NABI Muhammad
merupakan pionir dalam pembebasan ketertindasan perempuan yang terjadi di Arab
pada zaman jahiliyah. Akan tetapi, saat ini disebabkan masih kuatnya budaya
patriaki, ternyata membuat perempuan muslim lebih banyak yang termarjinalisasi
dalam ruang domestik dan sosial-politik. Lebih-lebih dalam lingkup ibadah.
Lagi pula masih
adanya pandangan bahwa persentase akal perempuan hanya 1 persen, sedangkan, 99
persen lainnya dikuasai oleh emosi. Adapun laki-laki sebaliknya. Maka, tidak
mengherankan perempuan lebih cenderung bertindak emosional, sehingga logis jika
mereka tak diberikan tanggung jawab di luar batas kemampuan "kodrati"
tersebut.
Ironisnya, masih
ada perempuan yang membenarkan pandangan tersebut. Bahkan mereka menjadikan
ayat-ayat Alquran untuk menjustifikasi ketidakmampuan diri dan berperilaku bak
Cinderella yang harus dilindungi, dijaga, dan diperhatikan.
Kondisi ini
berakibat munculnya tindak kekerasan terhadap perempuan. Baik disadari atau
tidak oleh korban dan pelaku. Tanpa disadari, telah terjerumus dalam praktik
misoginis yaitu tindakan kekerasan terhadap perempuan baik secara langsung
maupun tidak langsung, dengan cara kasar maupun halus. Bahkan, pihak perempuan
mengalami kekerasan fisik maupun mental.
Dalam lingkup
keluarga, misalnya, ternyata kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bagi
masyarakat Indonesia bukanlah fenomena baru. Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan mengatakan bahwa 11,4 persen dari penduduk Indonesia atau 24 juta
terutama di pedesaan pernah mengalami kekerasan dan terbesar adalah kekerasan
dalam rumah tangga (domestic violence).
Sementara menurut
catatan Mitra Perempuan, hanya 15,2 persen perempuan yang mengalami KDRT
menempuh jalur hukum. Sedangkan mayoritas (45,2%) memutuskan pindah rumah dan
hanya 10,9 persen memilih diam. (Gadis Arivia : 2004)
Padahal beberapa
dekade terakhir, ada usaha-usaha dari kalangan LSM, pemerintah, dan lainnya
untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan. Salah satunya, lahirnya UU 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Namun,
sebagian kalangan berpendapat dengan UU ini tak bisa berbuat banyak. Yang
diharapkan mampu meredam kekerasan terhadap perempuan dalam lingkungan rumah
tangganya, nyatanya, sejak lahirnya UU ini belum menunjukkan hasil yang
menggembirakan.
Penafsiran Alquran
setidaknya, ada tujuh isu kontroversial di dalam Islam yang erat kaitannya
dengan isu gender. Yakni, asal mula penciptaan perempuan, konsepsi kewarisan,
persaksian, poligami, hak-hak reproduksi, hak talak perempuan, dan peran publik
perempuan. Ayat-ayat yang berhubungan dengan persoalan-persoalan tersebut, bisa
muncul kesan adanya ketimpangan atau berat sebelah terhadap perempuan.
Prof Nasaruddin
Umar, MA (2002) menyatakan penafsiran Alquran dalam kitab tafsir masih sering
dijadikan referensi dalam melegalkan pola hidup patriarki. Sebab kitab-kitab
tafsir tersebut menyebutkan bahwa laki-laki dianggap sebagai jenis kelamin
utama, sedangkan perempuan sebagai jenis kelamin kedua.
Pandangan ini
sebagai "ketelodoran" utama fikih Islam dan tafsir Alquran
konvensional yang ada sekarang bersumber dari kesalahan metodologi yang tidak
memperhatikan karakteristik dan fleksibilitas pengertian teks-teks kitab suci.
Akibatnya, hukum
Islam yang ada sekarang membebani punggung umat dan tidak sesuai lagi dengan
kemajuan ilmu pengetahuan serta situasi dan kondisi abad ke-20.
Maka, tidak
mengejutkan ketika munculnya wacana gender ini barulah terasa ada
"kejanggalan" dalam praktik keseharian. Lebih-lebih dalam
produk-produk fikih (hukum Islam). Sebab para ulama fikih pada periode awal
telah "lengah" dalam menafsirkan ayat-ayat gender dalam Alquran.
