Adakah Ilmu Pendidikan Islam?

Kritik menarik yang sering terdengar terhadap ilmu pendidikan Islam adalah tentang dasar filosofisnya. Kritik itu sangat relevan jika kita beranggapan ilmu pendidikan Islam yang dibangun bertolak dari ilmu pendidikan barat, jangan-jangan ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang hanya ditambah label Islam. Pertanyaan itu menjadi lebih penting, jika dikaitkan dengan Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tahun.
Membangun dasar filosofis ilmu Pendidikan Islam, seharusnya merujuk kepada pendekatan ilmiah cum doctiner, yaitu berawal dari Alquran dan Sunnah, metodologinya ijtihad dan tata pikir reflektif. Mengutip Noeng Muhadjir, asumsi dasar yang digunakan adalah bersumber dari pandangan filsafat realisme metafisik yang mengakui adanya realitas yang tidak sensual empirik dan mengakui keteraturan alam semesta sebagai ciptaan Allah.
Memahami dua dasar bangunan Ilmu Pendidikan Islam tersebut, dapat menggunakan metodologi ijtihad dengan pemahaman hermeneutic. Hermeunitika sering pula disebut metode integratif/induktif yang memandang pentingnya pemahaman Alquran secara menyatu. Hermeunitik merupakan upaya mencari kebenaran dengan cara mencari makna dari susunan kalimat, konteks budaya yang berangkat dari linguistik. Hermeneutik berusaha mencari makna dengan menangkap seluruh teks bacaan. Kebermaknaan sesuatu dapat dilandaskan pada narasi bahasa, historis, hukum, etika atau lainnya.
Dengan demikian, memahami Alquran dan Sunnah untuk membangun ilmu pendidikan Islam akan menghasilkan pandangan bahwa Alquran dan Sunnah adalah sebuah ajaran yang utuh dan penyatu serta penuh makna bagi kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Apabila pendidikan diartikan sebagai upaya pengembangan kualitas manusia atau upaya memanusiakan manusia, maka yang menjadi objek material pendidikan Islam adalah manusia.
Acuan dasar dari komponen pokok tersebut, bersumber dari konsep tentang manusia dan alam. Dari dua hal itu, muncul konsep dasar tentang tujuan pendidikan, kurikulum, metode dan lain-lain.
Ajaran Islam memandang manusia sebagai tubuh, akal dan hati nurani. Pandangan itu, berbeda sekali dengan barat yang melihat manusia sebagai tubuh dan akal belaka. Konsekuensi logis dari pandangan Islam tersebut adalah kurikulum, metode dan komponen pendidikan lain tidak memperhatikan satu aspek saja. Fisik, akal dan hati nurani (akhlak) mempunyai tempat yang sama dalam pendidikan Islam.
Kemampuan kreatif manusia diyakini sudah dimiliki sejak Nabi Adam AS sebagai khalifah di muka bumi, sekaligus sebagai hamba Allah. Sebagai khalifah Allah, manusia dituntut mampu mengelola alam dengan beragam ilmu pengetahuan.
Namun manusia sebagai Abdullah, juga dituntut sadar akan kelemahan dirinya di hadapan Allah. Sesuai kejadian manusia yang bertahap (QS Al Mu’minun : 12-14), kemampuan kreatif manusia pun berkembang secara bertahap sesuai ukuran tingkat kekuatan dan kelemahan unsur penunjang kreativitas seperti pendengaran, penglihatan serta pikiran. (QS An Nahl : 78)
Nilai manusia sangat ditentukan kualitas qalb. Fitrah qalb, jadi subjek bagi kesadaran berketuhanan, mampu menerima dan melaksanakan kebenaran. Sebagai unsur penentu tindakan manusia, qalb sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan, bersifat imitatif yaitu mudah mengikuti suasana lingkungan, kapan dan di mana pun sejak lahir sampai hayatnya. Oleh karena itu, qalb harus terus-menerus dipengaruhi oleh jalan Tuhan melalui tukar pemikiran atau seruan sehingga tidak terkena al muhlikat (penyakit yang membinasakan). (QS An Nahl : 125)
Mengutip Hasan Al Banna, seperti jasad, qalb memerlukan pemeliharaan, santapan dan pengobatan. Beliau mengingatkan kepada pendidik dan dai, bahwa penyakit qalb yang harus diwaspadai yakni nafsu popularitas, lupa diri, cinta benda dan pangkat.
