Pelecehan kitab suci al-Qur’an yang dilakukan tentara Amerika Serikat (AS) di penjara Guantanamo dihujani protes keras. Seperti diberitakan majalah Newsweek, interogator AS di penjara Guantanamo meletakan kopi al-Qur’an di toilet dan menghancurkan kitab suci itu ke dalam kloset. Menurut laporan Newsweek beberapa waktu lalu itu, tindakan tentara AS dimaksudkan melecehkan dan menjatuhkan mental tahanan Afghanistan di penjara tersebut. Berikut ini petikan wawancara bersama Prof. Dr. Nasarudin Umar, Rektor PTIQ Jakarta, dan Guru Besar Tafsir UIN Syahid Jakarta, tentang al-Qur’an sebagai simbol kitab suci umat Islam, sebagaimana dituturkannya pada Very Verdiansyah dari JIE, Selasa (17/05/05) di Jakarta.
Very Verdiansyah: Pak Nasar, belakangan ini sebagian
masyarakat muslim disibukan oleh beberapa isu (kasus) yang berkaitan dengan
al-Qur’an, pertama, di Indramayu; kasus bupati yang mencantumkan photonya pada
cover dalam al-Qur’an. Kedua, di Guantanamo atas kasus interogator tentara
Amerika Serikat (AS) yang melakukan pelecehan terhadap al-Qur’an sebagaimana
diberitakan majalah Newsweek. Bagaimana tanggapan bapak?
Nasarudin Umar: Saya melihat, hal ini merupakan suatu
akumulasi yang sudah lama sebagai bentuk pelampiasan. Ketika begitu muncul
al-Qur’an bergambar pada bagian cover-nya (photo Bupati-red) dan pelecehan
(tentara Amerika-red) terhadap al-Qur’an, maka secara spontan ada kemarahan
umat. Hal ini menunjukan, bahwa kemarahan umat sudah lama terpendam, tapi
penyalurannya kapan, di mana, dan apa? Nah, begitu sedikit saja melihat hal-hal
yang bisa dijadikan semacam penyaluran, maka akan langsung terjadi reaksi.
Memang, ada hal-hal tertentu sebenarnya tidak layak untuk
didramatisir sedemikian rupa sebagaimana media massa. Jadinya begini. Anda bisa
lihat, ayat-ayat al-Qur’an yang diterjemahkan, itu kan al-Qur’an. Seperti surat
Yasin dan Tahlilan. Isinya adalah do’a-do’a, dan terutama al-Qur’an surat
Yasin. Di dalamnya ada photo. Tapi itu tidak ada orang yang keberatan. Tidak
ada yang protes. Padahal itu bercampur dengan halaman-halaman lainnya. Hal ini
menandakan bahwa kasus di Indramayu, Bupati itu kelihatan sekali memanfaatkan
al-Qur’an untuk kepentingan-kepentingan sesaat (pilkada-red).
VY: Berkaitan dengan dua kasus di atas, di Indramayu dan
Guntanamo. Belakangan ini menjadi kasus sensitif di Indonesia dengan adanya
sebagian umat Islam (organisasi Islam) yang melakukan demontrasi sebagai bentuk
penolakan atau perlawanan atas tindakan tersebut (pelecehan). Bagaimana
pandangan bapak?
NU: Hal itu tidak benar juga. Karena apa yang disucikan
oleh orang, dan apapun agamanya, jangan menyinggung perasaan orang. Al-Qur’an
itu suci. Jangan melihat, al-Qur’an hanya sebatas lembaran kertas dan
tulisan-tulisan Arab. Hakekat al-Qur’an itu bukan di situ, tapi itu sebagai
simbol. Simbol adalah representasi daripada keyakinan seseorang, kelompok atau
ummah. Yang dikatakan simbol, mempunyai arti di balik simbol itu. Jangan
melihat kertas dan tulisan-tulisannya. Apa bedanya dengan kertas lain. Hal itu
akan lain, karena al-Qur’an merupakan representasi daripada kesucian yang
selama ini dijunjung tinggi oleh umat Islam.
Jadi pandangan saya, apapun alasannya, gak bisa diterima.
Hal itu merusak kesepakatan yang ada di dalam masyarakat kita. Jadi saya kira,
itu tidak benar, tetapi saya juga tidak setuju, kalau itu menyebabkan terjadi
perang, karena di dramatisir sedemikian rupa. Dan seolah-olah jadi heboh. Saya
berpendapat, jangan hal-hal kecil itu didramatisir menjadi besar, tapi juga
jangan sebaliknya, membiarkan persoalan-persoalan yang merupakan kehormatan dan
keyakinan umat, itu tanpa penyelesaian. Ya, itu perlu ada solusi dengan kepala
dingin.
