Genta
terorisme di Indonesia semakin gaduh. Sejumlah media baik elektronik maupun
cetak terus saja menyuguhkan sajian berita tentang serangkaian peledakan bom
dan pembunuhan yang berlangsung di sejumlah ruas wilayah Indonesia. Lihatlah,
peristiwa mutakhir di Legian Kuta Bali yang telah menewaskan seratus delapan
puluh empat anak manusia tak bersalah. Kejahatan kemanusiaan ini seakan telah
menggenapi sebutan Indonesia sebagai--meminjam bahasa Lee Kuan Yew, seperti
yang dilansir The Strait Times beberapa bulan yang lalu--“sarang teroris”.
Telah
santer diopinikan, bahwa kelompok fundamentalis Islam Indonesia adalah induk
semang yang tegak dibalik serangkaian aksi teror di Indonesia. Opini itu
selanjutnya mendapatkan pembenarannya tatkala tokoh fundamentalis Islam papan
atas Indonesia ditangkap satu persatu, mulai dari Ja’far Umar Thalib yang
kemudian dilepas kembali, Habib Riziq, hingga Abu Bakar Ba`ayir. Bahkan, dengan
sangat mengenaskan, Ba`asyir yang terbaring sakit diciduk secara paksa oleh
aparat kepolisian dari RS Muhamadiyah Surakarta beberapa hari lalu.
Pertanyaannya
kemudian, apakah seorang fundamentalis memang berpotensi menjadi seorang
teroris? Sebaliknya, apakah seorang teroris mesti juga seorang fundamentalis
dalam agamanya? Dan bagaimana kita harus memposisikan Islam di tengah haru biru
terorisme sekarang ini? Ke arah penjawaban pertanyaan itulah kiranya tulisan
ini sedang menuju.
Bahaya
Fundamentalisme-Militanisme
Per
definisi, Frans Magnis-Suseno (2002) memahami fundamentalisme sebagai sebuah
pandangan teologis atau penghayatan keagamaan di mana seseorang mendasarkan
seluruh pandangan-pandangan dunianya, nilai-nilai hidupnya, pada ajaran
eksplisit
agamanya, hal mana kalau ajaran itu termuat dalam kitab suci dekat dengan
skripturalisme. Sementara terorisme, menurut Ikram Azzam (1999), adalah
serangkaian aksi yang bertujuan pada upaya penebaran kepanikan, intimidasi, dan
kerusakan di dalam masyarakat, yang dalam operasinya bisa saja dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang yang biasanya mengambil posisi oposan terhadap
negara.
Mencoba
bersetuju pada pengertian yang diberikan oleh dua tokoh di atas, maka seorang
fundamentalis dapat memegang kuat teologi dan penghayatan agamanya, tanpa perlu
menjadi teroris. Artinya, terorisme tidak selalu identik dengan
fundamentalisme, baik dalam Islam maupun yang lainnya. Seorang fundamentalis,
demikian Suseno, bisa saja menjadi warga masyarakat yang damai dan santun.
Oleh
karena itu, kalau fundamentalisme harus dipahami sebagai akar bagi terorisme
dalam Islam, itu jelas sesuatu yang musykil. Disebut musykil, karena kalau
seorang Muslim benar-benar menjadi fundamentalis, maka ia akan mengalami
kesulitan besar untuk melakukan terorisme. Bagaimana tidak musykil, al-Qur`an
sendiri sebagai panduan hidup secara verbatim harafiah telah lantang
menyuarakan pengingkaran dan penolakan terhadap kekerasan apalagi terorisme.
Problemnya
kemudian, sebagian kelompok fundamentalis itu memang tidak berhenti pada
penghayatan teologi skripturalistiknya semata, melainkan terus berlanjut pada
sikap militan dalam beragama. Kita tahu bahwa militansi keberagamaan Islam
meniscayakan dua penyikapan secara sekaligus; positif dan negatif. Ke dalam,
seorang militan akan bertindak positif bahwa kelompoknya adalah kawan dan teman
seperjuangan yang harus dibela. Sementara, ke luar, ia akan bersikap negatif
dengan memandang kelompok lain sebagai musuh dan ancaman yang harus diserang.
Dengan langgam seperti itu, maka perbedaan yang seharusnya menjadi sumber
kekayaan dan harmoni, di pangkuan kaum fundamentalis-militan ini berubah
menjadi disharmoni.
Pampang
sejarah menyebutkan bahwa orang yang menjadi teroris “hampir selalu” diawali
dengan sikap keberagamaan militan yang ghalibnya mengikatkan diri pada
organisasi-organisasi agama yang militan dengan tokohnya yang militan pula.
Lihatlah, daftar panjang tindak kekerasan dan serangkaian teror baik yang
terjadi di dalam maupun di luar negeri, yang dilakukan oleh kelompok
fundamentalis-militan ini. Inilah bahaya fundamentalisme-militanisme Islam yang
seringkali mengundang kewaspadaan, kekawatiran, bahkan ketakutan dari kelompok
dan umat agama-agama lain. Islam Rahmat, Keputusan Final
Islam
sebagai agama yang rahmatan lil alamin, sekali lagi, jelas menolak dan melarang
pemakaian kekerasan demi untuk mencapai tujuan-tujuan (al-ghayat), termasuk
tujuan yang baik sekalipun. Sebuah kaidah ushul dalam Islam menegaskan
al-ghayah la tubarrir al-wasilah (tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara).
Lebih jauh, Islam menegaskan bahwa pembasmian suatu jenis kemungkaran tidak
boleh dilakukan dengan kemungkaran pula (al-nahyu ‘an al-munkar bi ghair
al-munkar).
Tidak
ada alasan etik dan moral secuilpun yang bisa membenarkan suatu tindakan
kekerasan terlebih teror. Dengan demikian, kalau ada tindakan-tindakan teror
yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu, maka sudah pasti alasannya bukan
karena ajaran etik-moral Islam, melainkan karena agenda-agenda lain yang
bersembunyi di balik tempurung tindakan tersebut.
Sekarang,
kita sedang membutuhkan upaya yang lebih serius ke arah pembersihan Islam dari
sejarahnya yang kelam dan kelabu. Islam telah cukup lama “dibajak” oleh
sejumlah kelompok untuk menuai target-target politik kekuasaan. Islam sudah
sering dijadikan sebagai pembenar bagi tindakan penghancuran komunitas lain.
Sungguh, gerakan kelompok fundamentalis-militan Islam yang seringkali
menggunakan cara-cara kekerasan dalam menjalankan tafsir agamanya adalah iklan
buruk bagi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta.
Ke
depan, Islam tidak boleh lagi menjadi ruang yang eksklusif-primordial,
melainkan harus menjadi tenda dan payung penyungkup bagi seluruh umat manusia.
Islam yang rahmatan lil ‘alamin adalah keputusan final dan tuntas, sehingga
tidak boleh ada kekuatan apapun, baik perseorangan, kelompok maupun
institusi-kelembagaan, yang diperkenan untuk mengamandemen, menistakan, apalagi
menghancurkan eksistensinya.
Oleh
Abd Moqsith Ghazali
08/12/2002