Membangun
dasar filosofis ilmu Pendidikan Islam, seharusnya merujuk kepada pendekatan
ilmiah cum doctiner, yaitu berawal dari Alquran dan Sunnah,
metodologinya ijtihad dan tata pikir reflektif. Mengutip Noeng Muhadjir,
asumsi dasar yang digunakan adalah bersumber dari pandangan filsafat realisme
metafisik yang mengakui adanya realitas yang tidak sensual empirik dan mengakui
keteraturan alam semesta sebagai ciptaan Allah.
Memahami
dua dasar bangunan Ilmu Pendidikan Islam tersebut, dapat menggunakan metodologi
ijtihad dengan pemahaman hermeneutic. Hermeunitika sering pula
disebut metode integratif/induktif yang memandang pentingnya pemahaman Alquran
secara menyatu. Hermeunitik merupakan upaya mencari kebenaran dengan
cara mencari makna dari susunan kalimat, konteks budaya yang berangkat dari
linguistik. Hermeneutik berusaha mencari makna dengan menangkap seluruh
teks bacaan. Kebermaknaan sesuatu dapat dilandaskan pada narasi bahasa,
historis, hukum, etika atau lainnya.
Dengan
demikian, memahami Alquran dan Sunnah untuk membangun ilmu pendidikan Islam
akan menghasilkan pandangan bahwa Alquran dan Sunnah adalah sebuah ajaran yang
utuh dan penyatu serta penuh makna bagi kehidupan manusia dalam segala
aspeknya. Apabila pendidikan diartikan sebagai upaya pengembangan kualitas
manusia atau upaya memanusiakan manusia, maka yang menjadi objek material
pendidikan Islam adalah manusia.
Acuan
dasar dari komponen pokok tersebut, bersumber dari konsep tentang manusia dan
alam. Dari dua hal itu, muncul konsep dasar tentang tujuan pendidikan,
kurikulum, metode dan lain-lain.
Ajaran
Islam memandang manusia sebagai tubuh, akal dan hati nurani. Pandangan itu,
berbeda sekali dengan barat yang melihat manusia sebagai tubuh dan akal belaka.
Konsekuensi logis dari pandangan Islam tersebut adalah kurikulum, metode dan
komponen pendidikan lain tidak memperhatikan satu aspek saja. Fisik, akal dan
hati nurani (akhlak) mempunyai tempat yang sama dalam pendidikan Islam.
Kemampuan
kreatif manusia diyakini sudah dimiliki sejak Nabi Adam AS sebagai khalifah di
muka bumi, sekaligus sebagai hamba Allah. Sebagai khalifah Allah, manusia
dituntut mampu mengelola alam dengan beragam ilmu pengetahuan.
Namun
manusia sebagai Abdullah, juga dituntut sadar akan kelemahan dirinya di hadapan
Allah. Sesuai kejadian manusia yang bertahap (QS Al Mu’minun : 12-14),
kemampuan kreatif manusia pun berkembang secara bertahap sesuai ukuran tingkat
kekuatan dan kelemahan unsur penunjang kreativitas seperti pendengaran,
penglihatan serta pikiran. (QS An Nahl : 78)
Nilai manusia
sangat ditentukan kualitas qalb. Fitrah qalb, jadi subjek bagi
kesadaran berketuhanan, mampu menerima dan melaksanakan kebenaran. Sebagai
unsur penentu tindakan manusia, qalb sangat rentan terhadap pengaruh
lingkungan, bersifat imitatif yaitu mudah mengikuti suasana lingkungan, kapan
dan di mana pun sejak lahir sampai hayatnya. Oleh karena itu, qalb harus
terus-menerus dipengaruhi oleh jalan Tuhan melalui tukar pemikiran atau seruan
sehingga tidak terkena al muhlikat (penyakit yang membinasakan). (QS
An Nahl : 125)
Mengutip
Hasan Al Banna, seperti jasad, qalb memerlukan pemeliharaan, santapan
dan pengobatan. Beliau mengingatkan kepada pendidik dan dai, bahwa penyakit qalb
yang harus diwaspadai yakni nafsu popularitas, lupa diri, cinta benda dan
pangkat.
