Tulisan ini
berangkat dari 'cerita yang berawal dari selangkangan'.
"...
in classical philosophical opposition we are not dealing with the peaceful
coexistence of a vis-à-vis, but
rather with a violent hierarchy. One of the two terms governs the other
(axiologically, logically, etc.), or has the upper hand. To deconstruct the
opposition, first of all, is to overturn the hierachy at a givent moment."1 (Jacques
Derrida, "Positions",
hlm. 41.).
Bagian kedua novel Ayu Utami, "Larung," yaitu
'cerita yang berawal dari selangkangan' adalah sebuah skandal dalam novel ini.
Bagi Nirwan,
bagian tersebut adalah sebuah 'estetisasi percabulan' yang tidak ada bedanya
dengan karya Freddy S.
atau Nick Carter2. Sementara itu, Ichlas
Syukurie berpendapat bahwa Ayu Utami hanyalah mengabdikan diri
untuk memuaskan selera pembacan (termasuk Ichlas!) yang merindukan tema
"seputar selangkangan, sedang peristiwa-peristiwa sosial politik hanya
menjadi alat penopang seperti bantalan kayu pada rel kereta api."3 Nah, sekarang kritikus perempuan, Melani Budianta. Komentarnya
lebih positif, tidak mengatakan novel ini cabul. Menurut Melani, Larung, seperti "Saman", dengan
penggambaran seksualitasnya yang berani tetap menempatkan perempuan sebagai
'penggembira' dan bukan tokoh utama.4
Sementara itu Ayu sendiri mengatakan,
"Jika saya bercerita tentang seks, saya malah sangat rasional dan tidak
terlibat."5
Bagian kedua Larung (hlm. 71-162) tentu saja dapat dibaca
sebagai cerita semi-porno. Tetapi apakah tidak ada kemungkinan untuk membaca
secara lain. Tidak adakah sesuatu hal lain yang dipertaruhkan Ayu Utami
sehingga ia menulis cerita yang menjadi skandal ini?
Bagi saya, bagian kedua Larung merupakan sebuah
permenungan yang dalam dan kaya, juga cerdik, dari Ayu Utami,seorang perempuan,
yang berupaya mendekonstruksi wacana patriarkal.
***
Saya akan memulai tulisan saya dari
dekonstruksi.
Salah satu sumbangan terpenting dari strukturalisme bagi filsafat
adalah penemuannya bahwa makna sebuah kata (penanda) tidak diperoleh dari
hubungan penanda itu dengan apa yang ia tandakan melainkan dari perbedaannya dengan kata
(penanda) yang lain. Kata hitam mempunyai makna karena ia berbeda dengan putih,
berbeda dengan merah, berbeda dengan kuning. Kata meja punya makna karena ia
berbeda dengan kursi, berbeda dengan almari.
Selanjutnya strukturalisme menemukan bahwa
kategori pemikiran manusia sebagian besar didasarkan pada oposisi biner
(pasangan konsep yang saling berlawanan). Besar dipahami dalam perlawanannya
dengan kecil, 'tinggi >< rendah', 'budaya >< alam', 'rasional
>< emosional', 'laki-laki >< perempuan', 'kita >< mereka',
'manusia >< tuhan', dst.
Sebagai seorang filsuf yang berangkat dari
strukturalisme, Derrida
juga menerima 'ajaran' strukturalisme mengenai oposisi biner tadi. Namun ia
menambahkan sesuatu yang sungguh baru. Ia menunjukkan bahwa "hubungan
dalam pasangan berlawanan (oposisi biner) tersebut bukanlah hubungan damai
antara dua hal yang saling berhadapan, tetapi sebuah hirarki yang kejam. Term
yang satu menguasai, mendominasi, membawahi term yang lain" (Positions, hlm. 41). Contoh,
untuk zaman kita, rupanya budaya masih menempati posisi lebih tinggi dari pada
alam; term rasional lebih dihargai dari pada term emosional; term laki-laki
mendominasi perempuan. Meski saat ini, ada gerakkan membalikkan hirarki itu:
alam, emosi, dan perempuan tak kalah penting dibanding budaya, rasio, dan
laki-laki.
Penemuan oposisi biner oleh strukturalisme
dan penemuan Derrida tentang hirarki yang ada dalam oposisi biner tersebut
tentu dapat menjadi pijakan kokoh bagi gerakan feminisme melawan wacana
patriarkal. Di sini saya memakai konsep wacana dari Foucault. Bagi Foucault,
wacana bukanlah sekedar pernyataan-pernyataan yang kita buat tetapi juga
termasuk 'peraturan-peraturan' yang membuat kita dapat membuat
pernyataan-pernyataan tersebut. Kedua hal itu berada dalam tataran diskursif.
Namun wacana juga melibatkan institusi non-diskursif (seperti: sekolah,
penjara, keluarga, pemerintah) yang melakukan displin-displin tertentu sehingga
memungkinkan terjadinya pernyataan-pernyataan dan berlakunya
'peraturan-peraturan' dalam tataran diskursif.
Dengan demikian, wacana patriarkal adalah
wacana yang mendasarkan diri pada oposisi biner 'laki-laki >< perempuan'
di mana term laki-laki berada posisi mendominasi term perempuan. 'Kekejaman'
atau 'kekerasan' oposisi biner 'laki-laki >< perempuan' ini semakin nyata
karena pada oposisi tersebut terkait oposisi-oposisi yang lain seperti
'rasional >< emosional', 'kuat >< lemah', 'aktif >< pasif',
'di luar rumah >< di dalam rumah', 'memimpin >< dipimpin', dst.
Dilihat dari perspektif dekonstruksi, gerakan
feminisme adalah gerakan yang berusaha pertama-tama
melawan, menentang, dan membalik hirarki dalam oposisi biner 'laki-laki
>< perempuan'. Pembalikan ini amat penting mengingat bahwa oposisi biner
tersebut tidak hanya berada dalam tataran konseptual (tataran diskursif) saja,
tetapi terlebih mengakar dalam praktik hidup sehari-hari dengan segala
institusi-institusi non-diskursif yang ada. Dan karenanya, kekerasan dan
kekejaman hirarki wacana patriarkal tersebut tidak hanya terjadi pada tataran
konseptual abstrak tetapi lebih-lebih terjadi dalam pengalaman hidup
sehari-hari para perempuan yang konkret (blood
and flesh). Mempertimbangkan hal tersebut, agar dapat sungguh
mengguncang wacana lama (paradigma patriarkal), gerakan feminisme mesti
radikal: membalik hirarki dalam oposisi biner 'laki-laki >< perempuan'.
