Bagaimana Muslim Bersikap terhadap Peradaban Barat?

Hari Sabtu, 12 Februari lalu, saya mendapat kesempatan menyampaikan sebuah kajian pada acara Kajian Islam Awal Tahun (KIAT) 1426, yang diadakan Keluarga Masyarakat Islam Indonesia (KMII)-Tokyo. Temanya cukup menantang 'Kehidupan Menurut Pandangan Islam dan Barat'.
Hal pertama yang terbersit di benak saya adalah kejujuran memandang realitas barat dan komunitas muslim saat ini. Sejauh mungkin dihindari simplikasi masalah yang terkadang hanya menghasilkan kebencian terhadap barat, apalagi berbicara di hadapan peserta kajian yang rata-rata mahasiswa. Satu pesan yang mungkin menguntungkan dari simplikasi masalah Barat versus Islam adalah membuat 'benteng' keyakinan bagi muslim, tapi untuk kerja besar komunitas muslim bisa jadi cara ini kontra produktif, sebab akan menutup rapat mempelajari hikmah yang mungkin tersimpan di barat sana. 

Dilihat dari sudut capaian material peradaban, mestilah diakui bahwa barat telah mengambil alih estafet peradaban dari muslim, yaitu sejak mereka mengalami pencerahan sekitar abad XV masehi (Renaissance), kemudian dilanjutkan dengan revolusi industri, penjelajahan samudra (baca: imperialisme), dan revolusi Perancis dalam menata pemerintahan mereka. Setelah itu barat memadukan secara rapi kemajuan ilmu pengetahuan, administrasi, teknologi, industri (termasuk industri persenjataan!) serta perekonomian mereka. Bentuk kemajuan beberapa negara yang relatif baru masuk dalam kategori maju seperti Jepang atau Korea Selatan pun diwarnai budaya barat secara dominan. Para budayawan Jepang bahkan prihatin dengan kondisi anak-anak muda Jepang yang disinyalir mulai kehilangan identitas mereka dan mengalami pembaratan dalam selera dan cita-citanya. Fakta ini semakin mengokohkan bahwa Barat lah pemegang peradaban materi saat ini.
Bagaimana kondisi komunitas muslim saat ini? Meski menyakitkan untuk disebutkan, komunitas ini masih terseok-seok mengejar berbagai ketertinggalan dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera. Suasana keterjajahan di masa-masa imperialisme masih belum hilang sepenuhnya dari jiwa kebanyakan masyarakat muslim, yang memang baru merdeka secara fisik pada pertengahan abad XX lalu. Lihatlah kondisi Indonesia sebagai salah satu negara berpenduduk mayoritas muslim. Sulitnya membangun modal sosial dalam bentuk rasa saling mempercayai dan bekerja sama di negeri ini menjadi satu contoh saja, betapa bangunan sosial komunitas muslim masih jauh dari kekokohan yang diharapkan. Suasana penindasan ekonomi dari segelintir pemegang kapital atau perilaku korup birokrasi yang membuat sebagian besar masyarakat menderita masih saja berlangsung. Sikap rakus kapitalistik dan korup sebagian orang ini laksana sekelompok orang yang dapat hidup makmur dengan menjadi antek-antek kaum penjajah di masa imperialisme dahulu.
Suara-suara yang menyatakan bahwa imperialisme modern masih berlangsung nampaknya bukan isapan jempol belaka. Tak kurang Joseph Stiglizt, peraih nobel Ekonomi tahun 2002, dalam buku Globalization and Its Discontents menyimpulkan kuatnya kebijakan-kebijakan ekonomi barat (dalam hal ini kebijakan IMF dan World Bank) yang hampir-hampir mengabaikan negara-negara dunia ketiga untuk menentukan langkah ekonominya secara merdeka dan betul-betul berorientasi untuk memecahkan masalah domestik. Data-data statistik yang diangkat Adian Husaini berikut ini [Republika, 27 Juli 2004] mungkin berbicara lebih fasih tentang hegemoni barat terhadap dunia ketiga. Tahun 1960, perbandingan pendapatan per kapita antara seperlima penduduk bumi di negara-negara terkaya dengan seperlima penduduk bumi di negara-negara termiskin adalah 30:1. Tahun 1990, kesenjangan itu meningkat menjadi 60:1; dan tahun 1997 menjadi 74:1. Seperlima penduduk bumi di negara-negara kaya kini menikmati 86 persen GDP (Gross Domestic Product) dunia, 82 persen nilai ekspor dunia, dan 68 persen investasi asing secara langsung (foreign direct investment/FDI). Sementara seperlima penduduk bumi di negara-negara termiskin hanya menikmati 1 persen GDP dunia, 1 persen dari nilai ekspor dunia, dan 1 persen FDI.
