Filsafat harus menjadi teoretis, demikian tampaknya
gagasan Marcuse.
Sebagai seorang neo-marxis, bisa dikatakan, gagasannya ini menyimpang dari apa
yang diyakini Karl Marx,
filsafat harus menjadi praksis. Penyimpangan ini bagai mengembalikan filsafat
dari kaki Marx ke kepala Hegel.
Herbert Marcuse adalah murid Heidegger, seorang pemegang
dualisme dalam filsafat sejarahnya. Heidegger secara radikal memisahkan
ontologi dari yang ontis, filsafat dari ilmu-ilmu positif, yang otentik dari
yang tidak otentik, yang elit dari yang massa, dan sebagainya -berbeda dengan Lukacs yang menolak
pemisahan semacam itu dengan filosofi totalitasnya.
Memang, kalau menyelami artikel-artikel
Marcuse, semua ditulis dalam level konseptual dan tataran filosofis, melampaui
analisis historis yang konkret. suatu ranah filosofis di mana Plato-Descartes-Kant pernah
hidup di sana. Bahkan, Lucien
Goldmann mengatakan bahwa ciri khas Marcuse dibanding dengan
para tokoh sekolah Frankfurt lainnya adalah karakter kritis dari filsafat
idealisnya.
Dengan karakter filsafatnya yang idealis,
Marcuse menempatkan dirinya pada posisi utopis. Bahkan dalam artikelnya yang
dipublikasikan pada tahun 1973 yang berjudul "Filsafat dan Teori
Kritis", Marcuse menulis, "Andaikan kebenaran tidak dapat
direalisasikan dalam peraturan sosial yang ada, ia akan selalu muncul dalam
bentuk utopia. Transendensi semacam itu tidak berbicara melawan kebenaran,
tetapi berbicara untuk kebenaran. Dalam jangka waktu yang lama sekali,
elemen-elemen utopis telah menjadi bagian yang paling progresif dalam filsafat.
Elemen-elemen tersebut mengkonstruksi negara yang lebih baik, akan kemungkinan
kenikmatan yang paling besar, akan kebahagiaan yang penuh, akan kedamaian
abadi, ......"
Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan selanjutnya,
adalah apakah Marcuse berjalan melampaui Ernst
Bloch, yang utopis itu? Jawabannya tidak sepenuhnya. Sebab,
Bloch membangun suatu utopia yang optimis sementara Marcuse (termasuk Horkheimer dan Adorno) membangun suatu
utopia kritis-pesimistis. Utopia Bloch mengimplikasikan kritik terhadap situasi
yang ada saat ini, sementara kritisisme realistis dari Marcuse memasukkan
ide-ide tentang masyarakat di masa depan yang bebas dari penindasan dan situasi
yang sama ssekali berbeda dengan masyarakat sekarang ini.
Masyarakat satu dimensi
Mengapa Marcuse harus utopis? Atau mengapa
filsafat harus menjadi teoretis? Jawabannya karena kapitalisme telah berkembang
jauh meninggalkan gagasan-gagasan Marx tentang revolusi proletariat.
Kapitalisme telah melalui fase krisis, yakni gugurnya kapitalisme liberal dan
monopolistik, diganti kapitalisme korporatis, suatu atmosfer dunia kapitalisme
yang ditandai dengan masyarakat konsumtif, masyarakat ahistoris, masyarakat
teknokratis. Masyarakat ini diciptakan oleh revolusi industri kedua.
Maka, Marcuse dalam tulisannya The Obsolescence of Marxism
(1996), berargumentasi bahwa dibutuhkan suatu sosiologi marxian yang baru.
Sebab, ternyata gagasan Marx tentang karakter revolusioner dari kelas proletar
telah digagalkan sejarah. Kelas pekerja dalam kapitalisme lanjut tidak lagi
mempunyai potensi revolusioner. bahkan, sistem nilai produktivitas telah
menjerat proletar ke dalam sistem itu sendiri.