VY: Melihat dalam konteks seperti itu, masyarakat kita
sangat sensitif dengan simbol-simbol kesucian. Tapi kenapa? Dalam masyarakat
kita tidak sensitif dengan nilai-nilai al-Qur’an yang berkaitan dengan bentuk,
ketidakadilan ekonomi dan hukum, kemiskinan struktural, dll?
NU: Karena hal itu, adresnya tidak jelas. Ketidakadilan
itu, mau mendemo siapa? Mau memberontak siapa? Karena hal itu merupakan sistem.
Kalau kasus di Indramayu dan Guntanamo terlokalisir. Jadi konkrit, pelakunya
siapa. Jadi suatu saat nanti, kalau sumber ketidakadilan itu rezim, sumber
ketidakadilan itu pemerintah, umat akan ngamuk terhadap pemerintah-nya. Kalau
memang sumbernya ketahuan, konkrit dan ada adresnya.
Tapi menurut saya, bahwa kecerdasan, kematangan dan
kedewasaan umat kita ini dalam keadaan masa transisi. Kalau dulu (masa
orba-red) serba dimanjakan dan serba difasilitasi, sedangkan sekarang serba
mandiri. Jadi dalam proses kemandirian umat itu, bahwa resiko-resiko kecil
harus kita tanggung, antara lain, harus berhadapan dengan dirinya sendiri. Saya
kira, hal itu sangat penting bagi sebagian kelompok jangan mendramatisir
sesuatu, kalau sesuatu itu di beritakan sedemikian rupa, itu akan memancing
umat yang tidak tahu apa-apa, akan tetapi ketika di dramatisir sedemikian rupa
oleh media, yang ada menjadi seolah-olah heboh dan sangat mencemaskan. Akhirnya
terjadi juga pada umat atas persoalan akumulasi yang disalurkan ke arah itu.
VY: Pak Nasar, apakah hal ini tidak terjebak dengan
simbolisasi? Padahal dibeberapa negara, seperti di Afrika, al-Qur’an jadi
spirit pembebasan atas bentuk ketidakadilan dan kemiskinan pada masa rezim
Apartheid, sebagaimana yang dilakukan oleh Faried Esack?
NU: Saya melihat, bahwa di Afrika itu tingkat pluralitas
masyarakatnya tinggi, karena memang komposisi masyarakatnya fifty-fifty.
Sedangkan masyarakat muslim kita terbiasa menjadi mayoritas, sehingga namanya
mayoritas tidak boleh tersinggung, dan merasa sebagai pemilik warga negara ini.
Di Afrika, kecuali Mesir, tidak ada pemilik mayoritas mutlak. Jadi lihatnya di
daerah-daerah tertentu, yang mana umat Islam minoritas, di situ umat Islam
lebih akomodatif terhadap kelompok-kelompok mayoritas yang ada. Dan secara umum
kita lihat sikap militansi yang penting kita pelajari. Sedangkan umat Islam
kita (Indonesia) tidak berpengalaman untuk menjadi minoritas. Coba kita lihat misalnya,
orang yang sering ke luar negeri, ke Amerika atau Eropa. Kita di sana menjadi
minoritas, terasa sebagai minoritas itu ada sugesti, semangat simbolik yang
sangat tinggi. Kita akan berpengalaman menjadi minoritas, yang selama ini hanya
mayoritas. Jadi sedikit ada masalah jadi besar. Kalau di sana ada banyak
pandangan-pandangan lainnya.
VY: Berkaitan dengan al-Qur’an sebagai simbol kitab suci
umat Islam, tapi di sebagian banyak kalangan, seperti orientalis, bahkan
cendekiawan muslim sendiri melakukan kritik terhadap al-Qur’an. Hal ini
menunjukan ada keparadokan, di satu sisi dijadikan pegangan, tapi di sisi lain
dikritik. Bagaimana pandangan bapak?
NU: Pandangan saya, hal itu tergantung kasusnya, kalau
misalnya muslim scholer yang mengkritik isi al-Qur’an, saya kira bukan
al-Qur’an-nya, tapi metodologi pengajaran al-Qur’an dan metodologi
memperkenalkan al-Qur’annya. Kita bayangkan, bagaimana cara memperkenalkan
ilmu-ilmu filsafat sedemikian canggih sampai sekarang. Sarjana Barat dengan
penguasaan vocab yang populer, sementara orang-orang yang memperkenalkan
al-Qur’an, ilmu al-Qur’an dalam masyarakat kita masih banyak yang kaku, tidak
pernah memahami sosiologi, antropologi, dan melakukan penelitian. Kalah canggih
dengan ilmu-ilmu filsafat. Akhirnya, apa yang terjadi, orang (anak muda muslim)
tertarik pada al-Qur’an, kepada filsafatnya, bukan karena al-Qur’annya.
