80 Tahun Dunia Menanti Khilafah (Memperingati Pembubaran Khilafah, 3 Maret 1924)

Di sepanjang abad ke-20 hingga kini, dunia yang kita diami diwarnai dengan persoalan-persoalan pelik yang tidak selesai diatasi umat manusia, sekalipun teknologi yang dimilikinya jauh lebih baik dari zaman sebelumnya. Keluarga manusia tumbuh setiap hari seperempat juta jiwa. Namun manusia tidak sama.

Dalam gaya hidup, kesejahteraan, dan beban ekologis seperti pemborosan energi dan sampah yang dibuangnya, mereka berbeda seperti halnya bahasa dan orientasi budayanya. Misalnya, efek rumah kaca yang sangat berbahaya secara global, dihasilkan tak lebih dari sepertiga penduduk dunia, yaitu di negara-negara maju. Tiap hari mereka menghembuskan 60 juta ton CO2 ke atmosfer. Menurut FAO, setiap hari hutan tropis dunia berkurang 463 km persegi, atau seluas 63 ribu lapangan bola, oleh kerakusan industri, yang hasilnya terutama dikonsumsi di negara-negara maju.

Bersama itu punah pula ekosistem yang menyediakan oksigen, air, dan habitat bagi keanekaragaman hayati. Pada saat yang sama pengeluaran militer di dunia, yang terutama dilakukan negara-negara maju untuk mengancam dan menghantam negeri-negeri muslim, sekitar 2 miliar dolar AS per hari.

Hanya dengan sebagian kecil jumlah ini barangkali Dunia Ketiga bisa diselamatkan. Menurut Unicef, di Dunia Ketiga setiap hari 36 ribu balita mati akibat kelaparan. Umat manusia kini memiliki dunia yang hampir tanpa masa depan. Ini terjadi karena dunia dipimpin oleh suatu ideologi yang tidak manusiawi dan tidak membawa rahmat bagi seluruh alam. Ideologi ini memandang bahwa kebahagiaan adalah ketika seluruh kebutuhan atau keinginan materinya dapat dipenuhi. Tentu saja ini hanya bagi mereka yang menguasai alat-alat produksi (termasuk teknologi).

Adapun orang lain yang kebetulan tidak menguasai alat-alat produksi, baik sebangsa atau apalagi tidak sebangsa, tidak akan terpikirkan. Maka ideologi ini menganggap absah saja untuk menguras sumber daya alam bangsa lain, baik dengan cara kasar seperti penjajahan, atau halus seperti pasar bebas. Ideologi ini tidak memiliki misi suci yang berorientasi mencerahkan dan mengentaskan seluruh manusia dari kegelapan, kemiskinan, atau ketertindasan.

Kalaupun ia mengatasnamakan nilai-nilai universal seperti HAM atau demokrasi, maka itu tak lebih sekadar jalan mempermudah aksesnya dalam menguras ekonomi bangsa lain. Inilah ideologi kapitalisme-sekulerisme, yang tak ingin agama dilibatkan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Inilah ideologi yang saat ini diterapkan dan disebarkan ke seluruh dunia, oleh kekuatan-kekuatan negara besar, terutama Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis.

Islam ideologi alternatif

Adapun Islam, ajaran Ilahi ini sebernarnya merupakan sumber yang tak ada habisnya untuk suatu ideologi alternatif, yang semestinya lebih manusiawi, lebih membawa rahmat bagi siapa saja, karena sifatnya yang berimbang, tidak eksploitatif atas manusia lain, tidak menjajah. Ini karena Islam diturunkan Allah SWT yang sangat mengerti sifat dan kebutuhan manusia serta apa yang dapat membuat manusia sengsara atau bahagia.

Dan fakta empiris menunjukkan, bahwa Islam memang pernah benar-benar menjadi ideologi yang memimpin dunia, tatkala ia diterapkan dan disebarkan oleh sebuah kekuatan besar, yaitu negara Khilafah Islamiyah. Negara ini de-facto didirikan oleh Rasulullah SAW di Madinah pada 12 Rabi'ul Awwal 1H, bertepatan dengan 23 September 622M. Kepemimpinan negara Khilafah ini berlangsung terus hingga 3 Maret 1924, yakni tatkala secara resmi Khilafah yang berpusat di Istanbul, Turki, dibubarkan.