Analisis kritis Marcuse atas masyarakat yang
sedang dihidupinya dapat kita simak dalam bukunya One-Dimensional Man. dalam bukut itu, Marcuse
berangkat dari asumsi bahwa masyarakat telah terdominasi oleh teknologi
menjadi masyarakat teknokratis. Menurut Marcuse, dominasi tersebut melahirkan
empat dampak bagi masyarakat. Pertama,
muncul bentuk-bentuk kontrol yang baru. Kedua,
tertutupnya dunia politik. Ketiga,
desublimasi represif. Dan, keempat,
hilangnya fungsi kritis.
Yang dimaksud dengan bentuk-bentuk kontrol
baru adalah hadirnya teknologi yang superior atas kehidupan manusia. Pada
tataran pertama, memang manusialah yang menciptakan teknologi. Akan tetapi
karena keterbatasan manusia akan kemampuan tenaganya dan juga tuntutan
efisiensi, maka manusia menggantungkan diri pada kekuatan mesin. Padahal, kita
tahu teknologi itu otonom pada dirinya sendiri. Artinya manusia harus tunduk
pada sistem mesin itu bahkan beradaptasi dengan mempelajari dan menyesuaikan
irama kerjanya dengan irama kerja mesin. Sedangkan yang dimaksud dengan
ketertutupan dunia politik adalah tidak adanya lagi suatu ruang untuk
mengadakan tawar-menawar dengan mesin, karena manusia sekarang menghamba kepada
irama sistem mesin itu.
Sisi lain, sistem lembur menyebabkan manusia
tidak lagi mempunyai waktu luang untuk berefleksi dan memikirkan situasinya
secara kritis. Bentuk ketiga adalah desublimasi represif. Artinya manusia bisa
memenuhi kebutuhan melalui produk-produk yang dihasilkan oleh teknologi.
Padahal, menurut Marcuse, kebutuhan-kebutuhan itu adalah kebutuhan palsu (false need) yang sengaja
diciptakan dengan menggunakan dunia iklan (advertising).
Yang dimaksud dengan kebutuhan palsu adalah
suatu kebutuhan yang tidak muncul dari dalam sendiri seseorang secara murni
tetapi dimasukkan secara paksa (imposed)
dari luar. Sementara yang dimaksud dengan hilangnya fungsi kritis adalah hilangnya
kemampuan manusia untuk menindak sistem yang ada. Penyebabnya, perbedaan antara
buruh dan majikan tidak selebar dulu. Dengan kemajuan teknologi, hidup ini
sangat berkelimpahan. Maka, daripada melakukan perubahan, lebih baik
memberlakukan sistem yang sudah enak. Berpikir yang benar diyakini sebagai
berpikir sesuai dengan sistem yang ada. Bahkan bahasa tidak lagi kritis karena
telah dimanfaatkan, membantu sistem yang ada, misalnya lewat bahasa iklan yang
persuasif.
Setelah menganatomi situasi masyarakatnya,
Marcuse membedah pola pikir masyarakat itu. Dia menawarkan dua istilah, yaitu
pikiran positif (afirmatif) dan pikiran negatif. Dalam masyarakat teknokratis,
manusia tidak bisa lagi membedakan yang salah dan yang benar dalam pikiran.
Yang digunakan adalah logika formal Aristoteles
yang lebih memprirotaskan logika kelurusan, bukan logika material. Dalam logika
ini, tidak dipedulikan apakah isi sesuai dengan kenyataan atau tidak. Logika
formal kehilangan fungsi kritisnya. Pemikiran negatif hilang di hadapan
totaliternya teknologi yang mampu memuaskan kebutuhan hidup manusia.
Rasionalitas teknologis mengubah pemikiran
negatif menjadi positif. Nalar bukan lagi alat pembebasan seperti
diproklamasikan oleh proyek pencerahan tetapi menjadi alat penindasan. Ada
suatu dehistorisasi nalar. Oleh karena itu, menurut Marcuse, filsafat harus
menjadi teoretis, mengabstraksi, sehingga mampu menjalankan fungsi kontrol.