Namun tentang dekonstruksi, Derrida
menambahkan bahwa "Sementara kita melakukan pembalikkan, meninggikan apa
yang dulu rendah, kita juga mesti mengembangkan 'konsep' baru, konsep yang
tidak lagi menjadi bagian, dan tak pernah akan menjadi bagian dari paradigma
lama." (Position,
hlm. 42). Karena itu, jika setuju dengan Derrida, gerakan feminisme yang
mendekostruksi wacana patriarkal mesti juga berusaha menemukan konsep 'baru'
yang melampaui dan mengatasi oposisi biner 'laki-laki >< perempuan' itu.
Dalam perspektif oposisi biner 'laki-laki
>< perempuan' dan usaha feminisme untuk membalikkan hirarki dalam oposisi
tersebut, serta upaya penemuan konsep 'baru' yang mengatasi oposisi biner
'laki-laki >< perempuan', saya akan mencermati novel Larung karya Ayu Utami.
Pembacaan ini tentu akan menarik mengingat Ayu Utami sendiri pernah mengatakan
bahwa ia adalah seorang post-feminis.
Maka, pertanyaan saya, oposisi-oposisi biner apa saja yang digoncangkan,
dibalik oleh Ayu lewat pembicaraan para tokohnya? Konsep 'baru' apa yang
ditawarkan Ayu untuk mengatasi konsep lama? Apakah kosep baru ini sungguh
mengatasi konsep lama?
Tulisan saya ini hanya akan membahas 'cerita
yang berawal dari selangkangan' (hlm. 71-162). Gagasan-gagasan feminisme tentu
juga dapat ditemukan di bagian-bagian lain. Namun, saya akan memfokuskan
penelitian saya pada 'cerita yang berawal dari selangkangan' karena bagian ini
adalah bagian yang menjadi milik para perempuan (Yasmin, Cok, Shakuntala, dan Laila).
Cok
Mari kita berangkat dari Cok [Cokorda Gita
Magaresa] yang awalnya dipanggil si
Tetek tetapi kemudian menjadi si
Perek (Perempuan Eksperimen). Sebutan si Tetek, pangilan
membanggakan Cok, diberikan oleh Shakuntala karena Cok mempunyai payudara yang
besar. Namun, sebutan si Perek berasal dari Yasmin. "Aku tak tahu, apakah
karena melihat pacarku yang banyak atau karena tahu apa yang kulakukan dengan
mereka, Yasmin kemudian menyebut aku si Perek (83)." "Julukan itu
memang diucapkan dengan akrab... tapi Perek tetap Perek. Semua perempuan punya
tetek, tapi Perek? Perek tentu saja punya tetek. Tetapi tidak semua perempuan
menjadi perek. Cuma yang bejat dan
terhina saja.6"
(83).
Cok mengeluhkan bahwa umumnya 'perek'
dimaknai negatif, terkait dengan kebejatan, kehinaan.
Kadang aku jengkel, apapun yang kita lakukan,
yang juga dilakukan oleh lelaki, kok kita yang mendapat cap jelek. Laki-laki tidur
bergantian dengan banyak cewek akan dicap jagoan. Arjuna. Tapi perempuan yang
tidur bergantian dengan banyak lelaki akan dibilang piala bergilir. Pelacur.
Apapun yang kita lakukan, kita selalu dianggap obyek. Bahkan oleh sesama
perempuan. (83-84)
Cok menunjukkan bahwa sebutan perek
mengandung ketidakadilan terhadap perempuan dan sebaliknya memberikan
keuntungan bagi laki-laki. Di sini 'perek' merupakan konstruksi wacana
patriarkal untuk 'menyelamatkan' laki-laki dari 'kebejatannya' dengan
melemparkan kebejatan itu pada perempuan. Ketidakadilan ini semakin mengakar
mana kala perempuan pun ikut memakai kata tersebut untuk menggolongkan dirinya
maupun perempuan sesamanya. Jika terjadi demikian [di sini Yasmin], perempuan
pun ikut terlibat dalam dan turut memperkuat wacana patriarkal.
Namun, disini Cok melawan dan membuat
tafsiran lain atas
kata 'perek', meski tafsiran itu hanya untuk dirinya sendiri. Bagi Cok,
"Perek adalah perempuan yang suka bereksperimen" (84) meskipun
"Tak ada yang percaya bahwa perempun eksperimen berarti perempuan yang
bereksperimen." (83).
Lebih lanjut Cok membalik segala konotasi
yang terkait dengan kata 'perek' ini. Pengartian 'perek' sebagai subjek (bukan
objek) dengan konotasi aktif (bukan pasif), ditampilkan Cok dalam hubungan Cok
dengan Kucing Bersepatu Lars. Sang tentara gagah dan tampak garang dan jalang
itu ternyata 'anak manis' yang dapat dipermainkan oleh Cok. Ia dipakai Cok
untuk membeking usaha hotelnya. Bahkan, ia juga dipakai Cok untuk meloloskan
Saman saat Saman menjadi buronan. (88-89). Cok yang berkarakter sebagai
perempuan yang liar, bengal, blak-blakan,'jujur' ternyata juga mengalami
'kekerasan' budaya patriarkal. Namun, ia melakukan perlawanan terhadapnya
dengan cara membuat tafsiran alternatif terhadap kode-kode patriarkal ataupun
'mempermainkan" kode-kode yang sudah ada.
