebanggaan dan harga diri, tetapi akhirnya menjadi perempuan yang 'lembek' yang amat tergantung pada laki-laki. Ia tak dapat melupakan Sihar.

Shakuntala

Kalau Laila menceritakan proses disiplin wacana patriarkal untuk membentuk perempuan menjadi wanita. Shakuntala bercerita tentang proses disiplin wacana patriarkal untuk membentuk laki-laki sungguh menjadi laki-laki. Ia mulai dengan menunjukkan oposisi biner 'laki-laki >< perempuan' beserta hirarkinya dalam kebudayaan kita. Di sini Shakuntala tidak memakai kata perempuan tetapi wanita, jadi oposisi binernya antara 'laki-laki >< wanita'./p>
AKU MEMPUNYAI kakak lelaki. Dia anak pertama ayah-ibuku. Orangtuaku percaya bahwa laki-laki cenderung rasional dan wanita emosional. Karena itu, pria akan memimpin dan wanita mengasihi. Pria membangun dan wanita memelihara. Maka Bapak mengajari abangku menggunakan akal untuk mengontrol dunia, juga badan. Aku tak pernah dipaksanya untuk hal yang sama, sebab ia percaya pada hakikatnya aku tak mampu. WANITA DICIPTAKAN DARI IGA. KARENA ITU IA DITAKDIRKAN MEMILIKI KECENDERUNGAN UNTUK BENGKOK SEHINGGA HARUS DILURUSKAN OLEH PRIA. (SURAT XIV, 1266)8 (136)
Saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan Surat XIV, 1266. Apakah memang ada surat yang demikian itu? Jika ada akan jauh lebih menarik jika kita tahu. Namun, kalaupun surat itu melulu hasil imajinasi Ayu, surat tersebut tetap merupakan representasi sah mengenai stereoptipe terhadap perempuan dalam wacana patriarkal yaitu emosional, mengasihi, memelihara, tak bisa mengontrol badan (apalagi dunia), dan juga cenderung bengkok (tak sempurna).
Lalu, mulailah pendidikan dan disiplin wacana patriarkal untuk membentuk seorang pria. Pelajaran pertama dimulai dengan sebuah ajaran: "BAHKAN AIR SENI WANITA BERBAU LEBIH TAJAM DAN AMIS DIBANDINGKAN AIR SENI PRIA. (N.S., 1987)9. Di sini saya membayangkan ayah Shakuntala mengutip wacana ilmiah yang masih up to date (tahun 1987). Ini menunjukkan bahwa wacana ilmiah pun menjadi bagian dari wacana patriarkal yang selalu mengagung agungkan laki-laki.
Untuk mengajarkan bahwa laki-laki mesti di atas "Tempat laki-laki ... adalah DI ATAS" (137), sang Bapak mendisplinkan, mengajar dan memaksa anaknya untuk memanjat pohon.
Sebelum menjadi panglima, seorang prajurit akan menjadi pengintai di menara. Maka, wahai satria, jadikalah pohon kelapa ini menjadi menaramu, tempat kamu melindungi adik-adikmu perempuan10 dari para raksasa yang mengendus di kejauhan hutan. (137).
Shakuntala menampilkan konstruksi laki-laki sebagai pelindung dan perempuan sebagai yang dilindungi; laki-laki ditampilkan sebagai yang kuat, sementara perempuan sebagai yang lemah. Sebenarnya sang kakak menolak konstruksi ini: "Biar saja adik-adik menjaga diri sendiri." Namun ia tidak mampu melawan ayahnya. Ia dipaksa menerima konstruksi patriarkal ini.