Nalar harus mampu membedakan antara realitas yang sejati dengan realitas palsu.
Atau mengutip perkataan Whitehead,
nalar bertugas mempromosikan seni hidup, mengeasi, dan mampu berpikir kritis.
Manusia tinggal satu dimensi. Padahal,
semenjak Pascal
sampai Kant, Hegel
dan Marx, filsafat dialektis telah menyuratkan manusia dalam dua dimensi,
dimensi adaptasi terhadpa realitas dan dimensi transendensi dari realitas, yang
nyata ada dan yang mungkin ada. Akan tetapi, sekarang, Marcuse menunjukkan
bahwa kita hidup dalam masyarakat yang terstratifikasi, suatu kondisi
masyarakat yang meningkatkan standar hidup dan memanipulasi pemikirannya
sehigga lebih mudah beradaptasi, dan dengan demikian mengurangi dorongan untuk
mentransendensi realitas. Kreativitas dibunuh oleh sistem sosial. Tinggallah manusia satu dimensi, yang
enak, yang hanya tahu bagaimana mengkonsumsi.
Kebudayaan yang menindas
Menghadapi masyarakat yang tinggal satu
dimensi itu, maka sekitar tahun 1950-an, Marcuse menyarankan agar teori marxian
menggabungkan analisis kritisnya dengan psikoanalisis dari Freud.
Alasannya, ketika kaum proletar tidak lagi bisa diharapkan menjadi pengembang
kebebasan, perubahan radikal hanya bisa dilakukan lewat dekonstruksi psikis.
Seperti halnya Benjamin,
Marcuse menggunakan istilah freudian tentang memori untuk mengidentifikasi
karakter fundamental yang progresif dalam kesadaran sejarah. Bagi Marcuse, ide
freudian tentang memori menawarkan suatu kenangan akan kemampuan dan kapasitas
yang hilang dari potensi kreatif manusia yang sejati. Dalam Eros and Civilization, Marcuse
menulis bahwa memori itu mengandung nilai-nilai kebenaran. Nilai kebenarannya
terletak dalam fungsi khusus memori untuk menyimpan janji-janji dan
potensi-potensi yang telah dikhianati dalam individu yang dewasa dan beradab
ini, tetapi memori itu tidak sepenuhnya terlupakan.
Lebih lanjut dalam Eros and Civilization, Marcuse
menunjukkan relasi antara masyarakat dengan aspirasi individu. Menurut Freud,
Marcuse menampilkan konflik antara dorongan instingtual (libido dan thanatos) atau prinsip kesenangan
(id) dengan organisasi
sosial atau prinsip realitas (ego).
Prinsip realitas itu menindas dorongan-dorongan instingtual (prinsip
kesenangan). Dalam Freudian, antagonisme ini bersifat ahistoris, sementara
Marcuse sebagai sosiolog dan filsuf kebudayaan memberi dimensi historis tanpa
-seperti Fromm-
meminimalkan pertentangan antara keinginan dasar dengan penindasan sosial.
Marcuse mengatakan bahwa represi itu perlu untuk mepertahankan ras manusia itu
sendiri. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah apa yang dia sebut dengan surplus represi, yaitu situasi
yang melebih-lebihkan represi demi suatu kepentingan kelompok tertentu.
Prinsip realitas tidak lain adalah prinsip
produktivitas. Prinsip ini tdiak menjamin terpenuhinya dorongan instingtual
tetapi untuk mengejar produktivitas, yakni pertumbuhan ekonomi. Freud sendiri
juga menganalisis bahwa kebudayaan terbentuk karena pengorbanan libido. Libido
disublimasi ke dalam kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupan sosial. Prinsip
realitas itulah yang membentuk kebudayaan. Menurut Marcuse, kebudayaan tidak
lain hanylah suatu sblimasi, suatu kepuasan yang ditunda. Ia dibentuk dari
konflik antara individu dengan lingkungannya, antara prinsip realitas dan
prinsip kesenangan sehingga kebudayaan itu bersifat represif.