Kemudian, anak-anak muda sekarang ini (cendekiawan muda
muslim-red), seolah-olah mengkritisi akan substansi al-Qur’an, autentisitasnya
al-Qur’an. Hal itu terpengaruh saja oleh buku-buku Barat, seperti bukunya
Montgomery Watt, dll. Padahal, hal itu memang berusaha dengan subjektif untuk
mematahkan logika Islam. Kenapa orang-orang nekad bunuh diri menganggap
perintah Islam? Dan Islam ajaran dasarnya al-Qur’an, dan kalau melemahkan
al-Qur’an, mereka diharapkan nanti akan menjadi bimbang. Persoalannya di situ.
Dan menurut saya, hal itu hanya masalah sementara.
VY: Berdasarkan atas beberapa pandangan kalangan
orientalis, belakangan ini muncul buku yang melakukan kritik terhadap
Orientalis. Yaitu buku The History of the Quranic Tex from Revelation to
Compilition, karya A.A. Zamy, sebagai kajian perbandingan dengan perjanjian
lama dan perjanjian baru. Bagaimana tanggapan bapak?
NU: Kebetulan minggu kemarin, saya jadi pembedah buku
tersebut, bahwa bukunya A.A. Zamy itu membantah buku-buku Orintalis. Orientalis
itu ada yang mengatakan, seperti halnya Mohammed Arkoun, pemikir muslim asal
Alzajair, yang mempertanyakan tentang bahasa Arab al-Qur’an, bahwa bahasa Arab
al-Qur’an itu tidak asli. Dulu, bahasa Arab itu tidak seperti itu, artinya
bahasa Arab belum merupakan baku standar yang memfaktorkan bahasa Arab
al-Qur’an. Karena ahli-ahli bahasa Arab, munculnya pada waktu sesudah
al-Qur’an. Jadi al-Qur’an itu adalah mu’jizat.
Dalam pandangan saya, bahwa Prof. A.A. Zamy, ia sangat
konsisten untuk mempertahankan al-Qur’an, terutama dilihat dari sudut pandang
identitasnya. Ia adalah seorang scholer jebolan Inggris, yang tentu syarat
dengan Orientalis yang dia baca dan kutip, di situ sangat representatif atau
sangat kuat. Jadi, itu sangat representatif untuk membantantah Orientalis.
Tetapi, persoalan kita saat ini mungkin adalah semudah
Islam, terutama kalangan-kalangan yang bebas, sebut saja kelompok Liberal. Itu
betul-betul mau melakukan pendekatan teologis terhadap al-Qur’an, dan ini ada
kelemahan. Kalau pendekatan teologi dilakukan terhadap al-Qur’an, artinya suatu
pendekatan yang akan menguji otentisitas suatu teks berdasarkan pada kata
teologi.
Teologi mengacunya kepada teks, sementara teks pada waktu
itu bukanlah sesuatu yang sangat diandalkan, karena namanya tulisan belumlah
merupakan suatu jaminan otentisitasnya buat teks. Alat-alat tulisnya pelepah
kurma, tulang-belulang yang gampang patah dan lapuh, dan tintanya gampang
luntur.
Jadi, yang paling otentik untuk menjaga al-Qur’an pada
waktu itu adalah hafalan. Dan kebetulan, genetiknya orang Arab sangat cerdas
menghafal. Kalau kita disuruh memilih secara akademisi ilmiyah, lebih otentik
mana menguji personalitas al-Qur’an berdasarkan manuskrip dalam bentuk pelepah
kurma, atau hafalan-hafalan secara berjama’ah yang selalu dilakukan. Dan tentu,
kita akan memilih sebagai umat Islam adalah hafalan.
Misalnya, pendekatan teologi menemukan bahwa manuskripnya
Ibnu Mas’ud, itu tidak ada surah al-Fatihah, tidak ada surah al-Falaq, tidak
ada surah an-Nas. Konsekuensi secara kronologisnya, kita bisa mengatakan bahwa
ada sumber yang mengatakan ketika surah itu sebagai pembuka al-Qur’an,
jangan-jangan hanya tambahan Utsman misalnya. Jadi pendekatan ini banyak
kelemahannya ketika diterapkan pada al-Quran, karena al-Qur’an itu di bukukan
di dalam masyarakat yang bukan seperti sekarang ini. Sekarang teks lebih
otentik ketimbang hafalan, apalagi sekarang ada komputer.
VY: Untuk melihat al-Qur’an sebagai petunjuk ataupun
sebagai pegangan umat Islam. Bagaimana untuk konteks sekarang menumbuhkan
gagasan-gagasan progresif-emansipatoris dari al-Qur’an itu sendiri? Yaitu
kepekaan terhadap problem kemanusiaan, seperti nilai al-Qur’an tentang
kesetaraan!!
