Siang itu, Rabu, 30 April 2003, saya mendadak ada di tengah-tengah para seniman yang sedang mengadakan konferensi pers untuk membela Inul. Peristiwa itu sendiri berlangsung di Galeri Cipta, TIM, Jakarta. Saya bukan seorang seniman, dan kehadiran saya hanyalah karena seorang teman yang membujuk agar saya ada di sana. “Supaya ada suara Islam di sana,” begitu kira-kira argumen yang dipikirkannya. Meskipun, tentu, saya tidak akan pernah berpikir bahwa pandangan saya dan posisi saya yang memang menaruh simpati pada Inul adalah benar-benar mewakili Islam atau umat Islam. Bagaimana Anda akan mewakili pandangan umat Islam yang terbentang dari Sabang sampai Merauke?
Meskipun saya ikut dalam konferensi
pers itu, namun dalam diri saya tetap tersisa sebuah pertanyaan yang hingga
sekarang belum jelas jawabannya. Pertanyaan itu adalah: apakah kita bisa
menilai soal Inul ini semata-mata dari sudut agama, dan kemudian kita akan
sampai kepada suatu keputusan, Inul itu haram (atau juga halal)? Peristiwa Inul
ini bisa sederhana, tetapi juga bisa merupakan permukaan dari soal yang sungguh
rumit dan akan menyita perdebatan yang melelahkan. Yaitu mengenai satu pokok
soal: bagaimana mendefinisikan apa yang sering disebut sebagai “moral” dalam
masyarakat? Apakah “moralitas” semata-mata ditentukan oleh agama? Jika agama
merupakan faktor penting, bagaimana dengan kenyataan bahwa orang beragama
sendiri juga berbeda-beda dalam menafsirkan teks agama? Jika rujukannya adalah
norma yang berlaku dalam masyarakat, apakah kita lupa bahwa masyarakat pun bisa
mempunyai pandangan yang berbeda-beda mengenai apa yang disebut “bermoral” dan
“tidak bermoral”?
Debat soal Inul memang tidak
semata-mata berputar di sekitar soal moralitas, tetapi soal inilah yang
tampaknya mendapatkan sorotan paling dominan. Oleh mereka yang kontra, Inul
dianggap melanggar batas kesopanan, norma, dan moralitas masyarakat. Oleh yang
pro, dikatakan bahwa sebagai seorang seniman Inul haruslah diberi kebebasan untuk
berekspresi. Di sini, ada dua cara pandang yang berbeda: satu, soal moralitas;
yang lain, soal kebebasan. Yang satu, menenkankan suatu batasan; yang lain,
menekankan suatu kebebasan. Debat mengenai masalah ini memang sulit menemukan
jalan keluar; kerapkali malah bisa “ngelantur” menjadi debat kusir yang tak
berkesudahan.
Marilah kita tengok masalah ini agak
sedikit lebih dalam.
Tak bisa dipungkiri, bahwa agama
mempunyai kedudukan yang penting dalam masyarakat kita. Karena Islam merupakan
agama mayoritas, maka wawasan moral umat Islam merupakan sudut pandang yang
sangat penting untuk diperhitungkan. Dalam Islam dikenal suatu ajaran tentang
“aurat”. Kata itu secara harafiah berarti “cacat”. Aurat adalah daerah tertentu
dalam tubuh yang kalau dibuka bisa menimbulkan efek “tidak senonoh” (cacat)
pada masyarakat, sehingga dengan demikian harus ditutup. Kalau merujuk dalam
ilmu fiqh, ada beda antara aurat laki-laki dan perempuan. Aurat laki-laki
adalah bagian tubuh antara pusar dan lutut; aurat perempuan adalah seluruh
tubuh kecuali bagian muka dan telapak tangan. Dalam fiqh, ketentuan menyangkut
perempuan dan pakaian yang harus dikenakannya sangat ketat, jauh lebih ketat
ketimbang laki-laki. Ini menimbulkan “protes” di kalangan kaum feminis Muslim:
apakah fiqh mempunyai kecenderungan “misoginis” atau membenci perempuan? Apakah
ini tidak berlawaan dengan semangat dasar Islam yang memuliakan (takrim)
martabat manusia (QS 17:70)?