Prinsip realitas bersifat represif karena
adanya kelangkaan dalam dunia ini. Dengan kata lain, prinsip kelangkkan
membentuk kebudayaan. Lalu, apabila kelangkaan diatas, apakah kebudayaan tidak
represif? Marcuse sendiri berpendapat bahwa prinsip kelangkaan sendiri bukanlah
suatu masalah utama. Ia bisa didamaikan dengan prinsip kesenangan (id). Yang menjadi masalaha dalah
unsur prinsip realitas yang kedua, yaitu dominasi. Dominasi ini berwujud
prinsip prestasi sebagai tuntutan produktivitas. Atas alasan produktivitas,
meskipun kelangkaan sudah teratasi, dorongan insting tetap harus dialihkan
untuk kerja.
Berhadapan dengan masyarakat satu dimensi dan
juga menghadapi kebudayaan yang represif, jelas sekali dalam setiap tulisannya
Marcuse selalu ingin mencari jalan keluar. Maka menjadi jelas bahwa Marcuse
tidak mampu menemukan kebutuhan radikal untuk perubahan itu dalam masyarakat
kapitalis kontemporer. Ia hanya mengatakan bahwa dalam masyarakat satu dimensi,
keinginan untuk perealisasian esensi manusia yang sejati tidak lagi suatu
kebutuhan yang dirasakan. Jadi, permasalahan Marcuse adalah bagaimana kebutuhan
untuk merealisasikan potensi manusia, suatu kebutuhan yang terekspresikan dan
terjerat dalam kebudayaan borjuis klasik, dapat diaktifkan menjadi praksis,
yang mempunyai daya subversif.
Seni sebagai jalan pembebasan
Pada tahun 1937, dalam tulisannya The Affirmative Character of cultuer,
Marcuse berkeyakinan bahwa revolusi itu masih mungkin. Proletariatlah pengemban
misi untuk membebaskan dan merealisasikan keinginan untuk hidup yang lebih baik
yang terbui dalam karya-karya klasik dalam kebudayaan borjuis. Akan tetapi
proletariat tidak lagi menjadi revolusioner. Seni klasiklah jalan pembebasan
itu.
Mengapa seni klasik? Karena seni klasik belum
terkontaminasi oleh teknologi. Marcuse berkeyakinan bahwa karya-karya besar
seni klasik mempunyai hubungan dialektis yang esensial dengan karakter
kehidupan sehari-hari. Kekayaan dari kapasitas kreatif manusia yang ditolak
dalam kehidupan kita sehari-hari, mendapat ekspresinya dalam karya-karya seni
yang agung. Seni mempunyai kekuatan dengan keabstrakannya, kemampuannya untuk
mentransendensi dan memisahkan diri dari kehidupan sosial. Seni adalah suatu
karya transendental dalam relasinya dengan kehidupan sehari-hari yang memberinya
kapasitas kritis dan menohok.
Marcuse mengatakan ada dua karakter dari seni
klasik. Sebagai bagian dari kebudayaan yang mapan, seni itu afirmatif,
meneruskan kebudayaan yanga ada. Sebagai alienasi dari realitas yang mapan,
seni mempunyai kekuatan menegasi. Seni klasik meskipun ditentukan dan dipertjam
oleh nilai-nilai yangs edang berlangsung, tetapi selalu keluar dan mengambil
jarak dengan kehidupan sehari-hari. Itu terjadi sebagai konsekuensi dari bentuk
artistiknya yang umum. "Seni ditarik keluar dari proses realitas yang
berlangsung ini dan selalu berasumsi keberartian dan kebenaran pada dirinya
sendiri," kata Marcuse.