Meski periode khalifah yang baik dan buruk datang silih berganti, namun negara Khilafah de facto tetaplah negara yang diperhitungkan dunia selama 13 abad, dan saat itulah umat Islam juga diperhitungkan. Pada saat Khilafah masih ada, tak cuma kaum muslimin yang terlindungi kehormatannya, namun peradaban dunia seluruhnya.

Kita tidak akan mengenal peradaban Yunani kuno (seperti matematika atau kedokteran), andaikata peradaban Islam yang maju pesat di bawah naungan Khilafah, tidak menyelamatkan dan terus mengembangkan ilmu pengetahuan, pada saat Eropa diterpa zaman kegelapan akibat permusuhan gereja terhadap para ilmuwan.

Khilafah Islam pernah menaungi ratusan etnis yang berbeda-beda, yang membentang dari tepi Atlantik di Barat sampai sebagian Cina di Timur, dari tepi Sahara di Selatan sampai Kaukasus di Utara, tanpa diskrimasi atau penjajahan. Wilayah yang besar itu maju bersama. Para ulama bermunculan di segenap penjuru. Mereka memang berkarya dalam bahasa Arab sebagai bahasa internasional saat itu walaupun mereka bukan etnis Arab.

Dan kesatuan yang besar itu terbukti efektif mengatasi kesulitan akibat bencana alam atau serangan musuh yang melanda sebagian negeri. Kita saksikan bagaimana kaum muslimin bisa dipersatukan, tanpa sekat-sekat ras, ketika mereka menghadapi serangan tentara Salib, atau serbuan Tartar yang membumi-hanguskan Baghdad tahun 1258. Bagdhad boleh saja hancur, khalifah boleh saja terbunuh, namun Khilafah Islamiyah tidak bubar karenanya.

Di seluruh negeri, Islam masih diterapkan oleh para gubernur (wali, sultan) dan hakim (qadhi), ekonomi masih ekonomi syariah, pendidikan masih pendidikan Islam, hukum masih hukum Islam, maka dalam waktu singkat, tiga tahun kemudian, kaum muslimin bisa cepat berkonsolidasi dan lalu mengalahkan Tartar, bahkan sebagian besar tentara Tartar masuk Islam.

Abad-abad selanjutnya Khilafah kembali jaya. Tahun 1453, Konstantinopel, ibukota kekaisaran Byzantium Romawi, dibebaskan kaum muslimin dan menjadi Istanbul. Abad 17 kekuatan kaum muslimin masih melindungi separo Eropa. Bahkan sebagian pemeluk Protestan di Hongaria atau Austria justru mohon perlindungan kepada Khilafah dari ancaman raja-raja Katholik.
Awal kemunduran Islam

Umat Islam mulai mundur ketika pada abad ke-18 dakwah internal mulai mengendor. Akibatnya pasokan sumber daya manusia berkualitas menyusut. Teknologi yang sebelumnya dikembangkan untuk menopang jihad terabaikan, sampai suatu saat tersalip kemajuan di Barat, ''Revolusi Industri''.

Pada saat itu, umat Islam tak serta merta kembali menggenggam erat ideologi Islam, namun justru mulai mengimitasi Barat, bahkan sampai sistem perundangannya. Akibatnya malah makin buruk. Pada Perang Dunia I, agen-agen Barat memancing agar Negara Khilafah yang sudah sakit-sakitan itu terlibat.

De facto mereka menghabisi Khilafah pada perang itu, dengan dikuasainya banyak wilayah Khilafah oleh Inggris dan Prancis. Lalu untuk menghabisi sama sekali sistem Khilafah, mereka memanfaatkan Kemal Attaturk, yang bak pahlawan, memproklamirkan berdirinya Republik Turki, sebagai syarat ditariknya pasukan asing dari Turki. Pada 3 Maret 1924, secara resmi Attaturk membubarkan Khilafah, seraya mengusir Khalifah terakhir, yaitu Abdul Madjid II.

Setelah Khilafah bubar, Barat makin leluasa menerapkan dan menyebarkan ideologi kapitalisme-sekulerismenya ke seluruh dunia, terlebih ke dunia Islam yang kaya sumber daya alam. Kalaupun upaya ini kadang terkendala, itu hanyalah persaingan sesama mereka. Pertengahan abad ke-20, upaya itu dihambat Uni Soviet yang berusaha menyebarkan sosialisme-komunisme.