NU: Saya kira, kita harus melakukan pendekatan yang
pararel dengan pendekatan Barat, tetapi perangkatnya bukan kepada perangkat
kecurigaan terhadap al-Qur’an. Persoalannya, yang jadi masalah pada saat ini
adalah kadang-kadang ada orang kita yang berangkatnya pada rasa tidak percaya
diri, dan rasa ragu terhadap otoritas-otoritas al-Qur’an. Menurut saya,
persoalan otioritas al-Qur’an merupakan sudah selesai semua. Karena al-Qur’an
dipertahankan dari hafalan generasi ke generasi. Dan kalaupun ada perbedaan
qiraat, itu memang dimungkinkan “fakrau ma yassara min al-qur’an” . Al-Qur’an
mengatakan seperti itu; bacalah yang paling mudah dalam al-Qur’an.
Oleh karena itu, saya tetap yakin bahwa al-Qur’an up to
date dan aktual sepanjang masa dan tidak perlu ada yang kita khawatirkan.
Kenapa? Karena, pertama, al-Qur’an itu sendiri teruji dalam sejarah, dan dia
mampu berkomunikasi dengan seluruh masyarakat di mana dia berada. Karena memang
realisasinya al-Qur’an itu tidak kaku. Dan yang mengisi banyak al-Qur’an itu
kisah-kisahnya, dan kisah-kisah itu adalah penceritaan masa lampau sampai kita
memperoleh I’tibar positif dari al-Qur’an. Ayat-ayat hukum itu sendiri hanya
sekitar 5%, dan 5% dari ayat-ayat ini substansial sifatnya dan sangat fleksibel,
tidak kaku. Sehingga dengan demikian, bisa tahan sepanjang masa.
Jadi, al-Qur’an itu bukan kitab-kitab umun yang pasal
demi pasal sangat kaku. Al-Qur’an itu tidak rigid. Al-Qur’an itu
prinsip-prinsip dasar bukan sistem hukum, tidak ada sistem ekonomis, sistem
pertanian dan yang ada hanya prinsip-prinsip ekonomis, politis, dll. Dan kalau
sistem itu adalah bangunan dari sistem yang ada antara sistem yang satu dan
sistem yang lain saling kait-mengait. Kenapa al-Quran itu merupakan suatu
sistem nilai tersendiri, seperti sistem hukum? Kalau menurut saya, al-Quran
bukan sistem hukum, bukan pasal-pasal hukum, tapi sumber-sumber untuk
menciptakan hukum. Jadi hukum apapun yang dibuat manusia, sepanjang nilai-nilai
dasar tidak bertentangan. Pasal-pasalnya yang kemudian dibuat oleh manusia,
tapi filosofi dan visi hukumnya adalah al-Qur’an itu sendiri.
VY: Pak Nasar, sekarang ini muncul beberapa hal yang
tidak bisa kita katakan dengan mudah bahwa ada yang memahami al-Qur’an sebagai
suatu sistem hukum dan ada yang memahami al-Qur’an sebagai prinsip atas gagasan
progresif?
NU: Gagasan-gagasan proses seperti itu, sah-sah saja
menurut saya. Sah saja al-Qur’an disebut sebagai legitimasi, spirit atau moral.
Hemat saya, itu bisa saja. Yang penting bagi saya, al-Qur’an itu selalu selaras
dengan prinsip kemanusiaan, dan perinsip kesetaraan.
Kasus saya sendiri misalnya, tentang gender. Saya melihat
bahwa al-Qur’an itu tidak membedakan laki-laki dan perempuan. Dalam pengertian
diskriminatif, al-Qur’an memang ada perbedaan, tapi ada perbedaan bukan untuk
dibeda-bedakan dengan lainnya.
VY: Pak Nasar, untuk menegaskan bahwa al-Quran itu
sebagai prinsip yang tidak terjebak dengan sistem (simbolik) itu, bagaimana?.
NU: Bahwa simbolik itu substansi al-Quran. Jadi, apakah
al-Qur’an itu mengungkapkan fakta? Apakah mengungkap simbolik? Hal itu, menurut
saya ada ayat-ayat yang mengungkapkan masalah fakta, dan ada yang simbolik.
Misalnya, ayat-ayat yang mungkin banyak di interpretasikan tentang pemotongan
tangan misalnya, yaitu “fakthou aidiyahuma” dan di sini bukan hanya berarti
memotong, akan tetapi bisa juga diartikan dengan memutuskan jaringan.
Aidiyahuma, kedua power-nya. Jadi, memahami ayat “as-syariqu wasyariqatu
fakthou’ aidiyahuma” , pencuri laki-laki dan pencuri perempuan putuskanlah atau
kekuatannya untuk mencuri. Jadi apakah untuk melumpuhkan mencuri itu? Atau
apakah dengan memotong tangan, atau penjara? Hal itu mana yang paling efektif.
Pandangan ini diserahkan kepada kondisi objektif masing-masing yang mengacu kepada
kemaslahatan.