Laila
Marilah kita sekarang menemui Laila [Laila
Gagarina], seorang fotografer, yang sedang gundah karena gagal bertemu dengan
'kekasih gelapnya', Sihar. Berbeda dengan Cok yang dapat 'mempermainkan'
kode-kode patriarkal, Laila tampil sebagai sosok yang amat terkungkung oleh
cintanya pada Sihar, seorang laki-laki yang sudah beristri. Ia berencana
melakukan pertemuan gelap di New York, namun pertemuan gagal karena Sihar
datang besama sang istri. Karena cintanya kepada Sihar, dalam hati ia tetap
mengatakan: "Sihar, saya ingin katakan: kamu saya maafkan. Pernahkan kamu
tak kumaafkan?" (97).
Peselingkuhan Laila dan juga Sihar membuat
mereka menderita. Karena, perselingkuhan itu selalu 'membahayakan' dan 'menjadi
acaman' bagi keluarga. Hal ini tampak dalam perkataan, "Sihar, jangan
cemas. Saya tak akan mengganggu perkawinanmu." Jawaban Sihar, "Sebab
aku bukan orang yang bisa tidak melibatkan perasaan dalam hubungan
lelaki-perempuan. Aku akan tergantung padamu, kamu akan tergantung padaku. Itu
berbahaya. Aku punya keluarga." (98).
Apa yang mau ditampilkan di sini? Seorang
perempuan begitu tergantung dengan laki-laki sehingga seolah 'mengemis cinta'
dari laki-laki itu? Ataukah seorang perempuan yang begitu tegar dan berani
melawan nilai-nilai masyarakat (perkawinan, keluarga) di hadapkan pada seorang
laki-laki yang penuh kebimbangan dan tidak dapat memilih antra istri dan
selingkuhan; laki-laki yang ingin mendapat untung ganda dari sang istri maupun
selingkuhannya? Apakah di sini Ayu mengajak kita merenungkan lagi tentang
komitmen dan kesetiaan? Atau ia sekali lagi mengajak kita melihat realitas lain
(dari perspektif perempuan) tentang perselingkuhan yang membuat mereka ada
dalam dilema? Saya tidak memperoleh jawaban yang pasti.
Kata Laila peselingkuhan membuat ia "ada
dalam sebuah dilema, untuk membuat dua luka, bahkan tiga. Dia [Sihar] penah
menulis kepada saya: Jangan kamu
kira, Laila, bahwa hanya kamu yang sedih dalam hubungan ini. Atau cuma kamu dan
istriku. Saya pun bersedih karena kita tidak boleh saling bertemu."
(101). Tulis Laila lagi, beselingkuh adalah 'mana kala untuk mencinta sesorang
ia harus menyakiti orang lain.' (102). Apa usaha untuk menyelesaikan dilema,
atau bahkan trilema dari perselingkuhan ini?
Sihar mengusulkan: putus hubungan. Laila
keberatan. "Tidak, Sihar. Saya tidak menuntut kamu berkorban. Tidak
bisakah kita biarkan perasaan-perasaan ini mengalir?" (102). Cok
mengusulkan, "persetan dengan laki-laki. Apa lagi yang sudah kawin."
(117).
Sebelum menunjukkan apa yang dipilih Laila,
Ayu Utami mengisahkan bagaimana wacana patriarkal mendisiplinkan perempuan
(Laila). Yang menjadi pelaku tindakan pendisiplinan ini adalah Ibu.
Ibu [yang] erat membebat dadaku dengan stagen
agar kuncup payudaraku yang sedang tumbuh tak terlihat orang. Dan jika aku di
rumah kerap sore ibu menggiling dadaku dengan botol seperti adonan pada telenan
agar payudaraku tidak tumbuh terlalu dini. Aku mengeluh, sakit sekali. Ibu,
sesak dan ngilu. Katanya, tahanlah. Sebab dengan begini kamu tidak membuat
teman dan gurumu, bahkan orang di jalan tergoda. Sebab bagi mereka tubuh wanita
begitu menawan. Itu berbahaya. Biarkan kamu menjadi anak-anak sampai tiba
saatnya menjadi dewasa (104-105).
Yang dilakukan ibu ini sejajar dengan apa
yang dilakukan Yasmin terhadap Cok dengan kata 'perek'-nya. Ini merupakan
bagian dari disiplin wacana patriarkal yang memaksa perempuan untuk melakukan
'kekerasan' terhadap perempuan. Bahkan kekerasan itu, dinaungi oleh sebuah
lembaga keluarga, hubungan ibu dengan anak perempuan. Tindakan ibu ini
dilatarbelakangi wacana patriarkal yang berpandangan bahwa perempuan itu adalah
penggoda. Ini mungkin sebuah pandangan yang usianya sama dengan usia manusia
diciptakan oleh Tuhan. [lihat Kitab Kejadian 3]. Atau lebih tepat ia berusia
setua dengan penciptaan dunia oleh laki-laki.
Rupanya pendidikan dan disiplin dari sang Ibu
membuat Laila justru menjadi seorang gadis menyangkal 'kegadisannya'. Saat
sekolah ia ikut
[n]aik gunung, berkemah, turun tebing, cross country, menyusur kebun
teh, berenang-jenis olah raga kelompok yang kebanyakan anggota-anggotanya anak
laki-laki. Juga tidur bersisihan dengan kawan laki-laki dalam tenda dan
perjalanan. Tapi dialah yang paling terlambat mengenal pria secara seksual. Pada saat itu ada rasa bangga bahwa dia
memasuki dunia laki-laki, yang dinamis, tidak domestik, menjelajah alam,
meninggalkan Barbie, tak segera tersentuh kosmetik. (Dan, yang
barangkali tak ia akui, ia
menyangkal buah dadanya sendiri. Juga menstruasinya. Ia pantang mengeluhkan
keletihan atau nyeri ketika datang bulan. Ia selalu siap dengan banyak pembalut
sehingga darah itu tak pernah rembes ke pakaian luar. Ia akan selalu segera
mencuci bersih celana dalam yang tercemar sehingga tak satu pun akan melihat
jejak yang memalukan itu.)7
Tidak semua perempuan bisa melakukan itu, menyangkal hal-hal yang lembek, dan
ia merasa ada supremasi pada dirinya. Kini dia telah jauh dari aktivitas itu.
