Mengatakan bahwa agama sebagai sumber kekerasan agaknya memang sebuah paradoks, karena pesan inti agama adalah perdamaian. Tapi, menolak keterkaitan itu sama sekali juga merupakan perbuatan naif, karena kita jelas-jelas melihat banyaknya fenomena pembunuhan, terorisme, dan perusakan yang mengatasnamakan agama.
Catatan: Rubrik
Kajian di Jawa Pos sejak 11 Februari 2005 dimuat setiap hari Jumat
Para sosiolog sejak
lama berbicara tentang agama sebagai sumber kekerasan. T.K. Oommen, sosiolog
asal India, misalnya, menyimpulkan bahwa kekerasan agama bukan hanya disebabkan
oleh faktor-faktor eksternal seperti ekonomi, politik, dan psikologi, tapi juga
karena agama sendiri menyediakan rujukan yang cukup banyak untuk perilaku
semacam itu. Oommen melakukan penelitiannya terhadap semua agama besar dunia,
termasuk Islam dan Hindu (T.K. Oommen, Religion as Source of Violence, 2001).
Kaum agamawan dan
para moralis biasanya menolak pandangan atau hasil penelitian semacam itu. Bagi
mereka, kekerasan bertentangan dengan pesan luhur semua agama. Karenanya tidak
mungkin agama menjadi sumber kekerasan. Kalaupun ada kekerasan yang bekaitan
dengan agama, maka itu merupakan perbuatan “oknum” pemeluk agama.
Mengatakan bahwa
agama sebagai sumber kekerasan agaknya memang sebuah paradoks, karena pesan
inti agama adalah perdamaian. Tapi, menolak keterkaitan itu sama sekali juga
merupakan perbuatan naif, karena kita jelas-jelas melihat banyaknya fenomena
pembunuhan, terorisme, dan perusakan yang mengatasnamakan agama.
Saya kira, temuan
para sosiolog itu harus disikapi dengan arif. Sikap emosi dan prasangka buta
bukanlah respon yang bijak. Marilah kita mengaca dan memeriksa diri apakah
memang agama benar-benar menyediakan amunisi kepada pemeluknya untuk melakukan
tindak kekerasan.
Pertama-tama,
kekerasan, saya kira, harus dipahami sebagai konsekwensi dari sikap intoleran
kepada orang lain (atau pemeluk agama lain). Kalaupun agama tak secara langsung
menyuruh umatnya melakukan kekerasan (seperti teror dan perusakan), agama, saya
kira, menyediakan pesan yang cukup banyak untuk bersikap tidak toleran.
Saya ingin memberi
contoh satu doktrin Islam yang sering digunakan oleh kaum Muslim untuk
membenarkan perilaku intoleran dan bahkan tindak kekerasan kepada orang lain;
yakni doktrin “amar makruf nahi munkar” yang sangat terkenal itu. Doktrin ini,
menurut saya, memberikan peluang bagi intoleransi dan kekerasan.
“Amar makruf nahi munkar” artinya menyuruh orang kepada kebaikan
dan mencegahnya berbuat hal-hal yang munkar atau dilarang agama. Sebagian kaum
Muslim menganggap bahwa “mencegah yang munkar” harus dilakukan pertama-tama
dengan kekerasan (secara fisik), karena sebuah hadis dengan tegas menganjurkan:
“Jika kalian melihat suatu kemunkaran, ambillah tindakan dengan tangan kalian…”
(man ra’a minkum munkaran, fal yughayyir biyadih…).
Doktrin dan
pemahaman ini dipakai oleh sekelompok kaum Muslim di Indonesia dan Malaysia
untuk membenarkan perbuatan mereka melakukan razia dan perusakan terhadap
tempat-tempat yang mereka anggap sebagai maksiat atau kemunkaran. Di Indonesia,
kelompok semacam ini diwakili oleh FPI (Front Pembela Islam), sedangkan di
Malaysia diwakili oleh JAWI (Jabatan Agama Islam Wilayah Persekutuan).
Baru-baru ini, JAWI
melakukan serangkaian razia dan penangkapan terhadap anak-anak muda yang sedang
berkumpul di kafe dan tempat-tempat umum (Sunday Mail, 23 Januari 2005).
Tindakan ini persis seperti yang pernah dilakukan oleh para anggota FPI
beberapa bulan lalu. Masyarakat resah dengan tindakan sewenang-wenang itu. Dan
mereka menuntut PM Abdullah Badawi segera menertibkan para “polisi moral” itu.
Tapi, para pemimpin
JAWI tak merasa bersalah dengan apa yang sudah dilakukannya. Ketika salah
seorang pemimpin mereka ditanya mengapa melakukan perbuatan itu, jawabannya
persis seperti yang pernah dikemukakan pemimpin FPI, yakni mereka berusaha
menerapkan amar makruf nahi munkar dan hadis nabi man ra’a minkum munkaran.
[Luthfi Assyaukanie]
21/02/2005