Masalahnya sekarang, bagaimana komunitas muslim bersikap terhadap peradaban barat? Sepanjang sejarahnya ada tiga kategori besar sikap terhadap barat, pertama menentang habis-habisan, kedua menerima juga habis-habisan, dan ketiga adalah sikap pertengahan, kritis dan selektif dalam berinteraksi dengan peradaban dan budaya barat. Sikap pertama mudah difahami akan lahir dari kondisi dendam dan mungkin didorong sikap defensif yang berlebihan. Adapun sikap kedua lahir karena inferiority-complex. Bayangkan seorang sekuler Gerakan Turki Muda menyatakan,"Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya mau pun durinya sekaligus."
Pada kajian KIAT lalu, saya mengusulkan agar para intelektual muslim menempuh sikap ketiga dalam berdialog dan berinteraksi dengan barat. Paling tidak ada lima langkah yang bisa dilakukan dalam mengejar berbagai ketertinggalan komunitas muslim dalam kaitan interaksi dengan kemajuan barat:
1) pendalaman identitas diri sebagai muslim dan identitas komunitas muslimin,
2) pengenalan budaya barat secara komprehensif,
3) proses pembelajaran-penyeleksian-penyerapan dari sisi kebaikan barat,
4) membangun peradaban dengan warna dominan orisinalitas Islam, dan
5) menjadi soko guru peradaban dunia. Tulisan ini selanjutnya mengangkat masalah ke-2 dan ke-3 dari lima langkah di atas.
Intelektual muslim perlu membekali diri dengan pengenalan budaya barat secukupnya. Roger Garaudy dalam buku Janji-janji Islam [Penerbit Bulan Bintang, 1984] secara fenomenologi menyimpulkan bahwa peradaban Islam adalah warisan ketiga bagi peradaban modern saat ini setelah peradaban Yunani dan peradaban Yudeo-Kristiani. Sayangnya barat secara tidak jujur mewarisi sebagian saja dari warisan peradaban muslim. Penguasaan dan penghayatan yang tepat terhadap ilmu pengetahuan alam dan sosial menjadi akar kebangkitan setiap peradaban mulia. Di dalam Islam ilmu pengetahuan tersebut menjadi menjadi bagian utuh menuju jalan keyakinan akan keagungan Sang Pencipta. Mendalaminya identik dengan penghayatan ketauhidan Allah swt. Transendensi ilmu pengetahuan ini hilang ketika barat memisahkan ilmu pengetahuan dari nilai suci ketuhanan. Implikasinya adalah sikap terhadap alam yang eksploitatif dan sikap terhadap kemanusiaan yang diwarnai dengan penindasan dan pemerkosaan hak-hak asasi.
Hasil dari sekularisasi ilmu pengetahuan nampak pada kepincangan-kepincangan produk peradaban barat yang telah melahirkan dua perang dunia dengan korban jiwa yang besar sebagai akibat pertentangan negara-negara (nations) yang memuncak, kerusakan alam yang tidak terhingga (saat ini wacana tentang environmental security sedang mengemuka) dan krisis sosial yang sudah menghujam sampai akar permasalahan keluarga dan keturunan. Barat kebingungan menghadapi runtuhnya institusi keluarga. Kerinduan akan kehidupan keluarga yang harmonis menjadi tangisan dan impian yang terungkap dari banyak novel dan film mereka. Belum lagi kondisi masyarakatnya yang sudah meninggalkan agama. Ketika agama tidak lagi menjadi pijakan kehidupan, maka akan terjadi berbagai kerancuan pemikiran. Pertanyaan-pertanyaan dilematis tentang manusia pada capaian ilmu bio-molekular, semisal masalah kloning atau cybernetics yang banyak mengilhami film-film Hollywood, menggambarkan kebingungan barat dalam memahami hakikat manusia dan kehidupannya. Pengokohan rasa kemanusiaan mereka terpaksa mesti dibangun dengan memunculkan common enemy berupa aliens dari angkasa luar.
