DALAM pidato politik awal milenium III di Gedung DPR, 17 Januari 2001, Prof Dr
Nurcholish Madjid (Cak Nur) akhirnya mengakui, rezim Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) pun mengalami apa yang ia sebut sebagai "kebangkrutan
etik-moral". Ada variabel yang terputus (disconnect) antara
kenaikan elite politik santri ke pusat kekuasaan, dengan kenaikan nilai-nilai
etik-moral yang santun dan civilized. Santri kelas wahid kita, Presiden
Abdurrahman Wahid sama sekali tidak merasa bersalah ketika menerima uang dari
Sultan Brunei Hassanal Bolkiah. Padahal, demikian tegur Cak Nur, "tidak
mungkin uang sebesar dua juta Dollar AS itu diberikan kepada Gus Dur jika ia
bukan seorang Presiden RI".
Hal itu sekadar salah satu tamsil di antara
sekian banyak tamsil adanya "krisis moral" yang menimpa hampir
seluruh elemen bangsa kita. Tetapi, cukupkah analisis kita berhenti pada krisis
moral? Saya ingin memetik satu jengkal lagi, sedikit lebih ke dalam, ke jantung
persoalan. Krisis moral itu, yang hampir merambah seluruh lini kehidupan kita,
sebenarnya berasal dan bermuara pada "krisis spiritual" yang
bersemayam dalam diri kita.
Hipotesisnya adalah nilai-nilai moral itu
merupakan buah agama. Logikanya, bila merebak krisis moral, berarti buah dari
krisis spiritual-keagamaan. Logika ini mengingatkan saya pada seorang pakar
ekonomi pembangunan dunia, EF Schumacher yang menulis buku bagus sekali, A
Guide for the Perplexed, (1981). Kata Schumacher, belakangan ini orang baru
sadar, segala krisis-baik krisis ekonomi, bahan bakar, makanan, lingkungan,
maupun krisis kesehatan-justru berangkat dari krisis spiritual dan krisis
pengenalan diri kita terhadap Yang Absolut, Tuhan. Betapa pun dahsyatnya krisis
spiritual ini, sehingga intelektual Paul Brunton, menamai buku klasiknya dengan
judul: The Spiritual Crisis of Man, (1974).
Krisis spiritual memang menjangkiti kita
dewasa ini. Inilah yang kemudian menjadi sorotan ahli psikologi. Psikologi
terkemuka Carl Gustav Jung, misalnya, menyebutnya sebagai existensial
illness (penyakit eksistensial). Sementara konsultasi medis Dr Michael
Kearney menamakannya dengan soul pain (penyakit jiwa). Ungkapan tragis
juga dikemukakan psikolog Christina dan Stanislav Grof dengan spiritual
emergency. Masih banyak istilah lain untuk menggambarkan problem
eksistensial-spiritual dalam diri kita dewasa ini, seperti spiritual
alienation, Spiritual crises, dan spiritual illness, yang kesemuanya
pada intinya menunjukkan adanya krisis spiritual yang akut dalam diri kita.
Suatu kondisi di mana diri kita terfragmentasi secara psikologis-spiritual,
khususnya terfragmentasi dari pusat diri (the center of the self).
Itu karena, dari sudut metafisika maupun
epistemologi keagamaan, terjadinya krisis spiritual tak lebih sebagai akibat
dari pemberontakan dan pembangkangan kita terhadap Tuhan. Kita Sudah terlampau
banyak melanggar rambu-rambu Tuhan. Kita tak mau belajar dari sejarah masa
silam, di mana Adam dan Hawa tercampakkan dari surga, akibat melanggar larangan
Tuhan untuk tidak memakan Khuldi.
Karena tak mau memetik dari sejarah masa
silam, kita seringkali terjatuh dan bahkan menjerumuskan diri ke lubang dosa
dan nista. Kita, dengan sengaja berkorupsi-ria, memakan harta sesama, bahkan dengan
bangsanya mengebom "rumah Tuhan", seperti Gereja dan Masjid. Itulah
sebabnya, mengapa ruang spiritual (spiritual space) dalam diri kita
mengalami krisis luar biasa hebat? Karena, kita tidak pernah mengisi ruang
spiritual itu dengan "hal-hal yang baik" dalam kehidupan kita. Justru
sebaliknya, kita terbiasa mengisinya dengan hal-hal buruk, yang menjadikan
ekspresi kehidupan kita tampak ekstrem dan beringas. Hal itu, dengan
sendirinya menjadikan hidup kita jauh di pinggir lingkaran eksistensi diri.
Padahal, yang menjadikan hidup kita bahagia,
harmoni dan selalu berkecenderungan untuk berbuat baik dan benar adalah dengan
hidup di titik pusat eksistensi. Yakni, pusat spiritual (spiritual centre)
yang menjadi hakikat sejati sense of security kita. Karena itu, kita
sudah sewajarnya kembali ke pusat diri, ke pusat spiritual, yang bersemayam
dalam diri kita, yang disebut "hati nurani". Inilah satu-satunya
standar paling sah dalam menilai keotentikan hidup ini.
Kita, bisa saja berbohong kepada sesama,
bahkan kepada rakyat sekalipun. Tetapi, ingat! Kepada hati nurani kita, sama
sekali kita tidak bisa berbohong sedikit pun. Presiden, Menteri, DPR, MPR, dan
segenap pejabat serta elite politik kita, bisa saja membohongi kita, rakyat
biasa. Tetapi, ingat! Anda tidak bisa sedikit pun berbohong kepada hati nurani
Anda. Karena itu, kepada para pemimpin bangsa ini, amalkanlah sabda Nabi,
"mintalah fatwa kepada nuranimu, karena nurani itu tidak pernah bisa
berbohong".
Itu pula sebabnya, mengapa untuk memerintah
suatu negara, pemimpin perlu menjadikan "hati nurani" sebagai standar
moral yang tinggi? Karena, demikian saya nukil pesan Professor studi agama di
State University of New York, Sachiko Murata, dalam karya terbaik dan
mutakhirnya, Chinese Gleams of Sufi Light, (New York Press, AS, 2000);
"barangsiapa yang ingin memerintah suatu negeri, maka lebih dahulu harus
mengatur keluarganya secara benar (the democratic family dalam rumusan
Anthony Giddens, Sukidi). Dan barang siapa yang ingin mengatur
keluarganya secara benar, maka lebih dahulu harus mengatur dirinya sendiri
dengan benar (The genuine self dalam rumusan James Redfuel, Sukidi).
Serta, barang siapa yang ingin mengatur dirinya sendiri secara benar, maka
terlebih dahulu harus membuat hatinya menjadi benar".
Kita sejenak bertanya, mengapa muara mata
rantai itu adalah hati nurani; heart (Inggris), qalb (Arab), dil
Persia, dan hsin (Cina). Karena, hati merupakan lokus kesadaran manusia
dan sekaligus sebagai puncak kecerdasan, yang oleh Danah Zohar dan Ian Marshall
disebut-sebut sebagai "Kecerdasan Spiritual" (Spiritual
Intelligence). Kecerdasan spiritual, tak lain dan tak bukan adalah the
soul's intelligence. Kecerdasan jiwa, hati, yang menjadi pusat spiritual
hidup kita, yang karenanya hidup kita menjadi damai dan harmoni.
* Sukidi, aktivis
di Paramadina dan Koordinator Divisi Publikasi di Puan Amal Hayati, Ciganjur.
Kompas, Jumat, 16 Februari 2001