Mengapa
gelombang demokratisasi relatif absen di dunia Islam? Sebagaimana terekam dalam
laporan Freedom House, 2002, dunia Islam secara umum gagal membangun rezim
demokratis.
Hanya
negara Mali di Afrika yang relatif berhasil membangun rezim demokratis.
Padahal, kecenderungan menguatnya rezim demokratis pascaperang dingin terjadi
di berbagai belahan dunia; Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa Timur.
Dalam
studinya yang sangat berpengaruh, The Third Wave: Democratization in the Late
Twentieth Century (1991), Samuel P Huntington mendokumentasikan bahwa di antara
30 negara yang bertransisi menuju demokrasi antara tahun 1974 dan 1990, sekitar
tiga perempat justru didominasi oleh Katolik.
Maka,
apa yang sesungguhnya terjadi dengan gelombang ketiga demokratisasi, kata
Huntington, adalah gelombang Katolik. Mulai dari Portugal dan Spanyol,
gelombang Katolik melanda Amerika Latin, Filipina, dan Polandia. Pemimpin
gereja dan anggotanya berjuang bersama melawan rezim otoritarianisme, sambil
berkonsolidasi diri menuju tatanan yang demokratis.
Di
Brasil, misalnya, dengan populasi Katolik 115 juta, pendeta dan uskup menjadi
barisan terkuat melawan otoritarianisme; tidak saja adanya pengaruh kuat Gereja
Vatikan II, tetapi juga doktrin teologi pembebasan yang mengubah haluan gereja
dari oligarki elite menjadi berbasis pada komunitas dengan preferensi utama
pada keadilan sosial untuk kaum lemah dan miskin.
Lagi-lagi,
mengapa gelombang ketiga demokratisasi ini justru relatif absen di dunia Islam?
Ilmuwan terkenal seperti Huntington dan Bernard Lewis menunjuk bahwa Islam,
baik dari segi doktrin maupun pengalaman historis, tidaklah mendukung gelombang
demokratisasi.
Kata
Huntington, ini juga bukan faktor fundamentalisme Islam yang menghambat
gelombang demokratisasi di dunia Islam, tetapi lebih karena masalah Islam itu
sendiri.
"Dalam
Islam," lanjutnya, "Tuhan adalah Kaisar; dalam Konfusianisme, Kaisar
adalah Tuhan; dan dalam ortodoksi, Tuhan adalah partner yunior Kaisar"
(Huntington, 1991:70).
Sementara
Islam-nya sendiri, kata Huntington, bermasalah dan berlawanan dengan
karakteristik demokrasi; juga kultur dan perilaku umat Islam cenderung tak
ramah dengan ide dan praktik demokrasi liberal di Barat.
Dalam
konteks inilah, Huntington memberikan kredit besar kepada tradisi Kristen di
Barat yang sudah mapan dalam pemisahan gereja dan negara sehingga turut
menopang demokrasi yang stabil.
Menurut
pengamatan sosiolog Perancis, Alexis de Tocqueville (1969), Kristen berperan
penting dalam menumbuhkan kultur politik yang demokratis di Amerika awal abad
XIX.
Inilah
kelemahan mendasar tesis Huntington. Padahal, setiap pergerakan sejarah,
termasuk sejarah agama dan umat beragama, selalu mengalami proses kontinuitas
dan perubahan (continuity and change).
Kristen,
misalnya, memang ada masa-masa keemasan sebagai penopang utama gelombang
demokratisasi. Namun, jangan lupa, peristiwa sejarah masa lampau terekam dalam
memori kita-di mana doktrin Kristen Katolik juga tidak ramah terhadap
liberalisme, toleransi, dan demokrasi.
Inkuisisi
melawan kekerasan hak asasi manusia dilakukan atas nama doktrin Katolik. Paham
Lutherian di German utara, baik secara teologis maupun politik, menerima adanya
kontrol negara atas agama, yang itu tidak diperkenankan dalam sistem demokrasi.
Karena itu, saya berpendapat adanya pergerakan sejarah yang nonlinier, yang
mengalami kontinuitas dan juga perubahan sekaligus. Dalam konteks dunia Islam,
akan terjadi gerak sejarah yang progresif, asal umat Islam terbuka dan adaptif
terhadap modernisasi dan demokrasi. Selama umat Islam menutup diri terhadap
ide-ide progresif dan demokrasi, selama itu pula umat Islam akan berhenti dan
berjalan di tempat.
Gerak
sejarah yang progresif terjadi manakala kita memulai dengan asumsi hipotesis
baru, seperti yang diproyeksikan ilmuwan politik Alfred Stephan (2000:48) bahwa
semua peradaban agama besar adalah multivocal. Ia tidak tunggal dan monolitik,
seperti diasumsikan Huntington. Islam, misalnya, di samping ada sayap
skripturalis dan fundamentalis, juga ada sayap moderat dan liberal.
Kata
Stephan, aktivis politik, jurnalis, dan bahkan profesor, termasuk Huntington
(saya kira), kadang kala secara keliru menyamakan Islam dengan kultur Arab.
