SALAH satu karakteristik utama budaya Islam di Indonesia modern terletak
pada kemampuannya melahirkan sarjana dan aktivis Muslim yang punya kapabilitas
intelektual tinggi dalam menanggapi tantangan politik, ekonomi, dan budaya di
dunia modern. Entah itu Kiai Haji Achmad Dahlan (1910-an), Kiai Hasyim Asy’ari
(1920-an), entah Nurcholish Madjid, Harun Nasution, dan Abdurrahman Wahid
(1990-an), para pemimpin Muslim Indonesia telah menunjukkan kemampuan luar
biasa melihat tradisi Islam secara mendalam dan mengontekstualkan
wawasan-wawasan keislaman yang relevan dalam menjawab tantangan dunia modern.
MEMANG sejumlah pengamat menilai bahwa kemampuan mengontekstualkan pesan
Islam di dunia modern adalah suatu fenomena yang terjadi dalam sejarah Muslim
di berbagai belahan dunia Islam. Para Muslim revivalis dan reformis benar-benar
telah muncul di banyak negara. Meskipun demikian, ada semacam kekhasan tersendiri
untuk model Indonesia. Ini bukan saja fakta bahwa Indonesia telah memunculkan
para pemikir Muslim, tetapi juga ide-ide dan gagasan pemikiran yang mereka
kembangkan mendapat perhatian hangat di dalam segmen masyarakat Indonesia yang
luas. Hasilnya, sebagian ide dan gagasan pemikiran intelektual mereka diikuti
oleh publik luas, bahkan dipakai sebagai peranti untuk meningkatkan dinamika
intelektual masyarakat Muslim Indonesia.
Kita hanya perlu membandingkan penerimaan publik atas ide-ide pembaharuan
keislaman seorang figur seperti Muhammad Abduh di Mesir dengan Achmad Dahlan di
Indonesia untuk menyadari adanya kekhasan tersendiri model pembaharuan
keislaman di Indonesia. Dengan segenap pertimbangan, Abduh adalah satu dari
sekian pembaharu Muslim terbesar di dunia modern. Meskipun ditunjuk sebagai
mufti besar di Mesir, Abduh sepanjang hidupnya menghadapi oposisi tak kenal
henti atas ide-idenya dari institusi keagamaan, tak terkecuali institusi
pendidikan Al-Azhar itu sendiri. Beberapa pembaharuan pendidikannya pada
akhirnya memang dimasukkan ke dalam kurikulum Al-Azhar, tetapi tidak demikian
halnya dengan ide-ide besarnya dalam pembaharuan keislaman.
Sama pentingnya, meskipun Abduh berharap mempersiapkan jalan bagi
kepemimpinan baru dan organisasi kemasyarakatan bagi Muslim Mesir, oposisi dari
para pemimpin keagamaan di negeri tersebut meyakinkan bahwa ia tidak akan
pernah bisa melakukannya. Hingga sekarang pun bahkan tak ada yang mampu (di
Mesir) menyamai pencapaian luar biasa Muhammadiyah yang digagas Achmad Dahlan.
Organisasi massa Muslim terbesar di Mesir, Ikhwan al-Muslimun, yang dipelopori
Hasan al-Banna pada mulanya memang mengikuti sedikit di antara ide-ide Abduh
ini. Namun, sejak dasawarsa 1930-an, Ikhwan telah berpaling dari cita-cita
ideal Abduh tentang pembaharuan keislaman dan sebaliknya justru mengambil
komitmen merebut kekuasaan di Mesir. Sebaliknya di Indonesia, Achmad Dahlan
relatif berhasil mengembangkan organisasi pembaharuan keislaman yang
berspiritkan, meminjam ungkapan terkenal Amien Rais, "politik tingkat
tinggi" di bidang pemikiran, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
Hasilnya, organisasi keislaman yang skala dan visi besarnya tak ada
bandingannya di Timur Tengah.
