Saat ini Amerika Serikat (AS) menjadi super power dunia, jauh meninggalkan Eropa. Kiblat kemajuan peradaban modern terletak di tangan AS, yang tentu saja bukan dalam konotasi aspek-aspek negatif AS. Hal-hal negatif AS, tentu saja, banyak dan harus dihindari jauh-jauh, terutama kebijakan politik luar negeri AS yang selamanya tak bersahabat terhadap dunia Islam. Kita, bangsa Indonesia, sepantasnya mengkaji hal-hal positif dan substansial di balik keberhasilan AS; dengan perekonomian yang kuat, pertahanan militer yang tangguh, kehidupan rakyat yang makmur dan sejahtera, tradisi demokrasi liberal yang mapan, pendidikan yang maju, dan tumbuhnya warga negara yang otonom, rasional, modern, dan religius sekaligus.
DALAM karya terbarunya, Who Are We? The Challenges to America’s National Identity (2004), profesor ternama di Universitas Harvard, Samuel P Huntington, ingin menemukan kembali apa yang disebut the American Creed. Suatu prinsip keyakinan utama AS yang mendasari keberhasilannya menjadi bangsa demokratis yang maju dan sejahtera: kebebasan, persamaan, demokrasi, nondiskriminasi, hak-hak asasi manusia, dan aturan hukum. Thomas Jefferson sampai bersumpah untuk secara abadi melawan setiap bentuk tirani terhadap jiwa manusia (I have sworn... eternal hostility against every form of tyranny over the mind of man), dan berdiri tegak di atas prinsip kebebasan dan persamaan harkat dan martabat manusia. Sejumlah sarjana terkemuka, sejak Tocqueville, Bryce, Louis Hartz, Seymour Martin Lipset, sampai Huntington menarik kesimpulan, benang merah the American Creed terlahir berkat warisan nilai-nilai kultural tradisi Anglo-Protestant. Dalam sejarahnya, tradisi ini merupakan warisan orang-orang protestan Inggris yang menjajah AS sejak abad ke-17, dan konsekuensinya ikut serta membentuk nilai-nilai AS seperti individualisme, toleransi, moral dan etika kerja, serta kecenderungan berasosiasi secara sukarelawan. Inilah yang disebut dengan nilai-nilai civic life yang diderivasikan dari etika protestan yang kemudian berperan dalam pembentukan dan penguatan tradisi demokrasi di AS.
Hanya, kita sering mengasosiasikan individualisme AS sebagai egoisme, suatu sikap hidup yang mementingkan diri sambil acuh tak acuh terhadap sesama warga lain. Padahal, pengasosiasian itu sama sekali tidak benar. Sosiolog masyhur Amerika, Robert N Bellah, bersama empat ilmuwan sosial terkemuka Madsen, Sullivan, Swidler, dan Tipton, dalam Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life (1985) menganalisis individualisme AS dengan mewawancarai lebih dari 200 kelas menengah, sampai pada kesimpulan, nilai-nilai utama kehidupan AS justru didasari individualisme yang berakar pada tradisi biblikal tanpa harus tercerabut dari asosiasi-asosiasi sipil (civic associations) yang sifatnya sukarela (voluntary).
Bahkan, Jefferson mendeklarasikan suatu komitmen moral politik, menjadikan AS sebagai bangsa besar dan modern, harus disandarkan pada tanggung jawab moral bersama dengan menempatkan setiap warga AS bertanggung jawab terhadap kesejahteraan sesama warga negara demi kebaikan bersama.
Karena itu, gereja dalam makna umumnya, tidak saja menjadi ritus seremonial belaka, tetapi sekaligus berfungsi sebagai asosiasi sosial. Namun, dalam wawancara dengan Nan Pfautz, Bellah bersama koleganya menemukan data menarik tentang kecenderungan privatisasi agama yang melampaui gereja. Misalnya, Pfautz berkisah, "saya merasakan bahwa hubungan personal saya dengan Tuhan adalah baik ketika saya justru tidak berada di gereja" (Bellah, et all, 1985:228). Ternyata dia telah meredefinisi gereja dari sekadar tempat ritus keagamaan menjadi institusi sosial yang peduli terhadap masalah-masalah kemanusiaan.
KITA seharusnya menjadi sadar dan mengambil hikmah-kearifan bahwa the American Creed justru terilhami dan lahir dari rahim etika Anglo-Protestant yang kemudian berkontribusi besar terhadap komitmen moral-keagamaan dan etika kerja yang produktif. "Sejak awal," demikian kesimpulan Huntington, "agama AS telah menjadi agama kerja."
