Adalah Ali Harb, pemikir Islam kontemporer asal Libanon yang kini lagi naik daun dan mencoba ikut meramaikan wacana pemikiran Islam Timur Tengah kontemporer. Dia datang mengusung proyek “Kritik Teks” dan “Kritik Kebenaran”, suatu metode untuk membaca teks dan hakikat kebenaran. Dari sini, kritiknya menuju ke kritik kebenaran agama bahwa kebenaran agama adalah relatif. Dalam hal ini, sangat kelihatan bahwa apa yang dihasilkan dari pengembaraan intelektual Ali Harb tadi jelas terpengaruhi filsafat relativisme yang juga menjadi ciri dari aliran filsafat posmodernisme.
Memang, kelebihan Ali Harb sebagai pemikir
Timur Tengah adalah keakrabannya dengan pemikiran filsafat Barat, terutama
filsafat posmodernisme. Tidak heran manakala hampir karya-karya Ali Harb agak
susah dipahami karena tulisannya yang begitu kental dengan bahasa filsafat,
sesuai dengan disiplin keilmuannya. Dia adalah dosen filsafat pada sebuah
universitas di Beirut, Libanon.
Pergumulannya dengan aliran filsafat Barat
kontemporer dan analisanya yang sedemikian kontroversial terhadap Islam membuat
Ali Harb disejajarkan dengan pemikir muslim kontroversial, radikal, dan
transformatif seperti Mohammed Arkoun (Aljazair dan lama tinggal di Perancis
yang dikenal dengan proyek Kritik Nalar islami), Muhammad Abed al-Jabiry
(Maroko, dikenal dengan proyek Kritik Nalar Arab), Nashr Hamid Abu-Zayd (Mesir,
dikenal dengan proyek Kritik Tekstualitas Qur’an atau konsepsi teks), Hassan
Hanafi (Mesir, dikenal dengan proyek Kiri Islam atau revolusi turats), dan
lain-lain.
Pemikiran Ali Harb yang radikal untuk
ukuran umat Islam Arab itu pula yang membuat seorang Umar Abdullahi Kamil dalam
Silsilah Hiwar ma’a Almaniyyin (Seri Dialog dengan Para Sekular) menempatkan
Ali Harb termasuk pemikir barisan terdepan di antara para pemikir sekuler Islam
yang perlu dibedah dan “ditelanjangi” pemikirannya. Dan kayaknya, embelan
sekuler itulah yang membuat diri Ali Harb semakin tenar dan kian eksis
melenggang dalam gelanggang percaturan intelektual Timur Tengah dan Islam.
Sedahsyat itukah pemikiran Ali Harb?
Dari “Kritik Nalar” Ke “Kritik Teks”
Dari Kritik Nalar (Naqd al ‘Aql) menuju
Kritik Teks (Naqd an Nash), itulah garapan dia. Dalam memahami konsep nalar,
Ali Harb menilainya sebagai hijab (tabir); di mana nalar satu menghalangi,
menutupi, mengalahkan atau bahkan menghegemoni nalar yang lain. Maksudnya,
ketika mencoba melepaskan atau memecahkan hubungan dengan konsep nalar dan
kemutlakannya, maka saat itu juga ia akan berhadapan dengan kekuatan nalar yang
mengikat. Ikatan itulah yang telah membuhul satu dimensi dengan mengabaikan
dimensi yang lain. Contohnya pada manusia yang bernalar (berakal), maka secara
otomatis terlepas dari nalar (akal) kebinatangan dan kebodohan.
Begitu pula dengan adanya konsep nalar
murni (kritik untuk Immanuel Kant), berarti melepaskan nalar intuisi dan
empiris, nalar ilmiah menutupi nalar dongeng atau hikayat, nalar arab menutupi
nalar bukan arab (kritik dia atas al-Jabiry), nalar islami menutupi nalar bukan
islami (kritik untuk Arkoun), nalar tauhid menutupi nalar atheisme, nalar barat
menutupi nalar yang bukan barat, dan seterusnya. Padahal hari ini adalah bukan hari
kemarin atau besok, kata Harb. Dengan ini, Ali Harb tentu menolak istilah
“kontemporer” untuk menyebut kondisi kekinian yang berarti menutupi “klasik”
yang diistilahkan dengan kondisi masa lalu.
