Oleh Ismatillah A. Nu’ad
26/09/2005
Jika ada sesuatu yang
paling dibenci oleh umat Islam atau umat beragama umumnya karena dianggap
mengganggu ketenangan iman, tak lain adalah akal. Sementara dalam filsafat
etika banyak menghargai peranan akal sebagai landasan etis. Akal juga
benar-benar dijadikan alat penting oleh para teolog-rasional (al-mutakallimûn)
dalam membangun argumentasi filosofisnya. Di kawasan itu, iman seakan-akan
diobok-obok, dan dibolak-balik. Oleh karena itu, akal dianggap membahayakan
keimanan bagi khalayak awam.
Namun, sembari
dicaci-maki dan dinista agama, akal tetap tiada henti menghasilkan
produk-produk yang menandai kemajuan zaman dalam berbagai fase sejarah manusia.
Akal telah membuahkan industrialisasi, sekulerisasi, liberalisasi, teknologi
dll., terutama di dunia modern. Semua produk itu—tidak hanya oleh umat Islam,
tapi oleh agama umumnya—justru dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama
yang mendasar.
Asumsi di atas tidak
seluruhnya tepat. Anggapan bahwa akal bertentangan dengan iman dan dogma agama,
sesungguhnya tak sesuai dengan fakta sejarah. Semua proses kemajuan yang
monumental di setiap zaman, dapat dipastikan berkat peranan akal. Di masa
keemasan Islam di abad pertengahan misalnya, akal-budi insan-insan kreatif
Islam-lah yang telah mendorong dan menemukan inovasi-inovasi penting bagi
peradaban Islam. Sebaliknya, kemunduran Islam disebut-sebut buah dari
dikecilkannya peran akal-budi.
Renaissance, aufklarung,
enlightment atau masa pencerahan di Eropa, muncul karena Barat banyak
menghargai dan mengoptimalkan pemberdayaan akal. Dalam pemikiran teologi
skolastik Kristen Abad Pertengahan, akal justru dianggap sebagai penerang iman,
sebab mereka sadar, tanpa akal, iman menjadi buta.
Bangkitnya semangat
pencerahan di Eropa itu, sedikit banyak dipengaruhi oleh capaian-capaian
pemikiran-pemikiran kaum rasional Islam, seperti Ibn Rusyd yang kala itu
menjadi semacam hantu di Eropa. Pemikiran rasional Ibn Rusyd, membuahi
pemikiran Eropa sehingga berkuncup, berbunga, bahkan berbuah. Sementara umat
Islam terperosok dalam ketidakrasionalan yang menyumbang pada kemunduran hampir
seluruh dunia Islam. Akal dianggap bertentangan dengan iman, bahkan meruntuhkan
iman dan kehidupan.
Nah, tulisan ini akan
menguji asumsi pertentangan antara iman dan akal, dan mengulas bagaimana
pandangan Alqur’an tentang akal.
Akal dan Hati dalam
Alqur’an
Akal berasal dari bahasa
Arab yang berarti “mengikat”. Dalam Alqur’an, kata akal tidak termuat sebagai
isim (kata benda). Kenyataan itu jelas melunturkan argumen kaum awam yang
selama ini menganggap akal sebagai benda dalam kepala manusia yang berfungsi
untuk berfikir. Akal dalam Quran berjenis fi’il (kata kerja), yang maksudnya
selalu dinamis dalam kurva terus meningkat. Dalam mengapresiasi akal itu,
Alqur’an tak hanya menggunakan satu jenis kata untuk memerintahkan manusia
menggunakan akalnya (‘aql), tapi juga menggunakan jenis lain seperti berfikir
(fikr), merenung (dzikr), dll. Namun tujuannya satu supaya manusia menggunakan
akalnya.
Kenyataan yang mungkin
agak mengejutkan, Alqur’an tidak pernah mengkritik akal dalam ayat-ayatnya.
Dalam banyak ayatnya, Alqur’an justru menempatkan akal sebagai pemberian mulia
yang dimiliki manusia. Manusia menjadi mulia karena akal, tanpa akal manusia
turun derajat menjadi hewan. Dalam rangka memuliakan akal, Alqur’an sering
menganjurkan manusia untuk berpikir, merenung dengan pikiran mendalam (afalâ
ta`qilûn, liqawmin yatafakkarûn, dll.) pada banyak akhir ayatnya.