***
23/05/2005 06:09
Nasarudin Umar:
Al-Qur’an bukan sistem hukum
Pelecehan kitab suci al-Qur’an yang dilakukan tentara
Amerika Serikat (AS) di penjara Guantanamo dihujani protes keras. Seperti
diberitakan majalah Newsweek, interogator AS di penjara Guantanamo meletakan
kopi al-Qur’an di toilet dan menghancurkan kitab suci itu ke dalam kloset.
Menurut laporan Newsweek beberapa waktu lalu itu, tindakan tentara AS
dimaksudkan melecehkan dan menjatuhkan mental tahanan Afghanistan di penjara
tersebut. Berikut ini petikan wawancara bersama Prof. Dr. Nasarudin Umar,
Rektor PTIQ Jakarta, dan Guru Besar Tafsir UIN Syahid Jakarta, tentang
al-Qur’an sebagai simbol kitab suci umat Islam, sebagaimana dituturkannya pada
Very Verdiansyah dari JIE, Selasa (17/05/05) di Jakarta.
Very Verdiansyah: Pak Nasar, belakangan ini sebagian
masyarakat muslim disibukan oleh beberapa isu (kasus) yang berkaitan dengan
al-Qur’an, pertama, di Indramayu; kasus bupati yang mencantumkan photonya pada
cover dalam al-Qur’an. Kedua, di Guantanamo atas kasus interogator tentara
Amerika Serikat (AS) yang melakukan pelecehan terhadap al-Qur’an sebagaimana
diberitakan majalah Newsweek. Bagaimana tanggapan bapak?
Nasarudin Umar: Saya melihat, hal ini merupakan suatu
akumulasi yang sudah lama sebagai bentuk pelampiasan. Ketika begitu muncul
al-Qur’an bergambar pada bagian cover-nya (photo Bupati-red) dan pelecehan
(tentara Amerika-red) terhadap al-Qur’an, maka secara spontan ada kemarahan
umat. Hal ini menunjukan, bahwa kemarahan umat sudah lama terpendam, tapi
penyalurannya kapan, di mana, dan apa? Nah, begitu sedikit saja melihat hal-hal
yang bisa dijadikan semacam penyaluran, maka akan langsung terjadi reaksi.
Memang, ada hal-hal tertentu sebenarnya tidak layak untuk
didramatisir sedemikian rupa sebagaimana media massa. Jadinya begini. Anda bisa
lihat, ayat-ayat al-Qur’an yang diterjemahkan, itu kan al-Qur’an. Seperti surat
Yasin dan Tahlilan. Isinya adalah do’a-do’a, dan terutama al-Qur’an surat
Yasin. Di dalamnya ada photo. Tapi itu tidak ada orang yang keberatan. Tidak
ada yang protes. Padahal itu bercampur dengan halaman-halaman lainnya. Hal ini
menandakan bahwa kasus di Indramayu, Bupati itu kelihatan sekali memanfaatkan
al-Qur’an untuk kepentingan-kepentingan sesaat (pilkada-red).
VY: Berkaitan dengan dua kasus di atas, di Indramayu dan
Guntanamo. Belakangan ini menjadi kasus sensitif di Indonesia dengan adanya
sebagian umat Islam (organisasi Islam) yang melakukan demontrasi sebagai bentuk
penolakan atau perlawanan atas tindakan tersebut (pelecehan). Bagaimana
pandangan bapak?
NU: Hal itu tidak benar juga. Karena apa yang disucikan
oleh orang, dan apapun agamanya, jangan menyinggung perasaan orang. Al-Qur’an
itu suci. Jangan melihat, al-Qur’an hanya sebatas lembaran kertas dan
tulisan-tulisan Arab. Hakekat al-Qur’an itu bukan di situ, tapi itu sebagai
simbol. Simbol adalah representasi daripada keyakinan seseorang, kelompok atau
ummah. Yang dikatakan simbol, mempunyai arti di balik simbol itu. Jangan
melihat kertas dan tulisan-tulisannya. Apa bedanya dengan kertas lain. Hal itu
akan lain, karena al-Qur’an merupakan representasi daripada kesucian yang
selama ini dijunjung tinggi oleh umat Islam.
Jadi pandangan saya, apapun alasannya, gak bisa diterima.
Hal itu merusak kesepakatan yang ada di dalam masyarakat kita. Jadi saya kira,
itu tidak benar, tetapi saya juga tidak setuju, kalau itu menyebabkan terjadi
perang, karena di dramatisir sedemikian rupa. Dan seolah-olah jadi heboh. Saya
berpendapat, jangan hal-hal kecil itu didramatisir menjadi besar, tapi juga
jangan sebaliknya, membiarkan persoalan-persoalan yang merupakan kehormatan dan
keyakinan umat, itu tanpa penyelesaian. Ya, itu perlu ada solusi dengan kepala
dingin.
