Boleh jadi, bagi sebagian orang, lagu
ungkapan bernada fideisme semacam di atas akan dikesan sarat naif. Karena
secara tersirat ungkapan yang demikian itu telah mengisyaratkan betapa nalar
argumentatif sama sekali tidak memiliki tempat pada lubuk iman insan beragama.
Akan tetapi, bisa saja orang semacam St. Anslem akan mengelak balik, “jika
mentari iman telah dijelang, maka untuk apa lagi lentera akal dinyalakan?” .
Ya...bagi seorang mukmin, mungkin saja prihal semacam itu tidak akan memantik
banyak masalah, mengingat daya iman mereka telah menyatu dengan hasrat cinta
religinya. Namun begitu, fitrah rasional manusia tidak akan mudah bertekuk
lutut begitu saja dihadapan wahyu.
Terlebih ketika kita dihadapkan oleh dua pilihan agama yang saling berseberangan di mana masing-masing mendaku berasal dari pancaran wahyu ilahi. Apakah pada kondisi yang demikian itu iman tanpa akal akan mampu memilih salah satunya? andaikan sekedar berpegang pada nasib layaknya taruhan judi, maka bijakkah tindakan yang demikian itu? kalaupun kedua-duanya yang kita pilih? Apakah mungkin hitam sekaligus putih dalam saat yang bersamaan? Dus, tanpa akal, bagaimana mungkin kita bisa buktikan bahwa wahyu yang kita imani itu sejatinya dari Tuhan?
Terlebih ketika kita dihadapkan oleh dua pilihan agama yang saling berseberangan di mana masing-masing mendaku berasal dari pancaran wahyu ilahi. Apakah pada kondisi yang demikian itu iman tanpa akal akan mampu memilih salah satunya? andaikan sekedar berpegang pada nasib layaknya taruhan judi, maka bijakkah tindakan yang demikian itu? kalaupun kedua-duanya yang kita pilih? Apakah mungkin hitam sekaligus putih dalam saat yang bersamaan? Dus, tanpa akal, bagaimana mungkin kita bisa buktikan bahwa wahyu yang kita imani itu sejatinya dari Tuhan?
***
“Tuhan tidak mati, baru tadi pagi aku
bicara denganNya!”
- Filosof : Mengapa Tuhan hanya memilih para
nabi dari sekelompok manusia saja dan mengistimewakannya dari yang lain?
bagaimana mungkin perkara ini bisa sesuai dengan hikmat ilahi?
- Abu Hatam : Memang apa pendapatmu tentang
hikmat ilahi?
- Filosof : seyogyanya Tuhan memberikan
pengetahuan secara sama kepada suluruh manusia
- Abu Hatam : Jika engkau percaya akan hikmat
dan rahmat ilahi, akankah engkau percaya juga bahwa pengetahuan dan kemampuan
setiap manusia adalah sama?
- Filosof : Ya!
- Abu Hatam : Lantas bagaimana Kau dapat
menjelaskan tentang pemimpin dengan pengikutnya? Tentang guru dan muridnya?
Bukankah Kau sendiri menganggap dirimulah yang paling jago di ranah filsafat
ketimbang yang lain?
- Filosof : Semua manusia memiliki akal dan
kemampuan yang sama. Hanya saja bedanya, jika seluruh upayaku aku baktikan dalam
filsafat. Sementara yang lain, pada urusan duniawinya masing-masing
- Abu Hatam : Adanya perbedaan tingkat
pemahaman dan pemikiran manusia adalah hal yang tak dapat dipungkiri. Karenanya
jika Tuhan hanya mengangkat segolong manusia saja sebagai nabi dan menganugerahkan
wahyu pada mereka, perkara itu tidaklah bertentangan dengan hikmahNya..
Cuplikan dialog antara Abu Hatam Razi, tokoh
filosof muslim abad pertengahan (wafat: 322 H) dengan salah seorang filosof
naturalis pada zamannya di atas adalah contoh fragmen sejarah yang
mengisyaratkan betapa dialektika akal vis-à-vis wahyu telah begitu
menggejala secara intim dalam tradisi keimanan. Satu pihak puas begitu saja
dengan daya akalnya, sementara yang lain menyanjung kekuatan iman seraya
berlari ke pelukan wahyu dan matan-matan kenabian.