Atas dasar kemuliaan
akal, dalam mazhab teologi rasional Islam, akal dianggap sebagai rukun iman
pertama sebelum iman kepada Tuhan. Argumentasinya adalah, bagaimana manusia
akan beriman kepada Tuhan jika akalnya belum secara jelas mengarahkan keimanan
kepada Tuhan itu sendiri (Hanafi: 2003). Bahkan, menurut teologi itu, jika
seandainyapun Alqur’an tak diturunkan, akal mampu melakukan identifikasi hal
yang baik dan yang buruk. Akal juga mampu mengetahui keberadaan Tuhan (Izutsu:
1994). Jadi, iman tak mesti hanya dengan keimanan itu saja, beriman bisa juga
dengan akal.
Kesimpulan yang bisa
ditarik adalah Alqur’an tak pernah mengkritik atau mencela akal, bahkan
mengutuk kaum muslim awam yang selama ini menolak peran akal. Misalnya, dalam
wacana keimanan mereka. Kenyataan itu juga menyentak kaum muslim yang selama
ini banyak mengapresiasi nuansa spiritual. Mereka banyak mendekati Islam dengan
menggali potensi-potensi hati (qalb) dengan jalan zikir-zikir, dll. Mereka
menganggap akal sebagai instrumen subaltern. Sedangkan hati merupakan instrumen
terbaik untuk mendekati Tuhan.
Terlalu percaya diri
tanpa diimbangi pengetahuan juga merupakan kebodohan. Hati yang dijadikan kaum
muslim spiritualis sebagai instrumen terbaik, justru dalam Alqur’an banyak di
kritik. Tak sedikit ayat Alqur’an memberi petunjuk soal itu, seperti penggalan
ayat fî qulûbihim maradl (dalam hati mereka terdapat penyakit). Maksudnya,
banyak ayat Alqur’an mengkritik peranan hati dalam diri manusia dalam rangka
mencari nilai kebenaran. Hati dalam bahasa Arab qalb, berarti berubah-ubah
dalam kurva turun-naik. Kenyataan itu tak seperti akal yang kurvanya terus
meningkat.
Jika hati digunakan untuk
mendekati Iman atau Islam, jelas memiliki resiko kefatalannya tinggi.
Sebaliknya akal tak memiliki resiko kefatalan itu. Lagi pula, jika menjadikan
hati sebagai instrumen mendekati Islam, maka dapat dipastikan kadar keimanannya
lemah karena (imannya) sewaktu-waktu yang tak terduga menjadi turun ketingkatan
terendah.
Kekekiluran yang
Dipelihara
Kecenderungan kaum muslim
di masa kini, yang banyak mengapresiasi pendekatan Islam dengan jalan
zikir-zikir, adalah menjadikan instrumen hati untuk mendekati Islam. Alih-alih
akan menjadi maju, kaum muslim bertambah terperosok dalam kebodohan karena
terus tertidur dalam buaian spiritualitas.
Keimanan yang dibangun
lewat hati, seperti kecenderungan kaum muslim di masa kini, jelas mudah menjadi
lemah, rapuh, keropos, dan sewaktu-waktu bisa terjatuh dalam kenistaan. Berbeda
jika keimanan dibangun dengan akal, kaum muslim akan menjadi tegar, kuat, tercerahkan,
dan terjauh dari lubang-hitam kenistaan yang dikhawatirkan dalam pesan-pesan
suci Islam.
Tanggung jawab sosial
untuk membangunkan kaum muslim dari tidurnya yang panjang, jelas menjadi
kewajiban kita semua yang selama ini beriman dengan akal. Islam tak akan pernah
berjaya lagi jika kaum muslim yang banyak ini hanya menjadi buih akibat beriman
dengan hati-hati mereka.
Berislam dan beriman
mestilah memiliki konsekuensi sosial. Maka tak salah kemajuan suatu bangsa
dikarenakan keyakinan beragama mereka. Prinsip-prinsip bertauhid dalam Islam
secara garis besar memberi keleluasaan pada kaumnya untuk mencari maslahat dan
memberi maslahat kepada sesama. Berislam dan beriman yang memiliki konsekuensi
sosial adalah berislam dan beriman dengan akal. Karena dengan akal nurani
kemanusiaan itu dibangkitkan, dan dengannya pula manusia menentukan jalan hidup
ke arah yang lebih baik lagi. Wallâhu A’lam
Ismatillah A. Nu’ad,
Mahasiswa Jurusan Teologi dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
bekerja di Center for Moderate Moslem (CMM).