Agama Kemanusiaan

Siapa yang berkepentingan di balik kehadiran agama; Tuhankah atau manusia?.Jawaban atas pertanyaan tersebut akan sangat mempengaruhi cara pandang selanjutnya terhadap agama. Sebab asumsi permulaan kita akan hakikat agama sangat mempengaruhi tindakan dan penilaian orang lain terhadap tindakan kita. Mencari jawabannya lewat penelusuran genealogis turunnya wahyu Tuhan di tengah setting sosial komunitas Mekkah dulunya,
kita terasa sangat signifikan. Karena pertama, penelusuran ini akan membantu menemukan misi profetik kenabian secara universal. Dan kedua, seperti pengakuan Nasr Hamid dan Muhammad Syahrur, sesungguhnya terdapat dialektika yang sangat rumit antara realitas faktual dengan teks agama. Artinya, konteks dalam pandangan Nasr Hamid sangat mempengaruhi kehadiran teks. Sedangkan Syahrur mengatakan, tanpa adanya realitas faktual, teks takkan pernah ada sampai kapanpun.

Dengan kata lain, walaupun diyakini sebagai hidayah Allah yang mutlak
kebenarannya, wahyu Tuhan turun dalam sebuah periode sejarah; sebuah
kurun waktu tertentu dengan keterbatasan-keterbatasan realitas sosial
yang hidup di zaman itu. Ini artinya al-Qur’an atau wahyu Tuhan turun
dalam dimensi waktu dan lokus umat yang menyertai Nabi Muhammad sebagai
penyampai wahyu (rasul). Dan sebagai Nabi, ia seorang pemimpin yang
menjalankan misi kenabian, yaitu membangun tatanan sosial yang baru.
Tradisi Arab yang berkembang pada saat itu, yang lebih dikenal zaman
 
jahiliyah, jauh dari nilai-nilai kemanusian. Ketidakadilan sosial dengan
memosisikan perempuan di posisi marjinal, mengubur hidup-hidup bayi
perempuan, dan memelihata kesenjangan ekonomis di antara masyarakat
adalah cermin dari kultur Arab pada saat itu.

Tatanan kehidupan Arab tak lebih seperti konstruksi sosial yang
mengedepankan supremasi naturalistik, atau dalam bahasa Sir Thomas Hobbes
natural society, sebagai aturan main kehidupan, sebagaimana tercermin
dari kehidupan tribalisme. Makanya, jahiliyah dalam pandangan Muslim
Abdurrahman (2003: 110), merupakan gambaran dari orang-orang yang
menyekutukan Tuhan, yakni menyembah berhala. Dalam wujud sosialnya,
masyarakat Mekkah merupakan bangunan masyarakat yang secara sosial,
ekonomi, dan politik, hidup dalam subordinasi kekuasaan dan hegemoni
sejumlah pedagang Quraisy yang bersikap eksploitatif terhadap kelompok-
kelompok sosial rentan, seperti anak-anak yatim, kaum miskin, dan para
janda. Inilah setting sosial di mana Alqur’an atau wahyu Tuhan turun.
Artinya, agama datang untuk menjawab dan memberikan solusi atas tatanan
jahiliyahisme. Maka misi profetiknya adalah menjawab dengan penyeruan
tauhid. Yakni, membebaskan umat manusia dari penghambaan selain kepada
Tuhan penciptanya, dan kepasrahan atas hancurnya solidaritas sosial
karena kuatnya semangat individualisme akibat keserakahan manusia (elite
Quraisy) dalam menumpuk harta demi mengukuhkan statusnya pada saat itu.

Dengan demikian, benar apa yang dikatakan Gus Dur bahwa kehadiran agama
tak lain untuk kepentingan manusia, bukan kepentingan Tuhan. Namun dalam
proses perjalanannya, agama kehilangan misi profetiknya, yaitu pembebasan
 
manusia dari bentuk-bentuk hegemoni ketidakadilan sosial dan bahkan agama
menunjukkan ketidakakrabannya dengan lingkungannya (manusia), dengan
melahirkan elitisme-elistisme agama. Agama akan menjadi elitis, selama ia
belum mampu menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusian, belum mampu
menjawab mengapa kemiskinan terjadi dan mengapa ketidakadilan sosial
terjadi di antara umat manusia. Padahal kelahiran agama adalah untuk
kedamaian, kesejahteraan, dan kepentingan manusia bukan kepentingan
Tuhan.