Terlepas dari justifikasi kita tentang dua
tokoh di atas. Cerita tentang hubungan akal dan wahyu ternyata memang bukanlah
kisah romatis yang penuh dengan keharmonisan. Tapi sebuah kisah yang sarat
dengan konflik dan ketegangan. Sepanjang sejarah pemikiran religi, antara akal
dan wahyu selalu saja terjadi pergumulan hebat yang berpungkas pada dua kutub
ekstrim. Antara fideisme (iman-sentris) di satu sisi dan
evidensialisme (rasio-sentris) di sisi lain. Padahal, andai kita mau jujur,
sejatinya percanggahan yang terjadi bukanlah antara akal dan wahyu, melainkan
antara mereka yang sok rasionalis, dengan puak-puak agamawan yang mendakunya
para pembela wahyu.
Meski demikian, telah menjadi perkara yang
swabukti tentunya bahwa akal dan wahyu merupakan kebutuhan eksistensial manusia
yang tak mungkin bisa dihapus begitu saja dari dataran hayatnya. Bahkan boleh
dikata, keberadaan akal dan wahyu itulah yang bisa menegaskan nilai insaniah
manusia. Sehingga jika kita sudi merujuk ulang pada riwayat peradaban, amat
lugas dibidaskan bahwa memilih salah satunya sembari menafikan yang lain malah
menyisakan tragedi pilu yang tak mungkin bisa dilipur begitu saja.
Karenanya sekedar merangkul akal sambil
menceraikan wahyu hanya akan membuat manusia semakin angker dan tak dapat
dijinakkan. Pelbagai krisis eksistensial semacam hilangnya identitas,
keterasingan diri, dan hampanya makna adalah sekian patologi peradaban modern
yang lahir dari rahim haram rasionalitas ekstrim. Tak aneh jika sebagian
menobatkan era modern sebagai the age of anxiety, zaman gundah kelana
yang tak pernah jelas juntrungannya. Atau seperti Arthur Costler yang
mencitrakan manusia abad 21 sebagai sosok mahluk psikotik politis yang tak
pernah bisa menemukan makna dari segenap pertanyaan tentang rahasia hidup yang
ia ajukan. Sebaliknya, mencerabut akal dari dataran wahyu justru semakin
membekukan kebutaan nalar manusia hingga menguburnya hidup-hidup dalam kubangan
khurafat, fanatisme dan kejumudan.
Tentang Akal dan Wahyu
Sebuah pranggap yang tak dapat diabaikan
kiranya bahwa akal dan wahyu merupakan dua jejaring epistemik paling asas yang
tak bisa dinafikan begitu saja peranannya. Fungsi akal sebagai kekuatan
bernalar ( akal teoritis) dan bertindak ( akal praktis) merupakan
dua peran mendasar akal dalam mencerap dan meneguhkan “ada” dan “tiadanya”
sebuah realitas; Dan juga memutuskan “harus” atau “tidaknya” suatu tindakan
moral. Sehingga ketika kandungan wahyu itu terjelmakan ke dalam proposisi
religi, adalah tugas akal untuk menerapkan fungsi diskursifnya guna memahami,
menjabarkan dan menyusun beragam proposisi religi tersebut menjadi sebuah
sistem doktrinal yang sebangun.
Meski begitu, pada skalanya yang paling luas,
keberadaan akal sebagai fakultas kognitif ternyata memiliki pelbagai riwayat
dan pembacaan yang amat beragam. Mulai dari pengertian klasik ala Aristotelian
yang mencirikan akal sebagai nalar deduktif, hingga akal instrumental para
penggagas metanarasi modernisme. Terlebih lagi ketika kita mencoba
membedah akal secara filosofis, tentu harus ada upaya pembedaan gradual, antara
akal ideal yang termaksud secara sejati dengan akal real yang ternyatakan pada
ranah faktual.
Pada peringkatnya yang ideal, akal memiliki
posisi yang sejati dan mutlak. Artinya, setiap proposisi yang diperoleh oleh
akal tak lain adalah kebenaran itu sendiri, sehingga menafikan segenap
kemungkinan akan terjadinya kesilapan. Sebaliknya, ketika akal turun pada
wilayah faktual, keberadaan akal akan turut pula melebur dalam realitas
sejarah. Itu berarti, akal pada peringkat kali ini bukanlah akal ma’sum
(suci) yang bisa lepas dari kesalahan. Namun begitu, pada proyeksinya yang
terlebar jangkauan akal tetap meliputi seluruh pengetahuan manusia yang didapat
dari sumber-sumber non wahyu. Mulai dari yang diperoleh secara murni melalui
penalaran filosofis hingga pengetahuan yang bersifat intuitif yang didapat
melalui pengalaman mistik.