Bahkan dalam artikelnya "Art as form of
Reality", Marcuse mendemonstrasikan fungsi sosial yang ditunjukkan oleh
tradisi dari seni yang otonom. "bentuk ini mengkorespondensikan suatu
fungsi baru dari seni dalam masyarakat. Untuk menyediakan suatu 'saat libur',
suatu pemecah dalam rutinitas keseharian yang mengerikan untuk menghadirkan
sesuatu yang lebih tinggi, yang lebih dalam, dan mungkin yang lebih benar dan
memuaskan dalam karya keseharian dan semata-mata enak dan karena itu sekadar
kenikmatan daging.... Seni bukanlah suatu nilai yang digunakan untuk
dikonsumsi, ... kegunaannya adalah untuk jiwa atau pikiran yang tidak memasuki
tingkah laku normal manusia."
Seni selalu mempunyai otonomi pada dirinya
sendiri. Otonomi itu adalah karakter seni yang selalu ingin mengekspresikan dan
menyimpan kerinduan akan prealisasian potensi-potensi kreatif manusia. Akan
tetapi dalam tradisi kebudayaan, ekspresi akan kebutuhan itu telah dipatahkan
dalam praksis hidup sehari-hari, dan karenanya bersifat konservatif. Dengan
menambahkan sifat radikal pada ekspresi abstrak ini, maka akan mengimunisasi
sistem dari dampak buruk masyarakat satu dimensi.
Dua karakter seni klasik
Marcuse mengatakan bahwa seni klasik itu
mempunyai dua karakter, yakni sebagai kekuatan afirmatif (konservatif) dan
sebagai kekuatan negasi (progresif). Letak konservatif dari seni klasik
terletak di dalam cara pembawaannya yang abstrak. Dengan menawarkan suatu
representasi dari situasi sosial yang memberikan ruang untuk mengekspresikan
secara penuh potensi kreatif manusia, ada kecenderungan kebudayaan klasik ini
menyembunyikan dan mendamaikan penerima dengan kondisi represif yang ada dalam
masyarakat kapitalis. Jadi titik konservatifnya terletak dalam ilsinya yang
memberikan suatu kepuasan penuh, seakan-akan situasi represif itu sudah
didamaikan.
Sedangkan aspek progresif dari seni terletak
dalam karakter negasinya, pada kemampuannya untuk selalu menuduh realitas yang
jelek yang selalu menghambat prealisasian potensi-potensi kreatif manusia.
Perspektif humanistik dari seni klasik
menawarkan suatu counter image, terhadap realitas keseharian. Bahkan
karakter negasi itu mampu membuat suatu distingsi antara yang esensi dan yang
tampak di permukaan, antara yang potensial dan aktual. Seni klasik itu terpisah
dari proses-proses produksi itu. Seni menantang monopoli dan realitas yang
mapan dengan menanyakan apa itu yang riil.
Seni menciptakan dunia fiksi yang lebih riil
dari realitas itu sendiri. Seni mempunyai bahasanya senidir dan mencerahi
realitas melalui bahasa yang lain dari bahasa keseharian yang sudah
terdistorsi. Kalau toh
mau dikatakan bahwa seni itu tidak riil, ketidakriilnnya itu tidak disebabkan
karena sesuatu yang "kurang", melainkan karena secara kualitatif ia
dianggap "yang lain" dari realitas yang mapan ini. Marcuse sendiri
manambahkan bahwa sebagai dunia fiksi (Schein),
seni mempunyai kebenaran yang lebih dari realitas itu sendiri. Karena hanya
dalam dunia ilusi, sesuatu itu bisa kelihatan seperti apa adanya dan bisa
menjadi apa dia itu, tanpa suatu represi dan distorsi. Bagi Marcuse, dunia saat
ini adalah tidak benar, salah, realitas yang distortif, realitas satu dimensi.