Selain
konsep manusia, konsep alam menurut Islam juga menjadi acuan pokok pendidikan
Islam. Alam dalam pandangan Islam, diatur oleh Allah di arasy yang
dilakukan oleh malaikat dan roh kudus. Hal itu sejalan dengan pandangan
realisme metafisik yang beranggapan keteraturan alam diatur oleh Tuhan. Gerakan
malaikat dan roh kudus dari Allah ke bumi, dikemukakan Alquran dalam
relativitas waktu yaitu satu hari berbanding seribu tahun (QS Sajadah : 5)
dan satu hari berbanding 50.000 tahun (QS Al Ma’arij : 4).
Pengaturan
dari atas arasy, menggambarkan kebesaran alam semesta dan manfaatnya
bagi manusia serta stabilitas dan regularitas fenomena alam pada sisi lain.
Kebesaran, kemanfaatan, stabilitas dan regularitas fenomena alam, menunjukkan
adanya hukum sebab akibat dengan ukuran yang pasti antarbenda dan peristiwa (QS
Al Anfaal : 38 ; QS Fathir : 43). Bumi diciptakan Allah untuk kesejahteraan
manusia (QS Al Baqarah : 29) dan disiapkan sedemikian rupa sehingga
manusia mampu mengatur dan memakmurkannya. (QS Al Baqarah : 30 dan QS Huud :
61)
Berangkat
dari berbagai konsep tentang manusia dan alam tersebut, membangun ilmu
pendidikan Islam dapat dimulai dari apakah pendidikan Islam itu.
Sederhananya,
pendidikan Islam adalah pendidikan yang merujuk kepada Alquran dan Sunnah.
Sebagai instrumen kehidupan pendidikan adalah upaya manusia untuk mengembangkan
segala potensi kemanusiaannya, untuk mengembangkan kualitas hidup untuk dunia
dan akhirat. Dengan kata lain, pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia.
Potensi
dasar manusia yang dikembangkan itu, tidak lain adalah bertuhan dan cenderung
kepada kebaikan bersih dari dosa, berilmu pengetahuan serta bebas memilih dan
berkreasi. Dapat dikatakan, Pendidikan Islam adalah upaya pelayanan bagi
mengembangkan potensi dasar manusia dalam berketuhanan, berbuat baik,
kekhalifahan, berilmu pengetahuan dan berpikir serta bertindak tegas.
Mengembangkan
potensi bertuhan, mengharuskan pendidikan Islam berisi tentang hal yang
menyangkut tentang Tuhan serta membimbing untuk hidup dengan sikap bertuhan
yaitu mengabdi kepada ketentuan Tuhan.
Ketentuan
Tuhan menyangkut Tuhan itu sendiri, alam dan manusia. Karena itu, mengikuti
aturan Tuhan berarti pula mengembangkan potensi kemanusiaan yang terkait
kepentingan hubungan dengan sesama manusia dan alam. Dengan demikian, materi
(kurikulum) pendidikan Islam tidak hanya menyangkut hubungan dengan Tuhan
(ibadah mahdhah), tetapi juga termasuk di dalamnya materi ibadah ghairi
mahdhah.
Hal itu
akan lebih mendukung pengembangan potensi kekhalifahan manusia, yaitu
mengembangkan kemampuan dalam mengurus alam dan manusia sekaligus juga
merealisasikan posisi manusia sebagai Abdullah.
Jika
kita kembali kepada konsep dasar di atas, bahwa alam berkembang secara
bertahap, bermanfaat, stabil, reguler dan dapat diatur manusia, maka Pendidikan
Islam adalah pendidikan yang memiliki tahapan, berkesinambungan, out put
pendidikannya berguna bagi dirinya (QS At Tahrim : 6) dan masyarakatnya
(QS Al Maidah : 2).
