Presiden Amerika Serikat George W Bush membuat pernyataan mengagetkan ihwal
kebijakan-kebijakan politik luar negerinya, termasuk penyerangannya ke
Afganistan dan Irak. Bush mengklaim dirinya sedang menjalankan misi dari sabda Tuhan
untuk menginvasi Irak dan Afganistan. Kata Bush, "Saya bertindak dengan
misi dari Tuhan. Tuhan berkata kepada saya, 'George, perangi dan lawanlah
teroris di Afganistan.' Itu saya lakukan. Tuhan berkata lagi kepada saya,
'George, pergi dan hentikan tirani di Irak.' Itu juga saya lakukan. Sekarang
saya merasa sabda Tuhan datang lagi untuk membantu Palestina mendapatkan
negaranya dan memberi Israel rasa aman serta menciptakan perdamaian di Timur
Tengah. Dan demi Tuhan, saya akan melakukannya." Pernyataan tersebut
diceritakan kembali oleh politikus senior Palestina, Nabil Shaath, saat
diwawancarai jaringan stasiun radio BBC awal Oktober 2005.
Bush menyatakan hal itu ketika bertemu dengan delegasi Palestina pada saat
pertemuan tingkat tinggi Israel-Palestina yang berlangsung di Sharm el-Sheikh,
Mesir, empat bulan setelah AS menginvasi Irak pada 2003. Meskipun juru bicara
Gedung Putih, Scot McClellan, membantah pernyataan tersebut, bukti-bukti
kebenaran pernyataan Bush lebih kuat. Bahkan pernyataan tersebut akan muncul
dalam serial TV dokumenter di stasiun BBC berjudul Elusive Peace: Israel and
the Arabs.
Pernyataan Bush sebenarnya hal yang biasa terjadi dalam sejarah. Banyak
sekali penguasa yang melegitimasi tindakannya sebagai "perintah"
Tuhan. Namun, pernyataan ini mempunyai bobot masalah yang lebih serius karena
diucapkan oleh seorang presiden dalam negara yang dikenal sekuler. Bagi
penulis, pernyataan tersebut setidaknya menyiratkan dua sisi, positif dan
negatif.
Pertama, sisi positifnya, pernyataan Bush tersebut dapat dimaknai bahwa
dalam negara yang sekuler bukan berarti agama dan Tuhan tidak mempunyai peran.
Karena itu, tidak beralasan kekhawatiran sementara kalangan bahwa negara yang
tidak didasari agama dengan serta-merta telah mematikan peran agama dan Tuhan.
Dengan demikian, tidak ada sekularisme yang "murni" dengan agama dan
negara benar-benar terpisah. Meskipun negara tidak menggunakan simbol agama,
dalam prakteknya agama dan Tuhan tetap menjadi sumber inspirasi.
Kedua, sisi negatifnya, Bush telah "memanipulasi" kebijakan
politik yang sebenarnya bersifat sekuler dan duniawi seolah-olah seperti titah
Tuhan. Karena dilakukan atas sabda dan bisikan Tuhan, Bush yakin betul bahwa
serangan ke Afganistan dan Irak merupakan kebenaran (mutlak) tanpa sedikit keraguan.
Memang bisa saja Bush membawa-bawa nama Tuhan sekadar untuk meyakinkan orang
lain bahwa apa yang dia lakukan itu benar.
Di sini kita melihat sesuatu yang berbahaya. Kalau Bush menyerang
Afganistan dan Irak atas nama Tuhan, secara simplistis bisa dikatakan orang
yang melawan "kebijakan" tersebut sama artinya melawan sabda Tuhan,
meskipun perlawanan juga dilakukan atas nama Tuhan. Di sini, orang bisa
terjatuh pada peperangan yang sama-sama didasarkan atas nama Tuhan. Saya jadi
teringat, ketika AS hendak melakukan serangan ke Irak, pemimpin agama-agama
Indonesia mengadakan safari ke Roma menemui Paus Yohanes Paulus II. Lantas di
mana Tuhan yang diperebutkan itu sebenarnya?