Untuk mereduksi jarak antara akal ideal
dengan akal real tersebut, para filosof berupaya menjembataninya dengan silogisme
burhan (demonstration). Silogisme ini berfungsi untuk mendapatkan sebuah
pengetahuan yang meyakinkan secara rasional melewati proses deduktif dengan
bermodalkan premis-premis swabukti ( badihiyyat). Dengan kata lain,
andaikan akal kita mampu menerapkan kaidah burhan tersebut secara benar. Bisa
dipastikan bahwa apa yang tersimpul adalah pengetahuan sahih yang tak mungkin
bertentangan dengan substansi wahyu yang sejati.
Demikian halnya ketika kita berbicara tentang
wahyu, tentu ada banyak qiraat yang bisa diajukan. Adakah kita anggap
bahwa fenomena wahyu itu tak ubahnya seperti pengalaman religius yang lain.
Ataukah kita yakini sebagai hubungan unik antara nabi dengan Tuhannya yang
menitiskan seperangkat pengetahuan ilahi, baik dalam bentuk verbal maupun
non-verbal? Alhasil, dalam pemaknaannya yang paling umum, wahyu bisa kita
pengertikan sebagai sehimpun pengetahuan profetik seorang rasul yang diperoleh
dari Tuhannya. Keberadaan wahyu ini menjadi begitu penting dalam tradisi
agama-agama ilahi. Wahyu merupakan aksis utama konstruk teologis agama-agama
tersebut. Bahkan bisa dikata, samawi atau tidaknya sebuah agama, amat
ditentukan oleh keberadaan wahyu ini. Sebab, wahyu merupakan faktor diferensia
yang bisa mencegah masuknya agama-agama lain ke dalam lingkaran agama ilahi.
Ditinjau dari segi kandungannya, setidaknya
wahyu memiliki dua substansi pokok. Yang pertama menyangkut pelbagai
pengetahuan tentang realitas, baik realitas sejarah maupun realitas
transendental, sedang kandungan lainnya meliputi beragam aturan moral dan
keagamaan. Biasanya, kandungan wahyu tersebut dijelmakan ke dalam teks-teks
suci. Penjelmaan wahyu ke dalam ruang tekstual ini, tentu saja akan melibatkan
beragam piranti kultular dan campur tangan sejarah. Sehingga, tanpa adanya
jaminan Ilahi, mustahil sebuah wahyu akan bisa mempertahankan otensitas samawi
-nya. Karena itu, ketika terdapat proposisi religi yang dianggap sebagai
penubuhan wahyu itu kita timbang dengan teraju nalar, maka secara logis ada
tiga kemungkinan justifikasi yang bisa diajukan; apakah sejalan dengan akal
(rasional)? ataukah bertentangan denganya (irrasional)? Ataukah juga akal
justru tak mampu memahami substansi wahyu itu ( metarasional)?.
Namun demikian, pada levelnya yang purna,
antara akal dengan wahyu tidak mungkin akan terjadi pertentangan antara
keduanya. Karena masing-masing berasal dari sumber ilahi yang sama. Terlebih
jika kita sudi untuk menengok pustaka teologi Syi’ah, secara tegas kedua-duanya
telah diakui sebagai hujjat Tuhan bagi manusia; jika wahyu kenabian merupakan
hujjat dzahir, maka akal adalah hujjat batin. Ini berarti
kemungkinan yang kedua di atas bisa kita tepis. Tapi, kalaupun pada suatu kasus
telah dirasa terjadi gesekan antara wahyu dengan akal, maka patutlah kita
curigai kebenaran akal dan keaslian wahyu tadi. kalaulah wahyu telah terbukti
keasliannya, giliran akal yang patut kita pertanyakan. Andaipun kebenaran akal
tadi tak dapat dipatahkan juga, mungkin saja interpretasi kita terhadap wahyu
yang bermasalah. Yang jelas, mengingat bahwa wahyu memuat pula pelbagai
proposisi religi. Tak pelak, akal pun akan menempati posisi sentral dalam agama
sebagai fakultas nalar yang berperan untuk mencerap dan meneguhkan proposisi
religi tersebut pada lubuk terdalam iman.
Dengan posisi akal yang demikian itu, sudah
barang tentu kita tak perlu meragukan lagi apakah akal memiliki kursi atau
tidak dalam ruang agama. Tapi yang perlu dipertanyakan adalah sejauhmana ruang
gerak akal itu dalam agama. Karenanya, dengan bersandar pada peran ganda akal
yang bergerak dalam dua lingkaran yang berbeda; lingkaran agama dengan
lingkaran non-agama. Secara tidak langsung, kita akan bisa pilahkan antara akal
religi dengan akal falsafi. Yang pertama lebih cendrung internal. Artinya, ia
hanya berkutat pada wilayah teks-teks suci. Sementara yang terakhir, lebih ke
arah eksternal, yakni; bisa lepas dari ikatan-ikatan teologis.