Pendidikan kelelakian ini keras dan kejam. Karena "kangmasku menangis geru-geru sebab pohon itu begitu tinggi." Tetapi sang Bapak segera memberikan ajaran berikutnya:
Tangis itu milik perempuan. Milikmu adalah keberanian!" "Kalau kamu berteriak pada dirimu sendiri, berulang kali, 'Berhenti nangis! Berhenti nangis! Berhenti ...' maka kamu akan berhenti nangis, Nak. Kalau kamu berseru pada dirimu, 'Berani! Berani! Berani! ...' kamu akan berani. Kangmasku menurut. Setahap semi setahap. Ia menzikirkan keberanian, meski airmatanya masih mengalir dan pipinya merah dan pelupuknya sembab (138).
Saat memanjat pohon ternyata ia digigit tokek tetapi ia tidak lagi menangis. "Lalu Bapak menyeringai puas, sebab kangmasku telah berhenti menangis. (Barangkali ia berhenti menangis untuk seumur hidupnya." (139). Begitulah Shakuntala menceritakan formasi kelelakian kakaknya. Tampak heroik tetapi juga kejam, menyingkirkan segala tangis, keluhan, rasa sakit dari dunia laki-laki.
Mengakhiri permenungan tentang formasi laki-laki ini, Shakuntala mengkontraskan dirinya dengan kakaknya. Sang kakak dapat memerintah tubuhnya bagaikan seorang komandan memerintah batalyon dan kompi, sedang ia adalah kebalikannya: "Keputusan-keputusanku diperintah oleh dorongan tubuh untuk menari." (141). Ini merupakan versi lain dari oposisi 'kehendak >< tubuh'. Pada sang kakah kehendak membawahi tubuh sedang pada Shakuntala tubuh mengalahkan kehendak.

Pengguncangan dan upaya pelampauan oposisi

Setetelah menceritakan oposisi biner 'laki-laki >< wanita', Shakuntala berupaya mencari alternatif untuk melampaui oposisi biner ini. Ia merenung tentang 'kelaki-lakian seorang perempuan'.
"Laila, pernah nggak kamu merasa bahwa kamu adalah laki-laki? Anak laki?"
"Nggak."
"Kenapa?" Ia menatap saya. "Kamu dulu tomboy. Temanmu lebih banyak laki."
"Tapi saya kan bukan laki sungguhan."
..."Apa itu'sungguhan'? Mereka juga bukan lelaki sungguhan."
"Siapa?"
"Mereka semua. Dan kita juga bukan perempuan sungguhan. Kita semua jadi-jadian."
"Tala. Kerena itu kamu bisa menari sebagai lelaki dan perempuan!"
[Dalam pertunjukkan yang ia lakukan, Sakuntala dapat menarikan peran laki-laki maupun perempuan: Rama, Rahwana, tetapi juga Sinta. (126).]
"Ya. Aku ini perempuan juga lelaki." (129).11
Dalam percakapan itu, Shakuntala mulai mempertanyakan referensi lelaki dan perempuan. Keduanya bukanlah esensi tetapi sebuah konstruksi yang dapat bertukar satu sama lain seenaknya. Di sini Shakuntala menggugat hubungan statis dan beku antara tanda 'laki-laki' dan 'perempuan'dan konsep 'kelaki-lakian' dan 'keperempuanan' yang ditandakannya. Shakuntala menujukkan ketidakstabilan hubungan antara penanda dan yang ditandakannya itu. Saat Shakuntala dan Laila menari Spanish tango,Laila semakin menemukan sosok laki-laki dalam diri Shakuntala. Dalam wajah Shakuntala, ia menemukan wajah Sihar dan terkadang Saman.
Lalu saya [Laila] menemukan wajah saya telah bersandar pada siku lehernya. Dan saya menangis. Sebab sesungguhnya saya tahu saya terluka oleh sikap Sihar. Sebab kini saya tak tahu lagi siapa dia. Apakah Tala apakah Saman apakah Sihar. [Apakah perempuan, apakah laki-laki]12. Hangat nafasnya terasa. Cahaya rendah. (132).
Apakah laki-laki, apakah perempuan, keduanya adalah konstruksi. Shakuntala menawarkan sebuah 'konsep' yang melampaui atau paling tidak berbeda dengan konsep oposisi laki-laki perempuan.