Selain konsep manusia, konsep alam menurut Islam juga menjadi acuan pokok pendidikan Islam. Alam dalam pandangan Islam, diatur oleh Allah di arasy yang dilakukan oleh malaikat dan roh kudus. Hal itu sejalan dengan pandangan realisme metafisik yang beranggapan keteraturan alam diatur oleh Tuhan. Gerakan malaikat dan roh kudus dari Allah ke bumi, dikemukakan Alquran dalam relativitas waktu yaitu satu hari berbanding seribu tahun (QS Sajadah : 5) dan satu hari berbanding 50.000 tahun (QS Al Ma’arij : 4).
Pengaturan dari atas arasy, menggambarkan kebesaran alam semesta dan manfaatnya bagi manusia serta stabilitas dan regularitas fenomena alam pada sisi lain. Kebesaran, kemanfaatan, stabilitas dan regularitas fenomena alam, menunjukkan adanya hukum sebab akibat dengan ukuran yang pasti antarbenda dan peristiwa (QS Al Anfaal : 38 ; QS Fathir : 43). Bumi diciptakan Allah untuk kesejahteraan manusia (QS Al Baqarah : 29) dan disiapkan sedemikian rupa sehingga manusia mampu mengatur dan memakmurkannya. (QS Al Baqarah : 30 dan QS Huud : 61)
Berangkat dari berbagai konsep tentang manusia dan alam tersebut, membangun ilmu pendidikan Islam dapat dimulai dari apakah pendidikan Islam itu.
Sederhananya, pendidikan Islam adalah pendidikan yang merujuk kepada Alquran dan Sunnah. Sebagai instrumen kehidupan pendidikan adalah upaya manusia untuk mengembangkan segala potensi kemanusiaannya, untuk mengembangkan kualitas hidup untuk dunia dan akhirat. Dengan kata lain, pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia.
Potensi dasar manusia yang dikembangkan itu, tidak lain adalah bertuhan dan cenderung kepada kebaikan bersih dari dosa, berilmu pengetahuan serta bebas memilih dan berkreasi. Dapat dikatakan, Pendidikan Islam adalah upaya pelayanan bagi mengembangkan potensi dasar manusia dalam berketuhanan, berbuat baik, kekhalifahan, berilmu pengetahuan dan berpikir serta bertindak tegas.
Mengembangkan potensi bertuhan, mengharuskan pendidikan Islam berisi tentang hal yang menyangkut tentang Tuhan serta membimbing untuk hidup dengan sikap bertuhan yaitu mengabdi kepada ketentuan Tuhan.
Ketentuan Tuhan menyangkut Tuhan itu sendiri, alam dan manusia. Karena itu, mengikuti aturan Tuhan berarti pula mengembangkan potensi kemanusiaan yang terkait kepentingan hubungan dengan sesama manusia dan alam. Dengan demikian, materi (kurikulum) pendidikan Islam tidak hanya menyangkut hubungan dengan Tuhan (ibadah mahdhah), tetapi juga termasuk di dalamnya materi ibadah ghairi mahdhah.
Hal itu akan lebih mendukung pengembangan potensi kekhalifahan manusia, yaitu mengembangkan kemampuan dalam mengurus alam dan manusia sekaligus juga merealisasikan posisi manusia sebagai Abdullah.
Jika kita kembali kepada konsep dasar di atas, bahwa alam berkembang secara bertahap, bermanfaat, stabil, reguler dan dapat diatur manusia, maka Pendidikan Islam adalah pendidikan yang memiliki tahapan, berkesinambungan, out put pendidikannya berguna bagi dirinya (QS At Tahrim : 6) dan masyarakatnya (QS Al Maidah : 2).
