Tafsir Al-Qur'an Inklusif

Tafsir al-Qur’an yang memberi kesan Islam inklusif, ramah dan menyejukkan dalam karya-karya tafsir sangat terkait dengan realitas ayat-ayat al-Qur’an yang sangat interpretable, pengaruh ideologi dan kecenderungan penafsir, serta metode tafsir yang dikembangkan. Faktor-faktor tersebut dalam keadaan tertentu kurang mendukung produk tafsir yang inklusif, karena sifat reduksionistiknya –baik pada tataran penarikan suatu ayat pada keinginan penafsir seperti yang terlihat dari corak tafsir yang beragam atau pada keterbatasan kompetensi metode, seperti pada metode tafsir analitik/tahlili yang sulit menghindarkan diri dari pengulangan pembahasan, tidak komprehensif dan parsial.

Implikasi tafsir reduksionistik ini cukup mendasar, di samping pengkotakan produk tafsir, juga pemunculan produk tafsir yang eksklusif dan fundamentalistik. Eksklusifitas dan fundamentalitas tafsir secara sosiologis bernuansa politis, wujudnya bisa berbentuk kekhawatiran, atau lebih jauh lagi, melawan pengaruh non-Islam seperti yang dilakukan Sayyid Qutb dalam Fi-Zilal al-Qur’an, yang mengkritik dengan tajam modernisme Barat yang dia sebut sebagai jahiliyya modern. Secara antropologis, produk tafsir bisa diarahkan untuk memenuhi dorongan penulis dalam menampilkan idealitas Islam, seperti yang tercermin dalam tafsir Tafhim al-Qur’an karya Abul ‘Ala Mawdudi. Persoalannya, ketika bentuk kekhawatiran, perlawanan dan keinginan menampilkan idealitas Islam hanya ditopang penafsiran yang tidak menyeluruh, penampakan wajah Islam menjadi terdistorsi.

Pemerhati kajian al-Qur’an sebenarnya menyadari potensi problem dalam menafsirkan Kitab Suci. Hal ini terlihat dengan upaya mereka untuk mengembangkan apa yang kita kenal sebagai ‘ulum al-Qur’an, di dalamnya dibangun pagar-pagar agar produk tafsir itu benar. Di antara pagar-pagar yang dikembangkan adalah dari asbab al-nuzul, pendasaran terhadap penjelasan al-Qur’an yang disampaikan generasi pertama (Nabi dan Sahabat), tabi‘ dan tabi‘ al-tabi‘in (pendasaran ini adalah prinsip dasar dari metode tafsir yang dikenal dengan al-tafsir bi al-ma’thur), kaidah kebahasaan, naskh (prinsip penyelesaian kontradiksi antar ayat dalam aspek hukum atau redaksinya), sampai pada persyaratan integritas moral dan otoritas keilmuan penafsir. Dalam pengembangan pagar-pagar penafsiran tersebut bahkan ortodoksi tafsir al-Qur’an sampai pada kesimpulan bahwa tafsir yang benar adalah tafsir yang sejauh mungkin bisa memagari keterlibatan subyek, akal, ideologi dan madzhab penafsir.

Pertanyaannya, mengapa -walau pagar-pagar penafsiran telah ditancapkan- banyak produk tafsir masih reduksionistik dan eksklusif? Merespon pertanyaan ini, saya melihat perlunya meninjau ulang “kearifan” ulama salaf yang selama ini dipegang, bahwa penafsiran yang benar adalah penafsiran yang sesuai dengan maksud Tuhan. Sedangkan yang paling otoritatif dan mengetahui maksud Tuhan adalah Nabi dan generasi terdekat beliau. Alasan yang biasa dikemukakan adalah karena Muhammad Saw, penerima wahyu yang mengetahui maksud Tuhan, Sahabat juga mempunyai pengetahuan tersebut karena mereka hidup bersama, dan mendengarkan langsung penjelasan Rasul. Demikian juga dua generasi berikutnya, Tabi‘in, Tabi‘ al-tabi‘in, mereka bergaul dengan para Sahabat. Kelemahan dari pendasaran ini adalah pendekatan terhadap al-Qur’an yang parsial dan terlalu fokus mencari penafsiran yang sedekat mungkin dengan kehendak Tuhan, sehingga melupakan maksud pewahyuan al-Qur’an, yaitu untuk sebanyak-banyaknya kemanfaatan bagi manusia.

Poin yang ingin saya buat dari penjelasan di atas adalah bahwa pemahaman kehendak Tuhan harus dibarengi dengan pemahaman kompleksitas manusia dan budayanya. Saya melihat penafsiran al-Qur’an sering dilakukan hanya untuk memahami kehendak Tuhan, tapi melupakan obyek penerapan produk tafsirnya, yaitu manusia, sehingga wajar kalau kemudian produk tafsirnya bersifat simplisistik dan tidak menjawab persoalan yang dihadapi manusia, malah memperuncing persoalan.

Model penafsiran seperti apa yang kemudian perlu dikembangkan agar terlahir produk tafsir yang inklusif? Saya memandang metode tafsir madhu‘i atau tematik menawarkan pendekatan sistemik dan komprehensif atas tema-tema yang diangkat. Contoh par excellent bisa disebut di sini adalah Major Themes of the Qur’an karya Fazlur Rahman dan Wawasan Alqur’an karya Quraish Shihab. Kedua, peminjaman disiplin ilmu-ilmu kebahasaan dan sosial-budaya yang membantu memahami kompleksitas realitas manusia. Karya-karya perintis yang bisa disebut di sini adalah Lectures du Coran dan The Concept of Revelation: from Ahl al-Kitab to the Societies of the Book, karya Mohammed Arkoun, Ethico-Religious Concept in the Qur’an karya Toshihiko Izutsu, dan Qur’an Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression karya Farid Esack.

Gabungan kedua alat pendekatan di atas akan memberi hasil baru yang lebih mengapresiasi atau mempertemukan kehendak Tuhan dan kompleksitas kehidupan manusia. Tawaran baru itu diwujudkan dalam bentuk tawaran konseptual, bukan hukum yang mengikat, karena persoalan hukum dalam Islam ada dalam pembahasan ushul al-fiqh. Tawaran konseptual ini bersifat universal, bisa dimanfaatkan oleh manusia secara keseluruhan, dan obyektif, karena tawaran tersebut dapat diurai secara sistematik, diukur dan dibuktikan kembali. Dengan kata lain pendekatan rasional dan komprehensif terhadap kandungan al-Qur’an akan memperkenalkan Islam yang lebih inklusif. Wa Allah A‘lam bi al-Sawab.


Oleh Kusmana
07/12/2001

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design