Tak bisa lagi masuk ke dalam dunia pria dewasa. (118).
Laila adalah sebuah ironi: seorang perempuan
yang ingin meninggalkan keperempuanannya agar ia dapat masuk dalam dunia
laki-laki, yang dengannya ia memperoleh kebanggaan dan harga diri, tetapi
akhirnya menjadi perempuan yang 'lembek' yang amat tergantung pada laki-laki.
Ia tak dapat melupakan Sihar.
Shakuntala
Kalau Laila menceritakan proses disiplin
wacana patriarkal untuk membentuk perempuan menjadi wanita. Shakuntala
bercerita tentang proses disiplin wacana patriarkal untuk membentuk laki-laki
sungguh menjadi laki-laki. Ia mulai dengan menunjukkan oposisi biner 'laki-laki
>< perempuan' beserta hirarkinya dalam kebudayaan kita. Di sini
Shakuntala tidak memakai kata perempuan tetapi wanita, jadi oposisi binernya
antara 'laki-laki >< wanita'./p>
AKU MEMPUNYAI kakak lelaki. Dia anak pertama
ayah-ibuku. Orangtuaku percaya bahwa laki-laki cenderung rasional dan wanita emosional. Karena itu, pria akan
memimpin dan wanita mengasihi.
Pria membangun dan wanita memelihara.
Maka Bapak mengajari abangku menggunakan akal untuk mengontrol dunia, juga
badan. Aku tak pernah dipaksanya untuk hal yang sama, sebab ia percaya pada
hakikatnya aku tak mampu. WANITA DICIPTAKAN DARI IGA. KARENA ITU IA DITAKDIRKAN
MEMILIKI KECENDERUNGAN UNTUK BENGKOK
SEHINGGA HARUS DILURUSKAN OLEH PRIA. (SURAT XIV, 1266)8 (136)
Saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan Surat XIV, 1266.
Apakah memang ada surat yang demikian itu? Jika ada akan jauh lebih menarik
jika kita tahu. Namun, kalaupun surat itu melulu hasil imajinasi Ayu, surat
tersebut tetap merupakan representasi sah mengenai stereoptipe terhadap
perempuan dalam wacana patriarkal yaitu emosional, mengasihi, memelihara, tak
bisa mengontrol badan (apalagi dunia), dan juga cenderung bengkok (tak
sempurna).
Lalu, mulailah pendidikan dan disiplin wacana patriarkal
untuk membentuk seorang pria. Pelajaran pertama dimulai dengan sebuah ajaran:
"BAHKAN AIR SENI WANITA BERBAU LEBIH TAJAM DAN AMIS DIBANDINGKAN AIR SENI
PRIA. (N.S., 1987)9. Di sini
saya membayangkan ayah Shakuntala mengutip wacana ilmiah yang masih up to date (tahun 1987). Ini menunjukkan bahwa wacana ilmiah pun menjadi bagian dari
wacana patriarkal yang selalu mengagung agungkan laki-laki.
Untuk mengajarkan bahwa laki-laki mesti di atas
"Tempat laki-laki ... adalah DI ATAS" (137), sang Bapak
mendisplinkan, mengajar dan memaksa anaknya untuk memanjat pohon.
Sebelum menjadi panglima, seorang prajurit
akan menjadi pengintai di menara. Maka, wahai satria, jadikalah pohon kelapa
ini menjadi menaramu, tempat kamu melindungi adik-adikmu perempuan10 dari para raksasa yang mengendus di kejauhan hutan. (137).
Shakuntala menampilkan konstruksi laki-laki sebagai
pelindung dan perempuan sebagai yang dilindungi; laki-laki ditampilkan sebagai
yang kuat, sementara perempuan sebagai yang lemah. Sebenarnya sang kakak
menolak konstruksi ini: "Biar saja adik-adik menjaga diri sendiri."
Namun ia tidak mampu melawan ayahnya. Ia dipaksa menerima konstruksi patriarkal
ini.
Pendidikan kelelakian ini keras dan kejam. Karena
"kangmasku menangis geru-geru sebab pohon itu begitu tinggi." Tetapi
sang Bapak segera memberikan ajaran berikutnya:
Tangis itu milik perempuan. Milikmu adalah
keberanian!" "Kalau kamu berteriak pada dirimu sendiri, berulang
kali, 'Berhenti nangis! Berhenti nangis! Berhenti ...' maka kamu akan berhenti
nangis, Nak. Kalau kamu berseru pada dirimu, 'Berani! Berani! Berani! ...' kamu
akan berani. Kangmasku menurut. Setahap semi setahap. Ia menzikirkan
keberanian, meski airmatanya masih mengalir dan pipinya merah dan pelupuknya
sembab (138).
Saat memanjat pohon ternyata ia digigit tokek tetapi ia
tidak lagi menangis. "Lalu Bapak menyeringai puas, sebab kangmasku telah
berhenti menangis. (Barangkali ia berhenti menangis untuk seumur
hidupnya." (139). Begitulah Shakuntala menceritakan formasi kelelakian
kakaknya. Tampak heroik tetapi juga kejam, menyingkirkan segala tangis,
keluhan, rasa sakit dari dunia laki-laki.
Mengakhiri permenungan tentang formasi laki-laki ini,
Shakuntala mengkontraskan dirinya dengan kakaknya. Sang kakak dapat memerintah
tubuhnya bagaikan seorang komandan memerintah batalyon dan kompi, sedang ia
adalah kebalikannya: "Keputusan-keputusanku diperintah oleh dorongan tubuh
untuk menari." (141). Ini merupakan versi lain dari oposisi 'kehendak
>< tubuh'. Pada sang kakah kehendak membawahi tubuh sedang pada
Shakuntala tubuh mengalahkan kehendak.
Pengguncangan dan upaya pelampauan oposisi
Setetelah menceritakan oposisi biner
'laki-laki >< wanita', Shakuntala berupaya mencari alternatif untuk
melampaui oposisi biner ini. Ia merenung tentang 'kelaki-lakian seorang
perempuan'.
"Laila, pernah nggak kamu merasa bahwa
kamu adalah laki-laki? Anak laki?"
