DALAM
seminar di Riyadh (22 Maret 1972, yang diselenggarakan Pemerintah Kerajaan Arab
Saudi (KAS), hadir sejumlah cendekiawan dan ahli hukum Barat yang tertarik menyelidiki
pelaksanaan syariat Islam hak asasi manusia dari tangan pertama.
Pertemuan
ilmiah pertama dilakukan di Riyadh, lalu di Vatikan, terakhir di Strassbourg.
Seminar diikuti delegasi KAS, dan ahli-ahli hukum beberapa negara Eropa.
Dalam
seminar itu banyak pertanyaan dari delegasi Eropa, di antara undang-undang
dasar, undang-undang perdata, pidana, dan sebagainya harus didasarkan pada Al
Quran. Ini patut dipelajari dan dipikirkan kembali, karena kehidupan selalu
berubah sesuai perkembangan zaman. Menurut mereka, bukan untuk kepentingan
Islam bila semua bentuk hukum diatur berdasar Al Quran, karena hal itu dapat
merusak Al Quran sendiri, karena kehidupan berkembang dan kondisi telah
berubah.
Kedua,
mereka menanyakan hukuman hudud (potong tangan dan rajam) yang tidak boleh
diamandemen oleh akal manusia, sehebat apapun dia.
Delegasi
KAS menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan menjelaskan dimensi-dimensinya
sesuai pesan Al Quran, "Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik!" (QS
An-Nahl/16:125).
Jawaban
untuk masalah pertama, yaitu berpegang teguhnya kaum muslimin kepada Al Quran
dalam membentuk segala hukum positif mereka dianggap akan merusak Al Quran
sendiri. Ketika diselenggarakan Pekan Fiqh Islam di Paris tahun 1951, yang
dihadiri para ahli ilmu hukum dari berbagai universitas di dunia, di antara
peserta ada yang mengemukakan persoalan berikut.
Agama
tidak akan dapat mempertahankan kesuciannya bila agama itu tidak senantiasa
seperti sebagaimana adanya menurut pendapat para pengikutnya, meski masa
kedatangan agama telah lama. Agama seharusnya tidak berubah dan tidak
berkembang, alias beku. Bila agama berubah dan berkembang, ia kehilangan
tempatnya yang mulia dan kesuciannya. Karena itu, tiap kitab suci yang dimiliki
agama manapun harus beku, tidak berubah. Kalau begitu, bagaimana mungkin
membangun sistem hukum positif atas dasar kitab suci, karena hukum itu selalu
berkembang sesuai perkembangan zaman?
Harus
diakui, saat itu hukum agama akan mendapat sifat kebekuan, karena segala
sesuatu yang dibangun atas dasar kebekuan pasti beku pula. Inilah yang
mengkhawatirkan Ulil Abshar Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL)
yang galau melihat meningkatnya semangat umat Islam menerapkan syariat Islam di
seluruh aspek kehidupan.
Ulil
menawarkan "pemahaman yang segar", Islam harus dipandang sebagai
"proses" yang tak pernah selesai. Tawarannya diturunkan dalam opini
Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam (Kompas, 18/11). Alasannya, kenyataan di mana
kehidupan dan kebutuhan selalu berubah dan berkembang. Karena itu, agama harus
bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia. Sehingga QS Ali Imran/3:19
yang artinya "Sesungguhnya agama (yang diridoi) di sisi Allah hanya Islam.
Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab (maksudnya Kitab-kitab
yang diturunkan sebelum Al Quran), kecuali setelah datang pengetahuan (wahyu
ini) kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa
kafir (menolak) ayat-ayat Allah, maka sebenarnya Allah amat cepat
hisab-Nya" harus diartikan lain menurut versinya menjadi
"Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah
proses-yang-tak-pernah-selesaimenuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar)."
Konsekuensinya, wahyu tidak boleh dianggap tuntas. Ayat alyauma akmaltu&
" (QS Al Maidah/5:3), wahyu penutup Al Quran sebagai bukti kesempurnaan
agama Islam terpaksa diabaikan.