Dalam negara yang menerapkan demokrasi saja Tuhan dibawa-bawa untuk
membenarkan tindakan "jahat" pemimpin. Kita tidak bisa membayangkan
bagaimana dengan negara teokrasi. Sejak awal, negara teokrasi memang dibentuk
dengan filosofi oleh, dari, dan untuk Tuhan. Karena itu, seseorang menjadi
kepala negara bukan karena mendapat mandat dari rakyat, melainkan karena
mendapat titah Tuhan. Dia tidak bertanggung jawab kepada rakyat, tapi kepada
Tuhan. Karena itu, kebijakan yang dikeluarkannya sama artinya dengan kebijakan
Tuhan, dan orang yang melawan kebijakan itu berarti melawan titah Tuhan.
Dalam negara demokrasi, kemungkinan membawa-bawa nama Tuhan tetap saja ada,
tapi sang pemimpin tidak bisa sepenuhnya memonopoli klaim ketuhanan, sehingga
rakyat masih punya ruang untuk melakukan klaim atas nama Tuhan juga. Hal ini
berbeda dengan negara teokrasi. Dalam negara teokrasi, Tuhan sepenuhnya dalam
"genggaman" sang penguasa, sehingga rakyat tidak memiliki ruang untuk
membuat klaim atas nama Tuhan. Tipe seperti inilah yang diungkapkan Ibnu
Khaldun yang Machiavellian: "kekuasaan adalah kebenaran". Maka
melawan kekuasaan atas nama kebenaran adalah sia-sia, karena kebenaran pada
dirinya tidak dapat melahirkan dan menciptakan kekuasaan tandingan (Abdel Wahab
el-Affendi, 1994).
Klaim atas nama Tuhan yang dikemukakan Presiden AS tentu saja dimaksudkan
untuk membenarkan semua tindakannya, dari menyerang Afganistan dan Irak sampai
membantu Palestina dan mendorong perdamaian di Timur Tengah. Ungkapan tersebut
dapat ditafsirkan bahwa atas nama Tuhan bisa untuk spirit destruksi
(peperangan), bisa juga untuk spirit perdamaian. Singkatnya, Tuhan bisa
dijadikan klaim untuk melakukan "kejahatan" dan "kebaikan"
sekaligus.
Hal demikian, menurut saya, tidak bisa dibiarkan karena peperangan atas
nama agama juga disebabkan oleh kesesatan berpikir seperti ini. Bahkan para teroris
yang, menurut kita, melakukan kejahatan juga melakukannya atas nama Tuhan.
Teroris juga sering membajak ayat-ayat suci untuk melegitimasi kejahatan yang
dilakukannya. Kalau sudah begini, apa bedanya yang dilakukan Bush dengan yang
dilakukan teroris? Toh, semua dilakukan atas nama Tuhan.
Sampai di sini, proposisi Mark Juergensmeyer (2003) menarik untuk diangkat.
Menurut dia, yang menarik di seputar terorisme agama adalah bahwa ia secara
eksklusif bersifat simbolis dan dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa
dramatis. Namun, tampilan atau pertunjukan kekerasan itu dibarengi dengan klaim
justifikasi moral dan absolutisme agama.
Juergensmeyer tidak mengada-ada. Sejarah kekerasan dan terorisme dalam
semua agama senantiasa menghadirkan nama Tuhan. Hal ini bisa dipahami karena
kekuatan ide "atas nama Tuhan" ini sangat dahsyat. Kekuatan ini bisa
melebihi semua klaim otoritas politik yang ada karena ideologi agama bisa
diangkat sampai pada tingkat supernatural (supernatural heights). Pernyataan Bush
sekaligus membenarkan kesimpulan Juergensmeyer ini bahwa ide-ide agama telah
mengambil tempat tertentu dalam kultur kekerasan yang dilahirkan terorisme.
Karena itu, meskipun kita menolak adanya kaitan agama dan terorisme, fakta
historisnya berbicara lain.
Terakhir, saya yakin, pernyataan Bush akan segera ditarik dan dilipat dalam
karpet, seperti ditariknya pernyataan dia tentang crusade (perang salib)
setelah peristiwa 11 September. Namun, pernyataan ini sekali lagi membuktikan
bahwa secara diam-diam kita masih sering "memanipulasi" Tuhan. Saya
berharap, mudah-mudahan klaim "atas nama Tuhan" Bush tidak menjadi
bagian dari tengara Diana L. Eck (2005) tentang Amerika baru yang religius.
Sebab, religiositas sangat berbahaya jika diarahkan untuk membenarkan tindakan
kekerasan.
Rumadi
Penulis adalah Peneliti The Wahid Institute, Staf
Pengajar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.