Wahyu, Bahasa, dan Paradoks Eksistensial



Tulisan ini mencoba memberikan dasar filosofis-epistemologis tentang keniscayaan pluralitas penafsiran atas wahyu atau teks suci. Dengan dasar ini, kelanjutannya akan menjadi embrio kelahiran berbagai macam agama.


Wahyu dan bahasa

Jika wahyu dinilai sebagai pesan atau titah yang disampaikan Tuhan pada manusia, maka dapat disimpulkan bahwa perangkat apapun yang digunakan sebagai medium untuk menyampaikannya adalah “bahasa”. Tentu saja bahasa yang dimaksudkan di sini adalah bahasa yang digunakan Tuhan sebagai penghantar pesan-Nya. Wahyu itu sendiri hadir dalam bentuknya yang beragam. Ini berarti bahwa Tuhan menggunakan berbagai macam “bahasa” dalam kepentingann-Nya untuk berkomunikasi dengan manusia. Misalnya alam, yang merupakan salah satu “bahasa” yang digunakan Tuhan untuk menjalin komunikasi dengan manusia. Dalam alam, Tuhan menyembunyikan wahyu-Nya. Karena itu, alam sebenarnya adalah manifestasi wahyu yang paling konkret sekaligus abstrak. Konkret dalam pengertian bahwa ia tampak secara nyata. Namun menjadi abstrak pada tataran kemungkinannya untuk dipahami. Sebab, setiap orang dapat “menerjemahkan” alam secara berbeda sesuai dengan kapasitasnya.

Selain itu, Tuhan merasa perlu untuk lebih mengkongkretkan serta “mem-verbalisasi-kan” komunikasinya dengan manusia dalam bentuk bahasa yang lebih leksikal. Maka, demi realisasi misi ini, diutuslah serangkaiaan Nabi dengan mewakili karakteristik masing-masing konteksnya. Baik konteks masyarakat dan kebudayaannya, maupun konteks waktu. Upaya penyesuaian penyampaian misi dan visi Nabi sesuai dengan karakter zaman dan tempatnya tersebut, merupakan bukti betapa Tuhan benar-benar hendak berbicara dalam bahasa yang mudah untuk dicerna manusia.

Para Nabi tersebut kemudian dibekali dengan kemampuan untuk berkomunikasi secara “telepatik” dengan Tuhan. Kemampuan ini setidaknya dapat kita tinjau dari dua bukti: pertama, klaim dari para Nabi itu sendiri, yang kemudian sering kali (perlu) ditegaskan dengan penampakan kemampuan luar biasa yang disebut dengan mukjizat; kedua, seringnya seorang Nabi melakukan “penundaan-penundaan” dalam memutuskan sebuah perkara. Ini dilakukan, menurut klaimnya, sebagai usaha untuk mendapatkan konfirmasi yang lebih jelas dari Tuhan perihal langkah terbaik dan “terbenar” yang dapat ditempuhnya.

Dalam kaitannya dengan wahyu yang diterima para Nabi inilah, problem bahasa muncul. Bagaimana tidak, Tuhan dan Nabi (manusia) secara eksistensial berada dalam sebuah ranah yang berbeda: Tuhan terlingkupi oleh transendensinya, sedangkan manusia dibatasi oleh imanensinya. Dua cara “ber-ada” ini, bukan hanya berbeda, tapi juga bertolak belakang. Konsekuensinya, jika yang satu mencoba berkomunikasi dengan yang lainnya, maka problem bahasa menjadi hambatan terbesar. Sebab bahasa yang satu tidak akan dapat dicerna oleh yang lainnya. Selain itu, problem ini hanya dapat diatasi jika entitas yang satu mencoba untuk berfusi atau meleburkan diri dalam cara “ber-ada” entitas yang lainnya. Dengan kata lain, Yang Transenden menjelma menjadi yang imanen. Atau sebaliknya. Namun, mungkinkah ini dapat dilakukan?


