Seperti entitas kehidupan manusia lainnya, agama selalu
mengalami goncangan akibat serangan perubahan zaman. Kejutan-kejutan perubahan
yang dimunculkan oleh pergolakan zaman seringkali memaksa agama mengikuti ritme
perkembangan tersebut. Di era keemasan agama, struktur kehidupan manusia ibarat
piramida kehidupan di mana agama menjadi bagian inti (infra stuktur) yang
mempengaruhi aspek lainnya. Para sejarawan menyebut era ini dengan zaman aksial
yang dicirikan dengan mitos sebagai sumber utama pengetahuan manusia.
Pada era selanjutnya, gelombang baru memaksa agama harus
senang untuk disejajarkan dengan unsur kehidupan lainnya. Modernitas menjadi
harapan baru manusia. Logos menggantikan mitos. Bahkan tradisi baru pengetahuan
manusia tersebut dengan tragis menelanjangi kabut hitam mitos-mitos agama.
Serangan paling dahsyat adalah munculnya arus sekularisasi yang mempengaruhi
kesadaran manusia. Serentak para pengamat agama menandai era tersebut dengan
era kematian Tuhan (the death of god) atau krisis teologi (crisis of theology).
Dewasa ini, hal yang tak terpikirkan telah terjadi.
Modernitas telah runtuh menjadi tulang punggung kehidupan manusia. Di saat yang
bersamaan muncul geliat baru agama yang berusaha keluar dari pasung modernitas
dan rasionalitas. Agama berusaha bangkit dari posisi yang marginal menuju
sentral. Inilah gelombang ketiga agama.
Perubahan yang begitu cepat ini menyebabkan masyarakat
agama mengalami kejutan-kejutan budaya (culture shock) baru. Terlihat
masyarakat agama masih sangat sulit untuk berkompromi dan melakukan tawar
menawar dengan babakan baru ini. Dalam kondisi demikian tidak mengherankan
apabila muncul suatu gerakan keagamaan yang reaksioner dan apologetik yang ditandai
dengan munculnya neo-ortodoksi agama. Karena cirinya yang reaksioner gerakan
ini hanya melakukan repitisi tradisi dan menggiring warisan lampau sebagai
justifikasi masa kini.
Semula gerakan ini tidak berlebihan, namun pada
perkembangannya ia tidak hanya berusaha menghidupkan kembali panorama religius
dalam kehidupan manusia, tetapi memaksa agama menjadi sentrum optik yang
dijadikan alat membaca realitas kekinian. Hampir tidak ada satu celah yang
kemudian tidak dipahami dalam kerangka kesucian agama. Dengan kata lain, bukan
hanya mengembangkan kembali mitos tetapi juga memaksanya untuk meneropong hal
yang seharusnya menjadi tugas logos. Terjadilah pencampuradukan epistimologi
mitos-logos yang berakibat pada satu drama baru realitas yang disucikan, politik
yang disucikan, budaya yang disucikan, bahkan kepentingan yang disucikan.
Pencampuradukan mitos-logos pada akhirnya akan menjadi
musibah baru bagi kehidupan manusia. Karen Armstrong memberikan satu contoh
bahwa perang salib yang dikomandoi oleh Paus Urbanus II pada tahun 1905 pada
dasarnya merupakan alam logos. Akan tetapi ekspedisi militer tersebut menjadi
semakin tangguh ketika ditarik dalam kerangka mitologi rakyat, kisah
alkitabiah, fantasi religius yang selanjutnya tercatat sebagai tragedi kemanusiaan
besar sepanjang sejarah.
Pada hakikatnya mitos bukan hal yang jelek, karena
dengannnya kehidupan manusia mempunyai konteks makna yang berharga. Akan tetapi
mitos menjadi potensi destruktif bila didudukkan sebagai kekuatan dan kemapanan
hirarki sosial. Penyelewengan mitos sebagai kekuatan status quo ini akan
membentuk rancangan ideologi kemapanan yang tangguh. Inilah yang oleh Arkoun
disebut sebagai proses pemistikan, yakni penggunaan mitos yang bertentangan
dengan fungsi dan maknanya. Inilah corak utama gaya berteologi (theologizing)
masyarakat agama saat ini; bangkitnya neo-otodoksi bercanggah di atas kerangka
paradigma di atas. Pencampuradukan mitos-logos dan menjadikan mitos sebagai
penyangga ideologi. Dan tidak mustahil bahwa tragedi-tragedi kemanusiaan akan
terus berlangsung. Oleh karenanya adalah tugas berat bagi umat beragama untuk
mencari paradigma baru yang compatible dalam memaknai kondisi agama saat ini.