Namaku hanya satu: Shakuntala.
Tapi sering ada dua dalam diriku. Seorang perempuan, seorang laki-laki, yang saling berbagi dalam sebuah nama yang tak mereka pilih.
Aku lupa sejak kapan kutahu bahwa aku anak perempuan, sama seperti kita lupa kapan kita pertama kali ingat. Aku curiga bahwa ayah dan ibuku mengatakan kepadaku terus-menerus-kamu perempuan-sejak aku belum bisa bicara. Dan bagaimanakah aku bisa membantah jika aku tak bisa bicara?
Tetapi lelaki dalam diriku datang suatu hari. Tak ada yang memberi tahu dan ia tak memperkenalkan diri, tapi kutahu dia adalah diriku laki-laki. Ia muncul sejak usiaku amat muda, ketika itu aku menari baling-baling (133).
Inilah pendapat Shakuntala: "Manusia tidak terdiri dari satu." (134).
Peryataan Shakuntala bahwa dalam dirinya ada laki-laki dapat saja dianggap sebagai ilusi belaka. Karena itu, untuk ia juga memikirkan oposisi ilusi dengan kenyataan. Kasus pokoknya adalah Laila yang tak dapat melupan Sihar. "Lama-lama aku [Shakuntala] berkesimpulan bahwa ia bukan tak bisa melainkan, seperti kata Yasmin, tak mau. Ia tak mau kehilangan ilusi itu." (140-141).
"Apa bedanya ilusi dengan kenyataan" (141). Saat itu ibu Shakuntala terguncang karena berhadapan dengan 'kenyataan' bahwa anak laki-lakinya [kakak Shakuntala] meninggal karena kecelakaan. Setelah menagis seharian penuh, pada hari berikutnya ia 'berilusi': "Dia tidak mati." Tak tahan dengan ibunya yang terus menerus menyatakan bahwa-anaknya-tidak-mati sebagai 'kenyataan', Shakuntala mengatakan,
"Ibu, ada beberapa kenyataan. Pertama, dia sudah mati. Kedua, aku ternyata juga laki-laki. Ketiga, Tuhan itu tak ada, Ibu."
Ibu terkejut, lalu tertawa. "Dia tiadak mati. Tuhan ada. Dan kamu anak perempuan, Sayang."
Akhirnya aku mengalah. Baiklah, Ibu, aku tak aku tak membantahmu lagi. Kalau itu membuatmu bahagia (142). "Apa kenyaataan? Apakah ia bagimu dan bagiku? Jika ayah ayahmu memperkosa kamu ketika kamu begitu muda, pantaskah kamu disebut bodoh sebab kamu tidak maju ke muka kelas dan
menyatakan [membuat nyata] bahwa ayahmu telah melanggar kamu. Bahkan jika kelas itu kosong dan tak ada murid atau guru mendengarmu. Jika pun kelas itu sebuah ruang dalam hatimu."
Apakah kita dapat begitu saja menerima 'kenyataan' pahit sebagai kenyataan? Atau sesungguhya kenyataan itu adalah sesuatu yang membuat bahagia? Lalu ilusi menjadi kenyataan jika ia memberikan kebahagiaan?
Terhadap Yasmin yang lebih menyukai kenyataan daripada ilusi Shakuntala menggumam,"Kamu hanya mempunyai segala yang menyenangkan di dunia ini. Tak ada susah bagimu" (146) karena itu tidak sulit bagimu untuk mengatakan segala yang nyata di dunia ini sebagai kenyataan. Kata Shakuntala, "Yasmin, kamu punya segalanya. Sementara Laila punya ilusi. Apakah kamu masih juga mau merenggut ilusi itu dari dia untuk melemparkannya ke tong sampah?"13 (147). Sebuah kata-kata yang amat pahit. Kepahitan ini tidak hanya bagi Laila tetapi juga Shakuntala.