Perbedaan seperti ini tidak hanya terbatas di Mesir dan Indonesia. Meskipun
ide-idenya masih termasuk kategori reformisme Sunni yang utama, pembaharu
Muslim asal Pakistan, Fazlur Rahman, dipaksa meninggalkan Pakistan dan
menghabiskan sisa hidupnya mengajar dan menulis di Universitas Chicago, Amerika
Serikat. Sekarang ini ide-ide pembaharuan keislaman Rahman didiskusikan lebih
luas dan bebas di Indonesia ketimbang di negerinya sendiri. Persis dengan kasus
Rahman, ide-ide pembaharuan keislaman reformis besar asal Suriah, Muhammad
Shahrour, juga lebih bebas didiskusikan di Indonesia. Namun, di negerinya
sendiri pembaharuan Shahrour menghadapi tentangan yang begitu sengit dari
segelintir kaum militan hingga pemikir yang berbahasa halus ini dipaksa
menjauhi kegiatan-kegiatan publik dan harus ditemani pengawal saban bepergian
ke luar.
Masyarakat Muslim di Indonesia modern tentu saja tak luput dari
kontroversi, bahkan kekerasan. Namun, ketika melihat lanskap penuh abad XX,
orang dikejutkan dengan fakta bahwa sekalipun disibukkan dengan kontroversi dan
kekerasan, masyarakat Muslim Indonesia secara konsisten kembali berada di jalan
lurus moderasi, pluralisme, dan debat berspirit kebebasan. Meskipun
organisasi-organisasi keislaman seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama digoda
oleh rayuan politik kekuasaan, faktanya mereka secara konsisten kembali pada
garis moderat, pluralisme, dan nasionalisme keagamaan.
DALAM era keterbukaan masyarakat Muslim di Indonesia yang ditandai dengan
suburnya ide-ide pembaharuan dan rekontekstualisasi wacana keislaman itulah
esai Sukidi (Lembaran Bentara, Kompas, 2/3/2005) yang cemerlang tentang seruan
pada pentingnya gagasan Protestanisme Islam membangkitkan butir-butir sangat
penting untuk refleksi pembaharuan keagamaan ke depan. Beberapa butir penting
sebaiknya ditekankan sejak awal.
Pertama, mutu esai Sukidi sendiri yang bagus dan fakta bahwa esai tersebut
telah merangsang diskursus keislaman yang hangat dalam komunitas Muslim dengan
sendirinya mengilustrasikan keterbukaan yang terus-menerus berlangsung di
kalangan Muslim Indonesia.
Kedua, dan sedikit agak menyadarkan, sebagian alasan mengapa esai Sukidi
mengundang debat adalah bahwa ada kekhawatiran yang terus berkembang di
lingkaran intelektual Muslim bahwa sejak akhir rezim Orde Baru masyarakat
Muslim telah kehilangan beberapa elemen keadaban dan energi intelektualnya
sebagai akibat dari percekcokan publik dan tindakan intimidasi beberapa
individu yang berpikiran radikal. Berdasarkan percakapan dengan kawan-kawan di
Indonesia, saya percaya bahwa persepsi inilah yang menyebabkan para intelektual
muda berpikir mengenai apakah Indonesia juga membutuhkan hal-hal yang
didiskusikan oleh Sukidi dengan sangat baik dalam esainya: sebuah reformasi
Protestan Islam yang mampu merangsang kehidupan intelektual dan organisasi
sosial masyarakat Muslim secara keseluruhan.
Catatan Sukidi berhasil dengan cemerlang menggarisbawahi tuntutan gagasan
Protestanisme Islam yang diserukan Jamal al-Din al-Afghani, Ali Shariati, dan
Hashem Aghajari. Ketiga pemikir Muslim ini tentu saja orang-orang Iran.