Sebagian ilmuwan barat mulai melakukan otokritik atas kekeliruan langkah yang terjadi. Fritjop Capra, seorang berlatar belakang fisikawan, adalah salah satu dari mereka. Dalam buku the Turning Point [dapat diakses pada beberapa situs internet] dia menyampaikan kritik terhadap peradaban barat yang telah terjebak memandang kehidupan sebagai pola mekanistik-parsial. Dia mengupas dari bangkitnya sains barat modern yang memang cenderung melihat realitas sebagai potongan-potongan kecil yang bekerja secara mekanistik. Dalam bidang fisika, mereka terus mencari substansi kehidupan dari atom ke nukleus, elektron dan partikel sub-atom. Kecenderungan ini pun terlihat dari bagaimana ilmu biologi, anatomi tubuh, hingga ilmu kedokteran pun terjebak pada pandangan parsial-mekanistik. Pengamatan diawali dari klasifikasi organisme, kemudian pada sel, hingga pengamatan molekul-makro, enzim, protein dan asam amino. Kesemuanya dilakukan untuk menjawab esensi dan substansi kehidupan. Dari apa kehidupan ini bermula? Apa hakikat yang ada di dalamnya? Dalam kebingungan mencari jawaban inilah alam pun dipandang sebagai bagian-bagian terpisah yang bisa dieksploitasi secara bebas. Ini yang menjadi akar permasalahan kepincangan produk peradaban barat, sebab pemikiran ini hanya berhenti pada pengejaran sisi kuantitas dari materi dan kehidupan.
Sebagai alternatif pemikiran di atas Capra mengusulkan untuk melihat kehidupan secara sistemik-holistik. Dia bahkan terus mengembangkan pemikirannya dengan merujuk pada ekosistem. Essainya berjudul Ecology and Community mengangkat masalah ini dengan indah. Pemikiran manusia kontemporer akan ekosistem berkembang sekitar tahun 1920-an dari mulai memahami rantai makanan (food chain) menuju konsep siklus makanan (food cycle) hingga konsep jejaring makanan (food webs -network of feeding relationship-). Ini perkembangan bagaimana para ekolog semakin memahami cara kerja alam. Sebagaimana alam telah bekerja dalam jejaring yang tersusun harmonis, lahirlah gagasan jejaring kehidupan (webs of life) dalam menata komunitas manusia. Pemahaman sisi kuantitas alam dilengkapi dengan sisi kulitasnya, yaitu pemahaman utuh akan pola-pola kehidupan (patterns of life). Kehidupan dan komunitas mesti dilihat sebagai pola sistem yang saling terkait satu sama lain (inter-linkage) dan saling membantu dalam menggapai cita-cita kemanusiaan.
Belakangan urgensi membangun kearifan umat manusia dalam bersikap terhadap alam semakin dirasakan berbagai komunitas ilmuwan. Kesadaran akan perubahan lingkungan global (global environmental change) yang terus meningkat dengan dampak-dampak serius yang diakibatkannya bagi kemanusiaan, membuat pembangunan jejaring dan institusi untuk memecahkan masalah ini dilakukan makin intensif. Di tingkat negara, regional dan global lahirlah jargon pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang hampir tak bisa dilepaskan dari program-program pemerintahan di mana pun, paling tidak pada tataran konsep.
Kesadaran di atas bisa menjadi irisan pemikiran dan entry-point bagi intelektual muslim untuk berdialog dan berkolaborasi dengan ilmuwan barat dalam menemukan kembali hakikat kehidupan dan kemanusiaan. Al Quran membekali muslim untuk memandang alam sebagai satu kesatuan yang bersujud dan bertasbih kepada Allah, Rabb semesta alam, bahkan alam dan diri manusia adalah cerminan kesatuan kebenaran dariNya.
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu benar. Dan apakah Rabbmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (QS. Fushilat:53).
Kehadiran warna dominan peradaban islami akan memecahkan berbagai problematika masyarakat modern. Ini keyakinan yang kokoh pada para intelektual muslim. Akan tetapi untuk sampai ke posisi ini dibutuhkan kerja keras komunitas muslim secara rapi dan serempak.
***

Publikasi: 23/02/2005 15:13 WIB
Ade J Mustafa
<adijm2001 at yahoo dot com>
Mahasiswa program doktor pada Center for Environmental Remote Sensing (CEReS), Chiba University-Japan; Peminat masalah pengembangan diri dan komunitas

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design