Tapi apakah sebuah 'ilusi' itu selalu membahagiakan dan karenanya dapat dianggap sebagai 'kenyataan'. Shakuntala berikutnya 'mencoret' konsep bahwa ilusi itu 'melulu' membahagiakan. Ibu menilai Shakuntala berilusi karena ia mengap diri sebagai laki-laki. "Tapi aku tetap percaya bahwa ibuku yang berilusi [bahwa anak laki-lakinya tidak mati], bukan aku. Sebab aku tahu pasti ada diriku lelaki dan itu tidak membuatku lebih bahagia." (142). Bagi Shakuntala ilusi tidak selalu membahagiakan, tetapi kenyataan selalu tidak membahagiakan. Karena itu, ia percaya bahwa dalam dirinya memang nyata ada laki-laki. Namun, "IBUKU TAK PERCAYA aku juga laki-laki."
Saat itu Shakuntala ingin membuktikan bahwa dalam dirinya kepada sang ibu kelaki-lakiannya tidak datang. Ia menemukan kelelakiannya kembali saat belajar pada seorang sinden.
Suatu malam, ketika aku duduk dalam sebuah ruang dan mengagumi dia menyanyi tanpa pengiring, lelaki dalam diriku muncul dari belakang tubuhku seperti energi yang terlepas. Aku tidak bicara dengannya tetapi si pesinden melihatnya lalu mereka menembang bersama. Lalu mereka berdekatan, berdekapan. Mereka saling melepas kain masing-masing dan saling berlekatan. Setelah itu mereka saling berkata, "Betapa indahnya, kita sama-sama punya payudara." (149).
Kalau pemunculan konsep 'kelaki-lakian dalam perempuan' dipandang sebagai upaya untuk melampaui oposisi biner 'laki-laki >< perempuan', kata-kata "Betapa indahnya, kita sama-sama punya payudara" dapat diartikan sebagai pilihan untuk kembali ke oposisi biner dengan menempatkan perempuan dalam hirarki lebih tinggi. Pilihan ini dapat dipandang sebagai kegagalan tetapi juga dapat dilihat sebagai sebuah strategi untuk mendobrak wacana lama secara tuntas.

Yasmin Moningka

Upaya pendobrakan wacana lama (wacana patriarkal) ini tampak jelas dalam Yasmin. Namun perjuangan ini tidak mudah karena dalam dirinya, mungkin juga dalam semua perempuan, ada kontradiksi, ambivalensi. Permenungan Yasmin juga mulai dengan pendefinisian 'kenyataan'.
Kenapa kita menyebut "kenyataan" hanya untuk sesuatu yang bertentangan dengan keinginan" (154) "...Tapi bagaimana aku mendamaikan serempak kenyataan yang saling bertentangan? Realita dari sesuatu yang kuimpikan dan yang kuingin tolak? Dari yang lampau, yang sekarang, dan yang mungkin?" (155)
Yasmin Moningka, "berwajah baik dan benar, barangkali baku seperti Bahasa Indonesia. Pengacara. Dia seumpama lukisan realis di mana tak satu garis pun melenceng sehingga tak ada sisa bagi kita untuk menafsir" (135), "yang dulu waktu di SMA, terasa sekali mempunyai kompleks primadona. Dia selalau mau jadi nomor satu. Dalam hal prestasi, kecantikan, maupun moral." (82). Namun Yasmin ternyata mempunyai fantasi seksual yang teramat liar.