Proyek yang dicanangkan Marcuse sendiri
adalah bagaimana menghapus sisi afirmatif (konservatif) dari seni klasik itu
tanpa menghancurkan karakter progresifnya. Menurut Marcuse, kebudayaan yang
afirmatif hanya menjadi katup pengaman saja dari keinginan radikal dari seni
klasik. Bagi Marcuse, penghapusan kebudayaan yang afirmatif itu bersifat
imperatif. "Dengan mengeliminasi kebudayaan afirmatif, penghapusan
orgnaisasi sosial tidak akan mengeleminasikan individualitas, tetapi
merealisasikannya."
Dalam The
Affirmatif Character of Culture, Marcuse berkeyakinan bahwa
proletariatlah yang mengemban misi penghapusan kebudayaan afirmatif itu.
Proletariatlah yang akan secara praksis merealisasikan keinginan untuk
memperkaya eksistensi individu yang terdapat dalam seni yang otentik. Tetapi
semenjak tahun 1950-an, Marcuse menghadapi dilema dan mengatakan bahwa kelas
pekerja tidak lagi mempunyai karakter revolusionernya. Mulailah Marcuse
berusaha keras untuk menemukan jalan bahwa perubahan yang radikal dapat
ditempatkan kembali dalam masyarakat satu dimensi ini.
Seni dan subversi dalam masyarakat satu dimensi
Dalam Eros
and Civilization, Marcuse berkeyakinan bahwa suatu perubahan
radikal bisa terwujud apabila prinsip kesenangan mendapatkan tempat dalam
masyarakat satu dimensi ini. "Seni," kata Marcuse, "berkomitmen
dengan prinsip kesenangan. Bentuk estetik itu memberikan suatu ekspresi
sublimaitf terhadap keinginan-keinginan akan perealisasian potensi kreatif
manusia yang selama ini tertekan." Dengan ide tentang libidinous civilization, Marcuse
bermaksud bahwa energi yang terbebaskan itu akan menghasilkan suatu erotisasi
sensual dalam semua aktivitas. Jadi, kegiatan manusia tidak hanya diukur dari
nilai-nilai produktivitas yang represif itu tetapi dari segala sudur akan sisi
kreatif manusia.
Sedangkan dalam One-Dimensional Man, Marcuse berkeyakinan bahwa
dengan adanya kebudayaan masa (mass
culture), aspek progresif dari seni klasik telah dihapus dengan
mengubahnya menjadi sekadar industri. Seni hanya menjadi nilai operasional dan
keinginannya akan kebahagiaan diganti dengan kebutuhan yang salah (false need) dalam masyarakat
konsumtif ini. Itulah sebabnya Marcuse, seperti halnya Adrono, memandang rendah
kebudayaan populer karena sifatnya konservatif dan berkarakter afirmatif.
Kebudayaan populer selalu mendamaikan kita dengan kondisi represif dalam
masyarakat kapitalis ini. Dalam konteks ini, Marcuse berkeyakinan bahwa gerakan
kaum muda (youth movement)
atau yang lebih dikenal dengan istilah kiri baru (new-left) adalah suatu pengemban misi radikal dalam
masyarakat satu dimensi. Kiri-baru berusaha merevitalisasi gerakan sosialis
yang dalam stalinisme telah melupakan tujuan utama dari revolusi sosialis yaitu
perealisasian esensi manusia. Kiri-baru berusaha membebaskan prinsip kesenangan
dan merealisasikannya seperti termaktub dalam Eros and Civilization.
Seni dan subjektivitas
Bisa dikatakan
bahwa semua jalan keluar yang diupayakan Marcuse di atas untuk keluar dari
masyarakat satu dimensi menemui jalan buntu. Akan tetapi upaya Marcuse untuk
menemukan suatu jalan membebaskan keinginan akan kebahagiaan tidak pernah
surut. Lihatlah karya puncaknya, The Aesthetic Dimension (1997).
