Laporan Malam Anugerah Ahmad
Wahib Award 2005
06/07/2005
“Keimanan
yang nyata membawa kita pada perenungan yang lebih dalam, bukan kepastian yang
gampang.” Itulah sambutan Retna Hanani, pemenang Ahmad Wahib Award 2005.
Kata-kata itu ia kutip dari pernyataan Goenawan Mohamad, wartawan senior yang
sampai sekarang masih aktif menulis Catatan Pinggir di Majalah Tempo.
Anugerah Ahmad Wahib Award 2005
diberikan kepada Retna Hanani, Mahasiswi FISIP Universitas Indonesia (UI) dan
aktivis Wahana Pembebasan. Menurut pengakuan panitia, Muhamad Akib, untuk
mencari pemenang sayembara ini dewan juri telah melakukan beberapa kali
penyaringan, baik penyaringan administrasi maupun isi, gaya penulisan, dan
wawancara. Naskah Hanani merupakan satu dari 199 naskah yang masuk yang berasal
dari seluruh mahasiswa S1 se-Indonesia.
Hanani menang karena memiliki
pengalaman keagamaan yang sangat unik dan dinamis. Dalam esainya yang berjudul
“BerIslam Dari Konteks” ia menuliskan proses pergulatan dirinya. Berangkat dari
sebuah keluarga yang ia istilahkan sebagai ‘abangan’, ia memulai pergulatan
keimanan. Memilih kuliah di UI pun dilandasi oleh ghirah keimanan yang total.
Dari awal, dia sudah memutuskan untuk aktif di Lembaga Dakwah Kampus (LDK).
Tapi ia kecewa dengan sepak terjang dan keputusan-keputusan lembaga keislaman
yang merupakan embrio Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini. Akhirnya dia memilih
untuk belajar dan beraktivitas di Wahana Pembebasan, komunitas yang membela
kaum buruh dan kaum marjinal.
Perjalanan spiritual dalam
menemukan makna agama bukan hanya dijalani Hanani melalui pembacaan teks suci
dan pengkajian ilmiah saja, tapi juga melalui pergumulan dengan kehidupan nyata
kaum buruh dan masyarakat kelas bawah lainnya. Hingga akhirnya ia temukan makna
beragama yang ia sebut ‘Berislam Dari Konteks’. Inilah definisi Hanani tentang
Islam, “orang tetap bisa merasa menjadi bagian dari Islam bukan hanya karena
identitas formalnya, tetapi menjadi bagian dari rasa Islam tentang Tuhan,
tentang alam, tentang sesama manusia dan tentang dirinya sendiri”, tulis Hana
dalam esai yang mendapat hadiah 30 juta rupiah ini.
Selain Hanani yang keluar sebagai
pemenang, terdapat empat finalis lainnya. Mereka adalah tiga orang dari UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu Ilham Mundzir dengan esai “Napak Tilas
Pemikiran Islam: Merajut Suatu Tanggung Jawab Sosial Islam” ; Nurun Nisa dengan
esai “Mencari Islam Yang Ramah Perempuan”; Moh. Syafe’i dengan esai “Fenomena
Fundamentalisme Di Kalangan Mahasiswa: Belajar Memahami Bukan Menghakimi” ; dan
Ihsan dari IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan esai “Upaya Menemukan Jati Diri
Keislaman: Sebuah Refleksi Pribadi”. Keempat orang ini termasuk lima besar yang
mengikuti wawancara tim dewan juri Ahmad Wahib Award 2005 yang diadakan di kantor
Freedom Institute, Jalan Irian No. 8 Menteng Jakarta.
Menurut pengakuan Lies Marcoes
dalam sambutannya mewakili dewan juri, untuk menentukan pemenang anugerah Ahmad
Wahib Award ini sangat sulit sekali. Perdebatan yang cukup alot dari dewan
juri, diakui oleh Lies, mewarnai persidangan mereka. Karena kelima juri yang
ditunjuk, yakni Lies Marcoes, Lily Munir, Hamid Basyaib, Budi Munawar Rahman,
dan Dawam Raharjo, memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Sehingga bagi
Hamid Basyaib yang mempunyai latar belakang jurnalis, tidak mudah untuk memilih
naskah yang layak untuk menjadi pemenang hadiah tiga puluh juta rupiah ini.