"Nggak."
"Kenapa?" Ia menatap saya. "Kamu dulu tomboy. Temanmu lebih banyak laki."
"Tapi saya kan bukan laki sungguhan."
..."Apa itu'sungguhan'? Mereka juga bukan lelaki sungguhan."
"Siapa?"
"Mereka semua. Dan kita juga bukan perempuan sungguhan. Kita semua jadi-jadian."
"Tala. Kerena itu kamu bisa menari sebagai lelaki dan perempuan!"
[Dalam pertunjukkan yang ia lakukan, Sakuntala dapat menarikan peran laki-laki maupun perempuan: Rama, Rahwana, tetapi juga Sinta. (126).]
"Ya. Aku ini perempuan juga lelaki." (129).11
"Nggak."
"Kenapa?" Ia menatap saya. "Kamu dulu tomboy. Temanmu lebih banyak laki."
"Tapi saya kan bukan laki sungguhan."
..."Apa itu'sungguhan'? Mereka juga bukan lelaki sungguhan."
"Siapa?"
"Mereka semua. Dan kita juga bukan perempuan sungguhan. Kita semua jadi-jadian."
"Tala. Kerena itu kamu bisa menari sebagai lelaki dan perempuan!"
[Dalam pertunjukkan yang ia lakukan, Sakuntala dapat menarikan peran laki-laki maupun perempuan: Rama, Rahwana, tetapi juga Sinta. (126).]
"Ya. Aku ini perempuan juga lelaki." (129).11
Dalam percakapan itu, Shakuntala mulai
mempertanyakan referensi lelaki dan perempuan. Keduanya bukanlah esensi tetapi
sebuah konstruksi yang dapat bertukar satu sama lain seenaknya. Di sini
Shakuntala menggugat hubungan statis dan beku antara tanda 'laki-laki' dan
'perempuan'dan konsep 'kelaki-lakian' dan 'keperempuanan' yang ditandakannya.
Shakuntala menujukkan ketidakstabilan hubungan antara penanda dan yang ditandakannya
itu. Saat Shakuntala dan Laila menari Spanish
tango,Laila semakin menemukan sosok laki-laki dalam diri
Shakuntala. Dalam wajah Shakuntala, ia menemukan wajah Sihar dan terkadang
Saman.
Lalu saya [Laila] menemukan wajah saya telah
bersandar pada siku lehernya. Dan saya menangis. Sebab sesungguhnya saya tahu
saya terluka oleh sikap Sihar. Sebab kini saya tak tahu lagi siapa dia. Apakah Tala apakah Saman apakah Sihar.
[Apakah perempuan, apakah laki-laki]12. Hangat nafasnya terasa. Cahaya rendah. (132).
Apakah laki-laki, apakah perempuan, keduanya
adalah konstruksi. Shakuntala menawarkan sebuah 'konsep' yang melampaui atau
paling tidak berbeda dengan konsep oposisi laki-laki perempuan.
Namaku hanya satu: Shakuntala.
Tapi sering ada dua dalam diriku. Seorang perempuan, seorang laki-laki, yang saling berbagi dalam sebuah nama yang tak mereka pilih.
Aku lupa sejak kapan kutahu bahwa aku anak perempuan, sama seperti kita lupa kapan kita pertama kali ingat. Aku curiga bahwa ayah dan ibuku mengatakan kepadaku terus-menerus-kamu perempuan-sejak aku belum bisa bicara. Dan bagaimanakah aku bisa membantah jika aku tak bisa bicara?
Tetapi lelaki dalam diriku datang suatu hari. Tak ada yang memberi tahu dan ia tak memperkenalkan diri, tapi kutahu dia adalah diriku laki-laki. Ia muncul sejak usiaku amat muda, ketika itu aku menari baling-baling (133).
Tapi sering ada dua dalam diriku. Seorang perempuan, seorang laki-laki, yang saling berbagi dalam sebuah nama yang tak mereka pilih.
Aku lupa sejak kapan kutahu bahwa aku anak perempuan, sama seperti kita lupa kapan kita pertama kali ingat. Aku curiga bahwa ayah dan ibuku mengatakan kepadaku terus-menerus-kamu perempuan-sejak aku belum bisa bicara. Dan bagaimanakah aku bisa membantah jika aku tak bisa bicara?
Tetapi lelaki dalam diriku datang suatu hari. Tak ada yang memberi tahu dan ia tak memperkenalkan diri, tapi kutahu dia adalah diriku laki-laki. Ia muncul sejak usiaku amat muda, ketika itu aku menari baling-baling (133).
Inilah
pendapat Shakuntala: "Manusia tidak terdiri dari satu." (134).
Peryataan Shakuntala bahwa dalam dirinya ada laki-laki
dapat saja dianggap sebagai ilusi belaka. Karena itu, untuk ia juga memikirkan
oposisi ilusi dengan kenyataan. Kasus pokoknya adalah Laila yang tak dapat
melupan Sihar. "Lama-lama aku [Shakuntala] berkesimpulan bahwa ia bukan
tak bisa melainkan, seperti kata Yasmin, tak mau. Ia tak mau kehilangan ilusi
itu." (140-141).
"Apa bedanya ilusi dengan kenyataan" (141).
Saat itu ibu Shakuntala terguncang karena berhadapan dengan 'kenyataan' bahwa
anak laki-lakinya [kakak Shakuntala] meninggal karena kecelakaan. Setelah
menagis seharian penuh, pada hari berikutnya ia 'berilusi': "Dia tidak
mati." Tak tahan dengan ibunya yang terus menerus menyatakan
bahwa-anaknya-tidak-mati sebagai 'kenyataan', Shakuntala mengatakan,
"Ibu, ada beberapa kenyataan. Pertama, dia sudah mati. Kedua, aku ternyata juga laki-laki. Ketiga, Tuhan itu tak ada, Ibu."
Ibu terkejut, lalu tertawa. "Dia tiadak mati. Tuhan ada. Dan kamu anak perempuan, Sayang."
