PERAN agama dalam ruang publik (public space) sudah lama menjadi perdebatan
umat manusia di planet ini. Kontroversi pelarangan munculnya simbol-simbol
agama dalam ruang publik oleh Pemerintah Perancis, perdebatan tentang isu
moralitas dalam pemilihan presiden di Amerika, dan kontroversi pelaksanaan
perda (peraturan daerah) bernuansa keagamaan di Indonesia, adalah beberapa
contoh yang menunjukkan betapa ruang publik tetap menjadi rebutan.
Setidaknya dua kubu yang berseberangan, yaitu kubu pendukung gagasan
profanisasi/sekularisasi dan kubu pengusung sakralisasi/spiritualisasi, selalu
hadir dalam perdebatan itu. Uniknya-sejak era pencerahan di Eropa sampai era
modern sekarang ini-kedua kubu tersebut tak pernah kehabisan tenaga untuk
mengklaim bagaimana agama seharusnya berperan dalam ruang publik.
Gejala profanisasi/sekularisasi dan sakralisasi/spiritualisasi ruang publik
memang merupakan masalah pelik yang tak dapat dijawab secara instan. Banyak
faktor yang menjadikan mengapa persoalan ini menjadi rumit, antara lain
ditentukan oleh struktur sosial masyarakat, corak budaya, situasi politik
sampai karakter doktrin agama itu sendiri. Para ahli pun sudah lama berusaha
menjawab pertanyaan: mengapa terjadi sekularisasi? Mengapa ketika gelombang
sekularisasi menguat, tiupan radikalisasi agama semakin menjadi-jadi?
SEKULARISASI, dalam kenyataannya, memiliki makna yang sangat luas dan
terjadi dalam berbagai level. L Shiner dalam Journal for the Scientific Study
of Religion (1966) menuliskan enam bentuk sekularisasi: pertama, hilangnya
peran, prestise dan signifikansi agama, baik pada ranah simbolik maupun makna;
kedua, menguatnya konformitas manusia terhadap masalah duniawi; ketiga, semakin
renggangnya masyarakat dari agama; keempat, menguatnya institusi non-agama yang
menggantikan peran institusi agama; kelima, desakralisasi dunia; dan keenam
sekularisasi dapat juga berarti pergeseran dari nilai atau praktik yang
dianggap sakral kepada bentuknya yang sekular.
Adalah sosiolog Perancis Emile Durkheim (1858-1917) yang telah menjelaskan
mengapa sekularisasi agama terjadi. Dalam ’mazhab’ studi agama, Durkheim sering
dikategorikan sebagai seorang functionalist, yang beranggapan bahwa agama
merupakan representasi kolektif (collective representation) sebuah masyarakat.
Baginya, agama merupakan elemen integratif yang berperan menguatkan kohesivitas
sosial. Agama dan aturan- aturan moral lainnya, menurut Durkheim, selalu muncul
dari masyarakat kolektif, dan tidak dari individu.
Oleh karena itu, ketika terjadi fragmentasi sosial, menguatnya
individualitas, dan semakin rapuhnya sense of community dalam masyarakat
modern, maka peran agama dalam ruang publik pun menjadi pudar. Untuk itulah
Durkheim juga berkesimpulan bahwa karena fungsi agama adalah pengikat sosial,
maka agama tidak akan hilang di muka bumi ini, paling banter akan lahir
’agama-agama’ baru berupa institusi-institusi sekuler yang berperan sebagai
elemen ikatan sosial masyarakat.
Dengan cara pandang yang berbeda, Max Weber (1864-1920), seorang sosiolog
kelahiran Jerman berpendapat bahwa sekularisasi terjadi disebabkan adanya
proses rasionalisasi dan birokratisasi dalam struktur sosial masyarakat. Weber,
misalnya, berpandangan bahwa untuk mencapai tujuan hidupnya, manusia berpijak
kepada rasionalitas, baik itu rasionalitas formal yang sama sekali tidak ada
sangkut pautnya dengan nilai ataupun rasionalitas substantif yang bertali
temali dengan nilai. Masyarakat modern, dalam pengamatannya, cenderung berpegang
kepada yang rasionalitas pertama. Dalam konteks agama, rasionalitas formal
tersebut berarti pengeliminasian aspek-aspek yang bernuansa magis dalam
menyelesaikan persoalan masyarakat, dan mengalihkannya kepada
institusi-institusi sosial-politik formal.
