Pro-kontra seperti
ini memang tidak kunjung selesai. Tarik-menarik antara argumen agama-moralitas
vis a vis kebebasan berekspresi-berkesenian terus berlangsung, tanpa ada titik
temu. Di satu pihak ada kaum agamawan yang hendak mengontrol ruang publik
secara ketat dan kadang-kadang juga kaku. Sementara di lain pihak, terdapat
sekelompok masyarakat yang hendak melabuhkan kebebasan berekspresi dan
berkesenian dalam ranah publik secara totalistis, tanpa hambatan.
SAAT ini, publik
Indonesia terutama Jakarta dihebohkan oleh kehadiran sebuah film komedi remaja
Buruan Cium Gue! Dari judulnya saja, film ini telah mengundang kontroversi,
antara yang pro dan kontra. MUI misalnya, telah melancarkan kritik cukup keras
atas kemunculan film tersebut. KH Amidhan, Ketua MUI Pusat, menyatakan bahwa
film ini berpotensi merusak moral dan budaya bangsa. Adegan ciuman panas,
menurutnya, hanya dimungkinkan di dalam ruang kesendirian oleh pasangan legal suami-istri,
bukan di ruang publik oleh lelaki-perempuan yang tidak memiliki hubungan legal.
Kegelisahan dan keprihatinan yang sama juga dialami oleh KH Abdullah
Gimnastiar, seorang dai yang kini sedang kondang. Menurut Aa Gym, panggilan
akrab KH Abdullah Gimnastiar, film tersebut tak ubahnya sebuah pengantar yang
mengarah pada tindak perzinaan. MUI, Aa Gym, dan beberapa elemen lain, akhirnya
berujung pada tuntutan yang paralel agar peredaran film tersebut segera
dihentikan.
Sementara di pihak
lain terdapat kalangan yang pro sembari menolak pelbagai keberatan yang
diajukan para ulama di atas. Mereka menilai karya itu bukanlah film porno.
Tidak ada pornografi di sana. Tidak ada norma susila dan batas kesopanan yang
dilanggar. Terlebih, tandas para pendukung ini, batas-batas moralitas itu tidak
statis, melainkah bergerak secara dinamis mengikuti capaian peradaban umat
manusia. Dan bukankah film itu tak lebih dari sebuah rekaman dari realitas
pergaulan anak muda Jakarta masa kini. Secara lebih jauh, mereka juga berpendirian
bahwa pelarangan terhadap film itu merupakan sebentuk pelanggaran dan penodaan
terhadap kebebasan berekspresi dan berkesenian. Dan kebebasan berekspresi itu
adalah hak asasi manusia yang dilindungi dan dijamin undang-undang.
Pro-kontra seperti ini
memang tidak kunjung selesai. Tarik-menarik antara argumen agama-moralitas vis
a vis kebebasan berekspresi-berkesenian terus berlangsung, tanpa ada titik
temu. Di satu pihak ada kaum agamawan yang hendak mengontrol ruang publik
secara ketat dan kadang-kadang juga kaku. Sementara di lain pihak, terdapat
sekelompok masyarakat yang hendak melabuhkan kebebasan berekspresi dan
berkesenian dalam ranah publik secara totalistis, tanpa hambatan.
Menghadirkan agama
Menghadirkan agama
--apalagi hanya satu tafsir tertentu dalam agama-- ke dalam dunia film, sungguh
sangat musykil. Di antara dua entitas ini, agama dan film, terdapat jurang
pemisah yang amat dalam. Agama sebagaimana dikemukakan di dalam fikih Islam
memiliki perhatian yang rendah terdapat dunia perfilman ini, karena di dalamnya
selalu dimungkinkan terjadinya sejumlah kemaksiatan. Agama mengatur secara amat
ketat menyangkut hubungan laki dan perempuan yang bukan mahram. Tidak boleh ada
persentuhan fisik. Sementara film meniscayakan adanya perjumpaan dan
persentuhan fisikal. Jika film menuntut keseriusan dan totalitas dalam
berakting, maka agama melalui fikih Islam justru hadir untuk membatasi
totalitas itu.
Sebagai misal,
adegan ciuman yang dilakukan orang yang bukan mahram dan berbeda jenis kelamin,
baik karena tuntutan naskah film maupun karena telah menjadi kelaziman sosial,
jika ditanyakan pada agama, maka tidak banyak yang dikatakan oleh agama,
kecuali bahwa itu merupakan kawasan terlarang. Agama hanya datang dengan
khotbah yang standar, tindakan itu merupakan perkara haram yang harus
dihindari. Islam termasuk dalam deretan agama yang amat restriktif dalam
perkara yang satu itu. Ciuman yang dilakukan oleh orang yang bukan mahram dan
berbeda jenis kelamin, baik dilakukan dengan nafsu maupun tidak, dalam
pandangan agama adalah memiliki derajat keharaman yang sama.