Ketiganya, seperti ditunjukkan Sukidi, menyerukan pentingnya Protestanisme
Islam sebagai usaha meneguhkan komitmen masyarakat Muslim terhadap kemajuan,
rasionalitas keagamaan, dan di atas semua itu adalah suatu keyakinan bahwa
setiap Muslim menjadi "Imam bagi dirinya sendiri". Ide-ide pembaharuan
seperti itu telah muncul dan muncul kembali di dunia Islam modern. Dengan makna
demikian, Protestanisme Islam benar-benar memiliki beberapa karakteristik
terjadinya suatu "pengembaraan gagasan".
Bagaimanapun juga sangat bermanfaat untuk diingat, sesungguhnya ide
Protestanisme Islam telah menjadi subyek diskusi yang lebih hangat di Iran
dewasa ini ketimbang di dunia Muslim Sunni. Mengapa hal ini terjadi? Mungkin
pertanyaan ini akan sedikit terbantu dengan cara menambahkan travelling theory
Edrward Said dengan beberapa isu dari sejarah sosial Islam di Iran.
Pada abad XVIII dan XIX Islam Shi’ah Iran mengalami transformasi doktrin
dan organisasi yang tak ada bandingannya dengan yang terjadi di dunia Sunni.
Secara lebih khusus, setelah konflik antara mazhab Akhbari dan Ushuli, sebuah
konsensus baru lahir di antara para intelektual agama yang berpusat pada
kewajiban semua mukmin untuk menaati doktrin tentang marja’. Menurut konsep
ini, setiap Muslim saleh diwajibkan tunduk kepada seorang mujtahid yang
berfungsi sebagai marja’ taklidnya, rujukan keagamaannya. Beberapa dekade
setelah doktrin marja’ disebarluaskan, otoritas keagamaan di Iran Shi’ah
mengalami evolusi lebih jauh. Perubahan itu berpusat pada ide bahwa tidak hanya
setiap orang awam yang harus memiliki sebuah marja’, tetapi juga harus ada
sebuah marja’ tunggal tempat para intelektual Muslim bersandar. Yang paling
terhormat adalah seseorang yang disebut sebagai Ayatullah, secara literal
berarti ’tanda Tuhan’.
Dalam konteks ini Shi’ah abad XIX mengembangkan beberapa karakteristik yang
hierarkis dan sentralistik yang secara umum lebih dekat diasosiasikan dengan
Kristen di Barat ketimbang Islam. Namun, tak dapat disangkal pula bahwa
struktur hierarkis Shi’ah Iran tak sekental dan sehierarkis Gereja Katolik Roma.
Seorang intelektual menjadi seorang Ayatullah bukan karena dipilih atau
diangkat oleh ulama, melainkan melalui sebuah proses intelektual informal dan
pendapat publik. Namun, dalam 200 tahun terakhir, Islam Shi’ah telah
mengembangkan tingkat hierarki intelektual dan sentralisasi yang jauh lebih
kompleks ketimbang tipikal Islam Sunni. Fakta inilah, ketimbang faktor lain,
yang membantu menjelaskan mengapa di saat-saat krisis sosial-politik beberapa
orang di Iran menjadi tidak sabar dengan status quo Shi’ah dan seperti Afghani,
Shariati, dan Aghajari, mereka mulai mengimpikan Shi’ah yang mirip dengan
Reformasi Protestan.