Yasmin mempunyai khayalan seksual masa kanak-kanak 'yang aneh'. Saat di kelas nol ia mulai tertarik pada teman laki-lakinya yang bernama Julian. "Aku selalu bersemangat untuk melihatnya keluar-main. Dan aku selalu membayangkan penis di balik celana pendeknya, pada pangkal kakinya yang ramping." Yasmin mengutip Frued untuk yang melihat periode itu sebagai tahap fallis, "saat anak tertarik ada alat kelaminnya. Anak lelaki bangga sementara anak perempuan cemburu dan merasa tidak lengkap karena tidak memiliki penis" (157). Namun, Yasmin tidak menerima teori Freud itu mentah mentah. "Apakah aku cemburu atau minder aku tak ingat. Yang aku ingat adalah aku tertarik pada penis Julian. Dan tak cuma itu. Bentuk ketertarikanku adalah keinginan untuk mengkastrasinya, menyunatnya, melakukan sesuatu sehingga ia kesakitan. Kenikmatan seksual awalku adalah menghkayalkan Julian merintih di tangan para musuhnya yang bersekongkol dengan orang-orang dewasa, yang menangkapnya, memapar dan menyakiti kelaminnya." (158). Waktu Yasmin masih kecil, "seks tak pernah datang bersama kasih sayang dalam fantasi kanak-kanakku. Seks, yang belum sempat terdefinisikan waktu itu, berhubungan dengan kekekerasan, penaklukan, dan rasa sakit."
Lalu ia mulai masuk ke budaya patriarkal.
Menjelang akil balig aku mulai malu atas fantasi-fantasiku dan kesenangan seksual yang dihasilkannya. Lalu suatu pergeseran yang aneh terjadi. Adakah aku menghukum diriku sendiri, ataukah ini datang bersama masa awalku memasuki dunia patriarkal yang tak kuketahui, dunia di luarku yang memaksakan diri, di mana wanita adalah obyek seksual? Aku kehilangan kesubyekan pada diriku dan menempatkan diri sebagai obyek. Aku kehilangan keperempuananku dan menjadi wanita.14. Dalam proses yang tak kumengerti, aku mulai menempatkan diriku sebagai si terhukum, wanita yang terkutuk karena kewanitaannya (158).
Lalu, ia mulai berefleksi dengan Deluze, seorang poststrukturalis dari Prancis, tentang masokisme15. Dalam masokisme, superego (nilai-nilai, kontrol dari luar misal dari orang tua yang sudah diinternalisasi sehingga menjadi nilai dan kontrol diri) digeser ke luar diri hingga menjadi bagian dunia eksternal. Deluze lebih banyak berbicara masokisme pada laki-laki. Dan ia melihat masokisme (pada laki-laki) merupakan penyimpangan. Pada wanita masokisme merupakan sesuatu yang natural.
Sebab, superego, figur ayah, aparat pendisiplin, memang telah tampil di luar diri wanita dalam konstruksi sosial yang patriarkal. Kami tidak perlu melakukan pembalikan. Kami hanya perlu ikut dalam permainan dominasi lelaki, yang derajat tingginya adalah selera sadisme heteroseksual pria. Apa bedanya idealisasi terhadap pengorbanan istri, poligami, dengan masokisme? Semuanya adalah internalisasi ketidakadilan. Wanita menyelamatkan diri dengan mengambil ke dalam dirinya dominasi pria (sebagaimana yang dikukuhkan banyak agama) dan menganggapnya agung. Karena itu, aku katakan, sembilan puluh persen wanita di dunia ini adalah masokis. (159)
Itu pula yang dialami Yasmin ketika sudah mulai masuk ke dunia patriarkal. Ia merindukan penghukuman. Ia merindukan dominasi. Kerinduannya itu bertentangan dengan citra yang ia bangun selama ini: Yasmin yang mandiri, yang selalu punya keputusan rasional, pengacara yang cukup dihormati, aktivis hak asasi manusia (dan di dalamnya adalah hak hak asasi perempuan). Inikah kesulitan yang dihadapi oleh para perempuan yang memperjuangkan feminisme?
Namun Yasmin tetap merasa berbeda dengan perempuan lain. "Yang membedakan aku dari para wanita yang mengukuhkan patriarkal adalah aku melokalisasinya [kerinduan akan dominasi itu] pada fantasi seksual. Mereka menerima dominasi pria sebagai suatu Ide yang total dan murni, suatu ideal. Mereka menerimanya sebagai nilai moral, aku sebagai nilai estetik." (160).