Indonesia, dengan populasi Muslim terbesar di dunia, seharusnya menjadikan Islam sebagai spirit dan etika kerja yang bersih dan produktif sesuai the Indonesian Islamic Creed. Hanya saja, kita tampaknya sedang ada dan melaju di persimpangan jalan: etos kerja yang lemah-yang kian menegaskan kebenaran mitos kemalasan orang-orang Asia, terutama Indonesia-yang justru diiringi komitmen moral yang rendah. Hal ini, misalnya, ditandai dengan semakin vulgarnya modus korupsi yang justru terjadi di era reformasi.
Karena itu, saatnya kita segera mengadopsi sekaligus mengubah sumpah Thomas Jefferson yang secara abadi melawan setiap bentuk tirani terhadap jiwa manusia, menjadi komitmen kita untuk bersumpah abadi melawan setiap bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (we all swear... eternal hostility against every form of corruption, collusion, and nepotism).
Pasangan capres-cawapres dalam putaran kedua ini harus diikat komitmen moral politik. Jika tidak, dikhawatirkan kesenjangan dalam ukuran nilai (value judgment) kian meningkat, terutama pada pemimpin politiknya yang masih memakai pola kepemimpinan yang kharismatik, popularistik, tradisionalistik, feodalistik, paternalistik, dan militeristik.
Setiap hari kita disuguhkan sedemikian banyak berita adanya keterlibatan pemimpin politik dalam korupsi, kolusi dan nepotisme, namun tanpa merasa bersalah sedikit pun. Karena itu, kita sering menemukan anomali dan penyimpangan moral, tetapi justru tidak disadari oleh yang bersangkutan. Karena, sesuatu yang dalam wawasan modern nation state adalah pelanggaran etika dan moral, namun menurut persepsi tradisionalistik-feodalistik-paternalistik dan militeristik orang bersangkutan adalah hal wajar. Dalam perkembangannya, praktik-praktik tak bermoral dan anomali itu dapat menjadi kebiasaan (habit) dan dianggap wajar sehingga berubah hakikat menjadi watak, seperti ungkapan pepatah, habit is second nature. Perkembangan ini jelas membahayakan karena nantinya orang berkorupsi, kolusi dan nepotisme akan dianggap wajar, as second nature, part of the soft culture.
TERHADAP pasangan capres-cawapres tahap kedua, antara Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) dan Megawati-Hasyim Muzadi, harus belajar dari kesalahan masa lalu sehingga kita tidak menjadi bangsa yang berulang kali mengulangi kesalahan serupa. Salah satu caranya dengan sedini mungkin menanggalkan pola kepemimpinan tradisionalistik, feodalistik paternalistik, dan militeristik. Sebab, demikian setidaknya menurut cendekiawan Nurcholish Madjid, paternalisme dengan amat mudah mengarah pada otoritarianisme yang berlanjut ke arah tirani.
Sebagai kelanjutan paternalisme, otoritarianisme adalah pola kepemimpinan yang menuntut kepatuhan mutlak kepada "yang berwenang", tanpa tersisa ruang kebebasan dan otonomi individu. Dan tirani sendiri adalah wujud jabatan, wewenang, atau yurisdiksi seorang penguasa mutlak.
Semua ini amat menghambat upaya mewujudkan bangsa modern Indonesia karena demokrasi tidak mungkin diwujudkan jika masyarakat masih didominasi pola kepatuhan mutlak, kharismatik, dan militeristik kepada pemimpinnya.
Sebaliknya, demokrasi hanya bisa diwujudkan bila masyarakat mampu dan adaptif dengan pola kepatuhan yang terbuka, rasional, dan kalkulatif; bahkan hampir-hampir kontraktual kepada pemimpin.
Yang terakhir ini, relasi politik kontraktual antara pemimpin dan warga, diikatkan kontrak politik kita kepada pasangan capres-cawapres putaran kedua sejauh pola kepemimpinannya masih dalam kerangka modern nation state. Pun sebaliknya, kita menghentikan ikatan kontraktual kepada pemimpin politik jika pola kepemimpinannya justru mengarah pada pola feodalistik, paternalistik, dan militeristik yang rawan terhadap gejala anomali dan penyimpangan etika-moral, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sejak sekarang kita harus sepakat, korupsi, kolusi dan nepotisme adalah musuh bersama sepanjang hidup, tanpa sedikit pun menoleransinya. Dengan jalan ini, kita akan lekas keluar dari kubangan krisis, sekaligus menyongsong Indonesia menjadi negara bangsa modern yang berkeadilan, berkemakmuran, dan demoratis.
Sukidi Mulyadi Kader Muhammadiyah; Alumnus Ohio University; Mahasiswa Teologi di Harvard Divinity School, Harvard University, Cambridge, Amerika
Kompas, Jumat, 06 Agustus 2004