Tak ada satu negara pun di kalangan Islam Sunni yang mengambil jalan
sebagaimana ditempuh kaum Shi’ah Iran dengan mandat hierarki marja’ dan kepatuhan
buta. Kecenderungan utama dalam otoritas keagamaan abad XIX dan XX di dunia
Sunni ternyata bukanlah hierarki mandat keagamaan, tetapi lebih perjuangan
kelompok-kelompok Muslim tentang hubungan yang sebaiknya dimiliki antara ulama
dan umat dalam kaitannya dengan negara. Tentu saja ada sejarah panjang atas
perdebatan-perdebatan seperti itu di Islam Sunni. Selama apa yang dikenal
sebagai "inkuisisi" atau mihna di masa kekuasaan Khalifah Abasiyah
al-Ma’mun (813-833) dan diteruskan pada Khalifah al-Wathiq (842-847), para
pejabat kekhalifahan mencoba memaksa kehendaknya kepada para ulama. Konflik
terutama terpusat pada masalah keterciptaan Alquran. Namun, yang menyedot pusat
perhatian dalam konflik mihna adalah pertanyaan tentang siapa yang memiliki otoritas
terakhir untuk membicarakan masalah-masalah keislaman: ulama atau khalifah
(penguasa). Kegagalan khalifah memenangi misi perjuangannya menandai suatu
kemenangan definitif bagi ulama dan menobatkan ulama sebagai pemegang otoritas
prinsipiil dalam masalah teologi Islam dan hukum.
Kegagalan mihna juga meniscayakan bahwa tradisi sentral di Islam Sunni
tetap menjadi sebuah pola "multipusat" otoritas keagamaan, tidak
terpusat pada satu otoritas keagamaan. Yang saya maksudkan dengan hal ini
adalah komunitas intelektual dan orang beriman secara lebih luas, ketimbang
hanya seorang pendeta, khalifah, atau seorang Ayatullah yang bertanggung jawab
dalam masalah-masalah keagamaan. Di awal Kekhalifahan Utsmani, beberapa negara
Muslim modern telah berusaha menolak pendahulu Sunni ini dan menghubungkan
komunitas ulama lebih dekat kepada gerbong kekuasaan. Beberapa Islamis sekarang
juga berpendapat adanya kemiripan etatisasi otoritas keagamaan. Meskipun ada
upaya-upaya demikian, titik sentral otoritas keagamaan di Islam Sunni masih
bersifat multipusat dan komunitarian, tidak tersentralisasi, otoritarian,
ataupun hierarkis.
Inilah perbedaan mendasar antara Sunni dan Shi’ah yang membantu menjelaskan
mengapa ide Protestanisme Islam menjadi sedemikian populer di Shi’ah Iran dan
kurang bergema di dunia Sunni. Kristen prareformasi diorganisasikan di atas
struktur Imam gereja yang hierarkis dan terkontrol secara terpusat, yang status
dan otoritas keimamannya telah ditentukan bukan berdasarkan konsensus
intelektual dan komunitas yang bersifat informal, melainkan melalui struktur
formal institusi dan komando. Karena otoritas keagamaan di Kristen Roma diatur
melalui cara yang korporatis seperti ini, maka Luther dan para pendukungnya
merasa terpanggil memisahkan diri secara keseluruhan dari Gereja Katolik Roma
dan mendirikan Gereja tersendiri yang sepenuhnya terpisah. Islam Sunni kurang
rentan terhadap perpecahan sektarian seperti ini karena, ketimbang hierarkis
eklesiastikal, Islam Sunni memiliki sebuah pola pusat yang beragam dari otoritas
keagamaan.
ARTIKEL Sukidi mengangkat satu isu terpenting lain mengenai relevansi ide
Protestanisme untuk perkembangan Islam kontemporer. Sukidi dengan benar
menunjukkan bahwa Afghani, Shariati, dan Aghajari menekankan bahwa Reformasi
Protestan sangat penting bagi modernisasi Eropa. Afghani melihat konservatisme
ulama sebagai penyebab utama jatuhnya peradaban Islam setelah masa keemasan
Nabi Muhammad dan masa kekhalifahan empat (khulafaurrasyidin). Dijiwai oleh
keyakinan demikian, cukup mudah bagi Afghani menyimpulkan bahwa Islam akan
meraih manfaat positif jika Ia juga mengalami reformasi sebagai alternatif
pembaharuan atas konservatisme ulama. Aghajari telah memberikan kritik
selangkah lebih maju dengan menegaskan bahwa ulama tidak harus diperlakukan
sebagai komunitas yang sakral dan setiap Muslim seharusnya menjadi imam bagi
dirinya sendiri.