"Kadang [fantasi] itu begitu menakutkan aku. Bagaimana aku bisa mendamaikan estetika seksualku dengan pedoman nuraniku tentang keadilan?" (161). Bagaimana aku dapat memperjuangkan hak dan keadilan perempuan sementara aku menginginkan dominasi dan penindasan? Ambivalensi ini mungkin juga menjadi persoalan sentral bagi para feminis.
Namun untunglah Saman menyelamatkan Yasmin dari keinginan untuk didominasi laki-laki.
Kamu membangkitkan kembali khayal kanak-kanakku yang lama kukhianati. Tanpa kamu ketahui terlepaslah keperempuananku [bukan kewanitaan] yang telah dipenjarakan hampir dua puluh tahun. Kini ia datang dengan memori purba. Seakan ingatan primitif dari masa oral16, ketika tubuhku belum diracuni oleh kekuatan luar yang mengagung-agungkan fallus dan memitoskan kesucian wanita. Ia datang dengan agresivitas yang murni, polos, inosen, yaitu dorongan untuk memakan, menghisap, mengconsume, mengexploit, memasukkan ke dalam dirinya benda-benda yang menarik hatinya. Juga kelamin laki-laki.
Saat itu, tidak ada penis envy. Yang ada hanyalah dorongan untuk menelan benda asing, the Other, sesuatu yang mirip namun berbeda dari dirinya....Jika ia dibiarkan tumbuh alamiah, terjauhkan dari male chauvinisme, maka ia akan melalui masa klitoral dan vagina-bukan masa fallis-ketika ia menemukan mulut keduanya, yang dengannya ia mau menelan penis. Ia tak mengenal kata 'intrusi'. Ia hanya mengenal "konsumsi". Dan ia tidak cemas. (162)
Yang ditulis Yasmin sejajar dengan apa yang ditulis Shakuntala.
SEBAB VAGINA ADALAH SEJENIS BUNGA KARNIVORA SEBAGAIMANA KANTONG SEMAR. NAMUN IA TIDAK MEGUNDANG SERANGGA, MELAINKAN BINATANG YANG LEBIH BESAR, BODOH, DAN TAK BERTULANG BELAKANG, DENGAN MANIPULASI AROMA LENDIR SEBAGAIMANA YANG DILAKUKAN BAKUNG BANGKAI. SESUNGGUHNYA, BUNGA KARNIVORA BUKAN MEMAKAN DAGING MELAINKAN MENGHISAP CAIRAN DARI MAKLUK YANG TERJEBAK DALAM RONGGA DI BALIK DINDINGNYA YANG KEDAP. DAN PERMUKAAN LIANGNYA YANG BASAH AKAN MEMERAS BINATANG YANG MASUK, DALAM GERAKAN YANG BERULANG-ULANG, HINGGA BUNGA INI MEMPEROLEH CAIRAN YANG IA HAUSKAN. NITROGEN PADA NEPENTHES. SPERMA PADA VAGINA.
TAPI KLITORIS BUNGA INI TAHU BAGAIMANA MENIKMATI DIRINYA DENGAN GETARAN YANG DISEBABKAN ANGIN. (153)
Dan itulah yang dilakukan Yasmin pada Saman sehingga ia terbebas dari masokisme yang menjangkiti sembilan puluh persen wanita.
