Agamawan (Harus) Melawan Kemiskinan

KISAH Supriono (38) dan Mardiah (61) (Kompas, 13/6) betul-betul menyesakkan dada, meluluhlantakkan perasaan, dan membangkitkan kemanusiaan kita semua. Kabar itu menyimpan makna, hikmah, dan kritik sosial.

Setidaknya, kedua sosok itu merupakan kabar paling nyata bagi kita semua bahwa kemiskinan telah menggerogoti bangsa ini. Supriono harus mengikhlaskan putrinya, Khairunnisa, pulang ke alam baka karena ketidakmampuannya membayar biaya pengobatan.


Sedangkan Mardiah ditinggalkan putranya yang didera utang. Keduanya adalah korban kemiskinan yang makin ganas dan sadis. Ingar-bingar kota Jakarta ternyata tidak mampu mengubah nasib mereka. Kemodernan dan kegemerlapan kota Jakarta ternyata menyimpan duka dan kesedihan.

Demikianlah kritik para pengikut mazhab posmo, bahwa kemodernan tidak selamanya menggembirakan, tetapi amat mungkin melahirkan dampak-dampak terburuk, utamanya: kemiskinan yang bersifat masif. Mengkritisi Jakarta adalah mengkritisi kemodernan.

Apabila di Jakarta saja jumlah orang miskin makin meningkat, daerah-daerah lain yang sumber mata pencariannya tidak seluas Jakarta akan menghadapi masalah serupa, bahkan mungkin lebih kompleks. Bisa dipastikan, selain Supriono dan Mardiah, masih banyak warga yang menghadapi kemiskinan dan sulitnya mencari pekerjaan untuk sekadar memenuhi kebutuhan keluarga. Fakta ini menggugah kesadaran kolektif kita, apa yang harus dilakukan agamawan untuk memerangi dan mengatasi kemiskinan.

Harus diakui, meluasnya jumlah orang miskin secara implisit mengabarkan gagalnya agamawan membangun etika sosial, etika yang memberi perhatian kepada mereka yang lemah dan dilemahkan. Akibat agama terlalu sering membincangkan soal etika privat, tak terelakkan etika sosial cenderung diabaikan.

Buktinya, kemiskinan belum menjadi ”kurikulum” dalam materi keagamaan. Padahal, dalam sebuah pesan suci disebutkan, ”kemiskinan adalah pangkal kekufuran”. Untuk itu, saatnya kita melakukan kritik atas pelbagai macam keberagamaan yang hanya memonopoli ruang privat sebagai komoditas.

Hampir setiap saat kita menonton tangisan, kepasrahan, dan ketundukan di layar kaca. Pertanyaannya, tangisan itu untuk apa dan siapa? Mungkinkah tangisan mereka untuk mengasah kepekaan atas orang-orang miskin? Atau tangisan mereka adalah tangisan simbolik dan sekadar hiburan sesaat?

Kritik seperti ini penting untuk membongkar praktik-praktik keagamaan yang jauh dari konteks sosial masyarakat. Alih-alih ingin ”menangisi nasib masyarakat”, kalangan agamawan sebagaimana dilihat oleh Olivier Roy dalam Globalized Islam: The Search for a New Ummah telah melakukan privatisasi agama.

Karena itu, modernisasi agama sebenarnya tidak selamanya ingin mengetengahkan saripati dan pesan sosial sosial agama, tetapi justru mengerdilkan hakikat agama, bahkan hanya menjadikan agama sebagai komoditas ekonomi.

Karena itu, amat disayangkan bila pelbagai praktik ritual terjebak dalam privatisasi agama. Agama tidak diposisikan dalam kerangka menyelesaikan masalah kemiskinan, sebaliknya justru memapankan kemiskinan. Sebab, dalam keberagamaan yang privat itu, agama dijadikan komoditas belaka.

Persis seperti diungkapkan Ibnu Rushd, pendekatan retorik cenderung dikedepankan oleh kalangan agamawan daripada pendekatan rasional bukan untuk menyingkap pesan kemaslahatan sosial, tetapi untuk menyesuaikan dengan konteks umat umumnya.