Pandangan Afghani tentang Reformasi Protestan, seperti diungkapkan Sukidi,
dipengaruhi oleh sejarawan Perancis, Francois Guizot (1787-1874), yang juga
berasal dari keluarga Protestan. Jika kita menilai relevansi Reformasi
Protestan terhadap Muslim modern bagaimanapun juga kita perlu bertanya apakah
pernyataan-pernyataan Guizot mengenai reformasi pada kenyataannya akurat secara
historis. Apakah Reformasi menjadi batu loncatan penting bagi pembaharuan
intelektual dan politik Eropa? Jika jawaban atas pertanyaan itu adalah ya, maka
Guizot dan Afghani benar dan Protestanisme barangkali benar-benar menawarkan
pelajaran yang berharga bagi Muslim Modern. Namun sebaliknya, jika jawabannya
adalah tidak, relevansi Protestanisme barangkali lebih terbatas.
Terhadap pertanyaan tentang sumbangan Reformasi Protestan terhadap
peradaban Eropa, para sejarawan Barat telah menuliskan catatan yang lebih
teliti ketimbang yang dilakukan Guizot, bahkan sekalipun dibandingkan dengan
yang dilakukan sosiolog besar Jerman, Max Weber. Reformasi Protestan bukan
sekadar pencapaian intelektual yang mendorong para penganut agama untuk lebih
bertanggung jawab terhadap iman mereka masing-masing. Reformasi Protestan juga
merupakan peristiwa politik yang kompleks, yang memicu krisis politik dan
kultural yang besar. Pendukung tulen toleransi dalam usia mudanya, seperti
terekam dalam On Secular Authority (1523), Martin Luther menjadi kurang toleran
pada tahun-tahun belakangan. Pecahnya the Peasants War di Jerman tahun 1524 dan
meningkatnya popularitas Protestanisme radikal menginspirasi Luther mengambil
kesimpulan bahwa otoritas negara memiliki kewajiban bertindak atau menghukum
secara tegas para penghujat dan pemberontak agama. Eropa sendiri menyaksikan
pecahnya kekerasan massal yang dahsyat dan pembersihan etnik-keagamaan beberapa
dekade setelah Reformasi.
Disetujui di wilayah Jerman pada tahun 1555, Perjanjian Augsburg berupaya
mengakhiri perang Katolik-Protestan dengan mewajibkan setiap orang dalam setiap
teritori mengikuti agama dari raja yang berkuasa di daerahnya. Sambil
mengakomodasi pluralisme agama yang sedang tumbuh di Eropa, perjanjian itu juga
memperkuat hubungan antara Gereja dan negara, dan mempertebal komitmen para
pejabat negara untuk menegakkan ortodoksi keagamaan. Di kedua belah pihak, baik
Katolik maupun Protestan Eropa, ribuan pemikir yang (dianggap) menyimpang
dikutuk sebagai "orang-orang bidah" dan dieksekusi. Seabad setelah Reformasi
juga ditandai dengan serangan yang mengerikan kapada orang Yahudi, juga para
pemikir yang menyimpang dan orang-orang eksentrik dari berbagai agama yang
secara umum dikenal sebagai "para penyihir". Serangan terhadap
orang-orang yang secara sosial dikategorikan eksentrik ini berlangsung dari
tahun 1560 hingga tahun 1660 dan mengakibatkan korban jiwa yang lebih parah
dari kampanye antibidah. Perkiraan yang konservatif memperkirakan korban jiwa
30.000 orang di Eropa Barat. Namun, perkiraan lain menyatakan jumlahnya tiga
hingga empat kali lebih besar dari angka tersebut.