Paradoks Eksistensial

Inilah yang menjadi problem fundamental dalam perbincangan perihal wahyu. Penulis menyebutnya “paradoks eksistensial”: mengandaikan yang transenden bermetamorfosis menjadi yang imanen, sama halnya dengan mengingkari ketuhanan Tuhan itu sendiri. Sebab hanya ke-transendental-an Tuhanlah yang kemudian membuat Tuhan dinobatkan sebagai Tuhan. Sehingga dengan demikian, jika Ia menjadi imanen, maka Ia tak lebih sederhana dan terbatasnya dari manusia itu sendiri sebagai sebuah ciptaan. Lalu, bagaimana problem ini dapat teratasi ? Jika memang benar Tuhan berkomunikasi dengan manusia melalui para Nabi-Nya, lalu bagaimana komunikasi itu dapat mengatasi problem berupa paradoks eksistensial yang membentang antar keduanya? Di sinilah, agama melakukan siasatnya dengan cantik.

Agama diklaim (mengklaim dirinya) dapat mengubah suatu paradoks menjadi suatu koherensi. Yang bagi manusia tidak mungkin terjadi, oleh agama disulap menjadi sebuah kepastian. Oleh agama, paradoks dicairkan melalui sebuah konsep yang sarat dengan nilai metafisis dan sakralitas. Disamping itu, agama juga mengatasi paradoks-paradoks serupa diatas dengan cara menyelimutinya dengan doktrin atau kewajiban untuk percaya secara penuh, tanpa ada pintu masuk untuk bertanya atau mengkritisi. Akibatnya, secara esensial, paradoks-paradoks tersebut tetap menjadi sebuah pertanyaan tak terjawab dan problem kronis yang terpendam dalam wacana keagamaan klasik.

Agama mengklaim bahwa paradoks eksistensial tersebut menjadi teratasi dengan hadirnya para Nabi. Nabi, dinobatkan sebagai juru bicara Tuhan di alam. Melalui Nabi, Tuhan berkomunikasi dengan manusia. Komunikasi Tuhan yang terekspresikan dalam bentuk wahyu ini, kemudian ditransformasikan oleh Nabi dalam bentuk bahasa yang dapat dicerna oleh manusia. Dengan kata lain, Nabi bukan saja berperan sebagai jembatan penghubung antara Tuhan dengan manusia; tapi lebih dari itu, Nabi juga bertugas untuk mentransliterasikan “bahasa” yang digunakan Tuhan untuk menyampaikan wahyu-Nya kedalam bahasa manusia. Artinya, Nabi memiliki kemampuan berkomunikasi dalam dua bahasa: bahasa primordialnya sebagai seorang manusia biasa, dan juga bahasa Tuhan. Pada titik inilah, kemampuan “telepatik” para Nabi untuk berkomunikasi dengan Tuhan, oleh agama diajukan sebagai postulasi dasar yang efektif guna mengatasi paradoks-paradoks seputar perbedaan cara “ber-ada” Tuhan dan manusia, sebagaiman dijelaskan di atas. Entah bagaimana bentuk konkret dari kemampuan “telepatik” Nabi ini. Namun satu hal yang pasti bahwa setiap manusia beragama diwajibkan untuk mengimaninya. Alih-alih menggugat, bertanya-tanya tentang hal ini saja dianggap sebagai sebuah keragu-raguan dan jalan menuju kemusyrikan/pengingkaran.

