Oleh Luthfi
Assyaukanie
08/04/2005
Saya lebih senang
menggunakan kata 'liberal' daripada 'kapitalis' dalam membicarakan sikap
ekonomi dalam pemikiran Islam. Alasannya karena istilah ini lebih 'netral' dan
lebih merefleksikan landasan paling mendasar dari pemikiran ekonomi modern.
Alasan lainnya karena istilah ini berkorelasi dengan sikap dasar
politik-keagamaan para intelektual muslim liberal secara umum.
DALAM sebuah
simposium tentang Pemikiran Nurcholish Madjid di Universitas Paramadina (18/3),
Bahtiar Effendy menyatakan bahwa Cak Nur, lebih tepat disebut sebagai seorang
'kapitalis religius' daripada 'sosialis religius.'
Pandangan Bachtiar
yang lugas itu saya kira benar belaka. Nurcholish Madjid adalah salah seorang
tokoh pemikir liberal muslim dalam hal politik-keagamaan yang juga bersikap
liberal dalam masalah-masalah ekonomi. Meski tak banyak berbicara tentang
pemikiran ekonomi karena memang bukan bidangnya, pandangan-pandangan
keekonomian Cak Nur boleh dibilang lebih dekat kepada liberalisme ketimbang
sosialisme.
Saya lebih senang
menggunakan kata 'liberal' daripada 'kapitalis' dalam membicarakan sikap
ekonomi dalam pemikiran Islam. Alasannya karena istilah ini lebih 'netral' dan
lebih merefleksikan landasan paling mendasar dari pemikiran ekonomi modern.
Alasan lainnya karena istilah ini berkorelasi dengan sikap dasar
politik-keagamaan para intelektual muslim liberal secara umum.
Pemikiran ekonomi
adalah bidang yang paling sedikit menjadi perhatian dalam wacana pemikiran
Islam kontemporer. Bukan hanya karena tak banyak orang yang ahli tentang
masalah ini, tapi juga karena isu ekonomi tidak menjadi perhatian utama para
pemikir Islam. Selain itu, wacana ekonomi dalam pemikiran Islam kontemporer
telah terdistorsi sedemikian rupa dalam wacana 'islamisasi ekonomi' yang lebih
bersifat ideologi ketimbang ilmu.
Saya menganggap
pernyataan seperti yang diungkapkan Bahtiar Effendy di atas penting untuk
menyadarkan kita semua bahwa pemahaman ekonomi dalam pemikiran Islam di
Indonesia sangat beragam. Tidak seperti yang disangka banyak orang, sikap kaum
Muslim terhadap isu ekonomi tak hanya satu, yakni sikap ekonomi yang
sosialistis.
Dalam sejarah
pemikiran Islam di Indonesia, pemikiran ekonomi memang selalu dikaitkan dengan
sosialisme. Hal ini pertama-tama terkait erat dengan akar pemikiran Islam itu
sendiri yang penuh dengan sejarah sosialisme. Atau malah juga terkait erat
dengan sejarah pemikiran ekonomi di Indonesia secara keseluruhan yang memang
sangat didominasi oleh pemikiran kiri (baca; sosialis).
Citra bahwa Islam
dan sosialisme sebagai satu kesatuan tak terpisah telah disemai sejak
Tjokroaminoto, bapak pemikiran Islam modern. Tjokroaminoto adalah intelektual
Islam pendukung sosialisme.
Setelah
Tjokroaminoto, sejarah pemikiran keekonomian dalam Islam hampir tak bisa keluar
dari paradigma sosialisme. Intelektual seperti Sjafruddin Prawiranegara atau
Muhammad Roem, yang kerap dianggap sebagai pemikir garda depan Masyumi, adalah
seorang 'sosialis religius'. Mungkin karena alasan historis ini, banyak generasi
pemikir dan intelektual Islam yang lebih belakangan, menganggap Islam dan
sosialisme sebagai satu kesatuan yang tak terpisah. Simaklah tulisan-tulisan
para intelektual semacam Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Amien Rais, dan
Kuntowijoyo.
Dalam konteks ini,
Cak Nur adalah pengecualian. Tidak seperti para intelektual Islam yang disebut
di atas, ia bersikap liberal baik dalam pemikiran politik-keagamaan maupun
dalam hal pemikiran ekonomi. Yang saya maksud dengan liberal di sini adalah
sikap dasar dalam memberikan toleransi yang besar kepada mekanisme pasar dan
independensi masyarakat dari negara.