Dari akibat kekerasan Reformasi inilah beberapa penguasa di Republik
Belanda, Prusia, Inggris, dan Wales menyimpulkan bahwa di tangan kepentingan
politik mereka terletak kekuasaan meminimalkan rangsangan Reformasi menuju
purifikasi agama dan untuk mengizinkan para penganut berbagai sekte keagamaan
dalam wilayah kekuasaan mereka. Argumen-argumen untuk hal demikian sering kali
bersifat pragmatis. Di Prusia, misalnya, raja yang berkuasa mempromosikan multikonfesionalisme
(multiekspresi keberagamaan) sebagai metode untuk memikat daya tarik
orang-orang kaya dan industri. Di Belanda dan Inggris toleransi terhadap agama
minoritas ditegakkan dengan adanya kesadaran yang semakin tumbuh bahwa
upaya-upaya negara menegakkan konformitas agama telah mengakibatkan korban jiwa
yang dahsyat. Berkat tumbuhnya toleransi pasca-Reformasi dan hilangnya program
purifikasi agama yang dipaksakan oleh negara, maka hal itu memungkinkan ilmu
pengetahuan Eropa maju dengan pesat, bisnis berkembang, dan orang dari berbagai
latar agama dan etnis hidup berdampingan secara damai.
Karena itu, ada sejumlah dasar untuk lebih berhati-hati mengambil secara
literal seruan Protestanisme Islam Afghani, Shariati, dan Aghajari. Sudah
pasti, seseorang dapat memahami daya tarik gagasan Protestanisme Islam,
sebagaimana terjadi di Iran modern, tempat tradisi marja' dipakai untuk
membungkam para sarjana kritis dan pendukung pembaharuan keagamaan. Dalam
masyarakat Sunni, ajakan reformasi model Protestan barangkali kurang terkait
dengan hierarki otoritas keagamaan per se, tetapi lebih karena rasa frustasi
pada konservatisme ulama tertentu dalam Islam. Sebab itu, cukup dapat dipahami
bahwa beberapa intelektual Muslim dan ulama menyerukan Reformasi Protestan
dalam Islam karena mereka merasakan kolaborasi yang terlampau dekat antara
ulama dan penguasa justru mendiskreditkan agama Islam itu sendiri.
Kendatipun permasalahan terakhir ini barangkali cukup serius di sejumlah
negara, dalam pengertian literal, Reformasi Protestan tampaknya tidak akan
menyelesaikan masalah itu. Reformasi Protestan memang berhasil membersihkan
Kristen Barat dari beberapa inovasi (bidah) abad pertengahan, dan mendorong
individu beriman untuk bertanggung jawab atas imannya masing-masing. Namun,
semangat melakukan purifikasi skripturalis juga meningkatkan tekanan akan
adanya konformitas keagamaan dan menghilangkan gelombang persekusi dan
pembersihan etnik-keagamaan. Tentu ini bukanlah Protestanisme yang terekam
dalam pemikiran Afghani, Shariati, dan Aghajari. Namun, sejarah yang lebih luas
tentang Reformasi Protestan mengingatkan kita bahwa pembaharuan agama yang
dilakukan dengan niat mulia pun dapat memudarkan semangat irreligius ketika
otoritas keagamaan bercampur baur atau di bawah kekuasaan negara. Bagi pengikut
Islam Sunni, upaya pertahanan terbaik melawan ancaman ini barangkali kurang
terletak pada pembaharuan iman seperti pada Reformasi Protestan, melainkan
lebih pada pendalaman iman tentang pluralisme dan pemikiran yang menjadi ciri utama
kaum Islam Sunni sejak dahulu kala, tetapi justru telah dirusak oleh mereka
yang mengingkari warisan besar tradisi Islam Sunni.
Kompas, Rabu, 06 April 2005
Robert W Hefner Profesor Antropologi Agama di Universitas Boston, Amerika Serikat;
Penulis Buku Civil Islam, [Princeton, 2000]; dan Editor Tamu pada New Cambridge
History of Islam, Volume VI