Jika merujuk pada ketentuan fiqh secara
ketat, bahkan seorang perempuan dilarang untuk memakai pakaian ketat yang
“tunbi’u ‘anil basyarah”, yang memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh.
Gerakan-gerakan tubuh perempuan yang dapat merangsang syahwat juga tidak
diperbolehkan. Sensualitas dan erotisme, dua pokok soal yang diangkat oleh Wak
Haji Oma Irama, adalah dua hal yang tidak boleh dipertunjukkan dalam ruang
publik. Kiai Ilyas Ruhiyat, seperti dikutip oleh sebuah koran daerah beberapa
hari lalu, juga menekankan hal ini. Dilihat dari sudut pandang fiqh, sebetulnya
seluruh pertunjukan Inul itu tidak boleh alias haram.
Tetapi, saya yakin, ulama NU, dalam
memandang pelbagai hal dalam masyarakat, tidak semata-mata bertumpu pada sudut
pandang fiqh semata. Sebab, kalau itu yang terjadi, sudah dari dulu para kiai
akan mengobarkan “jihad” untuk memerangi semua bentuk tindakan yang berlawanan
dengan fiqh. Saya mempunyai “husnudz-dzann” bahwa kiai kita itu mempunyai sudut
pandang lain yang jarang dikatakan, yaitu wisdom, hikmah, kebijaksanaan, yang
lahir dari suatu dialektik antara dua hal: teks ajaran dalam kitab-kitab, dan
kecerdasan membaca situasi sosial di lapangan. Para kiai itu tidak terlalu
mempersoalkan hal-hal yang telah berkembang dalam masyarakat, meskipun dari
permukaan seolah-olah berlawanan dengan fiqh, sambil secara pelan-pelan mengusahakan
suatu perubahan secara gradual dan “kultural” terhadap hal-hal itu. Kalau ada
kiai yang terlalu bersuara keras terhadap Inul, saya anggap itu adalah kiai
yang kurang menjiwai “gaya” kiai-kiai NU.
Terhadap orang-orang yang membela Inul
atas dasar suatu kebebasan berekspresi, saya akan mengatakan: apakah kalian
yakin bahwa kebebasan di situ cukup untuk menjadi dasar pembelaan? Saya
termasuk orang yang berpandangan bahwa kebebasan adalah syarat pokok dalam
ekspresi kesenian. Tetapi, siapa pun tahu, bahwa kebebasan bukanlah sesuatu
yang berdiri sendirian, sebab di luar sana ada sejumlah norma masyarakat yang
akan membatasinya. Para seniman, sejak bangun tidur, sebetulnya juga anggota
dalam masyarakat, bukan individu soliter yang gentayangan sendirian tanpa suatu
ikatan normatif. Tetapi, orang-orang yang “sok” menekankan “norma masyarakat”,
harap sadar bahwa apa yang disebut “norma” itu adalah sesuatu yang
batas-batasnya terus bergerak, fleksibel, dan mulur-mungkret.
Jadi, bagaimana jawaban yang konkret
atas soal Inul ini?
Saya balik bertanya: apakah kita yakin
bisa mendapatkan jawaban yang pasti atas masalah ini? Saya lebih tertarik pada
“proses” ketimbang pada jawaban akhir. Saya melihat, inilah keadaan yang tepat
bagi masyarakat untuk melakukan diskusi dan tukar pendapat, musyawarah,
deliberasi, negosiasi, tawar-menawar, untuk menentukan batas-batas yang mereka
anggap “pantas” untuk sesuatu yang bias tampil di ruang publik. Semua orang
bisa datang dengan sudut pandang yang berbeda-beda, dan masing-masing bisa
menguji dan beradu argumen. Ada golongan yang cenderung “fiqh-oriented”, ada
yang cenderung menekankan kebebasan, ada yang meninjau dari segi pentingnya
melindungi kreativitas masyarakat bawah, dst.
Penyakit suatu masyarakat plural adalah
adanya kehendak untuk cepat-cepat sampai pada keputusan final, dan tak sabar
menempuh suatu diskusi yang terbuka, bebas, dan saling menghormati. Melalui
kasus Inul ini, masyarakat kita yang plural ini diuji: sabar atau tidak?
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
01/05/2003