Dengan munculnya istilah
“nalar/akal/rasionalisme” untuk menunjuk sesuatu yang ternalar, berarti
“membunuh” nalar intuisi (hati, perasaan), lisan (empiris), bahkan konsep
ketuhanan. Akibatnya, semua nalar tersebut telah melepaskan sesuatu yang bukan
menjadi substansinya. Artinya dalam memandang sebuah fakta hanya dari mata
sebelah, tidak universal, tidak general. Dari sini, Harb kemudian terobsesi
ingin merekonstruksi nalar, anggapan atau penilaian.
Bagi Ali Harb, rekonstruksi anggapan,
penilaian, nalar, menjadi omong kosong tanpa melakukan proses dekonstruksi terhadap
“teks” yang telah mengadakan nalar-nalar. Dan dari kritik nalar inilah,
pengembaraan Ali Harb dilanjutkan pada kritik teks. Sebab teks-teks itulah yang
menciptakan nalar-nalar. Istilah teks, bagi Ali Harb, adalah segala sesuatu
yang eksis atau menyerupai dengan “teks” dalam pemikiran filsafat Jacques
Derrida. Teks (Nash) adalah lapangan sekaligus wahana kreativitas berpikir
kritis. Bagi Ali Harb, tidak ada bedanya antara teks Alquran atau hadits dengan
teks-teks lain, karena sama-sama berbentuk bahasa yang disusun dalam realitas
yang dialogis/dialektis dengan realitas dan sama-sama berpotensi mengandung
penilaian sehingga karenanya juga berpotensi menghijab nalar (kebenaran) yang
tidak diungkap dalam teks tersebut. Padahal, nilai (kebenaran) yang tidak
dimuat teks tersebut dikandung oleh teks lain.
Ali Harb juga menilai bahwa teks adalah
wujud yang independen, baik dari unsur penyusunnya maupun realitas-realitas
luar supaya bisa dieksiskan di tengah-tengah realitas yang ada. Dalam kritik
teks, Ali Harb mengatakan bahwa teks yang tercipta di masa lampau tidak perlu
dibaca lagi karena akan menutupi hari ini. Misal, kita tidak perlu membaca
hadis Nabi untuk bisa seperti Nabi dulu yang mana ketika membaca hadis Nabi
saat itu berarti membuat kita akan kembali berribu-ribu abad ke belakang, masa
di mana Nabi hidup. “Hari ini bukan hari kemarin,” tegas dia. Karena “teks”
itulah yang menciptakan nalar, penilaian, anggapan dan juga dipahami sebagai
sesuatu yang eksis, maka setiap “teks” mempunyai “strategi” untuk
mempertahankan eksistensinya, yakni dengan cara menutup (hijab) terhadap “teks”
lain.
Dalam menghadapi “strategi” seperti ini
perlu dilakukan kritik dari dimensi dzat dan teks. Solusi Ali Harb adalah
dengan pemahaman tamatsul dan pemahaman tamtsil. Strategi ini membuat Ali Harb
tidak percaya terhadap “teks”. Bahkan Ali Harb menilai “perkataan” adalah tipu
daya dan “teks” adalah bentuk penipuan yang selalu memberi batasan di antara
dimensi yang berbeda. Sehingga Ali Harb melarang berinteraksi dengan apa yang
teredaksikan dalam teks tersebut. Sebaliknya, Ali Harb menginginkan harus
berinteraksi dengan apa yang tersembunyi dan tidak tersentuh oleh teks. Di
sini, kita harus bisa mengukur kekuatan sebuah manuver “strategi” yang
dilancarkan setiap “teks”. Ukuran kekuatan sebuah teks adalah sebesar daya
hijab dan daya tipuannya tersebut, tidak pada daya keautentikan, penjelasan,
daya kontranya, atau daya penyatuannya. Artinya, kita harus memunculkan
pemahaman yang bertolak belakang untuk menyingkap kamuflase dan penipuan yang
telah meng-hijab-nya. Dia mencontohkan dengan rumus pasangan; tidak ada sebutan
suami jika tidak ada istrinya, tidak bakal disebut cantik kalau tidak ada yang
jelek.