'Sekularisasi' ekonomi. Jika kita mengamati tulisan-tulisan Cak
Nur yang berkaitan dengan isu Islam dan ekonomi, sangat jelas sekali pesan yang
ingin disampaikannya, yakni bahwa Islam tidak mengurusi hal-hal detil tentang
ekonomi. Sebetulnya, ini adalah perluasan dari sikap dasar dia dalam hal
politik-keagamaan, yakni bahwa Islam tak mengurusi hal-hal detil tentang
politik.
Sikap dasar inilah
yang kemudian menjadi pijakan mengapa Rektor Paramadina itu, misalnya, menolak
gagasan 'ekonomi Islam'. Hal ini berbeda dengan, misalnya, Dawam Rahardjo, yang
jelas-jelas mendukung ekonomi Islam. Bahkan Dawam mendukung ekonomi Islam versi
yang sangat ideologis, yakni ekonomi Islam yang dikembangkan oleh IIIT
(International Institute of Islamic Thought), lembaga Islam yang banyak didanai
Arab Saudi, dan dikenal dengan proyek islamisasi ilmunya. Dawam adalah Direktur
IIIT cabang Indonesia.
Sikap dasar di
atas sangat penting untuk melihat bagaimana penyikapan terhadap hubungan agama
dan negara berpengaruh dan memiliki korelasi positif terhadap hubungan ekonomi
dan negara. Intelektual seperti Cak Nur adalah orang yang memiliki sikap tegas
tentang hubungan agama dan negara. Sejak lama ia dikenal sebagai penganjur
sekularisasi atau pemisahan agama dari negara.
Buat dia, agama
sebaiknya tidak ikut campur dalam urusan-urusan negara, dan begitu juga
sebaliknya, negara sebaiknya jangan mencampuri urusan agama. Jika diterjemahkan
dalam bahasa ekonomi, kaidah ini berarti bahwa harus ada pemisahan antara
negara dan pasar atau negara dan ekonomi masyarakat. Negara tidak berhak
mengatur bagaimana pasar bekerja, sebagaimana pasar juga tidak semestinya
'meminta pertolongan' dari negara untuk diatur.
Penting untuk
dicatat di sini bahwa intelektual yang memiliki sikap tegas terhadap
sekularisasi politik (pemisahan negara dan agama) juga memiliki sikap yang
tegas dalam 'sekularisasi' ekonomi (pemisahan negara dan pasar). Cak Nur
dikenal sebagai pendukung setia sekularisasi politik, dan karenanya, dalam
masalah ekonomi, juga tak memiliki beban untuk menerapkan prinsip sekularisasi
itu. Sementara para intelektual yang menolak atau minimal ragu-ragu dalam
mendukung tesis sekularisasi politik, juga akan mengalami persoalan (baca;
penolakan) ketika berbicara tentang 'sekularisasi' ekonomi.
Dalam beberapa
tulisannya dan juga wawancara saya dengannya, Dawam menolak ide sekularisasi
dan menolak gagasan pemisahan agama dari negara. Menurutnya, negara harus
menjadi pelindung dan pengayom agama. Tanpa negara, ajaran-ajaran agama tak
akan bisa berjalan dengan baik. Sikap pro-negara seperti itu, tidak kita
temukan pada Cak Nur yang sepenuhnya mendukung gagasan sekularisasi. Buat dia,
peran negara bukanlah sebagai pengatur dan penentu arah jalannya ekonomi. Pasar
harus dibiarkan bebas, dan kompetisi harus dijunjung tinggi sebagai elemen
positif dalam pembangunan ekonomi.
Dalam buku
terbarunya, Indonesia Kita, yang banyak membahas persoalan politik dan
kenegaraan, Cak Nur menguraikan tentang pentingnya peran keterbukaan dan
liberalisasi ekonomi. Privatisasi dan kegiatan ekonomi bebas, menurutnya, bukan
hanya akan melahirkan dan mendorong ekonomi yang sehat, tapi juga dapat
mempercepat dan memperkuat konsolidasi demokrasi. (Indonesia Kita, hlm 131).
Tanpa perlu
dikatakan, Cak Nur selalu menekankan pentingnya keadilan dan kesejahteraan
sosial sebagai cita-cita politik Islam. Hanya saja, berbeda dari para pendukung
'ekonomi sosialis' atau 'ekonomi kerakyatan,' keadilan dan kesejahteraan ini
harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi yang fair dan bebas.
Kalaupun ia harus diterjemahkan menjadi negara kesejahteraan (welfare state),
maka hal itu haruslah dibangun di atas landasan ekonomi liberal, seperti negara-negara
kesejahteraan di Eropa melakukannya.