Saman, tubuhmu yang sederhana adalah tentara spiritual yang ditempa disiplin abstinens. Kegagahanmu adalah kesendirianmu, manusia yang selibat dalam realm yang religius maupun sekular. Aku seperti tahu kamu akan senantiasa sendiri. Selalu dalam kesunyian dan ketakmemilikian. Kejatuhanmu dalam dosa perzinahan adalah kejatuhan si pemanggul salib yang takkan henti mendaki. Meski barangkali ia hanya sisifus yang tahu atau tak tahu bahwa puncak itu takkan tercapai, barangkali tak ada. Tapi kuperkosa kamu oleh karena keangkuhan solitermu. Kumenangkan diriku atas kamu.17 (162)
Tidakkah ini dekonstruksi, pembalikan radiakal oposisi biner 'laki-laki >< perempuan', 'yang mendominasi >< yang didominasi'. Perempuan ditampilkan sebagai yang agresif, aktif, menyerang, kasar, kejam, dan akhirnya mengalahkan laki-laki, dan tidak lagi sebagai yang memilihara, mengasihi, lembut. Dalam Yasminlah terjadi momen puncak pembalikan hirarki 'laki-laki >< wanita' sehingga sang wanita kembali menjadi perempuan, menjadi sang pengempu, yang menguasai, dan bukan lagi wanita, yang merangsang. Pembalikan oposisi 'laki-laki >< wanita' ini disertai pembalikan oposisi biner yang lain 'kenyataan >< ilusi', 'aktif >< pasif', 'kehidupan >< kematian', 'menguasai >< dikuasai'.
***
Akhirnya apakah 'cerita yang berawal dari selangkangan' akan baca sebagai cerita semi-porno atau sebagai upaya Ayu untuk 'mempermainkan' dan mendekonstruksi wacana patriarkal, atau tafsiran lain, tentu pilihan ada pada pembaca. Namun di sini saya telah menunjukkan kecerdasan dan kelincahan Ayu memakai kata-kata dan imaginasi untuk melihat secara lain hal-hal yang kita anggap sudah pasti. Ayu menampilkan Cok yang melakukan perlawanan dengan 'mempermainkan' kode-kode wacana patriarki. Ayu juga menampilkan bagaimana 'kekerasan' wacana patriarkal membentuk "laki-laki" (ini pada kisah Shakuntala) maupun "wanita" (ini pada Laila). Ayu juga menampilkan kesulitan perjuangan perempuan pada Laila yang terperangkap, terkungkung oleh cintanya pada Sihar dan juga pada Yasmin yang ambivalen, mempunyai kerinduan untuk didominasi. Ditampilkan juga kesulitan Shakuntala mencoba mencari alternatif 'konsep' yang melampaui oposisi biner yaitu bahwa dalam setiap orang ada kelelakian atau pun keperempuanan.
Namun, agaknya Ayu mesti mengambil posisi. Dalam wacana patriarkal yang masih sedemikian kuat, emansipasi tidak cukup. Yang harus dilakukan adalah penggocangan dan pembalikan. Dalam Shakuntala, akhirnya tetap kembali pada pinjakan bahwa perempuan lebih indah. "Betapa indahnya, Kita sama-sama punya payudara." Sementara itu pada Yasmin, perempuanlah yang menjadi pemenang.
Sekedar catatan. Semua perempuan yang ditampilkan adalah perempuan yang mandiri, wanita karier, yang sebenarnya relatif lebih bebas dari kungkungan wacana patriarki. Akibatnya perjuangan mereka lebih banyak berada dalam tafsir ulang "makna", tekstual, dan bahkan seksual. Masih banyak perempuan lain yang mengalami kekerasan yang lebih konkret. Misal para pembantu rumahtangga, TKW, atau buruh perempuan. Mereka adalah kelompok subaltern. Persoalan ini kiranya menjadi tantangan bagi para feminis untuk berimaginasi dan menampilkan perjuangan mereka yang subaltern ini melawan penindasan wacana patriarkal. Terlepas dari persoalan itu, kiranya usaha Ayu patut dihargai. Ia telah ambil bagian dalam perjuangan feminis mendekonstruksi wacana patriarki yang memang harus dilakukan baik dalam tataran tekstual maupun tataran konkret, dalam dunia.
Penulis,
Sumarwan
Mahasiswa STF Driyarkara Jakarta (Sumber : http://www.filsafatkita.f2g.net)


© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design