Dalam proyek kritik, kita tidak bisa
melepaskan salah satunya dengan mengeksiskan yang lain. Sebab “yang pertama”
adalah bentuk lain “yang kedua” atau “yang kedua” adalah syarat dari “yang
pertama.” Karena teks yang dihasilkan kebudayaan itu ternyata mampu
menyembunyikan sesuatu di balik apa yang disampaikannya sekaligus merupakan
refleksi bebas yang harus dibaca, maka seseorang dituntut untuk dapat membaca
secara positif dengan membuahkan penjelasan, keterangan, interpretasi,
kesimpulan dan tambahan pengetahuan, bukan pembacaan yang negatif nan statis
dengan mendengarkan dan menyampaikan informasi yang tersedia. Oleh karena itu,
dalam membaca teks harus menimbulkan pencerahan yaitu pembacaan yang mampu
membaca sesuatu yang belum dibaca, mengungkap apa yang belum terungkap, yang
belum terlahir dalam bentuk ungkapan, sehingga muncul kebiasaan yang menjadi
prinsip dasarnya, atau dapat menyingkap teori yang dianutnya, atau menguak
asumsi dasar yang dikandungnya, atau memandang cakrawala yang terbentang di
depannya, atau membongkar rahasia yang belum terungkap.
Supaya bisa mencapai ke arah itu, menurut
Ali Harb, kita harus mengedepankan pemikiran yang menghadirkan sesuatu yang
sempat dilupakan, didiamkan, atau terlepas dari pemikiran itu sendiri akibat
kebiasaan subyektifnya (si empunya teks) karena pemikiran bukanlah maksud murni
dari “subyek” yang berpikir, mengetahui, menghadirkan sesuatu dan
mengemukakannya sebagai maknanya yang pertama.
Suatu teks yang ada dapat menghadirkan
maknanya sendiri, seorang penafsir hanya menguak maksud penulis dengan
memperjelas makna yang dikandungnya dan itu akan terjebak dalam klaim
pembenaran diri (claim of truth), bila tidak ada proses tukar menukar metode
yang terus menerus antara penjelasan dan penafsiran. Teks dapat berdiri sendiri
dan terpisah dari penulisan. Ia dapat menghadirkan makna, pengaruh dan obyeknya
sendiri.
Perlu dipahami bahwa langkah-langkah kritik
seperti ini, menurutnya, bukan suatu penolakan terhadap apa yang dikritisi,
tetapi hanya sebagai bentuk atau upaya membaca yang belum terbaca di balik
teks.
Mengritik dengan metode demikian --Ali Harb
menyebutnya sebagai aktivitas “membaca yang hidup” atau “sistem baca yang
basah”, karena dengan membaca sebuah “teks” yang berbeda dzatnya dengan sesuatu
yang berbeda di satu waktu--, akan lebih efektif dan produktif. Lain halnya
dengan “membaca yang mati”, atau “sistem baca yang kering” maka akan seperti
orang yang mengigau, bergurau, atau bercelutak. Dalam membaca teks, apapun teks
itu, termasuk Qur’anpun juga memakai metode demikian. Kita harus membaca apa
yang tidak terungkap atau bahkan terlupakan dalam teks tersebut.
Dari sini, kita dituntut jeli dalam
menyoroti wacana ontologi teks. Maka, menurut Ali Harb, kita harus mampu
mengacu dan mengajukan prosedur baru dalam mendialektikkan teks dan tradisi.
Harb merasa kan kontribusi yang sangat besar atas filsafat Socrates (pencarian
kebenaran lewat tanya-jawab), Heidegger (Fenomenologi), Karl Marx (materialisme
dialektik), Sigmund Freud (psikoanalisa), kemudian mengkomparasikan dengan
tradisi dimana kita berada, sesuai dengan ruang dan waktu. Bagi yang Islam,
bisa dikomparasikan dengan teks Qur’an dan turats.