Secara
keseluruhan saya memahami pemikirannya, juga komunitas JIL sesuai prinsip
gagasan Islam liberal yang ditulis Greg Barton (1999) yaitu 1) pentingnya
kontekstualisasi jihad; 2) Komitmen atas rasionalitas dan pembaruan; 3)
Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama; 4) Pemisahan
agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.
Para
tokoh seniornya di Indonesia: Cak Nur, Gus Dur, Djohan Effendi, dan (alm) Ahmad
Wahib. Dengan dana unlimited dari The Asia Foundation, ide-ide kelompok JIL
mampu terus menghiasi media massa. Hampir seluruh media publik memberi akses
tak terbatas kepada kelompok ini guna memasarkan ide-idenya. Sayang,
gagasan-gagasan yang dijual, menurut saya, tidak lagi segar karena komoditasnya
"barang lama yang dikemas ulang".
MUNCULNYA
pertanyaan pertama lebih karena kesalahpahaman mereka atas pengertian agama.
Setiap bertemu Ulil di forum diskusi (tiga kali) ia selalu mengatakan, agama
adalah masalah pribadi (privat), bukan publik, sehingga negara tidak berhak
"mengatur" agama seseorang. Realitasnya Pemerintah Indonesia telah
memformalkan UU Zakat, Haji, Perbankan Syariah dan sebagainya. How do you mind?
Dalam La Grande Encyclopaedia des Sciences, des Letters et des Arts misalnya,
memuat kata-kata "agama". Di situ disebutkan ada seratus definisi
agama, sembilan puluh delapan darinya dianggap tidak ilmiah.
Oleh
karena itu, yang dipegang hanya dua definisi: 1) agama adalah cara manusia
merealisir hubungannya dengan kekuatan gaib yang maha tinggi. 2) Agama mencakup
segala sesuatu yang dikenal dan segala kekuasaan yang tidak sesuai ilmu
pengetahuan.
Islam
jelas beda pendapat dengan pengertian pertama, karena mencakup segala sesuatu
yang diketahui, yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan kekuatan gaib
yang maha tinggi, juga hubungan manusia dengan manusia. Islam juga beda
pendapat dengan definisi kedua, karena Al Quran berkata, "Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang, ada
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal." (QS Ali Imran/3:190).
Maksudnya, agama dalam Al Quran adalah segala sesuatu yang sesuai dengan ilmu
pengetahuan, otak, dan pemikiran.
Orang-orang
yang mengajar pengertian agama kepada orang Islam hanyalah mereka yang punya
pengetahuan, menggunakan otak dan kaum pemikir. Karena itu, tidak aneh bila
umat Islam merasa wajib menegakkan tiap hukum positif bersumber dari syariat
Islam atas dasar Al Quran dan sunnah Rasul yang telah memberi pengertian
tentang agama
Beberapa
ulama, seperti Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, "Di mana ada
kemaslahatan dan kepentingan umum, di sanalah terdapatnya syariat." Juga
yang dikatakan Ibnu Uqail, lanjutan dari apa yang tersebut tadi, "walaupun
dalam hal itu tidak ada wahyu dari Tuhan dan juga tidak pernah dikatakan oleh
Nabi."
Demikianlah
agama Islam yang syariatnya bersesuaian dengan ilmu pengetahuan, akal, dan
pemikiran, tentu sanggup menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yang
selalu berubah. Agama Islam sanggup memberi jawaban, berdasar maslahat dan
kepentingan umum, terhadap persoalan hukum, konstitusi, perdata, pidana,
perkawinan, waris, dan sebagainya, meski dalam hal itu tidak ada teksnya
(nash-nya).
Sayang,
Ulil tidak bisa membedakan mana hudud, mana tazir, sehingga ia ingin
mengamandemen seluruh "hukum Allah" dengan mengatasnamakan
kemaslahatan manusia. Padahal, Allah lebih tahu. Itu tidak berarti Allah butuh
manusia, tetapi sebagai bukti Allah mencintai ciptaanNya. Sayang, kebanyakan
manusia tak tahu diri akan kelamahan akal mereka.
Fauzan
Al-Anshari MM, Ketua Departemen Data dan
Informasi Majelis Mujahidin
Kompas, Rabu, 04 Desember 2002