Mereka hanya memahaminya secara literal. Akibatnya, hukum Islam saat ini
dituduh telah menindas kaum perempuan, dan menjadikannya sebagai anggota
masyarakat kelas dua.
Salah satu
contohnya adalah tentang surat An Nisa ayat 34 tentang kepemimpinan laki-laki
dan perempuan. Ayat ini sering dijadikan keputusan final bahwa laki-laki adalah
pemimpin bagi perempuan, dalam semua aspek bidang kehidupan, baik dalam wilayah
ibadah dan muamalat (sosial), sehingga isu ini mengemuka tatkala pencalonan
presiden Megawati dalam Pemilu 1999. Terakhir, tentang DR Amina Wadad, profesor
studi Islam di Departemen Filsafat dan Studi Agama Universitas Virginia
Commonwealth, yang bertindak selaku imam dan khatib dalam shalat Jumat di New
York. Tidak mengherankan jika banyak kaum muslimin yang terperangah, bahkan
langsung bereaksi keras.
Padahal, makna qawwamah
sendiri, menurut Nasaruddin Umar tidak mesti diterjemahkan menjadi
"pemimpin" tetapi jga bisa berarti "pemelihara" atau
"pendamping", atau "pelindung", sehingga pemaknaan seperti
ini, maka konotasi hubungan laki-laki dan perempuan menjadi hubungan
struktural. Sedang bila diartikan sebagai pelindung, pemelihara, maka hubungan
itu bersifat fungsional, tanpa harus ada yang di atas dan di bawah.
Arti terakhir
inilah sebetulnya yang sesuai dengan tujuan Alquran tentang pola relasi gender
laki-laki dan perempuan, yaitu hubungan yang bersifat fungsional dan
komplementar yang didasari cinta damai dan kasih. Oleh karena itu menurut
Nasaruddin, ada beberapa aspek yang menyebabkan terjadinya bias gender dalam
menafsirkan Alquran.
Pertama, pembakuan
tanda huruf dan tanda baca. Pembakuan ini ternyata dengan sendirinya
mengeliminir beberapa versi bacaan Alquran "Ayat-ayat Alquran dimungkinkan
dibaca lebih dari satu macam, yang dikenal dengan tujuh huruf atau bacaan
tujuh.
Akibat pembakuan
ini berakibat pada pemahaman dan penetapan hukum. Seperti masa haid. Versi
pertama, menurut Abu Hanifah, perempuan yang selesai haidnya,dengan sendirinya
sudah bersih tanpa harus mandi wajib. Yang kedua, menurut Imam Syafii
sebaliknya. Perempuan yang telah menyelesaikan masa haid harus mandi wajib, baru
dinyatakan bersih.
Kedua, perbedaan
makna kosakata. Contohnya tentang bacaan quruí dalam surat Al-Baqarah ayat 288.
Kata ini bila diartikan "bersih, suci", maka masa menunggu perempuan
setelah bercerai lebih pendek daripada diartikan "kotor".
Ketiga, struktur
dan kosakata bahasa Arab adalah bahasa yang sarat dengan bias gender. Hal ini
tidak lepas dari kesejarahan Bahasa Arab sendiri yang termasuk dalam kelompok
bahasa semit. Sementara itu kosmologi Semit menganggap perempuan berasal dari
rusuk laki-laki.
Keempat,
penerjemahan Alquran. Salah satunya penerjemahan suarat An Nisa ayat 34 tentang
kepemimpinan laki-laki dan perempuan. Departemen Agama menerjemahkannya kata qawwamah
dengan pemimpin.Padahal kata ini tidak mesti diartikan seperti itu, tapi bisa berarti
"pemelihara", "pendamping" atau "pelindung".
Selain itu, dalam
metode tafsir pun terjadi bias gender yang menyebabkan posisi perempuan tidak
setara dengan laki-laki. Yakni metode tahlili. Sebuah metode yang menganalisa
secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek di dalam Alquran, dan
pembahasannya berdasarkan bagian tertentu dari Alquran, dan salah satu cirinya
adalah menadi teks sebagai fokus. Dalam menganalisa suatu kasus, perhatian
utama langsung tertuju pada bunyi teks terhadap kasus tersebut, bukan pada apa
dan bagaimana kasus itu terjadi.