Dalam rangka mencari pemahaman yang luas
dan umum dari sebuah teks, kita bisa menggalinya dengan analisa semiotika:
filsafat tanda-tanda. Hubungan antara (a) penanda; rumus, gambaran bunyi,
tulisan dan (b) petanda; unsur eksternal (obyek) dan pemahaman (deskripsi akal
budi). Sementara sistem logika yang berhubungan dengan bahasa dan benda adalah
melalui empat tingkatan yaitu (i) eksistensi kebenaran (fisik), (ii) eksistensi
akal budi (non fisik), (iii) eksistensi verbal (lisan) dan (iv) eksistensi
tulisan.
Di antara analisa semiotik, bahwa teks itu
mengandung celah yang terbuka antara tanda (simbol) dan pikiran, atau antara
pembicaraan dan pandangan; bahwa tidak mungkin ada sebuah pemikiran tanpa
sesuatu sistem bahasa dan sistem tanda (simbol): tidak ada pemikiran tanpa
aspek imajinasi-simbolik obyek-obyek tentang interpelasi simbol-simbol dan
bukankah pengetahuan didapat melalui bahasa-bahasa dan simbol-simbol seperti
yang dibaca Nietszche terhadap kata-kata Ibn Arabi; “siapa yang mengetahui
hakikat suatu makna, maka ia telah menerima kunci dari ilmu pengetahuan”.
Ada dua metode pembacaan: Satu,
teologi-metafisik. Dua; metode realis-tematik. Keduanya merupakan
ekstensivikasi baru karena yang pertama sebagai belenggu yang menutupi proses
kreatif teks, dan yang kedua menutupi unsur realitas wacana. Supaya dapat
melakukan pembacaan yang produktif dan mencapai nalar akal budi, bagi Harb,
sangat diperlukan kerangka filsafat, karena filsafat merupakan ungkapan
eksistensi. Baginya filsafat adalah “eksistensi yang menampakkan dirinya
sendiri” yang merupakan kecenderungan manusia untuk menyatu dengan proses
penciptaannya yang mewujudkan eksistensi rasional. Filsafat awalnya merupakan
pengungkapan dan pencerahan.
Sedangkan metodologi dan aliran pemikiran
yang ada hanyalah usaha dan sarana untuk memahami proses pengungkapan tadi
dalam bentuk ungkapan aral atau dirubah menjadi sebuah struktur logika dalam
bentuk berbagai premis, kesimpulan dan teori. Filsafat adalah keterbukaan
pemikiran dan jendela eksistensi, apapun sistem pengungkapan, dan
karakteristiknya. Untuk itu, walaupun filsafat memiliki elemen individualitas
dan independensi, ia mencakup seluruh bidang dan aspek serta mampu membuka
segala sesuatu dan beragam kebenaran.
Aspek-aspek yang dipertentangakan dalam
pembacaan teks-teks lama tidak terletak pada batas-batas subyektifnya, terutama
pertentangan metode pebacaan dan tipologi pemerlakunnya. Bahkan pembacaan
terhadap banyak aktifitas seperti yang dikemukakan kehadapan kita tentang
posisi yang menentukan kebenaran-kebenaran yang meyakinkan dan bersifat pasti.
Aspek yang dituntut adalah reproduksi konsep-konsep filsafat lama dengan bahasa
kontemporer, logika, ilmu pengetahuan dan eksperimentasinya, juga pada
potensi-potensi ontologis. Dari sini manusia sebagai kreator berusaha membentuk
individualitasnya dalam usaha menuju pembebasan dari “kerangkeng yang
membelenggunya” termasuk dari teks dan agama (karena dinilai membelenggu).
Berbagai kaidah dan metodologi yang telah membatasi, memutarbalikkan pemikiran
dan memperdayainya akan senantiasa berlangsung tanpa mengenali titik henti,
maka harus ada upaya sistematis untuk keluar dari ketidakberdayaan tersebut.
Dari “Kritik Teks” Ke “Kritik Kebenaran”
Sistem baca yang basah dan kreatif dengan
membongkar makna kebenaran yang tidak diungkap dalam teks membuat Ali Harb
mempertanyakan tentang makna suatu hakikat atau kebenaran. Karena, kebenaran
atau hakikat itu ada dan diserap hanya berdasarkan apa yang tertulis dalam
bentuk teks-teks itu yang ternyata menutupi hakikat atau kebenaran lain yang
tidak diungkap dalam teks itu. Dari sinilah kritik kebenaran muncul.
