Pertanyaannya, siapa sih yang sebenarnya punya otoritas atau kewenangan
untuk menyatakan bahwa sebuah pandangan disebut sesat dan menyesatkan. Apakah
MUI, NU, Muhammadiyah, atau justru Allah SWT. Di sinilah saya hendak menegaskan
sebuah pendirian bahwa yang memiliki otoritas untuk itu tidak lain adalah Allah
sendiri. Allah lah yang akan memutuskan di akhirat kelak tentang ajaran-ajaran
yang dianggap menyimpang atau tidak. Allah SWT berfirman di dalam Alquran, inna
rabbaka huwa yafshilu baynahum yawmal qiyamah fi ma kanu fihi yakhtalifun
(sesungguhnya Tuhanmu yang akan mengambil kata putus atas perselisihan yang
berlangsung di antara mereka, kelak pada hari kiamat). Di tempat yang lain,
Allah SWT berfirman, inna rabbaka huwa a’lamu biman dlalla ‘an sabilihi wa huwa
a’lamu biman ihtadza (sesungguhnya Tuhanmu adalah yang paling tahu perihal
seseorang yang tersesat dari jalanya dan yang mendapatkan petunjuk).
Dengan ayat-ayat tadi, cukup jelas bahwa tidak ada seseorang atau lembaga
manapun yang bisa mengambil kedudukan Tuhan sebagai hakim atas pelbagai jenis
pandangan atau tafsir yang muncul di tengah umat Islam. Itu adalah hak
prerogatif Allah yang tidak bisa dirampas oleh para fungsionaris agama yang
tersebar di pelbagai lembaga atau ormas keagamaan manapun. Mungkin, Tuhan
sengaja tidak menyerahkan peran kehakiman tersebut kepada manusia atau ulamanya
karena terlampau rentan untuk disalahgunakan untuk tujuan-tujuan politis,
ekonomis, dan lainnya. Sehingga, tugas untuk menjatuhkan hukum atas para
penafsir agama yang menyimpang itu tetap berada dalam genggaman Allah, dan
tidak pernah didelegasikan kepada para ulama.
Tambahan pula, Islam adalah salah satu agama yang tidak mengenal hirarki,
termasuk menyangkut perkara pemaknaan ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW pernah
bersabda la rahbaniyyata fi al-Islam (tidak ada [hirarki] kependetaan di dalam
Islam). Salah satu pengertian dari hadits ini adalah bahwa tafsir yang
dikeluarkan oleh kelompok minoritas tak bisa dibatalkan oleh tafsir mayoritas.
Tafsir mayoritas tidak berada dalam posisi yang lebih tinggi ketimbang
minoritas. Dalam dunia penafsiran, keduanya adalah setara. Kaidah fikih yang
amat populer mengatakan al-ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad (ijtihad tidak
bisa dibatalkan dengan ijtihad yang lain). Sebuah tafsir adalah sah selama
tidak memerintahkan seseorang untuk melakukan tindak kekerasan. Akhirnya,
janganlah gampang menjatuhkan vonis sesat-menyesatkan kepada orang lain, karena
itu adalah hak Allah dan bukan hak manusia.
Oleh Abd Moqsith Ghazali