Ini, jika melulu
berpatokan kepada Islam. Namun, bukankah masyarakat Indonesia hidup dengan
keragaman patokan dan parameter. Keanekaragaman agama, budaya, dan etnis,
kiranya akan membentuk penilaian yang berbeda menyangkut satu pokok soal
seperti adegan-adegan di dalam film itu. Oleh karenanya, pada hemat saya, Islam
harus diletakkan sebagai salah satu anasir saja dari keseluruhan norma yang
hidup di tengah masyarakat. Islam tidak bisa dijadikan sebagai parameter
tunggal untuk menilai sebuah karya film. Islam harus didudukkan secara setara
dengan norma-norma lain. Islam mesti bertanding dan berkontestasi dengan
norma-norma lain.
Sebab, dalam
masyarakat yang pluralistik seperti Indonesia, larangan terhadap ketidaksopanan
hanya bisa dilakukan sejauh melalui mekanisme yang demokratis, bukan
semata-mata hasil pemaksaan dari satu kelompok agama atau segmen masyarakat
tertentu saja. Tidak ada hegemoni dari satu komunitas atas komunitas yang lain.
Setiap orang memiliki status yang setara di dalam berdiskusi menyangkut batas
kesopanan itu. Diskusi adalah ruang untuk melakukan negosiasi dan tawar menawar
mengenai perkara bermoral-tidak bermoral tersebut. Dari diskusi inilah
diharapkan dapat dilahirkan sebuah kesepakatan dalam wujud regulasi mengenai
pornografi dan bukan pornografi, pornoaksi dan bukan pornoaksi.
Regulasi pornografi
Sungguh, adegan
ciuman di dalam film Buruan Cium Gue! tidaklah seberapa sekiranya diukur dari
arus pornografi, pornoaksi, yang berlangsung secara gegantis di luar gedung
bioskop. Betapa ruas-ruas jalan di kota-kota besar seperti Jakarta kini terus
dihiasi dengan gambar-gambar perempuan dalam pose telanjang, baik di majalah
maupun tabloid. Gambar-gambar itu bukan hanya menjadi konsumsi kalangan
laki-laki dewasa, melainkan juga telah menjadi tontonan ABG, bahkan anak bawah
usia. Buku-buku yang mendeskripsikan secara terang adegan-adegan ranjang
demikian menjamur di kalangan para pelajar. Film-film biru dengan mudah dapat
dijumpai dan diperoleh di pinggir-pinggir jalan dan trotoar Ibu Kota. Semenjak
ditutupnya Kramat Tunggak Jakarta, para pekerja seks komersial (PSK) terus
berhamburan ke jalanan. Sebuah pemandangan yang kian mengkhawatirkan.
Menghadapi fenomena
tersebut, maka saya bisa bersetuju terhadap gagasan untuk melokalisasi
gelombang pornografi tersebut. Artinya, pornografi, pornoaksi, dan aktivitas
erotisme yang lain mesti ditampung dalam ruang khusus yang tersembunyi. Dengan
ini, ada kegunaan ganda yang bisa dicapai. Bahwa di samping agar pornografi dan
erotisme tidak diakses oleh orang-orang yang belum cukup umur, ia juga berguna
supaya erotisme bisa benar-benar dinikmati sebagai tindakan privat yang
menyenangkan. Sebab, erotisme adalah perkara yang tak dapat diekspose dan
ditayangkan kepada semua orang dari pelbagai level umur dan pelbagai ruang.
Maka, kehadiran sebuah regulasi yang mengatur menjadi sangat penting, karena
dengan itulah pornografi, pornoaksi, dan erotisme menjadi lebih teratur dan
nyaman untuk dirayakan.
Bahwa kebutuhan
seseorang terhadap erotisme, itu perkara yang diakui. Sebagaimana orang butuh
makan dan minum, mempunyai rasa aman dan kebebasan bergerak, orang juga butuh
terhadap erotisme. Tidak ada seseorang yang seluruh detik kesehariannya diisi
dengan doa. Selalu saja ada saat tertentu seseorang membutuhkan erotisme.
Erotisme mesti digerakkan. Tapi menggerakkan erotisme secara liar di
ruang-ruang publik, tanpa ada regulasi yang mengaturnya, kiranya akan
menimbulkan petaka tersendiri. Oleh karena itu, kehadiran sebuah regulasi yang
dalam proses penyusunannya mesti melibatkan partisipasi dan debat publik yang
demokratis, bukan hanya perlu melainkan sungguh amat mendesak.
***
Oleh
Abd Moqsith Ghazali
26/08/2004