Mengembangkan
potensi
Selain
hal tersebut di atas, pertanyaan yang harus dijawab untuk membangun ilmu
pendidikan Islam adalah apa substansi pendidik dan terdidik? Menjawab dua hal
tersebut, tidak bisa lepas dari konsep dasar alam dan manusia yang dijabarkan
di awal tulisan ini.
Pendidik
adalah yang memberikan pelayanan mengembangkan potensi terdidik. Pendidik
seharusnya mengenal dan menguasai konsep dasar tentang manusia dan alam. Dalam
pendidikan Islam, konsep dasar tersebut bersumber dari Alquran dan Sunnah.
Pendidik
juga dituntut mempunyai loyalitas yang satu yaitu kepada Allah SWT dan
meniadakan ikatan yang lain. Hal itu akan berimplikasi kepada sikap guru yang
tidak memutlakkan pendapat manusia. Namun dalam mencapai kesempurnaan dan
saling melengkapi tersebut, pendidik dan terdidik dituntut selalu melakukan
penelitian, mendorong minat dan memperkuat motivasi terdidik agar selalu
belajar.
Pendidik
pun dituntut menjadi teladan dalam segala kesempatan. Sebagai teladan, pendidik
juga belajar mengasah kemampuannya sehingga terdidik akan lebih percaya akan
kemampuan pendidiknya. Dengan belajar, pendidik akan menyadari kekurangannya.
Di samping itu, tehnik dan cara komunikasi pendidik semestinya sesuai dengan
kultur tempat pendidikan dilaksanakan.
Terlepas
dari hal tersebut, subtansi terdidik berkembang dari konsep penerima pasif
informasi (classical education) ke manusia penyerap bentuk prilaku (technological
education). Konsep itu terus berkembang menjadi konsep manusia utuh yang
harus dikembangkan intelektualnya, melalui pengembangan emosi dan penyesuaian
sosial (personalized education). Konsep tesebut akhirnya berujung pada
konsep, bahwa manusia yang perlu dilatih dialog dengan sesamanya (interactional
education).
Perkembangan
konsep tentang manusia tersebut berimplikasi kepada pergeseran peran utama
dalam interaksi belajar mengajar, dari mengutamakan peran pendidik menjadi
mengutamakan peran peserta didik. Keadaan itu merefleksikan pandangan, bahwa
manusia sebagai kertas kosong (emperisme) berkembang kepada pandangan
bahwa manusia berpembawaan baik atau buruk (nativisme). Akhirnya
berkembang menjadi pandangan, bahwa manusia berpotensi baik dan buruk saat
lahir dan ditentukan perkembangannya oleh keadaan lingkungan (konvergensi).
Dalam
Islam seperti telah disebutkan, manusia potensial berbuat baik, berilmu
pengetahuan untuk menguasai keterampilan/khalifah, tidak berpengetahuan saat
dilahirkan serta dapat dipengaruhi lingkungan walau saat akan menghadapi
kematian. Potensi tersebut berkembang secara bertahap, dengan kapasitas yang
berbeda antarindividu. Bertolak dari hal itu, terdidik memerlukan bimbingan
untuk berbuat baik, berilmu dan menguasai suatu keterampilan tertentu dalam
waktu yang lama.
Dari
uraian tersebut, secara epistemologi ilmu pendidikan Islam bersumber dari
Alquran dan Sunnah sehingga berbeda dengan epistemologi yang lain. Meskipun
demikian, ada beberapa hal yang sejalan dengan epistemologi ilmu pendidikan
Islam. Misalnya pandangan realisme metafisik dan hermeneutic.
Oleh :Ahmad Juhaidi *
Sekretaris
Penyunting Jurnal Ilmiah Terakreditasi Khazanah, Mahasiswa Program Magister
Filsafat Islam
Konsentrasi
Filsafat Pendidikan Islam IAIN Antasari
Jumat, 28 Mei 2004 01:33