Kendati demikian, permasalahan kita yang
pokok sebenarnya tidak berhenti di sini, tapi pada beberapa noktah majhul
lain yang mempersoalkan bahwa apakah peran akal hanya berkutat pada dataran
pedagogi dan pemahaman doktrin-doktrin agama? Ataukah pada tingkat penegasan
dan pembuktian akal memiliki peranan juga? Lantas apatah memang benar bahwa
antara akal dengan wahyu selalu terjadi pertentangan? Ataukah keduanya malah
semacam dua sayap yang saling melengkapi? Andaikan antara akal dan wahyu saling
bertentangan, manakah yang harus kita pilih? Kalaulah wahyu yang kita pilih,
haruskah keimanan kita itu hanya sekedar menyerah begitu saja pada wahyu? Jika
tidak, mestikah kita menyandarkan keimanan diri pada argumentasi rasional?
Bilapun mesti, hingga pada batas mana iman itu harus kita rasionalisasikan?
Simpul kata, sejatinya bagaimana sih hubungan antara akal dengan wahyu
itu?
Secara umum, para teolog menawarkan tiga
alternatif jawaban yang berbeda tentang soalan di atas; (1) Fideisme, (2) Ultra
Rasionalisme ( Strong Rationalism), (3) dan Rasionalisme kritikal. Jika
saja Anda meyakini bahwa keimanan kita pada wahyu merupakan keyakinan terdasar
yang tak lagi memerlukan argumentasi rasional, itu berarti Anda telah mendukung
fideisme. Tapi jika saya beranggapan bahwa keimanan kita itu harus bisa
dibuktikan secara akli dan diakui secara mutlak, maka Anda bisa menyebut saya
sebagai seorang Ultra Rasionalis. Selebihnya, andaikan kita bersama telah
sepakat bahwa meskipun keyakinan religi itu tidak mungkin bisa dibuktikan
secara pasti oleh akal, namun di saat yang sama kita percaya akal mampu
mengkritisi dan menguji-kaji keimanan kita. Boleh dikata, pandangan kita telah
segaris dengan ide para penggagas Rasionalisme Kritikal. Kalaulah demikian,
lantas perspektif manakah yang harus kita pilih?
Antara Akal dan Wahyu
Terkadang keunikan substansi wahyu dengan
bahasanya yang khas, sering kali malah membuncahkan akal sehat kita. Alih-alih menjadi
bahan pedoman hidup, naga-naganya justru “menyesatkan”! Tapi yang jelas,
pernyataan ironis ini bukan dihendakkan untuk mencerca wahyu. Namun sekedar
mengingatkan kita, betapa persoalan wahyu itu tidak sesederhana bentuk alif-ba
literalnya yang biasa tertuang dalam teks-teks suci. Pelbagai persoalan pelik
semacam otensitas wahyu, interpretasi wahyu, bahasa wahyu, dan beragam soalan
lainnya. Merupakan sekian item kajian yang banyak berpengaruh terhadap
pandangan kita atas masalah wahyu itu.
Walhasil, keberadaan matan-matan kudus selaku
jelmaan wahyu terkadang memang bukan sebarang bacaan yang mudah dicerap oleh
akal. Karenanya jangan aneh, jika seorang teolog kristen abad pertengahan
semacam St. Anselm pun sempat berujar, “tidak terbersit olehku untuk
berfikir, pertama aku harus paham lantas kemudian beriman. Tapi aku beriman
hingga kupaham!” . Mirip halnya seperti ungkapan di atas, Malik bin Anas
pun sempat juga berkomentar semacam itu. Suatu ketika Malik ditanya tentang
maksud ayat al-Qur’an yang berbunyi, “ (yaitu) Tuhan yang maha pemurah, yang
bersemayam di atas Arsy” (Thaha:5). Dia pun menjawab, “arti bersemayam
sudahlah jelas, soal bagaimananya, itu adalah perkara yang tak diketahui; namun
begitu, mengimaninya adalah wajib, sedang bertanya tentang hal itu adalah
bid’ah!”.
Boleh jadi, bagi sebagian orang, lagu
ungkapan bernada fideisme semacam di atas akan dikesan sarat naif. Karena
secara tersirat ungkapan yang demikian itu telah mengisyaratkan betapa nalar
argumentatif sama sekali tidak memiliki tempat pada lubuk iman insan beragama.