Lagi pula,
interpretasi ayat-ayat gender, menurut Muhammad Syahrur (1993), para ulama
fikih mencampuradukkan ayat-ayat ini yang bersifat taílimat (informasi)
dengan yang bersifat hudud (teori perbatasan).
Ayat-ayat yang
bersifat taílimat bisa dilanggar atau tidak dikerjakan, atau malah
mengerjakan yang sebaliknya, karena hanya berfungsi sebagai petunjuk etis.
Adapun ayat-ayat hudud harus bisa menoleransi perilaku-perilaku manusia, selama
perilaku tersebut dalam koridor hudud. Yakni konsep ada batas minimal, batas
maksimal, dan yang di antara keduanya.
Lebih-lebih, bagi
Syahrur penafsiran Alquran kontemporer memiliki kekurangan. Salah satunya,
tidak adanya metode penelitian ilmah yang objektif yang berkaitan dengan kajian
nash Alquran. Hal ini berakibat pada kajian-kajian yang ada seringkali bertolak
dari perspektif lama yang sudah mapan, yang terperangkap dalam subjektivitas,
bukan objektivitas. Yakni, lebih banyak memperkuat asumsi yang dianutnya.
Selain itu, kurang dimanfaatkannya filsafat humaniora, lantaran umat Islam
selama ini masih mengendapnya pandangan miring terhadap pemikiran Barat. Tidak
adanya epistemologi Islam yang valid. Hal ini berdampak pada fanatisme dan
indoktrinasasi mazhab, yang mengakibatkan kurang berkembangnya pemikiran Islam.
Kondisi ini,
mengakibatkan produk-produk fikih sekarang, kurang relevan dengan tuntutan
modernitas. Kegelisahan ini sudah muncul, tapi umumnya terhenti pada kritik
tanpa menawarkan alternatif baru. sehingga munculnya wacana kesetaraan gender
ini, bisa memunculkan dimensi universalitasnya dalam menafsirkan Alquran.
Terutama yang barkaitan dengan gender, diperlukan metode yang tepat.
Seperti metode
semantik, hermeneutic, ilmu linguistik modern, dengan premisnya bahwa bahwa
lisan kemanusiaan tidak mempunyai kata yang sinonim. Membaca teks dengan metode
analisis ini akan memberikan pemahaman bahwa ayat-ayat Alquran tentang gender
merupakan suatu proses dalam mewujudkan keadilan secara konstruktif di dalam
masyarakat.
Di samping itu,
menurut Syahrur, tiap-tiap generasi mampu memberikan interpretasi Alquran yang
memancar dari realitas yang muncul dan sesuai dengan kondisi di mana mereka
hidup. Hasil interpretasi generasi awal tidaklah mengikat masyarakat Islam
modern. Bahkan lebih jauh, kesalahan utama tafsir Alquran konvensional sekarang
ini bersumber dari kesalahan metodologi yang tidak memperhatikan karakterstik
dan fleksibilitas pengertian Alquran.
Maka, kesetaraan
gender, sebagai yang dibahas dalam disertasi Nazaruddin Umar dan Zaitunah Anwar
(1998) memberikan dasar teologi yang membebaskan mendasarkan argumentasinya
pada munculnya tafsir yang bias gender karena faktor budaya patriarki, sehingga
memunculkan teologi perspektif Islam yang cenderung melihat perempuan sebagai
makhluk yang harus dibedakan dari laki-laki.
Namun demikian,
adanya penafsiran yang tidak sejalan dengan pemikiran kontemporer, tidak
berarti dianggap salah, karena setiap ahli tafsir adalah anak zamannya. Mereka
mempunyai hak dan kemampuan tersendiri dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat
Alquran menurut logika dan konteks budaya yang sesuai dengan zamannya.
Maka, risalah
Rasulullah saw menitikberatkan kepada manusia untuk memperhatikan konsep
keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan baik sesama umat manusia maupun
dengan lingkungannya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekadar
mengatur keadilan gender dalam masyarakat. Tetapi secara teologis mengatur pola
relasi mikrokosmos (manusia), makrokosmos (Alam), dan Tuhan, sehingga, manusia
bisa mencapai derajat hamba (abdi) sesunguhnya.(11)
Oleh: Lutfil Kirom A
alumnus
IAIN Walisongo Semarang dan Alumnus Pondok Pesantren Al-Anwar Mranggen Demak