Akhirnya aku mengalah. Baiklah, Ibu, aku tak aku tak membantahmu lagi. Kalau itu membuatmu bahagia (142). "Apa kenyaataan? Apakah ia bagimu dan bagiku? Jika ayah ayahmu memperkosa kamu ketika kamu begitu muda, pantaskah kamu disebut bodoh sebab kamu tidak maju ke muka kelas dan menyatakan [membuat nyata] bahwa ayahmu telah melanggar kamu. Bahkan jika kelas itu kosong dan tak ada murid atau guru mendengarmu. Jika pun kelas itu sebuah ruang dalam hatimu."
Ibu terkejut, lalu tertawa. "Dia tiadak mati. Tuhan ada. Dan kamu anak perempuan, Sayang."
Akhirnya aku mengalah. Baiklah, Ibu, aku tak aku tak membantahmu lagi. Kalau itu membuatmu bahagia (142). "Apa kenyaataan? Apakah ia bagimu dan bagiku? Jika ayah ayahmu memperkosa kamu ketika kamu begitu muda, pantaskah kamu disebut bodoh sebab kamu tidak maju ke muka kelas dan menyatakan [membuat nyata] bahwa ayahmu telah melanggar kamu. Bahkan jika kelas itu kosong dan tak ada murid atau guru mendengarmu. Jika pun kelas itu sebuah ruang dalam hatimu."
Apakah kita dapat begitu saja menerima 'kenyataan' pahit
sebagai kenyataan? Atau sesungguhya kenyataan itu adalah sesuatu yang membuat
bahagia? Lalu ilusi menjadi kenyataan jika ia memberikan kebahagiaan?
Terhadap Yasmin yang lebih menyukai kenyataan daripada
ilusi Shakuntala menggumam,"Kamu hanya mempunyai segala yang menyenangkan
di dunia ini. Tak ada susah bagimu" (146) karena itu tidak sulit bagimu
untuk mengatakan segala yang nyata di dunia ini sebagai kenyataan. Kata
Shakuntala, "Yasmin, kamu punya segalanya. Sementara Laila punya ilusi.
Apakah kamu masih juga mau merenggut ilusi itu dari dia untuk melemparkannya ke
tong sampah?"13 (147).
Sebuah kata-kata yang amat pahit. Kepahitan ini tidak hanya bagi Laila tetapi
juga Shakuntala.
Tapi apakah sebuah 'ilusi' itu selalu membahagiakan dan
karenanya dapat dianggap sebagai 'kenyataan'. Shakuntala berikutnya 'mencoret'
konsep bahwa ilusi itu 'melulu' membahagiakan. Ibu menilai Shakuntala berilusi
karena ia mengap diri sebagai laki-laki. "Tapi aku tetap percaya bahwa
ibuku yang berilusi [bahwa anak laki-lakinya tidak mati], bukan aku. Sebab aku
tahu pasti ada diriku lelaki dan itu tidak membuatku lebih bahagia."
(142). Bagi Shakuntala ilusi tidak selalu membahagiakan, tetapi kenyataan
selalu tidak membahagiakan. Karena itu, ia percaya bahwa dalam dirinya memang nyata ada laki-laki. Namun, "IBUKU TAK PERCAYA aku juga laki-laki."
Saat itu Shakuntala ingin membuktikan bahwa dalam dirinya
kepada sang ibu kelaki-lakiannya tidak datang. Ia menemukan kelelakiannya
kembali saat belajar pada seorang sinden.
Suatu malam, ketika aku duduk dalam sebuah
ruang dan mengagumi dia menyanyi tanpa pengiring, lelaki dalam diriku muncul
dari belakang tubuhku seperti energi yang terlepas. Aku tidak bicara dengannya
tetapi si pesinden melihatnya lalu mereka menembang bersama. Lalu mereka
berdekatan, berdekapan. Mereka saling melepas kain masing-masing dan saling
berlekatan. Setelah itu mereka saling berkata, "Betapa indahnya, kita
sama-sama punya payudara." (149).
Kalau pemunculan konsep 'kelaki-lakian dalam
perempuan' dipandang sebagai upaya untuk melampaui oposisi biner 'laki-laki
>< perempuan', kata-kata "Betapa indahnya, kita sama-sama punya
payudara" dapat diartikan sebagai pilihan untuk kembali ke oposisi biner
dengan menempatkan perempuan dalam hirarki lebih tinggi. Pilihan ini dapat
dipandang sebagai kegagalan tetapi juga dapat dilihat sebagai sebuah strategi
untuk mendobrak wacana lama secara tuntas.
Yasmin Moningka
Upaya pendobrakan wacana lama (wacana
patriarkal) ini tampak jelas dalam Yasmin. Namun perjuangan ini tidak mudah
karena dalam dirinya, mungkin juga dalam semua perempuan, ada kontradiksi,
ambivalensi. Permenungan Yasmin juga mulai dengan pendefinisian 'kenyataan'.
Kenapa kita menyebut "kenyataan"
hanya untuk sesuatu yang bertentangan dengan keinginan" (154)
"...Tapi bagaimana aku mendamaikan serempak kenyataan yang saling
bertentangan? Realita dari sesuatu yang kuimpikan dan yang kuingin tolak? Dari
yang lampau, yang sekarang, dan yang mungkin?" (155)
Yasmin Moningka, "berwajah baik dan
benar, barangkali baku seperti Bahasa Indonesia. Pengacara. Dia seumpama
lukisan realis di mana tak satu garis pun melenceng sehingga tak ada sisa bagi
kita untuk menafsir" (135), "yang dulu waktu di SMA, terasa sekali
mempunyai kompleks primadona. Dia selalau mau jadi nomor satu. Dalam hal
prestasi, kecantikan, maupun moral." (82). Namun Yasmin ternyata mempunyai
fantasi seksual yang teramat liar.