Dari kritik teks (naqd al-nash), Ali Harb
memantapkan diri menuju ke arah Kritik kebenaran (naqd al haqiqah), dan
mengarah ke ‘kebenaran agama.’ Kebenaran yang selama ini diakui oleh
agama-agama sebagimana diatur dalam teks-teks keagamaannya. Dalam kritik
kebenaran agama (naqd al haqiqah al diny), kita harus mengritik agama sendiri
sebelum mengritik agama lain.
Bagi Ali Harb, kebenaran itu tidak tetap
tetapi terwujud dalam bentuk kesementaraan, partikular, dan dalam proses yang
panjang. Ali Harb menegaskan, kebenaran akan menjadi kebenaran minimal dari apa
yang seharusnya “benar” pada batas, pada waktu, dan wilayah kebenaran yang
bersifat universal.
Sehingga, pada akhirnya kebenaran ada pada
ungkapan; “tidak ada sesuatu pun yang dapat dibenarkan atau dipersalahkan.
Kita, misalnya, tidak bisa menilai bahwa barat itu baik dan benar secara
universal, dengan menilai timur itu salah dan jelek secara universal pula,”
kata Ali Harb.
Kebenaran sering menjadi suatu bentuk
pengklaiman dari berbagai pihak secara subyektif dan menjadi konsep tunggal dan
sederhana atau teologis metafisik yang sangat jauh dari wilayah penelitian dan
pemikiran. Kebenaran sendiri merupakan wacana irrasional yang “diam”.
Menurut Harb, kita selayaknya mengritik
konsep kebenaran kita sendiri, karena kebenaran bukan hanya kemenangan
kebenaran atas kebatilan, kebenaran atas kesalahan, atau antara petunjuk dengan
kesesatan yang dibenturkan pada aspek ilmu pengetahuan,otoritas dan kesenangan.
Sejarah kebenaran bukanlah kemenangan rasio atas prasangka. Dan solusi untuk
menjembatani adalah diadakannya dialog antara konsep yang bertentangan, antara
agama-agama yang saling bertentangan dalam dimensi eksoteriknya (syariah adalah
dimensi eksoterik Islam sementara dimensi esoterisnya di isi tasawuf).
Dalam dialog yang hakiki, terdapat kriteria
saling memahami satu sama lain untuk memberi dan menerima. Tidak ada sikap
saling memberi dan menerima tanpa sikap saling pengertian atau pengakuan akan
hak-hak untuk berbeda. Hal ini dapat membawa kita merubah pemahaman tentang
kebenaran dimana kebenaran tidak lagi dipikirkan sebagai esensi yang stasis, kekal,
transenden dan mendahului realitas, melainkan sesuatu yang partikular dan bisa
ditemukan di mana saja.
Artinya, kita akan menangkap dan memahami
kebenaran sebagai eksistensi yang berbeda stereotipe dan penampakannya, atau
sebagai peristiwa yang bermacam-macam pembacaan dan bentuk-bentuk
penangkapannya, atau sebagai teks yang jelas penafsiran, interpretasi dan
metode penelitiannya. Maka kebenaran akan sangat mungkin hanya bisa menjadi
sistem eksperimen atau proses untuk menjelaskan sesuatu sebagai pedoman
prinsip, sistem aksioma, kerangka acuan untuk melihat sesuatu dan atau sebagai
dasar pemikiran untuk meneliti. Sehingga apa yang paling bisa dan yang paling
mungkin kita lakukan adalah menjadi saksi atas kebenaran itu sendiri.