Namun di awal abad ke-21, Amerika Serikatlah yang memimpin dunia dengan kapitalisme-sekulerismenya. Maka umat Islam kini semakin jauh dari misi yang dibebankan Allah kepada mereka, yaitu misi merahmati seluruh alam seperti yang pernah berhasil dibuktikan Daulah Khilafah. Jangankan merahmati seluruh alam, melindungi mereka sendiri saja, seperti di Palestina, Bosnia, Chechnya, Kashmir, Xin Jiang, Moro, Afghanistan, Iraq, juga Indonesia, mereka tidak mampu.

Ini karena misi tadi memang hanya bisa dilaksanakan dalam suatu barisan, suatu formasi ideologis. Tanpa formasi yang rapi, energi 1,5 miliar umat Islam tidak akan fokus. Bukankah Amerika Serikat, Inggris, Prancis, atau Uni Soviet, juga hanya mampu melaksanakan misi ideologis mereka dalam suatu formasi, struktur yang rapi, dengan negara sebagai panglimanya?

Negara mereka peduli menjalankan pendidikan, mengembangkan teknologi, menerapkan ekonomi yang menjamin kemakmuran bangsanya, dan politik luar negeri yang melindungi kepentingannya di seluruh dunia. Mereka bahkan menempatkan misi-misi budayanya di seluruh dunia, juga misi-misi militer, termasuk kapal-kapal induk dan selam bertenaga nuklir, di seluruh samudra.

Suatu struktur hanya bisa ditandingi dengan struktur pula. Sejarah membuktikan bahwa adidaya Romawi dan Persia pun akhirnya tunduk oleh struktur bentukan Rasulullah. Sekalipun struktur tadi pada awalnya sangat kecil (hanya sebesar Madinah) dan juga secara ekonomi, teknologi maupun militer tak berarti. Namun mereka memiliki ideologi yang kuat dan orang-orang yang meyakini akidah yang sangat kuat.
Dunia menantikan khilafah

Tak bisa tidak, struktur seperti Daulah Khilafah itu dinantikan dunia ini kembali, untuk menandingi struktur zalim dari ideologi kapitalisme-sekulerisme. Tentu saja Khilafah yang akan berdiri kembali ini bukan negara masa lalu atau negara utopia. Dia adalah negara modern dalam teknologi dan manajemen yang mutakhir.

Namun visi misinya adalah Qurani, dan seluruh perangkat hukumnya semata-mata digali dari Islam, bersumber al-Quran, Sunnah, ijmak sahabat, dan qiyas, dengan olah ijtihad tanpa henti dari para mujtahid. Mendirikan kembali Khilafah tentu tak semudah membalik tangan. Juga tak semudah kudeta militer yang penuh kekerasan (power of muscle), maupun menang pemilu dengan politik uang (power of money).

Kita harus memahami sejarah perjuangan Nabi dalam mentransformasi pemikiran dan perasaan umat, sehingga mereka bersedia memperjuangkan penerapan Islam sekalipun menanggung penderitaan yang luar biasa. Inilah kepemimpinan pemikiran (power of mind), yang merupakan kunci dari kesuksesan para Anbiya. Alvin Toffler menyebut power of mind adalah kekuatan atau kekuasaan dengan mutu yang paling tinggi.

Karenanya, semua gerakan dakwah, para ulama dan cendekiawan, juga tokoh-tokoh politik, sudah saatnya bersama-sama mengkaji dan menggali lebih dalam, bagaimana konsep dan sistem Khilafah itu. Rasulullah dalam berbagai hadisnya mengabarkan akan kembalinya lagi Khilafah, setelah era kekuasaan-kekuasaan sekuler (mulkan jabariyyan), sebagaimana beliau telah meramalkan dibebaskannya Konstantinopel. Pertanyaannya adalah, sudahkah kita jadi bagian dari orang-orang terbaik yang berkontribusi pada proses ini. (RioL)

Oleh : Fahmi Amhar : Alumnus Vienna University of Technology Austria, Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina
Kajian Siyasah/Khilafah Oleh : Redaksi 12 Mar 2004 - 10:25 am


© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design