Yasmin mempunyai khayalan seksual masa
kanak-kanak 'yang aneh'. Saat di kelas nol ia mulai tertarik pada teman
laki-lakinya yang bernama Julian. "Aku selalu bersemangat untuk melihatnya
keluar-main. Dan aku selalu membayangkan penis di balik celana pendeknya, pada
pangkal kakinya yang ramping." Yasmin mengutip Frued untuk yang melihat
periode itu sebagai tahap fallis,
"saat anak tertarik ada alat kelaminnya. Anak lelaki bangga sementara anak
perempuan cemburu dan merasa tidak lengkap karena tidak memiliki penis"
(157). Namun, Yasmin tidak menerima teori Freud itu mentah mentah. "Apakah
aku cemburu atau minder aku tak ingat. Yang aku ingat adalah aku tertarik pada
penis Julian. Dan tak cuma itu. Bentuk ketertarikanku adalah keinginan untuk
mengkastrasinya, menyunatnya, melakukan sesuatu sehingga ia kesakitan.
Kenikmatan seksual awalku adalah menghkayalkan Julian merintih di tangan para
musuhnya yang bersekongkol dengan orang-orang dewasa, yang menangkapnya,
memapar dan menyakiti kelaminnya." (158). Waktu Yasmin masih kecil, "seks
tak pernah datang bersama kasih sayang dalam fantasi kanak-kanakku. Seks, yang
belum sempat terdefinisikan waktu itu, berhubungan dengan kekekerasan,
penaklukan, dan rasa sakit."
Lalu ia mulai masuk ke budaya patriarkal.
Menjelang akil balig aku mulai malu atas
fantasi-fantasiku dan kesenangan seksual yang dihasilkannya. Lalu suatu
pergeseran yang aneh terjadi. Adakah aku menghukum diriku sendiri, ataukah ini
datang bersama masa awalku memasuki dunia patriarkal yang tak kuketahui, dunia
di luarku yang memaksakan diri, di mana wanita adalah obyek seksual? Aku
kehilangan kesubyekan pada diriku dan menempatkan diri sebagai obyek. Aku kehilangan keperempuananku dan menjadi
wanita.14. Dalam proses yang tak kumengerti, aku mulai menempatkan
diriku sebagai si terhukum, wanita yang terkutuk karena kewanitaannya (158).
Lalu, ia mulai berefleksi dengan Deluze, seorang
poststrukturalis dari Prancis, tentang masokisme15. Dalam masokisme, superego (nilai-nilai, kontrol dari
luar misal dari orang tua yang sudah diinternalisasi sehingga menjadi nilai dan
kontrol diri) digeser ke luar diri hingga menjadi bagian dunia eksternal.
Deluze lebih banyak berbicara masokisme pada laki-laki. Dan ia melihat
masokisme (pada laki-laki) merupakan penyimpangan. Pada wanita masokisme merupakan
sesuatu yang natural.
Sebab, superego, figur ayah, aparat
pendisiplin, memang telah tampil di luar diri wanita dalam konstruksi sosial
yang patriarkal. Kami tidak perlu melakukan pembalikan. Kami hanya perlu ikut
dalam permainan dominasi lelaki, yang derajat tingginya adalah selera sadisme
heteroseksual pria. Apa bedanya idealisasi terhadap pengorbanan istri,
poligami, dengan masokisme? Semuanya adalah internalisasi ketidakadilan. Wanita
menyelamatkan diri dengan mengambil ke dalam dirinya dominasi pria (sebagaimana
yang dikukuhkan banyak agama) dan menganggapnya agung. Karena itu, aku katakan,
sembilan puluh persen wanita di dunia ini adalah masokis. (159)
Itu pula yang dialami Yasmin ketika sudah mulai masuk ke
dunia patriarkal. Ia merindukan penghukuman. Ia merindukan dominasi.
Kerinduannya itu bertentangan dengan citra yang ia bangun selama ini: Yasmin
yang mandiri, yang selalu punya keputusan rasional, pengacara yang cukup
dihormati, aktivis hak asasi manusia (dan di dalamnya adalah hak hak asasi perempuan).
Inikah kesulitan yang dihadapi oleh para perempuan yang memperjuangkan
feminisme?
Namun Yasmin tetap merasa berbeda dengan perempuan lain.
"Yang membedakan aku dari para wanita yang mengukuhkan patriarkal adalah
aku melokalisasinya [kerinduan akan dominasi itu] pada fantasi seksual. Mereka
menerima dominasi pria sebagai suatu Ide yang total dan murni, suatu ideal.
Mereka menerimanya sebagai nilai moral, aku sebagai nilai estetik." (160).
"Kadang [fantasi] itu begitu menakutkan aku.
Bagaimana aku bisa mendamaikan estetika seksualku dengan pedoman nuraniku
tentang keadilan?" (161). Bagaimana aku dapat memperjuangkan hak dan
keadilan perempuan sementara aku menginginkan dominasi dan penindasan?
Ambivalensi ini mungkin juga menjadi persoalan sentral bagi para feminis.
Namun untunglah Saman menyelamatkan Yasmin dari keinginan
untuk didominasi laki-laki.
Kamu membangkitkan kembali khayal
kanak-kanakku yang lama kukhianati. Tanpa kamu ketahui terlepaslah keperempuananku [bukan kewanitaan] yang telah dipenjarakan hampir dua puluh tahun. Kini ia
datang dengan memori purba. Seakan ingatan primitif dari masa oral16, ketika tubuhku belum diracuni oleh
kekuatan luar yang mengagung-agungkan fallus dan memitoskan kesucian wanita. Ia
datang dengan agresivitas yang murni, polos, inosen, yaitu dorongan untuk
memakan, menghisap, mengconsume, mengexploit, memasukkan ke dalam dirinya benda-benda yang menarik hatinya. Juga
kelamin laki-laki.
Saat itu, tidak ada penis envy. Yang ada hanyalah dorongan untuk menelan benda asing, the Other, sesuatu yang mirip namun berbeda dari dirinya....Jika ia dibiarkan tumbuh
alamiah, terjauhkan dari male chauvinisme, maka ia akan melalui masa klitoral
dan vagina-bukan masa fallis-ketika ia menemukan mulut keduanya, yang dengannya
ia mau menelan penis. Ia tak mengenal kata 'intrusi'. Ia hanya mengenal
"konsumsi". Dan ia tidak cemas. (162)
Yang ditulis Yasmin sejajar dengan apa yang ditulis
Shakuntala.