Kemudian mereka menegaskan-yang memang secara politik benar-bahwa tidak ada
demokrasi di negara-negara Islam dunia Arab, sambil meninggalkan begitu saja
kesan keliru bahwa tidak ada Muslim yang hidup dalam rezim demokratis.
Padahal,
faktanya, lanjut Stephan, ada sekitar 435 juta Muslim-atau lebih dari 600 juta
jika kita memasukkan Indonesia-hidup di negara demokrasi, demokrasi yang
mendekati sempurna (near-democracies), dan demokrasi yang tak stabil
(intermittent democracies).
Hasil
435 juta diperoleh Stephan dengan mengkumulasikan 110 juta Muslim di Banglades,
plus 120 juta Muslim di Pakistan, plus 65 juta Muslim di Turki, dan plus 120
juta Muslim di India yang telah berkontribusi secara signifikan terhadap
demokrasi India dan kultur Islam yang multivocal. Diperoleh jumlah 415 juta Muslim.
Kemudian, Stephan menambahkan minimal 20 juta Muslim, yang hidup di bawah rezim
demokratis di Eropa Barat, Amerika Utara, dan Australia sehingga total nilai
menjadi 435 juta Muslim (Stephan, 2000:49).
Inilah Islam dan Muslim yang
mendiaspora dalam demokrasi dan kultur politik global. Secara
prosedural, Indonesia sudah bertransisi dari rezim otoritarianisme menuju
demokrasi meskipun belum terkonsolidasi secara stabil. Pemilu 1999 dan 2004
menjadi prasyarat awal gelombang demokratisasi di Indonesia. Indonesia juga
bergerak untuk memenuhi sebagian dari delapan syarat institusional yang
diperlukan bagi demokrasi, seperti dituangkan Robert Dahl, ahli kawakan
demokrasi, dalam karyanya yang sudah menjadi klasik, Polyarchy (1971:1-3):
yakni (1) kebebasan untuk membentuk dan mengikuti organisasi; (2) kebebasan
berekspresi; (3) hak memberikan suara; (4) eligibilitas untuk menduduki jabatan
publik; (5) hak para pemimpin politik untuk berkompetisi secara sehat merebut
dukungan dan suara; (6) tersedianya sumber-sumber informasi alternatif; (7)
pemilu yang bebas dan adil; dan (8) institusi-institusi untuk menjadikan
kebijakan pemerintah bergantung pada suara-suara (pemilih, rakyat) dan ekspresi
pilihan (politik) lainnya.
Namun,
secara substansial, demokrasi di Indonesia lebih tepat dikategorikan sebagai
apa yang oleh para ilmuwan politik disebut sebagai "pseudo-",
"semi-", dan "quasi-democracy". Konsep ini, misalnya,
mengacu pada terjadinya pelaksanaan pemilu secara reguler, tetapi tetap saja
menyisakan politik uang dan manipulasi suara. Kebebasan sipil sudah diregulasi
melalui peraturan dan perundang-undangan, tetapi di sana-sini masih terjadi
kontrol halus atas kebebasan sipil, seperti pengusiran Sydney Jones.
Kebebasan
pers, misalnya, sudah diatur sesuai Undang-Undang Pers, tetapi tetap saja pers,
seperti Tempo, Koran Tempo, Kompas, dan Rakyat Merdeka, dalam ancaman serius
dengan modus yang lebih canggih dan mematikan makna esensial kebebasan itu
sendiri.
Undang-Undang
Pers malah tidak dipakai hakim untuk menghakimi kasus-kasus jurnalistik. Apa
yang disyaratkan profesor Ilmu Politik dan Pemerintahan di Universitas
Columbia, Alfred Stephan, bersama rekannya, Juan J Linz, sebagai
"konstitusi demokratis" belum menjadi landasan kuat yang mendasari
penegakan hukum.
Yang
sebenarnya justru menjadi bahaya serius dalam konsolidasi demokrasi di
Indonesia adalah terkonsolidasinya kekuatan otoritarian lama (Golkar, militer,
beserta gank-nya) yang anehnya malah ditopang secara kelembagaan oleh
institusi-institusi keagamaan dan civil society yang selama ini menyebut
dirinya sebagai gerakan pro-demokrasi dan reformasi. Pragmatisme dan
oportunisme politik menjadi modus politik baru atas nama menuntaskan agenda
reformasi. Jika kolaborasi kekuatan ini berhasil memenangi pemilihan presiden
2004 ini, maka sebenarnya kita sedang memutar balik arah semidemokrasi di dunia
Islam bernama Indonesia ke arah rekonsolidasi kekuatan otoritarian yang justru
ditopang institusi-institusi keagamaan dan civil society.
Sukidi
Mulyadi Kader Muhammadiyah; Alumnus Ohio
University; dan Mahasiswa Teologi di Harvard Divinity School, Harvard
University, Cambridge, Amerika Serikat
Kompas, Kamis, 15 Juli 2004