Malam spektakuler penganugerahan
Ahmad Wahib Award (27/6) lalu menghadirkan orasi tunggal Jalaluddin Rakhmat
dengan tema “Pergulatan Pemikiran Islam Kontemporer, Sebuah Refleksi Pribadi”.
Dalam orasinya selama lebih kurang satu jam itu, kang Jalal banyak menyoroti
perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Menurutnya secara umum ada dua model
ke-Islaman di Indonesia. Pertama, ber-Islam dari realitas dan kedua, adalah
ber-Islam untuk realitas. Model pertama biasanya lebih berpikiran rasional dan
terbuka. Sementara model kedua lebih berupaya untuk memperjuangkan syariah
sebagai sebuah otoritas publik.
Perjuangan ini sering melewati
politisi syariah itu sendiri. Sehingga tidak jarang mereka harus mendekati
kelompok yang berkuasa untuk mendukung ideologinya. “Bahkan dengan kemampuannya
memiliki otoritas firman Tuhan, mereka telah menjadi dekat dengan penguasa dari
pada dengan Tuhan sendiri,” sindir kang Jalal yang disambut oleh tepuk tangan
meriah undangan yang hadir. Karena itu dalam sejarahnya, Islam model kedua ini
sering memenangkan kontestasi keberagamaan umat. Kelompok ini menurut kang
Jalal biasanya diwakili oleh para ahli fikih.
Dalam menanggapi problem umat
yang semakin rumit, kelompok kedua ini selalu berupaya untuk mengembalikannya
pada doktrin teks-teks agama secara harfiah. Karena baginya agama telah
menjawab seluruh persoalan dalam kehidupan manusia. “Islam huwa al hall” , Islam
adalah solusi”, lanjut kang Jalal menirukan motto kelompok kedua ini. Dan
pemecahan masalah yang tidak berdasarkan pada teks agama dianggap sebagai
bid’ah.
Berbeda dengan kelompok pertama
yang mengedepankan kebebasan berpikir, agama bagi kelompok ini bukanlah sebuah
teks yang tertutup. Kesempurnaan agama bagi kelompok ini tidak dipahami sebagai
kewajiban untuk mengembalikan semua persoalan pada teks agama. Kesempurnaan
justru merupakan tantangan bagi umat Islam untuk selalu menggali nilai-nilai
universal teks tersebut agar selalu sejalan dengan kemajuan zaman. Di sinilah
dibutuhkannya keberanian untuk menjelajahi dan membongkar doktrin-doktrin agama
yang kaku. Dua model keislaman di atas menjadi basis lahirnya kelompok-kelompok
Islam di Indonesia, yang menurut kategori kang Jalal ada empat, yaitu Islam
politik, Islam liberal, Islam sufis, dan Islam mediocre.
Acara yang dilangsungkan di Wisma
Antara, Jakarta ini diprakarsai oleh Freedom Institute, Jaringan Islam Liberal
(JIL), dan Formaci (Forum Mahasiswa Ciputat). Penghargaan ini terinspirasi dari
buku Pergolakan Pemikiran Islam yang merupakan catatan harian Ahmad Wahib,
tokoh muda Islam yang meninggal dengan usia sangat muda. Rizal Mallarangeng,
Direktur Eksekutif Freedom Institute, dalam sambutannya menegaskan bahwa acara
semacam ini sengaja diselenggarakan untuk menggali minat dan bakat
tulis-menulis mahasiswa. Penghargaan yang diberikan malam itu adalah kali kedua
Ahmad Wahib Award. Kali pertama diselenggarakan di tahun 2003 dengan pemenang
saudara Muhammad Ja’far dari UIN Ciputat dengan judul esainya “Surat Buat Tuan
Wahib: Membongkar Mitos Objektivitas-Absoluditas Kebenaran Agama” . Rizal
berharap acara semacam ini bisa dilaksanakan secara rutin setahun sekali untuk
memotivasi kreatifitas menulis anak-anak muda. Selamat untuk Hana.