Mengembangkan potensi
Selain hal tersebut di atas, pertanyaan yang harus dijawab untuk membangun ilmu pendidikan Islam adalah apa substansi pendidik dan terdidik? Menjawab dua hal tersebut, tidak bisa lepas dari konsep dasar alam dan manusia yang dijabarkan di awal tulisan ini.
Pendidik adalah yang memberikan pelayanan mengembangkan potensi terdidik. Pendidik seharusnya mengenal dan menguasai konsep dasar tentang manusia dan alam. Dalam pendidikan Islam, konsep dasar tersebut bersumber dari Alquran dan Sunnah.
Pendidik juga dituntut mempunyai loyalitas yang satu yaitu kepada Allah SWT dan meniadakan ikatan yang lain. Hal itu akan berimplikasi kepada sikap guru yang tidak memutlakkan pendapat manusia. Namun dalam mencapai kesempurnaan dan saling melengkapi tersebut, pendidik dan terdidik dituntut selalu melakukan penelitian, mendorong minat dan memperkuat motivasi terdidik agar selalu belajar.
Pendidik pun dituntut menjadi teladan dalam segala kesempatan. Sebagai teladan, pendidik juga belajar mengasah kemampuannya sehingga terdidik akan lebih percaya akan kemampuan pendidiknya. Dengan belajar, pendidik akan menyadari kekurangannya. Di samping itu, tehnik dan cara komunikasi pendidik semestinya sesuai dengan kultur tempat pendidikan dilaksanakan.
Terlepas dari hal tersebut, subtansi terdidik berkembang dari konsep penerima pasif informasi (classical education) ke manusia penyerap bentuk prilaku (technological education). Konsep itu terus berkembang menjadi konsep manusia utuh yang harus dikembangkan intelektualnya, melalui pengembangan emosi dan penyesuaian sosial (personalized education). Konsep tesebut akhirnya berujung pada konsep, bahwa manusia yang perlu dilatih dialog dengan sesamanya (interactional education).
Perkembangan konsep tentang manusia tersebut berimplikasi kepada pergeseran peran utama dalam interaksi belajar mengajar, dari mengutamakan peran pendidik menjadi mengutamakan peran peserta didik. Keadaan itu merefleksikan pandangan, bahwa manusia sebagai kertas kosong (emperisme) berkembang kepada pandangan bahwa manusia berpembawaan baik atau buruk (nativisme). Akhirnya berkembang menjadi pandangan, bahwa manusia berpotensi baik dan buruk saat lahir dan ditentukan perkembangannya oleh keadaan lingkungan (konvergensi).
Dalam Islam seperti telah disebutkan, manusia potensial berbuat baik, berilmu pengetahuan untuk menguasai keterampilan/khalifah, tidak berpengetahuan saat dilahirkan serta dapat dipengaruhi lingkungan walau saat akan menghadapi kematian. Potensi tersebut berkembang secara bertahap, dengan kapasitas yang berbeda antarindividu. Bertolak dari hal itu, terdidik memerlukan bimbingan untuk berbuat baik, berilmu dan menguasai suatu keterampilan tertentu dalam waktu yang lama.
Dari uraian tersebut, secara epistemologi ilmu pendidikan Islam bersumber dari Alquran dan Sunnah sehingga berbeda dengan epistemologi yang lain. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang sejalan dengan epistemologi ilmu pendidikan Islam. Misalnya pandangan realisme metafisik dan hermeneutic.




Oleh :Ahmad Juhaidi *
Sekretaris Penyunting Jurnal Ilmiah Terakreditasi Khazanah, Mahasiswa Program Magister Filsafat Islam
Konsentrasi Filsafat Pendidikan Islam IAIN Antasari

Jumat, 28 Mei 2004 01:33







© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design