Konsekuensi Logis

Walaupun kehadiran Nabi diklaim telah mengatasi paradoks eksistensial tentang ketidakmungkinan terjadinya komunikasi antara yang transenden dengan yang imanen, namun secara substansial, problem tersebut sebenarnya tidak teratasi. Sebab secara fundamental, paradoks tersebut memang tak mungkin teratasi. Para Nabi sebenarnya hanya bertugas untuk mentransliterasikan wahyu kedalam bahasa manusia, namun dengan tetap tidak dapat menghindari berbagai konsekuensi-konsekuensi logis yang harus diterima sebagai ekses dari adanya paradoks eksistensial tersebut. Itu artinya, ketika wahyu diterjemahkan kedalam bahasa manusia, maka ada beberapa konsekuensi logis yang tidak dapat kita hindari, sekalipun peran Nabi telah dimaksimalkan. Konsekuensi-konsekuensi tersebut adalah:

1. Ketika wahyu Tuhan ditransliterasikan kedalam bahasa manusia, terjadilah sesuatu yang tak terhindarkan, yaitu reduksi atas pesan-pesan Tuhan. Sebab, menerjemahkan “bahasa” Tuhan kedalam bahasa manusia sama halnya dengan: pertama, membatasi sesuatu yang sebelumnya sebenarnya tidak terbatas; kedua, menyederhanakan sesuatu yang sebelumnya “melampaui” kesederhanaan; ketiga, mensistematisasikan sesuatu yang sebelumnya tidak terikat oleh kaidah atau struktur apapun. Karena Nabi memang diutus bukan sebagai manusia super yang mampu mengatasi paradoks-paradoks eksistensial, maka wajar jika terjadi reduksi atas wahyu Tuhan.

2. Secara eksistensial, ada perbedaan mendasar antara yang transenden dan yang imanen. Yang transenden selalu berada dalam ke-stabilan, “mengatasi” segala bentuk perubahan dan diferensiasi. Sedangkan yang imanen sebaliknya: selalu mengalami perubahan, perkembangan, dan sarat dengan pluralitas. Perbedaan eksistensial ini memaksa kita menerima konsekuensi bahwa ketika bahasa Yang Transenden (wahyu) ditransformasikan kedalam bahasa yang imanen, maka ketika itu juga ia masuk dalam sebuah “wilayah” yang memandang diferensiasi sebagai sebuah keniscayaan. Dengan kata lain, wahyu akan dipahami dalam cara yang berbeda, sesuai dengan karakteristik “bahasa” masing-masing manusia. Pada tataran yang lebih radikal, wahyu Tuhan akan diinterpretasikan se-plural “bahasa” manusia. “Bahasa” dalam hal ini, bukan hanya dalam pengertian leksikal semata, juga mencakup di dalamnya persolan konteks. Konteks yang kemudian mempengaruhi cara pandang seseorang. Karena itu, konteks yang berbeda tentu akan menghasilkan penafsiran yang berbeda pula atas wahyu. Pada titik ini, bahasa Tuhan yang sebelumnya monolitik, kemudian tampil dalam keanekaragaman bentuk dan pemahamannya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan akan terjadinya kontradiksi pemahaman.

3. Ketika wahyu ditransformasikan kedalam bahasa manusia, dinamika kehidupan manusia jelas akan selalu mempengaruhi cara pandang serta pemahaman mereka terhadap wahyu tersebut. Dengan kata lain, pemahaman terhadap wahyu akan selalu sejajar dan berkait dengan perkembangan kehidupan manusia sebagai sang penafsir sekaligus penerima pesan. Ini artinya bahwa setiap tempat dan zaman akan mempengaruhi hasil penafsiran manusia atas wahyu. Bahasa Tuhan, yang sebelumnya stabil dan stagnan dalam wilayah ke-transendental-annya, kemudian akan “terombang-ambing” oleh ketidakstabilan dan perubahan yang melekat pada imanensi manusia.

Melalui kacamata analisa ini, kita semestinya memahami fenomena pluralitas agama serta penafsirannya. Manusia memahami pesan Tuhan sesuai dengan kapasitas serta konteks yang melingkupinya. Karena itu, memutlakkan atau mengabsolutkan hasil pemahamn kita atas bahasa Tuhan, sama halnya dengan upaya men-transenden-kan bahasa manusia.


Oleh Muhammad Ja’far
16/03/2003


© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design