SEBAB VAGINA ADALAH SEJENIS BUNGA KARNIVORA
SEBAGAIMANA KANTONG SEMAR. NAMUN IA TIDAK MEGUNDANG SERANGGA, MELAINKAN
BINATANG YANG LEBIH BESAR, BODOH, DAN TAK BERTULANG BELAKANG, DENGAN MANIPULASI
AROMA LENDIR SEBAGAIMANA YANG DILAKUKAN BAKUNG BANGKAI. SESUNGGUHNYA, BUNGA
KARNIVORA BUKAN MEMAKAN DAGING MELAINKAN MENGHISAP CAIRAN DARI MAKLUK YANG TERJEBAK
DALAM RONGGA DI BALIK DINDINGNYA YANG KEDAP. DAN PERMUKAAN LIANGNYA YANG BASAH
AKAN MEMERAS BINATANG YANG MASUK, DALAM GERAKAN YANG BERULANG-ULANG, HINGGA
BUNGA INI MEMPEROLEH CAIRAN YANG IA HAUSKAN. NITROGEN PADA NEPENTHES. SPERMA
PADA VAGINA.
TAPI KLITORIS BUNGA INI TAHU BAGAIMANA
MENIKMATI DIRINYA DENGAN GETARAN YANG DISEBABKAN ANGIN. (153)
Dan itulah yang dilakukan Yasmin pada Saman sehingga ia
terbebas dari masokisme yang menjangkiti sembilan puluh persen wanita.
Saman, tubuhmu yang sederhana adalah tentara spiritual
yang ditempa disiplin abstinens. Kegagahanmu adalah kesendirianmu, manusia yang
selibat dalam realm yang religius maupun sekular. Aku seperti tahu kamu akan
senantiasa sendiri. Selalu dalam kesunyian dan ketakmemilikian. Kejatuhanmu dalam
dosa perzinahan adalah kejatuhan si pemanggul salib yang takkan henti mendaki.
Meski barangkali ia hanya sisifus yang tahu atau tak tahu bahwa puncak itu
takkan tercapai, barangkali tak ada. Tapi kuperkosa kamu oleh karena keangkuhan solitermu.
Kumenangkan diriku atas kamu.17 (162)
Tidakkah ini dekonstruksi, pembalikan radiakal oposisi
biner 'laki-laki >< perempuan', 'yang mendominasi >< yang
didominasi'. Perempuan ditampilkan sebagai yang agresif, aktif, menyerang,
kasar, kejam, dan akhirnya mengalahkan laki-laki, dan tidak lagi sebagai yang
memilihara, mengasihi, lembut. Dalam Yasminlah terjadi momen puncak pembalikan
hirarki 'laki-laki >< wanita' sehingga sang wanita kembali menjadi
perempuan, menjadi sang pengempu, yang menguasai, dan bukan lagi wanita, yang
merangsang. Pembalikan oposisi 'laki-laki >< wanita' ini disertai
pembalikan oposisi biner yang lain 'kenyataan >< ilusi', 'aktif ><
pasif', 'kehidupan >< kematian', 'menguasai >< dikuasai'.
***
Akhirnya apakah 'cerita yang berawal dari selangkangan'
akan baca sebagai cerita semi-porno atau sebagai upaya Ayu untuk
'mempermainkan' dan mendekonstruksi wacana patriarkal, atau tafsiran lain,
tentu pilihan ada pada pembaca. Namun di sini saya telah menunjukkan kecerdasan
dan kelincahan Ayu memakai kata-kata dan imaginasi untuk melihat secara lain
hal-hal yang kita anggap sudah pasti. Ayu menampilkan Cok yang melakukan
perlawanan dengan 'mempermainkan' kode-kode wacana patriarki. Ayu juga
menampilkan bagaimana 'kekerasan' wacana patriarkal membentuk "laki-laki"
(ini pada kisah Shakuntala) maupun "wanita" (ini pada Laila). Ayu
juga menampilkan kesulitan perjuangan perempuan pada Laila yang terperangkap,
terkungkung oleh cintanya pada Sihar dan juga pada Yasmin yang ambivalen,
mempunyai kerinduan untuk didominasi. Ditampilkan juga kesulitan Shakuntala
mencoba mencari alternatif 'konsep' yang melampaui oposisi biner yaitu bahwa
dalam setiap orang ada kelelakian atau pun keperempuanan.
Namun, agaknya Ayu mesti mengambil posisi. Dalam wacana
patriarkal yang masih sedemikian kuat, emansipasi tidak cukup. Yang harus
dilakukan adalah penggocangan dan pembalikan. Dalam Shakuntala, akhirnya tetap
kembali pada pinjakan bahwa perempuan lebih indah. "Betapa indahnya, Kita
sama-sama punya payudara." Sementara itu pada Yasmin, perempuanlah yang
menjadi pemenang.
Sekedar catatan. Semua perempuan yang ditampilkan adalah
perempuan yang mandiri, wanita karier, yang sebenarnya relatif lebih
bebas dari kungkungan wacana patriarki. Akibatnya perjuangan mereka lebih
banyak berada dalam tafsir ulang "makna", tekstual, dan bahkan
seksual. Masih banyak perempuan lain yang mengalami kekerasan yang lebih
konkret. Misal para pembantu rumahtangga, TKW, atau buruh perempuan. Mereka
adalah kelompok subaltern. Persoalan ini kiranya menjadi tantangan bagi para
feminis untuk berimaginasi dan menampilkan perjuangan mereka yang subaltern ini
melawan penindasan wacana patriarkal. Terlepas dari persoalan itu, kiranya
usaha Ayu patut dihargai. Ia telah ambil bagian dalam perjuangan feminis
mendekonstruksi wacana patriarki yang memang harus dilakukan baik dalam tataran
tekstual maupun tataran konkret, dalam dunia.
Penulis,
Sumarwan
Mahasiswa STF Driyarkara Jakarta (Sumber : http://www.filsafatkita.f2g.net)
Sumarwan
Mahasiswa STF Driyarkara Jakarta (Sumber : http://www.filsafatkita.f2g.net)