REFORMASI
telah memberi angin bagi gerakan separatis seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tapi GAM dan OPM tetap dinilai negara
sebagai musuh yang harus dihadapi, bukan hanya TNI, juga seluruh komponen
bangsa. Penyikapan seperti itu memang tipikal negara. Padahal, dengan mendaulat
sebagai musuh negara, implikasinya justru membuat gerakan separatis makin
radikal, agresif, dan eksplosif.
Bukan
itu saja: penegasan seperti itu sebenarnya bisa diletakkan sebagai kelanjutan
historis atas represi negara melalui brutalitas TNI terhadap GAM dan OPM.
Banyak ilmuwan sosial dan politik, seperti Harold Crouch (2000), David Brown
(2001), Michael Malley (2001), dan lain-lain, memasukkan represi negara sebagai
salah satu variabel penting mengapa gerakan separatis muncul, punya daya tahan
lama dan bahkan sukses di suatu negara.
Dalam
konteks Indonesia, represi negara menjadi salah satu penjelas mengapa gerakan
separatis muncul, punya daya tahan lama, dan semakin radikal dalam gerakannya.
Represi negara telah dipraktekkan dalam kasus DOM (Daerah Operasi Militer,
1988-1998), yang mengakibatkan sekitar 2.000 korban, kebanyakan sipil (Malley,
2001: 94). Selama Agustus 1998 sampai akhir 1999, Harold Crouch (2000: 124)
mencatat sebanyak 447 sipil telah dibunuh.
Represi
negara juga dipraktekkan di Papua dengan pembunuhan di Timika antara 1995-1996,
penembakan pro-gerakan separatis di Biak, Nabire, Sorong, Wamena dan Timika
pada tahun 1998 dan 1999 (Mote and Rutherford, 2001: 120). Pembunuhan atas
Theys Eluay pada 11 November 2001 juga makin meningkatkan radikalisme gerakan
separatis di Papua.
Mobilisasi
Dukungan
Dalam
tubuh GAM dan OPM sendiri, represi negara selain memompa semangat pemberontakan,
juga dipakai sebagai sarana untuk memobilisasi dukungan, terutama level
internasional. Dalam konteks ini, Huntington (1968) termasuk ilmuwan politik
yang memasukkan variabel kemampuan memobilisasi dukungan, baik internal maupun
eksternal, sebagai salau satu variabel dalam suksesnya gerakan separatis.
Di
Aceh, dukungan internasional diperoleh ketika Kolonel Kaddafi memproklamasikan
dirinya sebagai pemimpin internasional baru dalam hal gerakan pembebasan
nasional tahun 1980-an. Libya membantu Hasan di Tiro dalam mengembangkan GAM
dan sekaligus men-training beberapa ratus pejuang gerakan separatis (Aspinall
2002, 10). Belakangan, GAM juga relatif berhasil mencari dukungan internasional
dengan mengemas secara canggih isu-isu seperti pelanggaran HAM, brutalitas TNI,
dan hak kedaulatan untuk menentukan diri sendiri (self-determination). Kampanye
ini relatif berhasil, misalnya ditandai dengan intervensi lembaga internasional
atas pelanggaran HAM di Aceh, dan juga keterlibatan lembaga NGO internasional
Henry Dunant Center for Humanitarian Dialogue sebagai mediator antara
pemerintah RI dan GAM.
Variabel
memobilisasi dukungan ini juga tak bisa dilepaskan dari kekuatan institusional
dan kepemimpinan gerakan separatis. Kohesivitas kepemimpinan dalam GAM relatif
terjaga. Hasan di Tiro merupakan tipikal pemimpin yang kuat. Meski dia telah
berada di Swedia sejak 1980-an, namun kekuatan agama dan politiknya cukup ampuh
dalam memimpin gerakan separatis dari jarak jauh. Dia menunjuk Abdullah
Syafi’ie sebagai pemimpin sayap militer GAM yang menahkodai gerakan separatis
hingga tiba hari kematiannya.
Organisasi
GAM dan sayap militernya di berbagai level, menunjukkan daya tahan gerakan
separatis dalam melampaui empat rezim, mulai dari kepemimpinan Soeharto,
Habibie, Gus Dur sampai otoritarianisme lunak Megawati. Baik Huntington (1968)
maupun Ted Robert Gurr (1993) berkesimpulan bahwa faktor kekuatan institusional
dan kohesivitas kepemimpinan di kalangan gerakan separatis menjadi variabel
penting bagi munculnya, bahkan suksesnya gerakan separatis.
Kekecewaan
Tingkat
kekecewaan rakyat Aceh dan Papua, yang memicu lahirnya gerakan separatis, juga
diakibatkan tingginya tingkat eksploitasi pemerintah pusat terhadap sumber
kekayaan alam di Aceh maupun Papua. Di Aceh, misalnya gerakan separatis semakin
eskalatif akhir tahun 1980-an, ketika alienasi antara pemerintah RI dan
teknokrat Aceh digunakan untuk mengeskploitasi sumber daya alam untuk
kepentingan pusat, pengusaha asing, dan orang-orang Jawa (Malley 1999, 95).
Eksploitasi ini kurang diiringi dengan peningkatan standar kehidupan yang layak
bagi orang Aceh sendiri. Alih-alih standar kehidupan yang layak, orang Aceh
secara umum dan GAM secara khusus malah diperlakukan secara represif.
Dalam
konteks ini, orang-orang Aceh merasa terampas haknya, atau menggunakan teori
David Brown (1988), menjadi "kelompok yang tereksploitasi" (h. 64).