Relativitas Kebenaran Agama
Pembacaan ini kalau kita tarik untuk
mendiskusikan kebenaran agama maka akan memunculkan suatu kesan bahwa kebenaran
agama hanya sebatas “kulit luar” atau khas simbol-simbol luar yang bersifat
rutinitas, elementer, dan fisiologis. Akibatnya kita juga melihat suatu agama
biasanya akan dengan sangat mudah mengaku dan mengklaim bahwasanya hanya
dirinyalah satu-satunya agama yang paling baik dan benar, sementara yang lain
imitasi atau palsu, maka apa yang keluar dan tampak adalah sikap keberagamaan
yang angkuh. Kalau analisa kita kembangkan pada pertanyaan; mengapa sampai
muncul sikap angkuh dalam agama itu? Maka kita bisa membaca bahwa ternyata di
balik semua itu terdapat suatu kepentingan politik agama untuk memainkan lakon
signifikan dalam pembentukan tatanan masyarakat melalui aturan normatifnya yang
diinterpretasikan menjadi ritual dan legalitas tertentu sebagaimana tertuang
dalam teks-teks keagamaan.
Sehingga apa yang terjadi adalah keambiguan
dalam praktik umat beragama. Bagi mereka yang mencoba “keluar” atau
“menyendiri” dari “aturan umum” yang digariskan oleh agama “yang otiriter” itu
langsung dituduh sebagai “kafir” atau “murtad,” suatu tuduhan politis untuk
menyebut orang yang tidak disenangi atau orang yang berbeda dari kelompoknya
seperti umpatan jancuk dalam bahasa arek-arek Jawa Timur.
Dari sini tampak sekali bahwa dalam membaca
kecenderungan klaim kebenaran absolut terhadap agama, Ali Harb sangat
terpengaruh teori Psikoanalisa Freud (Id, Ego, Superego) yang memiliki
kecocokan dengan konsep jiwa dalam Al-Qur’an (an nafs al amarah, an nafs al
muthmainnah, dan an nafs al lawwamah). Id merupakan sumber seluruh instink,
keinginan, kesesatan tidak mengakui larangan dan pemikiran. Superego merupakan
esensi persoalan moral (kemanusiaan, peradaban, kemasyarakatan, dan otorisasi).
Ego membentuk prinsip keharmonisan dan keseimbangan dalam kahidupan seseorang
dan penyeimbang antara paham pragmatisme (id) dan paham realisme (superego).
Maka tidak ada unsur kerelaan dalam pribadinya bila ia tidak berusaha untuk
menyempurnakan dirinya, bagaimana menjadi diri yang baik. Di sini, Ali Harb
menganalogkan an-Nafsu al-Amarah dengan id (di antara karakter id adalah
perilaku agresif) untuk membaca kecenderungan seseorang membenarkan dirinya
sendiri. Artinya jika Id mengalahkan Ego maka akan menimbulkan “brutalisme”
atau “terorisme”.
Fenomena demikian itulah yang seringkali
diperlihatkan oleh umat beragama dengan bentuk klaim-klaim kebenaran atas
agamanya yang dalam studium lanjut riskan mengarah pada konflik. Ketika sampai
pada wilayah ini, maka substansi agama akan hilang. Kebenaran agama-agama itu
tidak akan ada gunanya. Mungkin yang agak menarik di sini adalah kesadaran Ali
Harb bahwa tidak mungkin berhasil mengadakan dialog agama-agama tanpa terlebih
dahulu diadakan dekonstruksi terhadap teks-teks keagamaan. Oleh karena itu,
pesan Harb, yang penting bagi kita sekarang adalah melatih dan mengoptimalkan
rasio supaya produktif guna menghasilkan ilmu dan pengetahuan, serta memberikan
kontribusi bagi terwujudnya realitas dan rekonstruksinya. Pun ada yang berusaha
untuk menggali relevansi antara pemikiran dan gagasannya dengan khazanah
keilmuan lama disaat keterbukaan terhadap seluruh sumber keilmuan dan hasil
budaya, baik yang lama dan kuno maupun yang baru dan modern walaupun
bertentangan dan berlawanan. Tradisi dengan teks dan simbolnya telah
menciptakan suatu subyektifitas dan bentuk identitas budaya bagi kelompok
masyarakat. Ada solusi untuk bersemangat melakukan penyesuaian dengan sumber
aslinya atau tradisi lama, tetapi kadangkala malah membelenggu kita dalam
wilayah ortodoksi doktrin lama dengan otoritas tradisinya.
Oleh M. Kholidul Adib Ach.
24/08/2003