VY: Melihat dalam konteks seperti itu, masyarakat kita
sangat sensitif dengan simbol-simbol kesucian. Tapi kenapa? Dalam masyarakat
kita tidak sensitif dengan nilai-nilai al-Qur’an yang berkaitan dengan bentuk,
ketidakadilan ekonomi dan hukum, kemiskinan struktural, dll?
NU: Karena hal itu, adresnya tidak jelas. Ketidakadilan
itu, mau mendemo siapa? Mau memberontak siapa? Karena hal itu merupakan sistem.
Kalau kasus di Indramayu dan Guntanamo terlokalisir. Jadi konkrit, pelakunya
siapa. Jadi suatu saat nanti, kalau sumber ketidakadilan itu rezim, sumber
ketidakadilan itu pemerintah, umat akan ngamuk terhadap pemerintah-nya. Kalau
memang sumbernya ketahuan, konkrit dan ada adresnya.
Tapi menurut saya, bahwa kecerdasan, kematangan dan
kedewasaan umat kita ini dalam keadaan masa transisi. Kalau dulu (masa
orba-red) serba dimanjakan dan serba difasilitasi, sedangkan sekarang serba
mandiri. Jadi dalam proses kemandirian umat itu, bahwa resiko-resiko kecil
harus kita tanggung, antara lain, harus berhadapan dengan dirinya sendiri. Saya
kira, hal itu sangat penting bagi sebagian kelompok jangan mendramatisir
sesuatu, kalau sesuatu itu di beritakan sedemikian rupa, itu akan memancing
umat yang tidak tahu apa-apa, akan tetapi ketika di dramatisir sedemikian rupa
oleh media, yang ada menjadi seolah-olah heboh dan sangat mencemaskan. Akhirnya
terjadi juga pada umat atas persoalan akumulasi yang disalurkan ke arah itu.
VY: Pak Nasar, apakah hal ini tidak terjebak dengan
simbolisasi? Padahal dibeberapa negara, seperti di Afrika, al-Qur’an jadi
spirit pembebasan atas bentuk ketidakadilan dan kemiskinan pada masa rezim
Apartheid, sebagaimana yang dilakukan oleh Faried Esack?
NU: Saya melihat, bahwa di Afrika itu tingkat pluralitas
masyarakatnya tinggi, karena memang komposisi masyarakatnya fifty-fifty.
Sedangkan masyarakat muslim kita terbiasa menjadi mayoritas, sehingga namanya
mayoritas tidak boleh tersinggung, dan merasa sebagai pemilik warga negara ini.
Di Afrika, kecuali Mesir, tidak ada pemilik mayoritas mutlak. Jadi lihatnya di
daerah-daerah tertentu, yang mana umat Islam minoritas, di situ umat Islam
lebih akomodatif terhadap kelompok-kelompok mayoritas yang ada. Dan secara umum
kita lihat sikap militansi yang penting kita pelajari. Sedangkan umat Islam
kita (Indonesia) tidak berpengalaman untuk menjadi minoritas. Coba kita lihat misalnya,
orang yang sering ke luar negeri, ke Amerika atau Eropa. Kita di sana menjadi
minoritas, terasa sebagai minoritas itu ada sugesti, semangat simbolik yang
sangat tinggi. Kita akan berpengalaman menjadi minoritas, yang selama ini hanya
mayoritas. Jadi sedikit ada masalah jadi besar. Kalau di sana ada banyak
pandangan-pandangan lainnya.
VY: Berkaitan dengan al-Qur’an sebagai simbol kitab suci
umat Islam, tapi di sebagian banyak kalangan, seperti orientalis, bahkan
cendekiawan muslim sendiri melakukan kritik terhadap al-Qur’an. Hal ini
menunjukan ada keparadokan, di satu sisi dijadikan pegangan, tapi di sisi lain
dikritik. Bagaimana pandangan bapak?
NU: Pandangan saya, hal itu tergantung kasusnya, kalau
misalnya muslim scholer yang mengkritik isi al-Qur’an, saya kira bukan
al-Qur’an-nya, tapi metodologi pengajaran al-Qur’an dan metodologi
memperkenalkan al-Qur’annya. Kita bayangkan, bagaimana cara memperkenalkan
ilmu-ilmu filsafat sedemikian canggih sampai sekarang. Sarjana Barat dengan
penguasaan vocab yang populer, sementara orang-orang yang memperkenalkan
al-Qur’an, ilmu al-Qur’an dalam masyarakat kita masih banyak yang kaku, tidak
pernah memahami sosiologi, antropologi, dan melakukan penelitian. Kalah canggih
dengan ilmu-ilmu filsafat. Akhirnya, apa yang terjadi, orang (anak muda muslim)
tertarik pada al-Qur’an, kepada filsafatnya, bukan karena al-Qur’annya.