Perasaan ini makin akumulatif ketika hasil eksploitasi atas sumber daya alam
itu justru dipakai pemerintah pusat sebagai ajang korupsi, sementara
orang-orang Aceh sendiri tetap saja miskin. Pemerintah juga terkesan
"terpaksa" dalam memberikan otonomi khusus, ketika Aceh tetap
dikendalikan "orang pusat" melalui perpanjangan tangan Abdullah
Puteh. Ini berbeda total dengan gerakan separatis Moro di Philippina: pemimpin
gerakan separatis Nur Misuari menjabat sebagai gubernur untuk mengelola
daerahnya.
Mirip
dengan Aceh, kekecewaan orang-orang Papua juga disebabkan oleh eksploitasi
besar-besaran atas sumber kekayaan alam di Papua. Gerakan separatis meningkat
ketika tahun 1973 perusahaan Freeport menggali tembaga dan emas, yang
mengakibatkan 10.000 hektare tanah dan juga kekayaan alam tereksploitasi oleh
pusat dan perusahaan asing tanpa kompensasi berarti bagi orang-orang Papua
(Webster, 2001: 522), sehingga mereka tetap merasa "backward."
Teori-teori
gerakan sosial yang dirumuskan ilmuwan sosial dan politik, seperti David Brown
(2001), Ted Gurr (1993), Malley (2001), Serajul Islam (1998), dan seterusnya,
menegaskan bahwa tingkat kekecewaan yang semakin tinggi akibat eksploitasi
pemerintah pusat justru melahirkan semangat pemberontakan di kalangan gerakan
separatis. Makin tinggi tingkat kekecewaan, maka akan makin memperbesar pula
daya eksplosif dari gerakan separatis.
Nasionalisme
Etnis
Dalam
selimut kekecewaan akibat represi negara, brutalitas militer, dan eksploitasi
pusat atas kekayaan daerah, maka semangat nasionalisme etnik di kalangan
kelompok tertindas makin tumbuh kuat. Salah satu ikatan kuat yang menumbuhkan
semangat nasionalisme etnik di Aceh, misalnya adalah memori pengalaman
ketertindasan (memory of collective sufferring). Berada di bawah payung
pemerintah pusat sama tertindasnya dengan berada di bawah kolonialisme Belanda.
Karena
itu, Aceh secara umum dan GAM secara khusus memberikan stereotipe pemerintah
sebagai neokolonialisme Belanda dengan, misalnya sebutan "pemerintah
penjajah Jawa," [Javanese colonial government] (Aspinall 2002, 10).
Kolonialisme pemerintah pusat telah menjajah secara kultural (hegemoni nilai
kultur Jawa sebagai akibat dari program transmigrasi), secara ekonomi
(eksploitasi ekonomi untuk kepentingan orang "Jawa"), dan secara
politik (dominasi Jawa dalam birokrasi dan militer) (Aspinall 2002, 10). Karena
itu, nasionalisme etnik di kalangan orang-orang Aceh secara umum dan GAM secara
khusus bisa diletakkan sebagai bagian dari pelepasan diri dari neo-kolonialisme
dalam bentuk gerakan separatis.
Jika
nation didefinisikan Benedict Anderson (1991) sebagai "an imagined
political community" (h. 5), maka bangkitnya nasionalisme etnik tidak saja
sebagai proses dekolonisasi, tapi juga berangkat dari imajinasi-imajinasi
kolektif di kalangan etnik tentang identitas, diri, sejarah masa silam, yang
bisa menyatukan semangat kebersamaan. Imajinasi-imajinasi itu menemukan
justifikasi historisnya ketika orang-orang Aceh pernah berada pada masa
keemasan (the golden age) di bawah kesultanan Aceh Sultan Iskandar Muda abad
ke-17.
Karena
itu, nasionalisme etnis sedang menggelar proses dekolonisasi dari
neo-kolonialisme pemerintah Jawa. Tema-tema besar tentang kedaulatan
(sovereignty), kehendak menentukan diri sendiri (self-determination), hak-hak
asasi manusia yang universal (universal human rights), menjadi diskursus besar
dalam nasionalisme etnik.
Pada
titik ini, pemberlakuan syariat Islam di Aceh seperti tertuang dalam UU No. 44
tahun 1999 tentang Penyelengaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh, menjadi
misleading. UU yang memuat 24 bab ini mengakui berdirinya pemerintahan otonom
dalam bentuk Nanggroe Aceh Darussalam dan mengacu pada tiga hal, yakni ijma’
tentang adat, ijma’ tentang pelaksanaan syariat Islam, dan ijma’ tentang
pendidikan. Pemerintah lupa, bahwa GAM pada dasarnya percaya pada nalar
sekuler, sehingga UU No. 44 tahun 1999 malah dibaca sebagai
"kebodohan" Jakarta dalam menyediakan resep bagi penyakit yang
diderita warga Aceh.
Diagnosa
yang dilakukan pemerintah terbukti salah, di mana persoalan distribusi keadilan
dan ekonomi yang diinginkan warga Aceh justru dijawab dengan syariat Islam yang
masih berdiri pada tataran simbolis. Alih-alih distribusi kesejahteraan ekonomi
yang masih menjadi retorika pemerintah pusat ketimbang langkah pro-aktif di
lapangan, dalam hal distribusi keadilan dengan cara menyeret pelaku kekerasan
HAM pada masa DOM pun masih jauh panggang daripada api.
Oleh
Sukidi
18/05/2003