Thahthawi dilahirkan di
Thahta, sebuah kota kecil di Mesir, tiga tahun setelah Napoleon menginjakkan
kakinya di Mesir. Ia melewati masa kecilnya di kota itu, mempelajari ilmu-ilmu
agama dan mendengarkan cerita-cerita kejayaan Islam masa silam. Ia selalu
tertarik mendengar kisah-kisah semacam itu, satu hal yang kemudian sangat
mempengaruhi perjalanan intelektualnya.
Ketika Napoleon Bonaparte menginjakkan kakinya di
Mesir pada tahun 1798, Mesir berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.
Secara politik, negeri ini terbelah oleh dua kekuatan yang saling
menghancurkan. Yakni, kekuatan Mamluk yang berkuasa secara turun-temurun sejak
abad ke-13 dan kekuatan yang didukung oleh pemerintahan Utsmaniyah di Istanbul.
Pada tahun 1760, Ali Bey al-Kabir berhasil menghabisi sisa-sisa kekuatan
Utsmaniyyah di Mesir dan memegang kendali pemerintahan secara independen.
Begitu berkuasa, ia langsung mencanagkan program pembangunan dengan membuka
hubungan dagang dengan Eropa, meningkatkan pajak pendapatan, dan memperbaiki
kekuatan militer.
Sebelum program pembangunan al-Kabir menampakkan hasil, ia keburu meninggal, dan digantikan oleh salah seorang keturunannya, Muhammad Bey (1772-1775). Tapi, Muhammad hanya bertahan tiga tahun, karena ia juga meninggal dunia karena sebab yang misterius. Sejak ditinggalkan Muhammad, Mesir praktis tidak memiliki pemerintahan yang stabil. Keturunan Muhammad dan anggota klan Mamluk lainnya (para Bey), secara bergantian saling membunuh untuk menguasai negeri piramida itu. Pertikaian antara Bey (Bey adalah gelar terhormat bangsa Mamluk) baru selesai ketika Napoleon mendarat di Mesir dengan pasukan lengkapnya. Sejak saat itulah Mesir dijajah Perancis hingga kekuatan Utsmaniyyah yang didukung Inggris mengusirnya pada tahun 1801.
Rif’at Badawi Rafi al-Thahthawi lahir dalam kondisi Mesir yang tidak menentu itu, perebutan kekuasaan antar dinasti, klan, dan penjajah Eropa. Thahthawi dilahirkan di Thahta, sebuah kota kecil di Mesir, tiga tahun setelah Napoleon menginjakkan kakinya di Mesir. Ia melewati masa kecilnya di kota itu, mempelajari ilmu-ilmu agama dan mendengarkan cerita-cerita kejayaan Islam masa silam. Ia selalu tertarik mendengar kisah-kisah semacam itu, satu hal yang kemudian sangat mempengaruhi perjalanan intelektualnya.
Pada usia 16 tahun, al-Thahthawi melanjutkan studinya di al-Azhar. Saat itu, Mesir dikuasai oleh Muhammad Ali, seorang desertir Utsmaniyah yang memproklamirkan negara Mesir merdeka pada tahun 1805. Di masa pemerintahan Muhammad Ali, Mesir mulai mengalami ketenangan politik, khususnya setelah Muhammad Ali membantai sisa-sisa petinggi Mamluk pada tahun 1811. Untuk memajukan Mesir, Muhammad Ali melakukan pembenahan ekonomi dan militer. Atas saran para penasihatnya, ia juga melakukan program pengiriman tentara untuk belajar di Eropa.
Thahthawi adalah bagian dari program perbaikan ekonomi-militer Mesir yang dicanangkan Muhammad Ali. Pada tahun 1826, ia ditunjuk menjadi pemimpin (imam) delegasi pelajar-tentara Mesir yang dikirim ke Paris, Perancis. Saat itu, Thahthawi sebetulnya sedang menikmati masa-masa indahnya belajar di al-Azhar. Ia mendapatkan guru yang baik, di antaranya Syeikh Hassan al-Attar, guru dan pembimbing yang juga merupakan teman diskusinya yang mengasyikkan. Ia mengerti betapa luhurnya tugas tentara. Karenanya, ia tak menolak ketika gurunya merekomendasikannya menjadi imam delegasi pelajar-tentara yang dikirim Muhammad Ali.