Kemudian, anak-anak muda sekarang ini (cendekiawan muda
muslim-red), seolah-olah mengkritisi akan substansi al-Qur’an, autentisitasnya
al-Qur’an. Hal itu terpengaruh saja oleh buku-buku Barat, seperti bukunya
Montgomery Watt, dll. Padahal, hal itu memang berusaha dengan subjektif untuk
mematahkan logika Islam. Kenapa orang-orang nekad bunuh diri menganggap
perintah Islam? Dan Islam ajaran dasarnya al-Qur’an, dan kalau melemahkan
al-Qur’an, mereka diharapkan nanti akan menjadi bimbang. Persoalannya di situ.
Dan menurut saya, hal itu hanya masalah sementara.
VY: Berdasarkan atas beberapa pandangan kalangan
orientalis, belakangan ini muncul buku yang melakukan kritik terhadap
Orientalis. Yaitu buku The History of the Quranic Tex from Revelation to
Compilition, karya A.A. Zamy, sebagai kajian perbandingan dengan perjanjian
lama dan perjanjian baru. Bagaimana tanggapan bapak?
NU: Kebetulan minggu kemarin, saya jadi pembedah buku
tersebut, bahwa bukunya A.A. Zamy itu membantah buku-buku Orintalis. Orientalis
itu ada yang mengatakan, seperti halnya Mohammed Arkoun, pemikir muslim asal
Alzajair, yang mempertanyakan tentang bahasa Arab al-Qur’an, bahwa bahasa Arab
al-Qur’an itu tidak asli. Dulu, bahasa Arab itu tidak seperti itu, artinya
bahasa Arab belum merupakan baku standar yang memfaktorkan bahasa Arab
al-Qur’an. Karena ahli-ahli bahasa Arab, munculnya pada waktu sesudah
al-Qur’an. Jadi al-Qur’an itu adalah mu’jizat.
Dalam pandangan saya, bahwa Prof. A.A. Zamy, ia sangat
konsisten untuk mempertahankan al-Qur’an, terutama dilihat dari sudut pandang
identitasnya. Ia adalah seorang scholer jebolan Inggris, yang tentu syarat
dengan Orientalis yang dia baca dan kutip, di situ sangat representatif atau
sangat kuat. Jadi, itu sangat representatif untuk membantantah Orientalis.
Tetapi, persoalan kita saat ini mungkin adalah semudah
Islam, terutama kalangan-kalangan yang bebas, sebut saja kelompok Liberal. Itu
betul-betul mau melakukan pendekatan teologis terhadap al-Qur’an, dan ini ada
kelemahan. Kalau pendekatan teologi dilakukan terhadap al-Qur’an, artinya suatu
pendekatan yang akan menguji otentisitas suatu teks berdasarkan pada kata
teologi.
Teologi mengacunya kepada teks, sementara teks pada waktu
itu bukanlah sesuatu yang sangat diandalkan, karena namanya tulisan belumlah
merupakan suatu jaminan otentisitasnya buat teks. Alat-alat tulisnya pelepah
kurma, tulang-belulang yang gampang patah dan lapuh, dan tintanya gampang
luntur.
Jadi, yang paling otentik untuk menjaga al-Qur’an pada
waktu itu adalah hafalan. Dan kebetulan, genetiknya orang Arab sangat cerdas
menghafal. Kalau kita disuruh memilih secara akademisi ilmiyah, lebih otentik
mana menguji personalitas al-Qur’an berdasarkan manuskrip dalam bentuk pelepah
kurma, atau hafalan-hafalan secara berjama’ah yang selalu dilakukan. Dan tentu,
kita akan memilih sebagai umat Islam adalah hafalan.
Misalnya, pendekatan teologi menemukan bahwa manuskripnya
Ibnu Mas’ud, itu tidak ada surah al-Fatihah, tidak ada surah al-Falaq, tidak
ada surah an-Nas. Konsekuensi secara kronologisnya, kita bisa mengatakan bahwa
ada sumber yang mengatakan ketika surah itu sebagai pembuka al-Qur’an,
jangan-jangan hanya tambahan Utsman misalnya. Jadi pendekatan ini banyak
kelemahannya ketika diterapkan pada al-Quran, karena al-Qur’an itu di bukukan
di dalam masyarakat yang bukan seperti sekarang ini. Sekarang teks lebih
otentik ketimbang hafalan, apalagi sekarang ada komputer.
VY: Untuk melihat al-Qur’an sebagai petunjuk ataupun
sebagai pegangan umat Islam. Bagaimana untuk konteks sekarang menumbuhkan
gagasan-gagasan progresif-emansipatoris dari al-Qur’an itu sendiri? Yaitu
kepekaan terhadap problem kemanusiaan, seperti nilai al-Qur’an tentang
kesetaraan!!