Akan tetapi, bisa saja orang semacam St. Anslem akan mengelak balik, “jika
mentari iman telah dijelang, maka untuk apa lagi lentera akal dinyalakan?” .
Ya...bagi seorang mukmin, mungkin saja prihal semacam itu tidak akan memantik
banyak masalah, mengingat daya iman mereka telah menyatu dengan hasrat cinta
religinya. Namun begitu, fitrah rasional manusia tidak akan mudah bertekuk
lutut begitu saja dihadapan wahyu. Terlebih ketika kita dihadapkan oleh dua
pilihan agama yang saling berseberangan di mana masing-masing mendaku berasal
dari pancaran wahyu ilahi. Apakah pada kondisi yang demikian itu iman tanpa
akal akan mampu memilih salah satunya? andaikan sekedar berpegang pada nasib
layaknya taruhan judi, maka bijakkah tindakan yang demikian itu? kalaupun
kedua-duanya yang kita pilih? Apakah mungkin hitam sekaligus putih dalam saat
yang bersamaan? Dus, tanpa akal, bagaimana mungkin kita bisa buktikan bahwa
wahyu yang kita imani itu sejatinya dari Tuhan?
Rapuhnya konstruk pemikiran fideisme ini,
naga-naganya turut memicu hadirnya gagasan Ultra Rasionalisme. Ibarat
kata, apakah pantas kita memilih sebuah kapal laut untuk sampai pada suatu
pulau, tanpa tahu apakah kapal tersebut layak-naik atau tidak? Mungkinkah Anda
pasrah begitu saja? Bagi seorang Ultra-rasionalis, bisa jadi Anda akan dicibir,
jika memang Anda memilih kapal tersebut secara asal-asalan. Begitu halnya
dengan sang Nahkoda kapal. Tanpa bisa meyakinkan para calon penumpangnya dengan
sekian dalil, boleh jadi kapal akan terpaksa berlayar tanpa penumpang. Singkat
kata, dalam pandangan Ultra Rasionalisme, “suatu proposisi religi hanya
dapat diterima secara rasional, ketika telah terbukti kebenarannya bagi segenap
insan berakal pada setiap ruang dan waktu”. Namun demikian, pandangan
inipun tidaklah kosong dari sanggahan. Sebab, apa yang didakwahkan oleh
Ultra-rasionalisme itu memerlukan pula pembuktian akli yang bisa diterima
secara mutlak. Lantas apakah kita harus menunggu hingga sejarah berakhir,
ketika seluruh manusia telah sepakat untuk menerima kriteria semacam itu? Lebih
dari itu, pada tataran praksis, tolak ukur seperti di atas, amat susah
diterapkan, karena tidak semua manusia berbakat menjadi filosof. Lalu apakah
mungkin setiap mukmin kita tuntut untuk mampu membuktikan iman religinya secara
argumentatif?
Ketika kita melihat bahwa baik fideisme
maupun Ultra Rasionalisme sama-sama memiliki kepincangan filosofis yang akut.
Sebagian teolog, mencoba memperbaiki kelemahan kedua pandangan tersebut dengan
menawarkan Rasionalisme Kritikal sebagai solusi lain. Menurutnya, kendati akal
tidak mampu membuktikan kebenaran proposisi religi secara pasti. Namun akal
tetap mampu menguji dan mengkritisinya secara rasional. Betapapun pandangan ini
secara fungsional lebih layak dari dua pandangan sebelumnya. Akan tetapi,
ketidakpedulian para penggagas Rasionalisme Kritikal atas problem epistemologis
yang melilit pandangan ini, telah menyeret dan menjebak mereka dalam ceruk
relativisme. Karena entah sadar atau tidak, pada kenyatanya mereka telah
menafikan keniscayaan justifikasi akal. Itu berarti, ketika tidak ada satupun
doktrin iman yang bisa dipastikan kebenarannya. Mau tidak mau, konsekuensi yang
dibebankan akan memaksa mereka “bunuh diri” sambil berpegang pada pandangan
ini. Mengingat, mereka pun tak kuasa membuktikan kebenaran cara pandang
teologisnya itu terhadap doktrin religi yang mereka yakini.
Jika demikian, adakah alternatif keempat yang
lebih sahih, selain dari tiga pandangan di atas?[]............ bersambung
*Luqman Vichaksana
Mahasiswa S1 Jurusan Filsafat Islam dan
Irfan Universitas Imam Khomeini. Qom, Republik Islam Iran
sumber:http://islamalternatif.com/id/article.php?story=20051005221507564
Wednesday, October 05 2005