Untuk keluar dari kekakuan keberagamaan ini ada beberapa
hal yang patut diperhatikan. Pertama, menjalin relasi harmonis-kompromistik
antara mitos-logos. Sejatinya, keduanya merupakan alat bedah kehidupan yang
tidak bisa dipisahkan. Meskipun demikian ada karekteristik dan peran
masing-masing yang tidak bisa dicampuradukkan. Mitos berperan sebagai pendorong
imajinasi manusia yang menyebabkan kehidupan manusia bermakna. Sementara Logos
menjadi panduan praktis dan ilmiah.
Keduanya memiliki keterbatasan yang berpeluang
menimbulkan hubungan yang komplemeter. Dalam bahasa yang berbeda Arkoun menyebutnya
sebagai angan-angan (L'imaginaire). Menurutnya di situlah kegagalan modenitas
terjadi. Barat menganggap mitos sebagai khayalan dan mengesampingkan
kreativitas angan-angan ini. Oleh karenanya Barat telah mengalami kegersangan
dan ketandusan kehidupan yang berkepanjangan. Namun, dewasa ini sudah mulai ada
geliat baru yang arif untuk mendialogkan mitos dengan logos. Hal itu bisa
dilihat dengan makin tumbuhnya minat dalam mengkaji hubungan agama dan ilmu
pengetahuan semisal Ian Barbour, Issue In Science And Religion.
Kedua, melakukan pembongkaran terhadap gaya berteologi
yang dicirikan dengan paradigma kebenaran. Paradigma kebenaran sebenarnya
merupakan landasan utama munculnya tragedi keagamaan. Karena tidak sedikit
darah manusia dialirkan hanya karena hendak mengibarkan dan mempertahankan
kebenaran agama.
Meminjam analisa Foucault, bahwa kebenaran tidak lebih
sebagai proses relasi antar kuasa-pengetahuan, jalinan idea dan kekuasaan ini
telah menimbulkan ideologi kebenaran. Tak terkecuali dalam agama. Dengan
demikian hal yang dianggap benar dalam agama tidak lebih hanya ekspresi klaim
kekuasaan dan pengetahuan yang berkelindan. Dan inilah menjadi satu naluri
keberagamaan yang sulit untuk dibongkar.
Umat beragama masih kurang berani untuk melakukan
pembongkaran tersebut. Sehingga dengan malu-malu mengambil jalan kompromi
dengan gerakan yang mengakui kebenaran agama orang lain. Cara seperti ini pada
kenyataannya tidak lebih menjadi tindakan toleransi yang hiprokit, karena
berusaha menahan birahi klaim kebenaran agamanya dengan membiarkan kebenaran
orang lain berkeliaran. Dan pada saatnya emosi ini akan meluap menjadi satu
tragedi baru.
Untuk itulah umat beragama harus berani beranjak dari
paradigma kebenaran teologi ini menuju satu paradigma baru, yakni kebajikan.
Paradigma ini hendak menggiring umat beragama untuk kembali pada muara
kebajikan, cinta kasih, dan perdamaian. Dan keluar dari jejaring
kesibukan-kesibukan untuk menunjukkan kebenaran agamanya.
Di sini saya tertarik untuk mengutip gagasan John D.
Caputo yang telah berusaha memaknai agama dan kereligiusan secara baru. Baginya
inti agama adalah cinta kasih, sehingga seorang religius adalah orang yang
memiliki cinta kasih. Dengan pengertian ini kategori religius tidak cukup
dilihat dari ketaatan ritualistik atapun dengan pemahaman yang sektarian yang
membagi komunitas Yahudi, Islam, Kristen, Hindu dan sebagainya. Kategori
religius hanya relevan dilawankan dengan egois, individualis, serakah, dan
tidak memiliki cinta kasih. Maka, bisa jadi seorang ateis yang memiliki nilai
cinta antar sesamanya lebih religius dari umat beragama.
Alhasil, kebajikan merupakan hal inti yang niscaya ada
dalam setiap agama. Dengan mengembangkan kebajikan dalam agama berarti pula
mengembangkan kebenaran agama. Dan bahwa manusia beragama bukan orang yang
dengan getol bersemangat menunjukkan kebenaran agama, namun manusia yang tekun
mengamalkan kebajikan agama.
Oleh Abd. Malik Utsman
20/12/2004
Abd. Malik Utsman, aktivis Community for Religion ang
Social Engineering (CRSe) Yogyakarta