NU: Saya kira, kita harus melakukan pendekatan yang
pararel dengan pendekatan Barat, tetapi perangkatnya bukan kepada perangkat
kecurigaan terhadap al-Qur’an. Persoalannya, yang jadi masalah pada saat ini
adalah kadang-kadang ada orang kita yang berangkatnya pada rasa tidak percaya
diri, dan rasa ragu terhadap otoritas-otoritas al-Qur’an. Menurut saya,
persoalan otioritas al-Qur’an merupakan sudah selesai semua. Karena al-Qur’an
dipertahankan dari hafalan generasi ke generasi. Dan kalaupun ada perbedaan
qiraat, itu memang dimungkinkan “fakrau ma yassara min al-qur’an” . Al-Qur’an
mengatakan seperti itu; bacalah yang paling mudah dalam al-Qur’an.
Oleh karena itu, saya tetap yakin bahwa al-Qur’an up to
date dan aktual sepanjang masa dan tidak perlu ada yang kita khawatirkan.
Kenapa? Karena, pertama, al-Qur’an itu sendiri teruji dalam sejarah, dan dia
mampu berkomunikasi dengan seluruh masyarakat di mana dia berada. Karena memang
realisasinya al-Qur’an itu tidak kaku. Dan yang mengisi banyak al-Qur’an itu
kisah-kisahnya, dan kisah-kisah itu adalah penceritaan masa lampau sampai kita
memperoleh I’tibar positif dari al-Qur’an. Ayat-ayat hukum itu sendiri hanya
sekitar 5%, dan 5% dari ayat-ayat ini substansial sifatnya dan sangat fleksibel,
tidak kaku. Sehingga dengan demikian, bisa tahan sepanjang masa.
Jadi, al-Qur’an itu bukan kitab-kitab umun yang pasal
demi pasal sangat kaku. Al-Qur’an itu tidak rigid. Al-Qur’an itu
prinsip-prinsip dasar bukan sistem hukum, tidak ada sistem ekonomis, sistem
pertanian dan yang ada hanya prinsip-prinsip ekonomis, politis, dll. Dan kalau
sistem itu adalah bangunan dari sistem yang ada antara sistem yang satu dan
sistem yang lain saling kait-mengait. Kenapa al-Quran itu merupakan suatu
sistem nilai tersendiri, seperti sistem hukum? Kalau menurut saya, al-Quran
bukan sistem hukum, bukan pasal-pasal hukum, tapi sumber-sumber untuk
menciptakan hukum. Jadi hukum apapun yang dibuat manusia, sepanjang nilai-nilai
dasar tidak bertentangan. Pasal-pasalnya yang kemudian dibuat oleh manusia,
tapi filosofi dan visi hukumnya adalah al-Qur’an itu sendiri.
VY: Pak Nasar, sekarang ini muncul beberapa hal yang
tidak bisa kita katakan dengan mudah bahwa ada yang memahami al-Qur’an sebagai
suatu sistem hukum dan ada yang memahami al-Qur’an sebagai prinsip atas gagasan
progresif?
NU: Gagasan-gagasan proses seperti itu, sah-sah saja
menurut saya. Sah saja al-Qur’an disebut sebagai legitimasi, spirit atau moral.
Hemat saya, itu bisa saja. Yang penting bagi saya, al-Qur’an itu selalu selaras
dengan prinsip kemanusiaan, dan perinsip kesetaraan.
Kasus saya sendiri misalnya, tentang gender. Saya melihat
bahwa al-Qur’an itu tidak membedakan laki-laki dan perempuan. Dalam pengertian
diskriminatif, al-Qur’an memang ada perbedaan, tapi ada perbedaan bukan untuk
dibeda-bedakan dengan lainnya.
VY: Pak Nasar, untuk menegaskan bahwa al-Quran itu
sebagai prinsip yang tidak terjebak dengan sistem (simbolik) itu, bagaimana?.
NU: Bahwa simbolik itu substansi al-Quran. Jadi, apakah
al-Qur’an itu mengungkapkan fakta? Apakah mengungkap simbolik? Hal itu, menurut
saya ada ayat-ayat yang mengungkapkan masalah fakta, dan ada yang simbolik.
Misalnya, ayat-ayat yang mungkin banyak di interpretasikan tentang pemotongan
tangan misalnya, yaitu “fakthou aidiyahuma” dan di sini bukan hanya berarti
memotong, akan tetapi bisa juga diartikan dengan memutuskan jaringan.
Aidiyahuma, kedua power-nya. Jadi, memahami ayat “as-syariqu wasyariqatu
fakthou’ aidiyahuma” , pencuri laki-laki dan pencuri perempuan putuskanlah atau
kekuatannya untuk mencuri. Jadi apakah untuk melumpuhkan mencuri itu? Atau
apakah dengan memotong tangan, atau penjara? Hal itu mana yang paling efektif.
Pandangan ini diserahkan kepada kondisi objektif masing-masing yang mengacu kepada
kemaslahatan.
***
23/05/2005 06:09
Nasarudin Umar