Namun, untuk konteks sekarang, pendekatan retorik mengalami pergeseran amat jauh, hanya digunakan sebagai komoditas dan market.

Di sinilah refeleksi atas keberagamaan menjadi penting. Kisah Supriono dan Mardiah harus dijadikan titik tolak untuk merancang bangun keberagamaan yang dapat menyoroti dan menyelesaikan pelbagai problem kemiskinan di masyarakat.

Pengalaman Teologi Pembebasan dan Islam Kiri yang berangkat dari tradisi agama-agama perlu diaktualisasikan kembali agar agama menjadi keyakinan, cara pandang, dan sikap (baca: iman) yang mampu mendongkrak kesadaran sosial. Kalangan agamawan harus berpikir dan bekerja keras untuk mengembalikan agama ke ranah sosial.

Untuk itu diperlukan beberapa hal mendasar. Pertama, perlunya perangkat pemahaman keagamaan yang memberikan perhatian terhadap problem masyarakat, utamanya kemiskinan. Peter L Berger (2005), sosiolog agama dari Universitas Boston, menyajikan pandangan menarik perihal pentingnya pluralisme yang mendorong terwujudnya prinsip kesukarelaan (the voluntary principle). Pesan agama yang belum digali secara maksimal adalah pesan kesukarelaan.

Belajar dari sejarah agama-agama, bahwa agama yang bisa bertahan dan berkembang adalah agama yang mampu menerjemahkan ajaran kesukarelaan dalam konteks sosial yang plural. Kesukarelaan adalah jantung agama-agama. Sebaliknya, agama yang tidak mampu menerjemahkan kesukarelaan akan menuai keterbelakangan dan keterpurukan.

Kedua, perlu langkah-langkah praksis dari kalangan agamawan untuk memberi solusi atas umat yang berada dalam kemiskinan. Lembaga-lembaga sosial yang bergerak di bidang bantuan kemanusiaan harus menjadi prioritas utama.

Ihwal pengentasan kemiskinan bagi masyarakat sekitar pesantren, Masdar F Mas’udi mempunyai usul menarik. Para ulama mempunyai database orang-orang miskin (www.islamemansipatoris.com). Hakikatnya ulama adalah pemimpin dan pelayan masyarakat. Karena itu, harus mengetahui nasib masyarakat. Kemiskinan adalah fakta yang tidak bisa diabaikan oleh siapa pun, termasuk ulama.

Ketiga, perlu sikap kritis kalangan agamawan atas pemerintah yang bertanggung jawab dalam mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Ini juga menjadi bagian langkah praksis, sekaligus dorongan moral agar pemerintah bekerja semaksimal mungkin.

Merebaknya penyakit busung lapar, polio, dan lumpuh di pelbagai daerah harus mendapat perhatian serius pemerintah. Dan kalangan agamawan bisa memosisikan diri sebagai kelompok penekan dan pendorong agar pemerintah menjadi pihak yang memberi kemaslahatan kepada publik. Institusi keagamaan, ormas, pesantren, dan langgar harus mendorong agar pemerintah bekerja semaksimal mungkin untuk mengentaskan kemiskinan di bumi pertiwi ini.

Ihwal perhatian atas kemiskinan, Tuhan memberi peringatan keras. Siapa pun yang mengabaikan orang-orang miskin dan menghardik anak yatim adalah mereka yang sebenarnya mengkhianati dan melanggar norma agama.

Apabila selama ini kita mengabaikan orang-orang seperti Supriono dan Mardiah, sebenarnya kita tergolong mereka yang melanggar norma agama: tidak mengasihi dan menyantuni orang miskin.

Karena itu, kalangan agamawan harus melawan kemiskinan dengan berbagai upaya, termasuk aspek penyadaran, pemberdayaan, dan peningkatan partisipasi masyarakat sipil untuk memberikan perhatian pada pengentasan kemiskinan.


Zuhairi Misrawi
Intelektual Muda NU, Alumnus Universitas al-Azhar Kairo- Mesir; Koordinator Jaringan Islam Emansipatoris; dan Pimred Jurnal PERSPEKTIF PROGRESIF. 
06/2005 05:16

www.kompas.com

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design