Bila Durkheim dan Weber cenderung menekankan aspek struktur sosial
masyarakat yang menjadi penyebab sekularisasi, Peter L Berger justru melihatnya
proses sekularisasi disebabkan oleh karakteristik doktrin agama. Menguatnya
institusi keagamaan seperti gereja, sinagog atau masjid, yang dijadikan sebagai
tempat khusus peribadatan, telah menjadikan ruang publik di luar institusi
keagamaan menjadi tempat yang tidak religius. Selain itu, pluralisme agama yang
ditandai dengan keanekaragaman ajaran agama-agama, ternyata semakin
merelatifkan agama. Bila agama menjadi semakin plural karena adanya perbedaan
cara pandang dan interpretasi, maka lambat laun berkembang menjadi postulat
bahwa agama adalah hasil interpretasi manusia. Pun, dalam pluralisme, orang
bebas memilih untuk berafiliasi pada agama tertentu, dan bahkan bebas untuk
tidak berafiliasi sama sekali.
Tentu saja, penjelasan teoretik di atas masih menyisakan banyak pertanyaan,
antara lain: mengapa banyak orang berpendidikan masih tetap berpegang teguh
pada agama? Mengapa banyak eksekutif dan kalangan menengah-atas di kota-kota
besar justru semakin merekatkan diri pada institusi-institusi spiritual?
GEJALA radikalisasi dengan munculnya ’sekte-sekte baru’ dari agama
mainstream dan kecenderungan menguatnya formalisasi agama memang tidak
diperkirakan sebelumnya. Fenomena ini sekaligus membantah teori positivisme
August Comte yang mengatakan bahwa agama, dengan corak teologisnya, akan
digantikan oleh logika positivistik yang berpijak pada pemikiran ilmiah (modern
scientific thought); selain itu, kenyataan ini juga mematahkan ’teori evolusi
nalar’ lainnya yang dipelopori sosok-sosok seperti Herbert Spencer (1820-1903),
Sir Edward Taylor (1832-1917), atau Sir James Frazer (1854-1941) yang
berpendapat senada dengan Comte.
Dalam konteks ini, masyarakat Indonesia tampaknya sedang ambigu terhadap
ruang publik. Ketika kampanye tentang pluralisme dan privatisasi agama yang
dilakukan oleh beberapa kelompok semakin gencar, semakin intens pula kelompok
yang mempromosikan formalisasi agama. Bila demikian keadaannya, akhirnya,
pertanyaan lain muncul: apa makna dan fungsi agama itu sesungguhnya, dan
mengapa orang berbeda pilihan dalam beragama?
Untuk menjawab itu, Stark dan Bainbridge menawarkan teori pilihan rasional
(rational choice theory). Orang memilih agama atau corak gerakan keagamaan
tertentu karena adanya harapan tentang actual rewards dan penjelasan tentang
rewards di masa yang akan datang. Ketika, suatu kelompok masyarakat beragama
melihat modernisasi dan sekularisasi tidak memberikan makna apa-apa, maka
pilihan lainnya adalah spiritualisasi. Robert N Bellah (1976) umpamanya
menjelaskan bahwa salah satu penyebab munculnya New Religious Movements (NRMs)
adalah adanya krisis moral dan norma dalam masyarakat industrial modern.
Adanya ambiguitas norma dan moral budaya kontemporer juga menjadi faktor
penting yang menyebabkan menurunnya peran civil religion dan merevitalisasinya
sekte-sekte bernuansa agama. Selain itu, menurunnya peran komunitas dan
kehesivitas sosial (the decline of community) dalam masyarakat urban industrial
juga dianggap berperan penting merangsang munculnya kelompok-kelompok agama
baru. Keterlibatan dalam sebuah gerakan baru yang menyajikan model keanggotaan
dan bentuk persaudaraan yang khas dalam sekte tertentu, barangkali telah
memberikan sense of community di mana para anggotanya merasa mendapatkan
identitas dan jati diri yang baru.
Tendensi untuk meformalisasikan agama dalam ruang publik pun, barangkali,
tidak terlepas dari kekecewaan-kekecewaan terhadap sistem sosial, budaya dan
politik yang ada, yang ternyata tidak dapat menjawab persoalan-persoalan
kemanusiaan yang semakin rumit. Dalam kasus Indonesia, krisis sosial, ekonomi,
politik, dan moral yang dianggap tidak memberikan rewards apa-apa, telah
menjadikan keinginan mencari rewards di masa yang akan datang (distance
future)-yang ternyata rewards tersebut disediakan oleh agama-akhirnya tak dapat
dibendung. Konsekuensinya, upaya formalisasi agama dalam ruang publik pun terus
bergulir.
Bila bangsa ini, dengan segala kelebihan dan kekurangan sistem sosial dan
politik yang ada, tidak dapat memberikan actual rewards yang berarti bagi
masyarakatnya, baik secara ekonomi, sosial maupun politik, maka tuntutan untuk
menguji sistem sosial dan politik yang bernuansa agama pun tak akan pernah
berhenti.
Hilman Latief
Hilman Latief Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Mahasiswa Fulbright di
Faculty of Art and Social Sciences, Dept of Comparative Religion, Western
Michigan University