Sejak awal,
masalah yang dihadapi Marcuse dalam mencari jalan keluar dari One-Dimensional Society adalah menempatkan keinginan akan perubahan radikal itu
dalam tataran praksis. Sebab, dalam One-Dimensional Society tidak bisa lagi ditemukan keinginan itu. Bahkan, Marcuse tidak mapu
menggunakan teori estetis dari kebudayaan borjuis klasik dalam tatran praksis
perubahan karena itu pun telah dialienasikan dalam masyarakat satu dimensi.
Pada tahun 1977,
Marcuse akhirnya menemukan suatu jalan keluarnya, yaitu pada tindakan si
penerima (subjek) itu sendiri. Marcuse mencoba membangun suatu analisis praktis
mengenai dampak pencerahan atau efek katarsis yang dihasilkan dari seni.
"Seni," lanjut Marcuse, "tidak dapat mengubah dunia, tetapi
dapat menjembatani perubahan kesadaran manusia-manusia (subjek) yang dapat
mengubah dunia."
Selanjutnya, dalam
The Aesthetic
Dimension, Marcuse menuduh bahwa marxisme ortodoks
dengan materialisme historisnya telah mendistorsi dan menenggelamkan
subjektivitas (dengan kesadaran dan kecenderungan ketidaksadarannya) ke dalam
propaganda kesadaran kelas. Distorsi itu tidak hanya mencakup subjek sebagai ego cogito, subjek yang rasional, tetapi juga kedalaman dunia batinnya, emosinya, dan
imajinasinya. "Karena itu prakondisi untuk revolusi telah diminimalkan.
Kebutuhan untuk mengadakan suatu perubahan radikal seharusnya diakarkan dalam
subjetivitas setiap individu, dalam intelejensia mereka dan hasrat mereka,
dalam dorongan mereka dan tujuan mereka."
Teori marxis telah
membunuh subjektivitas dan meratakannya dalam realitas masyarakat secara
keseluruhan. Subjektivitas hanya menjadi atom dalam objektivitas dan dirampas
dalam kesadaran kolektif. Komponen dterministik teori marxis tidak terletak
dalam konsepnya tentang relasi antara realitas sosial dengan kesadaran, tetapi
dalam reduksinya akan konsep kesadaran yang memenjarakan isi kesadaran individu
di tempat porensi subjektif untuk revolusi berada. Dengan dunia batin subjek,
manusia keluar dari realitas yang ada dan memasuki suatu ranah atau dimensi
lain yang bisa menjadi daya dobrak yang luar biasa untuk menggugurkan
prinsip-prinsip realitas (motivasi keuntungan).
Akan tetapi, lari
dan mundur ke dunia imajinasi bukanlah suat langkah akhir. Seubjektivitas harus
berjuang keras untuk keluar dari labirin dunia batinnya dan mewujudkannya dalam
kebudayaan materi intelektual. Dengan membebaskan subjektivitas berarti mengkonstitusi
sejarah pada dirinya sendiri, yang tidak identik dengan eksistensi sosialnya.
Itu adalah sejarah pertemuan mereka, hasrat mereka, kesenangan dan penderitaan,
suatu pengalaman yang tidak didasarkan dalam situasi kelas mereka.
Penulis,
Y. Marwoto,
mahasiswa STF Driyarkara Jakarta.
Y. Marwoto,
mahasiswa STF Driyarkara Jakarta.
Basis, No. 09-10, 2001, hlm. 32-37.
Kepustakaan :
Maclntyre, Alasdair, Marcuse, Britain: Collin, 1970.
Marcuse, The Aesthetic Dimension: Toward a Critique of Marxist Aesthetics, London : Macmillan, 1977.
Johnson, Pauline, Marxist Aesthetic, London: routledge & Kegan Paul, 1984
Maclntyre, Alasdair, Marcuse, Britain: Collin, 1970.
Marcuse, The Aesthetic Dimension: Toward a Critique of Marxist Aesthetics, London : Macmillan, 1977.
Johnson, Pauline, Marxist Aesthetic, London: routledge & Kegan Paul, 1984