SAAT ini kondisi keberagamaan umat sangat
memprihatinkan. Dalam memahami ajaran agama, umat beragama telah terjebak dalam
bingkai formalisme ajaran. Ajaran-ajaran agama cenderung hanya dipahami pada
aspek ritual-formalnya, sedangkan ajaran agama yang sangat prinsipil terkubur
oleh hiruk-pikuknya ritualitas. Agama diposisikan sedemikian rupa di pucuk
menara yang sangat tinggi sehingga agama tidak mampu melihat dan merasakan
hamparan masalah kemanusiaan. Agama telah terdistorsi pada sisi ibadah
ketuhanan (mahdhah) semata, sementara sisi sosial (mu’amalah) dari agama
tersingkirkan.
Agama dipahami hanya sebatas urusan manusia
dengan tuhannya. Ketakwaan seseorang tidak dilihat pada sejauh mana seseorang
membela kemanusiaan, tapi hanya dilihat pada sejauh mana orang itu rajin
melaksanakan shalat, haji berkali-kali, puasa senin-kamis, dan seterusnya.
Ukuran keshalehan di dalam masyarakat tidak dilihat pada keadilan sistem
kemasyarakatan, tapi hanya dilihat pada sejauh mana masyarakat
berbondong-bondong meramaikan hari-hari besar agama.
Akibatnya, agama menjadi buta, bisu dan tuli.
Agama tidak mampu berkomunikasi dengan sejarah kemanusiaan. Agama menjadi
tumpul bagi penyelesaian berbagai masalah yang muncul di tengah-tengah
kemanusiaan. Kemiskinan, kebodohan, tirani dan penindasan, dan kesenjangan
sosial tidak kunjung terentaskan tapi justru semakin menguat di tengah-tengah
umat beragama. Agama, yang semestinya hadir di tengah-tengah kemanusiaan untuk
menjadi problem solver terhadap berbagai masalah yang muncul, tapi yang terjadi
adalah sebaliknya. Agama menjadi eksklusif dan umatnya pun menjadi sektarian.
Tak pelak, agama justru menjadi pemicu
tumbuhnya bibit-bibit permusuhan antarmanusia. Ujung-ujungnya misi agung
rahmatan li al-‘alamin dari agama yang didengung-dengungkan di tiap khutbah dan
tabligh akbar menjadi slogan kosong.
Dalam konteks ini, melahirkan pemahaman
keagamaan yang bermuara pada kemanusiaan menjadi keniscayaan. Dimensi
kemanusiaan yang tercerabut dalam doktrin keagamaan harus segera ditanamkan
kembali. Ajaran dasar agama: keadilan, kemerdekaan, dan persamaan; harus segera
diwujudkan. Agama harus segera dihadirkan untuk memberikan pencerahan terhadap
berbagai problem kemanusiaan. Agama harus dikembalikan posisinya di
tengah-tengah sejarah kemanusiaan. Agama harus segera diterjemahkan untuk
menjawab berbagai problematika kemanusiaan.
Hal tersebut utamanya adalah tugas para
agamawan. Selama ini agamawan seperti tertidur pulas di balik selimut tebal
teks dan formalisme ajaran. Satu sisi itu adalah perilaku eskapisme dari
ketidakmampuan dan kejumudan berpikir dari sikap mencari solusi terhadap
masalah yang ada. Satu sisi lain memang karena kebodohan agamawan yang memang
tidak tahu tujuan-inti nilai-nilai agama di tengah kemanusiaan. Sisi yang lain
lagi agamawan telah terbuai bayang-bayang –semu- surgawi, sehingga kehilangan
daya kritisnya terhadap eksistensi -duniawi- agama di bumi.
Berkenaan dengan itu, tugas kita semua adalah
mendorong agamawan agar bisa keluar dari semua belenggu itu. Agamawan harus
terus didorong agar mau melompat dari berkutat hanya pada teks, wilayah mahdlah
dan formalitas-ritual keagamaan menuju pembongkaran masalah-masalah kontekstual
kemanusiaan.
Busung lapar, gizi buruk, kebodohan adalah
sekelumit-kecil masalah riil yang harus dipecahkan dengan kekuatan agama.*
Oleh Ali Sobirin
Alumni PP. Ma’haduth Tholabah Babakan Lebaksiu
Tegal, aktif di P3M Jakarta
20/06/2005 02:24