Paris adalah kota yang sangat menentukan bagi kehidupan dan karir intelektual Thahthawi. Selama berada di “ibu kota” Eropa ini, mahasiswa al-Azhar itu tidak cuma menjadi imam shalat atau rujukan masalah-masalah keagamaan bagi kawan-kawannya. Dengan semangat dan kreatifitas tinggi, Thahthawi mempelajari bahasa Perancis dan mengamati sosiologi masyarakat Eropa. Setelah mahir berbahasa Perancis, ia pun melahap semua buku-buku penting yang dijumpainya. Di kota itulah, ia berkenalan dengan buku-buku logika, filsafat, sejarah, hukum, sastra, dan biografi orang-orang besar, termasuk biografi Napoleon. Ia juga berkenalan dengan pemikiran-pemikiran liberal Perancis semacam Voltaire, Montesquieu, Condillac, dan Rousseau.
Thahthawi tinggal di Perancis selama lima tahun. Sekembalinya ke Mesir, ia menuliskan pengalaman hidupnya selama berada di Paris dalam sebuah buku yang kemudian menjadi salah satu sumber penting sejarah pemikiran modern dalam Islam. Yakni, Takhlis al-Ibriz ila Talkhis Bariz. Dalam buku ini, Thahthawi memuji pencapaian yang dilakukan negara-negara Eropa, khususnya Perancis. Ia menggambarkan kondisi Perancis yang bersih, anak-anak yang sehat, orang-orang yang sibuk bekerja, semangat belajar yang terpancar dari wajah kaum mudanya, dan kelebihan-kelebihan lainnya yang ia saksikan selama berada di Perancis. Selain memberikan pujian, Thahthawi juga memberikan beberapa kritikan terhadap masyarakat Perancis. Ia mengatakan bahwa kaum pria di negeri itu telah menjadi budak para wanitanya dan orang-orang Perancis pada umumnya sangat materialistis.
* * *
Begitu menginjakkan kakinya di bumi Mesir, Thahthawi bertekad untuk memajukan tanah airnya. Memori Perancis dengan segala keindahan dan kedisiplinan warganya selalu menjadi obsesinya. Bukunya, Takhlis, yang diterbitkan hanya beberapa bulan setelah kedatangannya di Mesir adalah salah satu bukti dari tekadnya yang begitu kuat untuk mengeropakan Mesir. Di Kairo, ia mendirikan lembaga penerjemahan yang disebut Sekolah Bahasa. Lembaga ini mirip dengan fungsi Bayt al-Hikmat pada masa-masa awal kerajaan Abbasiyyah. Thahthawi sendiri menerjemahkan sekitar 20 buku berbahasa Perancis dan mengedit puluhan karya terjemahan lainnya. Sebagian besar buku-buku yang disupervisinya adalah buku-buku sejarah, filsafat, dan ilmu kemiliteran. Buku penting yang diterjemahkannya sendiri adalah Considerations sur les Causes de la Grandeur des Romains et de leur Decadence karya filsuf Perancis Montesquieu.
Dari buku-buku yang diterjemahkannya, terlihat kecenderungan Thahthawi terhadap filsaafat politik. Satu tema yang kemudian menjadi isu sentral dari pemikiran-pemikirannya, khususnya ketika ia berbicara tentang kondisi Mesir dan bangsa Arab modern. Sayangnya, lembaga penerjemahan yang sangat berjasa itu harus ditutup ketika penguasa Mesir yang juga cucu Muhammad Ali, Abbas Hilmi I, mulai tidak menyukainya dan “membuang”-nya ke Khortoum, Sudan. Baru pada pemerintahan Sa’id –anak keempat Muhammad Ali—menggantikan kemenakannya, ia diperbolehkan pulang ke Kairo, dan kembali memegang peranan dalam gerakan penerjemahan buku-buku asing.
Pada pemerintahan Ismail, cucu Muhammad Ali yang lain, Thahthawi dilibatkan berbagai kegiatan ilmiah, termasuk menjadi anggota komisi penerbitan pemerintah di Boulaq yang kemudian populer dengan sebutan “mathba’ah boulaq.” Di Boulaq, Thahthawi memberi banyak masukan buku-buku berbahasa Arab klasik yang perlu diterbitkan. Di antaranya al-Muqaddimah karya Ibn Khaldun yang populer itu. Di samping kesibukannya sebagai penerjemah dan mengawasi proyek penerjemahan, Thahthawi masih menyempatkan menulis beberapa buku penting. Di antaranya al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin yang ditulis untuk generasi muda dan Manahij al-Albab al-Mishriyya fi Mabahij al-Adab aal-‘Ashriyya tentang sosiologi Mesir.
Thahthawi meninggal dunia di Kairo pada tahun 1873. menjelang ajalnya, ia masih menyempatkan diri menjadi editor di beberapa berkala yang diterbitkan kementrian pendidikan dan kebudayaan Mesir. Di samping menulis artikel, ia masih menyempatkan diri mendaftar beberapa buku penting berbahasa Arab untuk dipublikasikan.