Agama akan tetap menunjukkan ketidakakrabannya dengan rakyat, ketika ia
menampakkan ketidakberaniannya membicarakan kenyataan sejarah, di mana
orang tidak bisa memilih satu di antara dua kenyataan, yaitu mau lahir
dari rahim sosial apa dan siapa. Seseorang mungkin akan lahir dan
langsung diuntungkan oleh sejarahnya, sementara yang lain serta-merta
dirugikan oleh sejarahnya sejak lahir. Ini adalah awal ketimpangan
sosial. Ironis, dan kontraproduktif dengan esensi beragama. Namun
elitisme bisa terjadi, bermula dari cara pandang yang fatalistik dalam
memaknai Tuhan. Memosisikan manusia sebagai makhluk yang tidak memiliki
kesadaran diri, kebebasan memilih, dan kemampuan berkreativitas. Apapun
bentuk kenyataan sosial yang terjadi kemarin, sekarang dan besok, manusia
tidak mempunyai keterlibatan apapun di dalamnya. Itu semua merupakan
takdir Tuhan yang harus diterima.

Cara pandang yang fatalistik dalam implementasinya, akan mempengaruhi
cara pandang yang lain, misalnya kemiskinan. Fenomena kemiskinan
idipersepsi sebagai kenyataan sosial yang sudah ditakdirkan Tuhan dan
 
harus kita terima. Fenomena kemiskinan tidak dilihat sebagai kenyataan
ketidakadilan sosial, yang harus dilawan oleh agama karena bertentangan
dengan nilai-nilai ketuhanan. Orang yang miskin intelektual dalam
keagamaan bukanlah karena enggan belajar, tetapi sering disebabkan oleh
sistem dan lingkungan sosial. Di sisi lain, memaknai kesalehan
(ketaqwaan) dengan menyibukkan diri mengurusi Tuhan juga ikut menambah
dan menjadikan agama dan beragama secara elitis. Kesalehan tidak hanya
bisa dicapai lewat memperbanyak amalan-amalan formal-ritualistik, seperti
tidak cukup sekali melaksanakan haji. Akan tetapi, bagaimana bentuk-
bentuk ritual mampu membawa pencerahan dan pembebasan di tengah
ketidakadilan sosial.

Penyebab elitisme yang lain, memosisikan kaum miskin atau ploretar, orang
yang tertindas dengan status sosial, sebagai the second dalam beragama.
Artinya, memosisikan mereka sebagai konsumen bukan sebagai pelaku-pelaku
agama. Ini terlihat ketika mereka ingin berdialog dengan Tuhan harus
memanggil orang yang dianggap expert untuk membaca doa. Jadi mereka tidak
menjadi produsen dari keyakinan agamanya sendiri. Bagi Muslim Abdurrahman
(2003: 187), kenyataan ini menggambarkan seolah-olah agama menjadi bagian
dari bagaimana menjadi orang miskin yang kuat, tatkala mereka miskin,
mengalami kemiskinan. Standar keagamaan dan kesalehan kaum tertindas,
kaum miskin bagi Munir Mulkhan (2003: 58), tidak diukur dari jumlah
pengetahuan tentang ritus-ritus standar yang dibakukan, tentang kitab,
tentang Tuhan dan makhluk gaib, tetapi dari ketulusan keagamaan sesuai
ilmu yang kreatif yang dimiliki sesuai cara mereka sendiri.

Jadi keadilan keberagamaan bukan hanya membagi wilayah surgawi oleh kaum
elite dan pemimpin agama, tapi cara mengakomodasi keagamaan rakyat
sebagai local genius yang beragam dan tradisional. Akhirnya, suatu
kewajiban menjadikan agama sebagai kekuatan ideologis yang mampu membela
(fungsi advokasi) kaum tertindas secara intelektual maupun sosial menuju
religious consciousness, kesadaran beragama dalam merespon problematika
sosial. Nabi bersabda, “Saya berdiri di depan pintu surga. Tiba-tiba
masuklah ke dalam surga orang-orang yang pada umumnya miskin, ketika
orang-orang yang kaya masih tertahan oleh perhitungan kekayaannya…” (H.R.
Bukhori-Muslim).

Hasan Asy’ari, Mahasiwa Sastra dan Aktivis IMM UIIS Malang

04/07/2004



© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design